Anda di halaman 1dari 17

PENGARUH pH TERHADAP KERJA ENZIM PTIALIN

LAPORAN PRAKTIKUM

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Anatomi dan Fisiologi Manusia yang
dibina oleh Prof. Dr. Abdul Gofur, M.Si dan Wira Eka Putra, S.Si., M.Med, Sc.

Oleh :

Muhammad Hamzah Al-Kautsar B (180341617548)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

PRODI S1 PENDIDIKAN BIOLOGI

April 2020
A. Topik
Pengaruh pH Terhadap Kerja Enzim Ptialin

B. Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pH terhadap kerja
enzim ptialin.

C. Waktu Kegiatan
Hari/Tanggal : Rabu, 25 Maret 2020
Pukul : 13.00 s/d 14.30 WIB
Tempat : Jl. Kertoraharjo no. 70, Malang

D. Dasar Teori

Untuk membangun tubuh, sumber energi, dan regulasi dalam tubuh


mahluk hidup membutuhkan makan, berbagai cara makan hewan baik
makanan dicerna secara intra atau ekstrasel. Mahluk hidup heterotrof bukan
spons mencerna makanan dengan menggunakan sistem pencernaan makanan
Pada umumnya bahan makanan yang dikonsumsi berupa senyawa organik
misalnya; karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Makanan harus
dicerna terlebih dahulu sebelum dipergunakan oleh tubuh baik secara mekanik
maupun secara enzimatik sehingga menjadi molekul-molekul sederhana yang
siap digunakan oleh tubuh (Mardian, 2009).
Enzim atau biokatalisator merupakan katalisator yang bersifat organik
dihasilkan oleh sel yang berperan sangat penting dalam kehidupan, karena
semua reaksi metabolisme dikatalis oleh enzim. Menurut Ganong (2010)
enzim merupakan suatu protein seperti halnya protein lain, enzim dapat
mengalami perubahan struktur apabila dikenakan pada suhu yang ekstrim.
Apabila terjadi perubahan struktur, enzim menjadi tidak fungsional lagi. Hal
dikarenakan kerja enzim bersifat spesifik, emzim ptialin hanya bekerja untuk
amilum, enzim katalase untuk hidrogen peroksida dan sebagainya
(Martoharsono, 2011).
Enzim yang berperan dalam proses pencernaan makanan merupakan
substansi dalam pemecahan bahan makanan, seperti pepsin yang meripakan
enzim pada lambung yang memecah protein, lipase untuk memecah lemak,
amilase memecah karbohidrat, selain itu juga terdapat getah lambung yang
berupa asam klorida (HCl) yang diproduksi oleh sel-sel mukosa. Selain itu,
terdapat juga enzim dari hati dan pankreas yang membantu pencernaan,
contohnya katalase yang dikeluarkan hati untuk menetralkan racun
(Martoharsono, 2011).
Diperlukan enzim-enzim tertentu untuk pencernaan secara enzimatik
yang dihasilkan oleh berbagai kelenjar pada sistem pencernaan makanan.
Kelenjar saliva pada mamalia misalnya, menghasilkan enzim ptialin dan
mucin. Enzim ptialin, enzim mucin dan air liur (saliva) dihasilkan oleh
kelenjar-kelenjar sebagai berikut:
- Kelenjar lingualis atau glandula lingualis yang terletak di bagian
bawah lidah.
- Kelenjar parotis atau glandula parotis yang terletak di bagian
bawah telinga.
- Kelenjar submaksilaris atau glandula maxillary yang terletak di
bawah sisi ke dua tulang rahang (Mardian, 2009).
Saliva merupakan cairan yang bersifat alkali, mengandung mucin,
enzim ptialin dan sedikit zat padat yang berfungsi saliva bekerja secara fisis
dan secara kimiawi. Peranan saliva dalam kerja fisik yaitu untuk membasahi
mulut, membersihkan makanan agar mudah ditelan, dengan hal tersebut saliva
melarutkan beberapa unsur sehingga memudahkan reaksi kimianya, kerja
kimia saliva disebabkan oleh enzim ptialin (amilase) yang di dalam
lingkungan alkali bekerja terhadap zat gula dan zat tepung yang telah masak
(Mardian, 2009).
Enzim ptialin hanya bisa bekerja pada zat tepung atau pati bila
pembungkus selulosa pada zat tepung telah pecah, misalnya makanan yang
akan dicerna sesudah dimasak. Pati yang telah dimasak tersebut diubah
menjadi sejenis gula yang mudah larut yaitu maltose, kerja ini dimulai dari
mulut kemudian saliva ditelan bersama makanan, ptialin bekerja di dalam
lambung selama kira-kira 20 menit atau sampai makanan menjadi asam karena
adanya cairan lambung (Mardian, 2009).
Enzim ptialin memiliki kemampuan untuk mengubah amilase menjadi
maltosa, maka enzim ptialin ini disebut juga sebagai enzim amilase. Enzim
