Anda di halaman 1dari 31

Clinical Science Session

Somatic Symptoms and Related Disorder

Preseptor:
Lucky Saputra, dr., SpKJ(K)., M.Kes.

Disusun oleh :
Yolanda D Oktaviyani 130112140622
Surya D Sembada 130112150586

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
RUMAH SAKIT DR. HASAN SADIKIN
BANDUNG
2016
DEFINISI
Psikosomatik berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari dua kata, yaitu
psyche yang artinya psikis dan soma yang artinya tubuh. Kedokteran
psikosomatik menekankan bahwa terdapat suatu kesatuan dan interaksi antara
pikiran dan tubuh. Ilmu ini menyatakan bahwa terdapat hubungan antara faktor
psikologi dengan fenomena fisiologi secara umum dan patogenesis penyakit
secara khusus. Oleh karena itu, faktor psikologis harus dipertimbangkan dalam
setiap penyakit.
Menurut DSM V, gangguan psikosomatik terdiri dari, (1) gangguan gejala
somatic (Somatic Symptom Disorder), (2) gangguan kecemasan terhadap penyakit
(Illness Anxiety Disorder), (3) gangguan Konversi (Conversion Disorder), (4)
faktor psikologis yang mempengaruhi kondisi medis lain (Psychological Factors
Affecting Other Medical Conditions), (5) gangguan buatan (Factitious Disorder)
(6) gangguan nyeri (Pain Disorder).

A. SOMATIC SYMPTOM DISORDER

Gangguan gejala somatic stau biasa disebut dengan hipokondriasis


merupakan gangguan di mana terdapat preokupasi dengan ketakutan akan
mengalami, atau keyakinan memiliki, penyakit serius.Hal ini terjadi lebih dari
sama dengan 6 bulan, dan biasanya berhubungan dengan misinterpretasi gejala
pada tubuh. Hal ini menyebabkan impairment pada hidup pasien.Tidak
berhubungan dengan kelainan psikiatri lainnya atau kelainan medis.

Epidemiologi
 Dalam populasi klinik umum, dilaporkan prevalensi dalam 6 bulan untuk
gangguan ini mencapai 4-15%.
 Onset usia paling sering terjadi gangguan ini antara usia 20 sampai 30
tahun.
 Gangguan terjadi pada 3% mahasiswa kesehatan, terutama pada 2 tahun
pertama masa kuliah, namun secara umum gangguan bersifat sementara.
Etiologi
1. Teori pertama menyatakan bahwa gejala mencerminkan misinterpretasi
gejala-gejala tubuh. Orang hipokondrial meningkatkan dan membesar-
besarkan sensasi somatiknya.Mereka memiliki ambang rangsang dan
toleransi yang lebih rendah terhadap gangguan fisik. Sebagai contoh, apa
yang dirasakan oleh orang normal sebagai tekanan abdominal, orang
hipokondriakal mengalaminya sebagai nyeri abdomen.
2. Teori kedua menerangkan bahwa hipokondriasis dapat dimengerti
berdasarkan model belajar sosial. Gejala hipokondriasis dipandang sebagai
keinginan untuk mendapatkan peranan sakit oleh seseorang yang
menghadapi masalah yang tampak berat dan tidak dapat dipecahkan.
3. Teori ketiga menerangkan hipokondriasis sebagai bentuk varian
gangguan mental lainnya. Diperkirakan 80% pasien hipokondriasis
mungkin memiliki gangguan depresif atau gangguan cemas yang
ditemukan bersama-sama.
4. Teori keempat tentang psikodinamika hipokondriasis, yang menyatakan
harapan agresif dan permusuhan terhadap orang lain dialihkan kepada
keluhan fisik. Rasa nyeri dan keluhan somatik selanjutnya menjadi alat
untuk menebus kesalahan dan dapat dialami sebagai hukuman yang
diterimanya atas kesalahan di masa lalu (baik nyata ataupun khayalan) dan
perasaan seseorang bahwa dia jahat dan memalukan.

