Manajemen Perubahan
terlibat dalam upaya rekayasa ulang tidak tahu apa yang mereka lakukan; mereka
salah paham atau salah mengerti sifat dasar rekayasa ulang; teknik mereka adalah
hasil improvisasi atau acak yang tidak berdasar pengalaman praktis' (Hammer dan
Stanton, 1995). Dalam kasus Inggris, kepuasan diri dan ketidaktahuan tetap menjadi
penghambat terbesar perubahan dan perbaikan kinerja'. Sementara penghambat
terbesar dalam mengimplementasikan perubahan adalah para manajer sendiri'.
Isu-isu keperilakuan dalam manajemen perubahan tak cukup mendapat
perhatian, padahal diperlukan pengembangan 'soft skills' bagi para manajer agar
dapat mengelola perubahan secara lebih efektif. Apapun alasan dibalik
kekurangtahuan ini, semua manajer yang efektif perlu mendidik diri sendiri dalam
masalah proses manajemen perubahan ini.
Banyak perusahaan yang memperlakukan perubahan seperti sebuah peristiwa
kebetulan atau hal rutin yang akan dapat diselesaikan dengan baik secara otomatis,
tanpa sebuah perencanaan bagus. Padahal menurut pakar perilaku Stephen Robbins
(2000), perubahan seharusnya merupakan sebuah aktivitas terencana, disengaja
dan berorientasi pada tujuan. Tujuan perubahan menurutnya ada dua, yaitu: (1)
Untuk meningkatkan kemampuan perusahaan dalam beradaptasi terhadap
perubahan yang terjadi di dalam lingkungannya, (2) Untuk mengubah perilaku
karyawan. Akibat tidak direncanakannya perubahan dengan baik, maka tidak jarang
perubahan bergulir tanpa kendali atau berjalan tidak sesuai dengan rencana, karena
mendapat perlawanan para karyawan.
Menurutnya, salah satu langkah awal pemimpin adalah membentuk koalisi yang
cukup kuat di antara orang-orang yang mempunyai wewenang dan kemampuan
untuk mendorong perubahan. Upaya perubahan yang dilakukan tanpa dukungan
koalisi yang cukup mungkin akan mengalami kemajuan untuk sementara waktu.
Namun cepat atau lambat, akan muncul perlawanan-perlawanan yang dapat
merusak inisiatif perubahan yang sudah dilakukan.
Jelas kesemua kesalahan di atas kalau kita cermati lebih menyangkut aspek-
aspek `kepemimpinan' dan"budaya' pada proses manajemen perubahan.
Kesimpulannya, menurut Worral dan Cooper (1998): 'tercapainya perubahan secara
nyata membutuhkan komitmen berkelanjutan dari manajemen puncak yang harus
konsisten dan ditampakkan secara jelas sepanjang proses perubahan'. Agar supaya
program pengembangan dan perubahan organisasi tercapai, jelaslah bahwa isu-isu
`budaya' dan `kualitas kepemimpinan' mesti mendapat perhatian secara memadai.