dalam saliva diproduksi oleh kelenjar saliva di dalam mulut. Enzim ptialin
yang terdapat pada saliva merupakan enzim amilase dari jenis ɑ-amilase
(Guyton, 2009).
Penguraian rantai glukosa panjang, tepung kanji dan glikogen dalam
potongan-potongan yang semakin kecil disebut dengan amylase saliva yang
akhirnya terurai maltosa, maltotriosa, maltotetrose dan oligosakarida disekitar
titik percabangan dengan 5 – 10 kesatuan glukosa yang disebut dengan
dekstrin perbatasan (Mardian, 2009).
Seluruh enzim peka terhadap perubahan derajat keasaman (pH),
dimana enzim menjadi nonaktif  apabila diperlakukan pada asam basa yang
sangat kuat. Enzim bekerja  paling efektif pada pH optimal atau pada kisaran
pH lingkungan yang agak sempit. Kenaikan atau penurunan pH dapat
menyebabkan penurunan aktivitas enzim dengan cepat, karena pH
berpengaruh terhadap kerja enzim dapat terdeteksi karena enzim terdiri atas
protein.  Juccah muatan positif dan negatif yang terkandung di dalam molekul
protein serta bentuk  permukaan protein sebagian ditentukan oleh pH (Sofyan,
2013).
pH optimal pada enzim umumnya sekitar pH 7 (netral) dan jika
medium menjadi sangat asam atau sangat alkalis, maka enzim mengalami
inaktivasi. Beberapa enzim tidak selalu bekerja pada pH optimal, ada yang
hanya bekerja dalam keadaan asam atau alkalis seperti enzim pepsin, enzim
yang dikeluarkan ke lambung, hanya dapat berfungsi dalam kondisi asam,
dengan pH optimal 2 (Gaman & Sherrington, 2009).
Enzim memiliki derajat disosiasi pada gugus asam ataupun gugus
basa terutama pada residu terminal karboksil dan asam aminonya. Untuk pH
enzim dalam reaksi kimia tidak boleh terlalu asam maupun terlalu basa karena
akan menurunkan kecepatan reaksi dengan terjadinya denaturasi. Sebenarnya
enzim juga memiliki pH optimum tertentu, pada umumnya sekitar 4,5–8, dan
pada kisaran pH tersebut enzim mempunyai kestabilan yang tinggi,
kemampuan enzim yang hilang disebabkan oleh denaturasi atau perubahan
struktur protein dalam enzim akibat pH ekstrem atau asam basa yang terlalu
kuat (Williamson & Fieser, 2009).
Menurut Soewoto (2010) Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
fungsi enzim diantaranya adalah:
- Suhu, reaksi kimia dipengaruhi oleh suhu, maka dari itu reaksi
tersebut menggunakan katalis enzim dapat dipengaruhi oleh suhu.
Enzim bekerja pada suhu optimum yaitu 37-40°C. Selain itu, karena
enzim merupakan protein, maka kenaikan suhu berlebih dapat
menyebabkan denaturasi dan bagian aktif enzim akan terganggu
sehingga konsentrasi dan kecepatan enzim berkurang atau bahkan
rusak.
- Ph, pada umumnya enzim memiliki kisaran pH optimum atau
efektifitas maksimum, umumnya berkisar antara pH 4,5-8,0. Pada pH
yang terlalu tinggi maupun terlalu rendah enzim dapat menjadi tidak
aktif secara irreversible.
- Konsentrasi enzim dan substrat, kecepatan suatu reaksi yang
menggunakan enzim tergantung pada konsentrasi enzim tersebut.
Pada suatu konsentrasi substrat tertentu, kecepatan reaksi bertambah
dengan bertambahnya konsentrasi enzim, hasil eksperimen
menunjukkan bahwa dengan konsentrasi substrat akan menaikkan
kecepatan reaksi. Akan tetapi, pada batas tertentu kecepatan reaksi
tidak akan terjadi lagi, meskipun konsenrasi substrat diperbesar.
Karena semua sisi aktif enzim sudah berikatan.
- Zat-zat penghambat, zat, senyawa, molekul yang berperan sebagai
penghambat enzim dalam bekerja dengan memengaruhi proses
penggabungan substrat pada bagian aktif dari enzim, sehingga produk
tidak akan dihasilkan. Suatu enzim hanya dapat bekerja spesifik pada
suatu substrat.
Menurut Soewolo (2010), larutan buffer atau penyangga merupakan
larutan yang tahan terhadap perubahan pH dengan penambahan asam atau
basa, larutan ini biasa digunakan dalam berbagai percobaan biokimia dimana
dibutuhkan pH yang terkontrol dan tepat. Larutan buffer berperan sebagai
pelarut kotoran yang masih terikut di dalam endapan enzim tersebut sekaligus
mampu mencegah enzim dari denaturasi dan kehilangan fungsi biologisnya.
Larutan buffer dapat mempertahankan kondisi enzim presipitat agar tidak
terjadi perubahan pH dan mencegah agar enzim tidak mengalami inaktivasi
(Soewoto, 2010).

