Pertama, hijrah berarti meninggalkan semua perbuatan yang dilarang dan yang dimurkai
oleh Allah Swt untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang baik, yang disuruh Allah Swt dan di
ridhai-Nya. Contohnya, semula siswa itu malas mengerjakan shalat lima waktu dan malas
belajar. Kemudian dia membuang jauh sifat malasnya itu, sehingga ia menjadi siswa yang
berdisiplin dalam shalat lima waktu dan rajin dalam menuntut ilmu. Arti hijrah dalam pengertian
pertama ini wajib dilaksanakan oleh setiap umat Islam. Rasulullah Saw bersabda:
“Orang yang berhijrah itu ialah orang yang meninggalkan segala apa yang dilarang Allah
Swt.” (H.R. Bukhari)
Arti kedua dari hijrah ialah berpindah dari suatu negeri kafir (non muslim), karena
dinegeri itu umat Islam selalu mendapat tekanan, ancaman dan kekerasan, sehingga tidak
memiliki kebebasan dalam berdakwah dan beribadah. Kemudian umat Islam di negeri kafir itu,
berpindah kenegeri Islam agar memperoleh keamanan dan kebebasan dalam berdakwah dan
beribadah.
Arti kedua dari hijrah ini pernah dipraktikkan oleh Rasulullah Saw dan umat Islam, yakni
berhijrah dari Mekkah ke Yarsib pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun pertama hijrah,
bertepatan dengan tanggal 28 Juni 622 M.
Adapun tujuan dari hijrahnya Rasulullah Saw dan umat Islam dari Mekkah (negeri kafir)
ke Yarsib (negeri Islam) adalah, sebagai berikut:
• Yang pertama, beliau hendak menyelamatkan diri dan umat Islam dari tekanan, ancaman, dan
kekerasan kaum kafir Quraisy. Bahkan pada waktu Rasulullah Saw meninggalkan rumahnya di
Mekkah untuk berhijrah ke Yarsib (Madinah), rumah beliau sudah dikepung oleh kaum kafir
Quraisy dengan maksud untuk membunuh beliau.
• Dan yang kedua bertujuan agar beliau memperoleh keamanan dan kebebasan dalam berdakwah
serta beribadah, sehingga dapat meningkatkan usaha-usahanya dalam berjihad dijalan Allah Swt,
untuk menegakkan dan meninggikan agama-Nya (Islam).
Setelah Rasulullah SAW dan para pengikutnya mampu membangun suatu negar yang
merdeka dan berdaulat, yang berpusat di Madinah, mereka berusaha menyiarkan dan
memasyhurkan agama Islam, bukan saja terhadap para penduduk Jazirah Arabia, tetapi juga
keluar Jazirah Arabia, maka bangsa Romawi dan Persia menjadi cemas dan khawatir kekuaan
mereka akan tersaingi. Oleh karena itu, bangsa Romawi dan bangsa Persia bertekad untuk
menumpas dan menghancurkan umat Islam dan agamanya. Untuk menghadapi tekad bangsa
Romawi Persia tersebut, Rasulullah SAW dan para pengikutnya tidak tinggal diam sehingga
terjadi peperangan antara umat Islam dan bangsa Romawi, yaitu :
1.Perang Mut’ah
2.Perang Tabuk
3.Perang Badar
4.Perang Uhud
5.Perang Khandaq
Perjanjian Hudaibiyah
Pada tahun 6 H, ketika ibadah haji sudah disyariatkan, hasrat kaum muslimin untuk
mengunjungi Mekah sangat bergelora. Nabi SAW memimpin langsung sekitar 1.400 orang kaum
muslimin berangkat umrah pada bulan suci Ramadhan, bulan yang dilarang adanya perang.
Untuk itu mereka mengenakan pakaian ihram dan membawa senjata ala kadarnya untuk menjaga
diri, bukan untuk berperang.
Sebelum tiba di Mekah, mereka berkemah di Hudaibiyah yang terletak beberapa kilometer
dari Mekah. Orang-orang kafir Quraisy melarang kaum muslimin masuk ke Mekah dengan
menempatkan sejumlah besar tentara untuk berjaga-jaga.