Diagnosis
A. Terdapat satu atau lebih gejala yang menyusahkan atau mengganggu
secara signifikan dalam kehidupan sehari-hari
B. Pikiran, perasaan, atau perilaku yang berlebihan mengenai gejala somatic
atau masalah kesehatan yang berkaitan, dengan minimal salah satu
manifestasi berikut :
1. Pikiran yang persisten dan tidak sesuai mengenai keseriusan salah
satu gejala
2. Tingkat kecemasan yang sangat tinggi mengenai kesehatan atau
gejalayang dialami secara persisten
3. Waktu dan tenaga berlebihan yang terpakai untuk gejala dan
masalah kesehatan tersebut
C. Meskipun gejala somatic mungkin tidak dirasakan terus-menerus, keadaan
simptomatik tetap ada. (pada umumnya lebih dari 6 bulan)

Gambaran Klinis
Pasien merasa yakin dirinya memiliki penyakit serius yang belum
terdeteksi, dan tidak dapat diyakinkan sebaliknya. Pasien mempertahankan
keyakinannya bahwa mereka memiliki penyakit tertentu, atau seiring berjalannya
waktu, dapat memindahkan keyakinannya pada penyakit lain. Keyakinan tersebut
bertahan tanpa menghiraukan hasil pemeriksaan laboratorium negatif, merupakan
perjalanan ringan dari penyakit yang dinyatakan sepanjang waktu, dan dengan
pengyakinanyang tepat dari dokter.Hipokondriasis sering disertai depresi atau
cemas dan biasanya koeksis dengan gangguan depresi atau cemas.

Diagnosis Banding
 Gangguan Kondisi Medis Umum
Hypochondriasis harus didiagnosa banding dengan gangguan nonpsikiatrik
lain, terutama yang menunjukkan gejala yang sulit didiagnosa seperti
AIDS, Endokrinopaty, Myastenia Gravis, Multiple Sclerosis, Penyakit
Degeneratif system saraf, SLE, dan Neoplasia.
 Gangguan Kecemasan terhadap Penyakit (Illness Anxiety Disorder)
Pada pasien dengan Illness anxiety disorder lebih sering merasa takut
memiliki penyakit tertentu daripada fokus terhadap banyak gejala.Pasien
denngan Illness Anxiety Disorder memiliki gejala yang lebih sedikit
disbanding pasien hipokondriasis.
 Gangguan Psikosomatik Lain
Gangguan Konversi bersifat akut, umumnya sementara, dan hanya
disertai gejala yang ringan. Gangguan Nyeri, juga bersifat kronis tetapi
keluhan hanya terbatas pada rasa nyeri saja. Pada Gangguan Dysmorfik,
pasien berharap dirinya normal, namun pada hypochondriosis pasien justru
mengungkapkan ketidaknormalannya agar mendapatkan perhatian dari
orang lain.
 Gangguan Mental Lainnya
Hipokondriasis dapat juga terjadi pada pasien dengan gangguan depresi
atau kecemasan.Pada Skizofrenia, waham hypochondrial bisa ditemukan
dan disertai oleh gejala psikotik lainnya.

Perjalanan Penyakit dan Prognosis


Hipochondriasis bersifat episodik dengan durasi bulanan hingga tahunan
dan disertai interval yang lama. Sepertiga hingga setengah dari pasien akan
membaik secara signifikan dengan sendirinya. Pada pasien anak-anak,
hypochondriasis akan sembuh dengan sendirinya di usia akhir remaja atau awal
dewasa.
Prognosis yang baik dikaitkan dengan beberapa kondisi sebagai berikut:
 Status sosial ekonomi pasien baik.
 Sensitif terhadap terapi anxietas atau depresi.
 Onset yang tiba-tiba.
 Tidak adanya gangguan kepribadian.
 Tidak ditemukan adanya gangguan medis lain yang nonpsikiatrik.

Penatalaksanaan
Pasien umumnya menolak pengobatan psikiatri, kecuali difokuskan pada
pengurangan stres dan edukasi dalam menghadapi penyakit kronis. Psikoterapi
yang dilakukan seperti individual insight-oriented psychotherapy, terapi perilaku,
terapi kognitif, dan hipnotis umumnya cukup membantu. Sebaiknya terapi
dilakukan terjadwal dengan baik dan konsisten, agar pasien tidak merasa
diacuhkan. Prosedur diagnostik invasif dan prosedur terapeutik hanya dilakukan
atas indikasi. Farmakoterapi dilakukan jika ditemukan gangguan lain yang
mendasari dan responsif terhadap obat (seperti gangguan anxietas atau depresi).

B. ILLNESS ANXIETY DISORDER


Illness Anxiety Disorder adalah diagnosis baru dalam edisi kelima DSM-5
yang berlaku untuk orang-orang yang memiliki preokupasi dengan menjadi sakit
atau dengan mengembangkan penyakit dari beberapa jenis.Ini adalah varian dari
gangguan somatic symptom disorder (hypochondriasis). Untuk membedakan
diagnosis banding diantara keduanya, menurut DSM-5, somatic symptom disorder
didiagnosis bila terdapat gejala somatic, sedangkan dalam illness anxiety disorder,
terdapat sedikit atau tidak terdapat gejalasomatic dan orang tersebut terutama
berkaitan dengan ide bahwa mereka sakit.
Epidemiologi
 Prevalensi memenuhi 4-6 % dari populasi klinik medis umum
 Lebih sering terjadi pada orang yang lebih tua

Etiologi
Penyebab gangguan ini tidak diketahui, namun sebagian besar teori pada etiologi
Somatic Symptom Disorder dapat pula terapkan pada gangguan ini.