E. Alat
Alat: Bahan:
Gelas beker 100cc Larutan amilum 1%
Gelas ukur 10cc Larutan iodin 10%
Tabung reaksi Larutan buffer pH 3
Rak tabung reaksi 4x6 Larutan buffer pH 5
Corong kaca Larutan buffer pH 7
Pipet Larutan buffer pH 9
Plat tetes Saliva
Stopwatch Aquades

F. Prosedur Kerja
Saliva ditampung sebanyak 5cc dalam gelas ukur dimana di bagian atasnya
diberi corong kaca agar mudah menampung saliva.

5cc aquades ditambahkan, dikocok sampai homogen, kemudian disaring pada


gelas beker.

4 tabung reaksi disediakan dan diberi tanda A, B, C, D

Tabung A diisi 1cc larutan amilum 1% + 1cc larutan buffer pH 3

Tabung B diisi 1cc larutan amilum 1% + 1cc larutan buffer pH 5

Tabung C diisi 1cc larutan amilum 1% + 1cc larutan buffer pH 7

Tabung D diisi 1cc larutan amilum 1% + 1cc larutan buffer pH 9

1cc larutan saliva ditambahkan ke dalam memasing tabung reaksi, lalu dikocok
sampai homogen. Dicatat saat itu sebagai waktu nol.

5 menit kemudian ditambahkan larutan iodine 10% pada 4 lubang deret kedua
plat tetes.