Akhirnya diadakanlah Perjanjian Hudaibiyah antara Madinah dan Mekah, yang isinya antara
lain:
1. Selama sepuluh tahun diberlakukan gencatan senjata antara kaum Quraisy penduduk Mekah dan
umat Islam penuduk Madinah
2. Orang Islam dari kaum Quraisy yang datang kepada umat Islam, tanpa seizin walinya hendaklah
ditolak oleh umat Islam
3. Kaum Quraisy, tidak akan menolak orang-orang Islam yang kembali dan bergabung degan
mereka
4. Tiap kabilah yang ingin masuk dalam persekutuan dengan kaum Quraisy, atau dengan kaum
Muslimin dibolehkan dan tidak akan mendapat rintangan
5. Kaum Muslimin tidak jadi mengerjakan umrah saat itu, mereka harus kembali ke Madinah, dan
boleh mengerjakan umrah di tahun berikutnya, dengan persyaratan:
Kaum Muslimin memasuki kota Mekah setelah penduduknya untuk sementara keluar dari
kota Mekah
Kaum Muslimin memasuki kota Mekah, tidak boleh membawa senjata
Kaum Muslimin tidak boleh berada di dalm kota Mekah lebih dari tiga hari-tiga malam.
Tujuan Nabi SAW membuat perjanjian tersebut sebenarnya adalah berusaha merebut dan
menguasai Mekah, untuk kemudian dari sana menyiarkan Islam ke daerah-daerah lain.
Ada 2 faktor utama yang mendorong kebijaksanaan ini :
1. Mekah adalah pusat keagamaan bangsa Arab, sehingga dengan melalui konsolidasi
bangsa Arab dalam Islam, diharapkan Islam dapat tersebar ke luar.
2. Apabila suku Quraisy dapat diislamkan, maka Islam akan memperoleh dukungan yang
besar, karena orang-orang Quraisy mempunyai kekuasaan dan pengaruh yang besar di
kalangan bangsa Arab.
Rasulullah SAW menyeru umat manusia diluar Jazirah Arabia agar memeluk agama
islam, dengan jalan mengirim utusan untuk menyampaikan surat dakwah Rasulullah SAW
kepada para penguasa atau para pembesar mereka.
Para penguasa atau para pembesar negara yang dikirimi surat dakwah Rasulullah SAW
itu seperti :
Kemudian surat dakwah Rasulullah SAW dikirimkan pula kepada An-Najasy (Raja
Ethiopia) , Al-Munzir bin Sawi ( Raja Bahrain ), Hudzah bin Ali ( Raja Yamamah ) , dan Al-
Haris ( Gubernur Romawi di Syam ). Diantara penguasa-penguasa tersebut yang menerima
seruan dakwah Rasulullah, hanyalah Al-Munzir bin Sawi penguasa Bahrain yang menyatakan
masuk Islam dan mengajak para pembesar negara dan rakyatnya agar masuk islam.
B. STRATEGI DAKWAH RASULULLAH SAW PERIODE MADINAH
Pokok-pokok pikiran yang dijadikan strategi dakwah Rasulullah SAW periode Madinah
adalah :
a. Membangun Masjid
Masjid yang pertama kali dibangun oleh Rasulullah SAW di Madinah ialah Masjid Quba,
yang berjarak ±5 km, sebelah barat daya Madinah. Masjid Quba ini dibangun pada tanggal 12
Rabiul Awal tahun pertama hijrah (20 September 622 M).
Masjid kedua yang dibangun oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya adalah Masjid
Nabawi di Madinah. Masjid ini di bangun secara gotong royong oleh kaum Muhajirin dan Ansar,
yang peletakan batu pertamanya di lakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan peletakan batu
kedua, ketiga, keempat, dan kelima di laksanakan oleh sahabat terkemuka yakni : Abu Bakar r.a.,
Umar bin Khattab r.a., Utsman bin Affan r.a., dan Ali bin Abu Thalib k.w.
Mengenai fungsi atau peranan masjid pada masa Rasulullah SAW adalah sebagai berikut:
Masjid sebagai sarana pembinaan umat Islam dibidang akidah, ibadah, dan akhlak
Masjid merupakan sarana ibadah, khususnya salat lima waktu, salat Jumat, salat Tarawih,
salat Idul Fitri, dan Idul Adha.