Diagnosis

Gambaran Klinis
Pasien dengan Illnes Anxiety Disorder, sama seperti pada Somatic
Smptom Disorder, percaya bahwa dirinya memiliki penyakit serius yang belum di
diagnosis dan dan tidak dapat diyakinkan sebaliknya. Pasien mempertahankan
keyakinannya bahwa mereka memiliki penyakit tertentu, atau seiring berjalannya
waktu, dapat memindahkan keyakinannya pada penyakit lain. Keyakinan tersebut
bertahan tanpa menghiraukan hasil pemeriksaan laboratorium negatif, merupakan
perjalanan ringan dari penyakit yang dinyatakan sepanjang waktu, dan dengan
pengyakinanyang tepat dari dokter.
Preokupasi pasien terhadap penyakitnya sampai mengganggu interaksi
mereka dengan keluarga, teman, dan teman kerja.Pasien dengan gangguan ini
pada umumnya ketagihan untuk mencari melalu internet penyakit yang mereka
takutkan tersebut.

Diagnosis Banding
 Somatic Symptom Disorder
Somatic symptom disorder didiagnosis bila terdapat gejala somatic,
sedangkan dalam illness anxiety disorder, terdapat sedikit atau tidak
terdapat gejala somatic dan orang tersebut terutama berkaitan dengan ide
bahwa mereka sakit. Somatic Symptom disorder sering terjadi sebelum
usia 30 tahun, sedangkan Illness Anxiety Disorder memiliki usiaawitan
yang tidak spesifik.
 Gangguan Konversi
Pada gangguan konversi, lebih sering bersifat akut, pada umumnya
sementara, dan lebih sering melibatkan gejala-gejala dibandingkan suatu
penyakit tertentu
 Gangguan Nyeri
Gangguan nyeri biasanya bersifat kronis seperti pada
hipokondriasis, namun gejalanya hanya terbatas pada nyeri
 Gangguan Mental lainnya
Ketakutan akan suatu penyakit biasanya terjadi pada pasien dengan
gengguan kecemasan dan depresi. Pasien dengan gangguan panic pada
awlanya dapat dating dengan keluhan utama bahwa mereka memiliki suatu
penyakit, namun dengan anamnesis yang lebih teliti maka dapat ditemukan
gejala serangan panic lainnya

Perjalanan Penyakit dan Prognosis


Prognosis yang baik dikaitkan dengan beberapa kondisi sebagai berikut:
 Status sosial ekonomi pasien baik.
 Sensitif terhadap terapi anxietas atau depresi.
 Onset yang tiba-tiba.
 Tidak adanya gangguan kepribadian.
 Tidak ditemukan adanya gangguan medis lain yang nonpsikiatrik.

Penatalaksanaan
Pasien pada umumnya menolak pengobatan psikiatri, kecuali difokuskan
pada pengurangan stres dan edukasi dalam menghadapi penyakit kronis.
Kelompok psikoterapi dapat membantu, terutama jika kelompok tersebut berisi
pasien yang memiliki gangguan yang sama.
Psikoterapi yang dilakukan seperti individual insight-oriented
psychotherapy, terapi perilaku, terapi kognitif, dan hipnotis umumnya cukup
membantu. Sebaiknya terapi dilakukan terjadwal dengan baik dan konsisten, agar
pasien tidak merasa diacuhkan. Prosedur diagnostik invasif dan prosedur
terapeutik hanya dilakukan atas indikasi.
Farmakoterapi dapat membantu menurunkan kecemasan yang muncul
akibat ketakutan pasien terhadap suatu penyakit, terutama jika suatu penyakit
yang mengancam jiwa, tetapi terapi farmakologi hany bersifat memperbaiki dan
tidak bertahan lama.

C. FUNCTIONAL NEUROLOGICAL SYMPTOM


DISORDER (CONVERSION DISORDER)
DSM-V mendefinisikan gangguan konversi sebagai suatu gangguan yang
ditandai oleh adanya satu atau lebih gejala yang mempengaruhi fungsi motorik
atau sensorik yang tidak dapat dijelaskan oleh gangguan neurologis atau medis
yang diketahui. Di samping itu, penegakan diagnosis mengharuskan adanya faktor
psikologis yang berhubungan dengan awal atau eksaserbasi gejala.Gejala yang
muncul tidak secara sengaja dibuat, tidak disebabkan oleh penggunaan zat, tidak
terbatas pada gejala nyeri atau seksual, dan munculnya disebabkan secara
psikologikal bukan sosial, monetary, atau legal.