4 tetes larutan dari memasing tabung reaksi diteteskan pada 4 lubang deret
pertama, kedua, ketiga plat tetes dan keempat (pada plat tetes yang lain)
5 menit kemudian ditambahkan larutan iodine 10% pada 4 lubang deret ketiga
dimana larutan A pada lubang 1, larutan B pada lubang kedua, dst.
plat tetes. 5 menit kemudian ditambahkan larutan iodine 10% pada 4 lubang deret
pertama plat tetes.
G. Hasil Pengamatan
H. Analisis Data
Berdasarkan kegiatan praktikum kami yaitu pengaruh pH terhadap
kerja enzim ptialin, pada percobaan ini disediakan 4 buah tabung reaksi A, B,
C, dan D yang mana pada masing-masing tabung diberi 1 cc larutan amilum 1
% dan ditambah dengan 1 cc larutan buffer dengan pH yang berbeda-beda
pada setiap tabung reaksi. Pada tabung A larutan buffernya dengan pH 3, pada
tabung B memiliki pH 5, lalu pada tabung C memiliki pH 7 dan pada tabung
D memiliki pH 9. Perubahan warna yang terjadi ditandai dengan rentangan (+
++++) yang menunjukkan warna sangat pekat hingga (+) yang menunjukkan
warna terang. Pada menit ke 0 baik pada titik A, B, C dan D saliva tidak
mengalami perubahan warna, saliva tetap tidak bewarna, karena pada menit ke
0 saliva tidak diberi larutan iodine.
Pada titik A yaitu larutan dari tabung A, larutan saliva yang sudah
ditambahkan 1 cc amilum dan 1 cc larutan buffer pH 3 kemudian ditambahkan
dengan larutan iodin 10% dan diamati setiap 5 menit. Pada 5 menit pertama
diperoleh data perubahan warna pada tabung A setelah ditambahkan larutan
iodin 10 % yaitu berwarna biru kehitaman yang sangat pekat dengan ditandai
(+++++), kemudian pada 5 menit berikutnya, yaitu pada menit ke-10
diperoleh data perubahan warna biru kehitaman yang sangat pekat dengan
ditandai (++++), dilanjutkan pada 5 menit berikutnya, yaitu pada menit ke-15
diperoleh data perubahan warna biru kehitaman dengan ditandai (+++), dan
pada 5 menit terakhir, yaitu pada menit ke-20 diperoleh data perubahan warna
biru kehitaman yang sangat pekat dengan ditandai (++).
Pada titik B yaitu larutan dari tabung B, larutan saliva yang sudah
ditambahkan 1 cc amilum dan 1 cc larutan buffer pH 5 kemudian ditambahkan
dengan larutan iodin 10% dan diamati setiap 5 menit. Pada 5 menit pertama
diperoleh data perubahan warna pada tabung B setelah ditambahkan larutan
iodin 10 % yaitu berwarna kuning yang ditandai dengan (++), kemudian pada
5 menit berikutnya, yaitu pada menit ke-10 diperoleh data perubahan warna
kuning agak biru yang ditandai dengan (+++), dilanjutkan pada 5 menit
berikutnya, yaitu pada menit ke-15 diperoleh data perubahan warna kuning tua
yang ditandai dengan (++++), dan pada 5 menit terakhir, yaitu pada menit ke-
20 diperoleh data perubahan warna kuning tua yang ditandai dengan (++++).
Pada titik C yaitu larutan dari tabung C, larutan saliva yang sudah
ditambahkan 1 cc amilum dan 1 cc larutan buffer pH 7 kemudian ditambahkan
dengan larutan iodin 10% dan diamati setiap 5 menit. Pada 5 menit pertama
diperoleh data perubahan warna pada tabung B setelah ditambahkan larutan
iodin 10 % yaitu berwarna kuning muda yang ditandai dengan (++), kemudian
pada 5 menit berikutnya, yaitu pada menit ke-10 diperoleh data perubahan
warna kuning muda yang ditandai dengan (+++), dilanjutkan pada 5 menit
berikutnya, yaitu pada menit ke-15 diperoleh data perubahan warna kuning
yang ditandai dengan (++++), dan pada 5 menit terakhir, yaitu pada menit ke-
20 diperoleh data perubahan warna kuning yang ditandai dengan (++++).
Pada titik D yaitu larutan dari tabung D, larutan saliva yang sudah
ditambahkan 1 cc amilum dan 1 cc larutan buffer pH 9 kemudian ditambahkan
dengan larutan iodin 10% dan diamati setiap 5 menit. Pada 5 menit pertama
diperoleh data perubahan warna pada tabung B setelah ditambahkan larutan
iodin 10 % yaitu berwarna bening, kemudian pada 5 menit berikutnya, yaitu
pada menit ke-10 diperoleh data tetap berwarna bening, dilanjutkan pada 5
menit berikutnya, yaitu pada menit ke-15 diperoleh data perubahan warna
bening agak kuning yang ditandai dengan (+), dan pada 5 menit terakhir, yaitu
pada menit ke-20 diperoleh data perubahan warna kuning muda yang ditandai
dengan (++).