Masjid merupakan tenpat belajar dan mengajar tentang agama Islam yang bersumber
kepada Al-Qur’an dan Hadis
Masjid sebagai tempat pertemuan untuk menjalin hubungan persaudaraan sesame Muslim
(ukhuwah Islamiah) demi terwujudnya persatuan
Menjadikan masjid sebagai sarana kegiatan social. Misalnya sebagai tempat
penampungan zakat, infak, dan sedekah dan menyalurkannya kepada yang berhak
menerimanya, terutama para fakir miskin dan anak-anak yatim telantar.
Menjadikan halaman masjid dengan memasag tenda, sebagai tempat pengobatan para
penderita sakit, terutama para pejuang Islam yang menderita lika akibat perang melawan
orang-orang kafir. Sejarah mencatat adanya seorang perawat wanita terkenal pada masa
Rasulullah SAW yang bernama “Rafidah”.
Rasulullah SAW menjadikan masjid sebagai tempat bermusyawarah dengan para
sahabatnya. Masalah-masalah yang dimusyawarahkan antara lain ; usaha-usaha untuk
mangatasi kesulitan, usaha-usaha untuk memajukan umat Islam, dan strategi peperangan
melawan musuh-musuh Islam agar memperoleh kemenangan.
Muhsjirin adalah para sahabat Rasulullah SAW penduduk mekah yang berhijrah ke
madinah. Ansar adalah para sahabat rasulullah SAW penduduk asli madinah yang memberikan
pertolongan kepada kaum Muhajirin.
Secara umum, Islam menyatakan seluruh kaum muslimin adalah bersaudara sebagaimana
disebutkan dalam firman Allah Azza wa Jalla surat al-Hujurât/49 ayat 10, yang artinya:
Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara. Konsekwensi dari persaudaraan itu,
maka Islam mewajibkan kepada umatnya untuk saling tolong-menolong dalam al-haq. Namun
yang menjadi fokus pembicaraan kita kali ini bukan persaudaraan yang bersifat umum ini, tetapi
persaudaraan yang bersifat khusus antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshâr. Persaudaraan
antara kaum Muhajirîn dan kaum Anshâr yang deklarasikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memiliki konsekwensi lebih khusus bila dibandingkan dengan persaudaraan yang bersifat
umum.
Melihat kondisi kaum Muhajirin, dengan landasan kekuatan persaudaraan, maka kaum
Anshâr tak membiarkan saudaranya dalam kesusahan. Kaum Anshâr dengan pengorbanannya
secara total dan sepenuh hati membantu mengentaskan kesusahan yang dihadapi kaum
Muhajirin. Pengorbanan kaum Anshâr yang mengagumkan ini diabadikan di dalam Al-Qur`ân,
surat al-Hasyr/59 ayat 9
Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshâr)
sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada
mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang
diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang
Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan
itu).
Bagaimanapun pengorbanan dan keikhlasan kaum Anshâr membantu saudaranya, namun
permasalahan kaum Muhajirin ini tetap harus mendapatkan penyelesaian, agar mereka tidak
merasa sebagai benalu bagi kaum Anshâr. Disinilah tampak nyata pandangan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang cerdas dan bijaksana. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
kemudian mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshâr.
Peristiwa ini, sebagaimana disebutkan dalam banyak riwayat terjadi pada tahun pertama
hijriyah. Tempat deklarasi persudaraan ini -sebagian ulama mengatakan- di rumah Anas bin
Mâlik,[2] dan sebagian yang lain mengatakan di masjid.[3] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mempersaudarakan mereka dua dua, satu dari Anshâr dan satu lagi dari Muhajirin.
Ibnu Sa’ad dengan sanad dari syaikhnya, al-Waqidi rahimahullah menyebutkan, ketika
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mempersaudarakan antara sebagian kaum Muhajirin dengan sebagian lainnya, dan
mempersaudarakan antara kaum Anshâr dengan kaum Muhajirin. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam mempersaudarakan mereka dalam al-haq, agar saling menolong, saling mewarisi
setelah (saudaranya) wafat. Saat deklarasi itu, jumlah mereka 90 orang, terdiri dari 45 kaum
Anshâr dan 45 kaum Muhajirin. Ada juga yang mengatakan 100, masing-masing 50 orang.