I. Pembahasan
Pada praktikum kali ini, yaitu mengenai pengaruh pH terhadap kerja
enzim ptialin, kami menggunakan sampel berupa larutan saliva sebanyak 5 cc
yang kemudian ditambahkan 5 cc aquades untuk kemudian disaring dan
dimasukkan dalam tabung reaksi A, B, C dan D dengan penambahan masing-
masing 1 cc larutan amilum 1% dan 1 cc larutan buffer dengan pH 3, 5, 7 dan
9. Untuk masing-masing tabung A, B, C dan D ditandai dengan pemberian
label titik A, B, C dan D. Pencernaan makanan dalam mulut bisa terjadi secara
fisik maupun kimia. Pencernaan dimulai dengan proses yang terjadi di rongga
mulut dengan menggunakan gigi, yang mana dalam mulut tersebut melalui fase
dipotong, dilumat, dan digerus yang membuat permukaan makanan menjadi
lebih halus dan lunak. Keberadaan makanan didalam rongga mulut (oral
cavity) menciptakan sebuah reflex daripada syaraf yang dapat mengeluarkan
saliva melalui saluran (duktus) rongga mulut. Saliva adalah cairan mulut
kompleks yang terdiri atas campuran sekresi kelenjar saliva mayor dan saliva
minor, yang terdapat dalam rongga mulut (Kidd & Bechal, 2010). Saliva dapat
juga disebut sebagai ludah atau air liur. Saliva yang dihasilkan manusia, sekitar
90%-nya merupakan hasil dari reaksi atas rangsangan yang berupa kecapan dan
kunyahan makanan. Saliva dalam diri manusia, tiap harinya, berjuccah sekitar
satu liter yang diekskresikan menuju rongga mulut. Makanan yang sudah
dilumat dalam rongga mulut, akan dilarutkan bersama saliva. Adapun yang ikut
larut bersama saliva meliputi glikoprotein licin (kompleks karbohidrat-protein)
yang disebut musin, yang mana memiliki fungsi untuk melindungi lapisan
lunak rongga mulut dari kerusakan yang diakibatkan oleh gesekan, dan
melumasi makanan agar mudah ditelan (Basoeki, 2009). Oleh karena itu, dalam
praktikum kali ini, kami menggunakan larutan saliva dari salah satu anggota
kelompok kami sebagai bahan uji praktik kami.
Kelenjar ludah menghasilkan air ludah yang mengandung berbagai zat
kimia, salah satunya adalah enzim ptialin atau amilase ludah (Soewolo. 2010).
Enzim merupakan suatu protein (Susilowati, dkk 2016). Menurut Martoharsono
(2011) enzim ptialin berfungsi membantu mempercepat perombakan tepung
(polisakarida) menjadi maltosa (disakarida) dan monosakarida (glukosa,
fruktosa, dan galaktosa). Kelenjar saliva yang mensekresikan saliva tersebut
memiliki pH 6,7 (Soewolo, 2010).
Larutan saliva tersebut kemudian ditambahkan larutan iodin sebesar
10%, untuk melakukan uji karbohidrat dengan mengamati perubahan warna
pada larutan tersebut. Perubahan yang menuju ke warna ungu kehitaman
menunjukkan adanya kandungan amilum yang terdapat dalam larutan tersebut.
Reaksi antara amilum dengan iodin menciptakan warna biru keunguan, sebab
molekul iod akan masuk dan terperangkap dalam kumparan molekul amilum
yang berstruktur heliks (Poedjiadji, 2011). Selain itu, Basoeki (2009)
mengungkapkan bahwa pencernaan karbohidrat, sumber energy kimia utama
tubuh, dimulai dalam rongga mulut. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya
perubahan warna larutan saliva pada masing-masing tabung. Sesuai hasil
praktikum kami, pengamatan pada tabung A dengan selang waktu setiap 5
menit menunjukkan perubahan warna biru kehitaman yang sangat pekat dengan
ditandai (+++++), hal ini menunjukkan bahwa larutan saliva pada tabung A
positif mengandung amilum yang ditunjukkan dengan perubahan warna biru
kehitaman yang pekat. Karena semakin tinggi konsentrasi amilum dalam suatu
larutan maka semakin gelap pula warna endapan yang dihasilkan. Sedangkan
pada tabung B dengan selang waktu setiap 5 menit diperoleh perubahan warna
kuning yang ditandai dengan (++) hingga kuning tua yang ditandai dengan (++
++), begitu juga yang terjadi pada tabung C dengan selang waktu setiap 5
menit diperoleh perubahan warna dari biru kekuningan dan kuning muda yang
ditandai dengan (++) hingga kuning yang ditandai dengan (++++) serta pada
tabung D dengan selang waktu setiap 5 menit diperoleh perubahan warna dari
kuning kebeningan yang ditandai dengan (+) hingga kuning muda yang
ditandai dengan (++). Pada tabung B, C dan D terlihat terjadi perubahan warna
mulai dari kuning hingga kuning kebeningan pada lima menit awal hingga lima
menit akhir, hal ini menunjukkan bahwa larutan saliva pada tabung B, C dan D
dengan perlakuan uji iodin menunjukkan reaksi negatif yang berarti tidak
mengandung amilum dengan warna endapan yang dihasilkan semakin terang,
karena amilum yang terkandung telah terhidrolisis oleh enzim ptialin menjadi
maltosa.
Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan, diperoleh peristiwa
perubahan warna yang berbeda-beda pada tiap tabung reaksi. Peristiwa tersebut
menunjukkan adanya suatu aktivitas yang menyebabkan terjadinya perubahan
warna pada setiap tabung. Saliva mengandung amilase ludah (salivary
amylase), enzim pencernaan yang menghidrolisis pati (polimer glukosa dari
tumbuhan) dan glikogen (polimer glukosa dari hewan) (Basoeki, 2009). Hasil
utama daripada proses pencernaan yang dilakukan oleh enzim ini adalah
polisakarida yang lebih kecil dan disakarida maltose. Selain daripada itu, saliva
juga mengandung buffer, yang berguna untuk mencegah pembusukan geligi
dengan cara menetralkan asam dalam mulut. Zat antibakteri yang berada dalam
ludah juga dapat membunuh banyak bakteri yang masuk kedalam mulut
melalui makanan. Saliva juga mengandung dua jenis enzim untuk pencernaan,
yaitu lipase lingualis (disekresi oleh kelenjar pada lidah) dan enzim ptyalin atau
-amilase saliva (disekresi oleh kelenjar salivaria) (Soewolo, 2010). Enzim
ptialin ini memecah susunan tepung didalam mulut yang merupakan digesi
kimiawi. Pemecahan zat atau unsur pati oleh enzim ini bergantung dengan pH
enzim 6,7, dan semua kinerja pencernaan ini akan terhenti setelah sampai
kedalam lambung.
Sesuai dengan teori yang sudah disebutkan, ternyata penggunaan
larutan buffer yang berbeda-beda untuk praktikum kami pada setiap tabung,
yaitu tabung A dengan pH 3, tabung B dengan pH 5, tabung C dengan pH 7
dan tabung D dengan pH 9 menunjukkan bahwa pH berpengaruh terhadap
aktivitas kerja enzim ptialin dalam merombak amilum menjadi maltosa. Dari
hasil praktikum kami, pada tabung A dengan pH asam yaitu pH 3 perubahan
warna yang dihasilkan di lima menit awal menunjukkan warna biru kehitaman
yang sangat pekat ditandai dengan (+++++) hingga pada menit ke-20 warna
yang dihasilkan masih menunjukkan warna biru kehitaman yang sangat pekat
ditandai dengan (++), hal ini menunjukkan bahwa pada lima menit awal hingga
menit ke-20 kandungan amilum masih tinggi sehingga kerja enzim ptialin
belum optimal pada pH asam. Sedangkan pada tabung B dan C, perubahan
warna pada lima menit awal sudah menunjukkan pemudaran warna dari biru
kekuningan dengan ditandai (++) hingga (++++) yang menunjukkan warna
semakin gelap dan tidak mengandung amilum. Berarti pada lima menit awal
sudah terjadi aktivitas kerja enzim ptialin yang optimal dalam merombak
amilum menjadi maltose. Akan tetapi, pada tabung B dan C perubahan baik
dari warna kuning menjadi kuning tua ataupun kuning muda menjadi kuning,
hal ini tidak sesuai dengan teori menurut Soewoto (2010) seharusnya semakin
lama waktunya maka akan semakin habis amilum yang terdapat dalam larutan,
sehingga warna yang dihasilkan setelah ditetesi iodin tidak biru tua akan tetapi
justru semakin pudar. Berikutnya pada tabung D, perubahan warna pada lima
menit awal hingga menit ke-10 menunjukkan warna bening hingga pada lima
menit berikutnya yaitu pada menit ke-15 menunjukkan warna kuning bening
kemudian kuning muda (++). Hal ini menunjukkan enzim ptialin mulai bekerja
optimal dalam merombak amilum menjadi maltose pada menit ke-10. Terjadi
ketidaksesuaian antara teori dengan hasil yang diperoleh, menurut Soewoto
(2010) seharusnya semakin lama waktunya maka akan semakin habis amilum
yang terdapat dalam larutan, sehingga warna yang dihasilkan setelah ditetesi
iodin tidak biru tua akan tetapi justru semakin pudar, ini dapat disebabkan oleh
kesalahan praktikan dalam menghomogenkan larutan sebelum percobaan,
sehingga amilum tidak tersebar merata, atau karena ini merupakan praktikum
online dan data pengamatan langsung diberikan oleh asisten dosen, terjadi
kesengajaan dari pihak asisten dosen untuk menguji kesabaran maupun
keterampilan mahasiswa dalam menganalisis data dan membahas data yang
telah diberikan kemudian dibandingkan dengan teori yang benar.
Namun beberapa perihal yang disebutkan sudah memiliki kesesuaian
dengan teori yang berbunyi pH 6,7 merupakan titik optimal untuk kerja sebuah
enzim ptialin (Soewolo, 2010). Sehingga tidak perlu dibantah apabila terdapat
aktivitas enzim yang dipengaruhi oleh pH medium, dan tiap enzim juga
memiliki rentang pH tersendiri untuk bekerja secara optimal. Penurunan pH
mengakibatkan meningkatnya daerah positif dalam suatu enzim untuk
berinteraksi dengan daerah negatif dalam molekul substrat. Sedangkan
sebaliknya, peningkatan pH juga akan meningkatkan ikatan kelompok positif
dalam suatu substrat, menuju ke kelompok negatif enzim (Soewolo, 2010).
Adapun cara untuk mengetahui pengaruh pH terhadap kerja enzim adalah
melalui kurun waktu perubahan warna dari masing-masing tabung.
Kerja enzim dapat dipengaruhi oleh suhu dan pH,apda pengaruh pH,
ikatan elektrostatik sering berpartisipasi pada susunan suatu enzim substrat.
Penurunan pH akan meningkatkan lebih banyak daerah positif pada suatu
enzim untuk berinteraksi dengan kelompok negatif pada molekul substrat
selama ion H+ dan OH- dapat berperan sebagai “counter ion” untuk daerah
elektrostatik. Sebaliknya, peningkatan pH akan menggalakkan ikatan kelompok
positif pada suatu substrat ke daerah negatif pada enzim (Soewolo, 2010).