Imam Bukhâri meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu, ketika kaum Muhajirin
baru tiba di Madinah, kaum Muhajirin bisa mewarisi kaum Anshâr karena persaudaraan yang
telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sedangkan dzawil-arhâm (kerabat
yang bukan ahli waris) tidak.
Persaudaraan yang dijalin oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus berlanjut.
Ketika kaum Muhajirin sudah merasa biasa, tidak asing lagi, dan sudah mengetahui cara mencari
nafkah, maka Allah Azza wa Jalla menggugurkan syariat waris-mewarisi dengan sebab tali
persaudaraan seperti ini, namun tetap melanggengkan persaudaraan kaum mukminin. Allah Azza
wa Jalla berfirman :
Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu
maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan
kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di
dalam kitab Allah. [al-Anfâl/8 : 75]
Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi)
di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau
kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Yang demikian itu telah tertulis
di dalam Kitab (Allah). [al-Ahzâb/33 : 6]
.
Peristiwa penghapusan saling mewarisi ini terjadi pada saat perang Badr. Ada juga riwayat yang
menjelaskan terjadi pada saat perang Uhud.
Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu menyebutkan, yang digugurkan adalah saling mewarisi,
sedangkan tolong-menolong dan saling menasihati tetap disyariatkan. Dan dua orang yang telah
dipersaudarakan bisa mewasiatkan sebagian harta warisannya untuk saudaranya. Inilah pendapat
Imam Nawawi rahimahullah .
Di antara bukti yang menunjukkan persaudaraan ini terus berlanjut namun tidak saling mewarisi,
yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan antara Salmân al-Fârisi
Radhiyallahu anhu dengan Abu Darda’ Radhiyallahu anhu . Padahal Salmân Radhiyallahu anhu
masuk Islam pada masa antara perang Uhud dan perang Khandaq. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam juga mempersaudarakan antara Muawiyah bin Abi Sufyân Radhiyallahu anhu dengan
al-Hattât at-Tamîmi Radhiyallahu anhu . Juga antara Ja’far bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu
dengan Mu’adz bin Jabar Radhiyallahu anhu . Semua peristiwa ini terjadi setelah perang Uhud.
Ini menunjukkan persaudaraan itu masih disyariatkan namun tidak saling mewarisi
Pada waktu Rasulullah SAW menetap di Madinah, penduduknya terdiri dari tiga golongan,
yaitu umat Islam, umat Yahudi (Bani Qainuqa, Bani Nazir, dan Bani Quraizah), dan orang-orang
Arab yang belum masuk Isalm.
Rasulullah SAW membuat perjanjian dengan penduduk Madinah non-Islam dan tertuang
dalam piagam Madinah. Isi piagam Madinah itu antara lain:
(1) Setiap golongan dari ketiga golongan penduduk Madinah memiliki hak pribadi,
keagamaan, dan politik. Sehubungan dengan itu setiap golongan penduduk Madinah
berhak menjatuhkan hukuman kepada orang yang membuat kerusakan dan memberi
keamanan kepada orang yang mematuhi peraturan.
(2) Setiap individu penduduk Madinah mendapat jaminan kebebasan beragama.
(3) Seluruh penduduk Madinah yang terdiri dari kaum Muslimin, kaum Yahudi, dan orang-
orang Arab yang belum masuk Islam sesama mereka hendaknya saling membantu dalam
bidang moril dan materil. Apabila Madinah diserang musuh, maka seluruh penduduk
Madinah harus bantu-membantu dalam mempertahankan kota Madinah.
(4) Rasulullah SAW adalah pemimpin seluruh penduduk Madinah. Segala perkara dan
perselisihan besar yang terjadi di Madinah harus diajukan kepada Rasulullah SAW untuk
diadili sebagaimana mestinya.
Islam tidak hanya mengajarkan bidang akidah dan ibadah,tetapi mengajarkan juga
Sebagai kepala negara,Rasulullah SAW telah meletakkan dasar bagi sistem politik
Dalambidang ekonomi Rasulullah SAW telah meletakkan dasar bahwa sistem ekonomi
islam itu harus dapat menjamin terwujudnya keadilan social