J. Kesimpulan
Aktivitas kerja enzim ptialin dipengaruhi oleh beberapa faktor salah
satunya yaitu derajat keasaman atau pH. Derajat keasaman atau pH optimum
untuk kerja enzim ptialin adalah 6,7. Selain itu, untuk mengamati pengaruh pH
terhadap kerja enzim ptialin dapat diketahui dari lama waktu perubahan warna
dari masing-masing tabung. Pada percobaan tabung B dan C kerja enzim ptialin
sudah terlihat sejak pengamatan pada lima menit warna kuning tanpa adanya
warna biru menunjukkan amilum telah terhidrolisis oleh enzim ptialin.
Sedangkan pada tabung A hingga lima menit terakhir menunjukkan perubahan
warna biru yang semakin terang, justru warna endapan yang dihasilkan pada
lima menit awal hingga lima menit terakhir tetap menunjukkan warna biru
kehitaman yang pekat, yang berarti pada pH 3, enzim ptyalin belum bekerja
secara optimum. Sedangkan pada tabung D, enzim ptialin mulai bekerja secara
optimum pada menit ke-15 dengan ditunjukkan perubahan warna dari kuning
kebeningan hingga warna kuning terang.

K. Saran
Untuk praktikum selanjutnya praktikan diharap lebih teliti dan lebih
hati-hati sehingga tidak terjadi kesalahan atau ketidaksesuaian antara hasil
praktikum dengan teori. Untuk mengukur denyut jantung alangkah baiknya
menggunakan stetoskop, dikarenakan praktikum dilakukan mandiri di rumah
maka dari itu tidak setiap individu memiliki alat stetoskop sehingga
dilakukan manual menggunakan tangan dengan diraba.
DAFTAR RUJUKAN

Basoeki, Soedjono. 2009. Anatomi dan Fisiologi Manusia. Jakarta: P2LPTK.


Berman, Audrey., Snyder Shirlee J., Kozier, Barbara., Erb, Glenora. 2009. Kozier
and Erb’s Techniqus in Clinical Nursing, 5th Edition. New Jersey: Pearson
Education, Inc.
Djojodibroto, Darmanto. 2012. Seluk Beluk Pemeriksaan Kesehatan. Jakarta :
Pustaka Populer Obor.
Fenanlampir, Albertus dan Faruq, Muhammad Muhyi. 2015. Tes dan Pengukuran
dalam Olahraga. Yogyakarta: CV Andi Offset.
Gaman, P.M & K.B. Sherrington. 2009. Ilmu Pangan, Pengantar Ilmu Pangan,
Nutrisi dan Mikrobiologi. Universitas Gadjah Mada press. Yogyakarta.
Ganong, W.F. 2010. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC.
Guyton. 2009. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Jakarta
: EGC.
Kidd, Edwina A. M. dan Bechal, Sally Joyston. 2010. Dasar-Dasar Karies
Penyakit dan Penanggulangannya. Jakarta: EGC.
Mardian, Kuntjo S. 2009. Prinsip-prinsip Fisiologi Hewan. DepDikBud. Jakarta.
Martoharsono, S. 2011. Enzim. Dalam: Biokimia. Yogyakarta: Gadjah Mada
University.
Poedjiadi, Anna. 2011. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta : UI Press.
Soewolo, Soedjono Basoeki & Titi Yudani. 2010. Fisiologi manusia. Malang:
Universitas Negeri Malang.
Sofyan, Mahmud. 2013. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC.
Soewoto, Hafiz. 2010. Biokimia Eksperimen Laboratorium.Jakarta: Widya
Medika.
Susilowati, Lestari, S.R., Wulandari, N., dan Gofur, A. 2016. Petunjuk Praktikum
Fisiologi Hewan dan Manusia. Malang: Universitas Negeri Malang.
Williamson,K.L & L.F.Fieser. 2009. Organic Experiment 7th Edition. D C Health
ang Company. New York: DC Health.

Anda mungkin juga menyukai