Epidemiologi
 Rasio terjadinya gangguan konversi pada wanita disbanding pria paling
sedikit 2:1 dan bisa mencapai 10:1. Pada anak-anak lebih sering terjadi
pada anak perempuan.
 Gejala lebih sering muncul pada sisi kanan tubuh wanita.
 Terdapat hubungan antara gangguan konversi dengan kepribadian
antisosial pada pria.
 Onset gangguan konversi paling sering terjadi di akhir masa kanak-kanak
sampai awal dewasa, dan jarang terjadi sebelum usia 10 tahun atau setelah
usia 35 tahun.
 Gangguan konversi lebih sering terjadi di populasi pedesaan,orang dengan
tingkat pendidikan rendah, IQ yang rendah, sosioekonomi menengah ke
bawah, dan pada anggota militer yang pernah terapar dengan situasi
peperangan.
 Gangguan konversi pada umumnya berhubungan dengan diagnosis
komorbid seperti Gangguan Depresi Mayor, Gangguan Kecemasan, dan
Skizofrenia. Frekuensi juga dilaporkan meningkat pada orang yang
memiliki kerabat dengan gangguan konversi juga.

Etiologi
1. Faktor psikoanalitik
Menurut teori psikoanalitik, gangguan konversi disebabkan oleh represi
konflik intrapsikis bawah sadar dan konversi kecemasan ke dalam suatu
gejala fisik. Gejala yang timbul merupakan ekspresi sebagian keinginan
atau dorongan yang dilarang tapi tersembunyi, sehingga pasien tidak perlu
secara sadar berhadapan dengan impuls mereka yang tidak dapat diterima.
2. Learning Theory
Gejala konversi dapat dilihat sebagai bagian dari perilaku klasik yang
dipelajari; gejala penyakit, yang dipelajari di masa kecil, sebagai sarana
untuk mengatasi situasi dinyatakan tidak mungkin.
3. Faktor biologis
Semakin banyak data yang melibatkan faktor biologis dan neuropsikologis
dalam perkembangan gejala gangguan konversi. Penelitian pencitraan otak
awal menemukan hipometabolisme pada hemisfer dominan dan
hipermetabolisme pada hemisfer nondominan dan telah melibatkan
gangguan komunikasi hemisfer sebagai penyebab gangguan konversi.

Diagnosis

Gambaran Klinis
Paralisis, kebutaan, dan mutisme adalah gejala yang paling sering
ditemukan. Gangguan konversi biasanya berhubungan dengan gangguan
kepribadian pasif-agresif, ketergantungan, antisosial, dan histrionik. Gangguan
depresi dan cemas sering menyertai gejala gangguan konversi, dan pasien
biasanya beresiko bunuh diri.
Gejala sensorik biasanya berupa anestesia dan parestesia, terutama pada
ekstremitas. Semua aspek sensorik dapat terkena dan distribusinya inkonsisten
dengan baik gangguan neurologis sentral atau perifer. Gangguan konversi dapat
mempengaruhi organ penginderaan (tuli, kebutaan, tunnel vision) , gejala ini
dapat unilateral atau bilateral, namun pemeriksaan neurologis tidak menunjukkan
adanya gangguan persarafan.
Gejala motorik meliputi gerakan abnormal, gangguan postur tubuh,
kelemahan, dan paralisis atau paresis. Tremor ritmik kasar, gerak koreiformis,
tics, dan tersentak dapat ditemukan.
Kejang semu adalah gejala lain yang dapat pula terjadi. Klinisi dapat
mengalami kesulitan dalam membedakan kejang semu ini dengan kejang
sesungguhnya hanya melalui observasi klinis.

Gambaran lain yang berhubungan


Beberapa gejala psikologikal lain juga berhubungan dengan gangguan konversi
 Primary Gain : Pasien mendapat gangguan konversi utamanya dari
konflik internal diluar alam sadar mereka. Gejala biasanya memiliki nilai
simbolik, yang mewakili konflik psikologikal bawah sadar.
 Secondary Gain : Pasien mendapat keuntungan tambahan yang nyata
danmanfaat sebagai akibat dari sakit; misalnya, dimaklumi dari kewajiban
dan situasi kehidupan yang sulit, menerima dukungandan bantuan,
danmengendalikan perilaku orang lain.
 La Belle Indiference :La belle indifference adalah sikap pengabaian
pasien yang tidak tepat terhadap gejala yang serius; yaitu, pasien tidak
peduli terhadap hal yang tampaknyamenjadi gangguan besar. La belle
indifference sering terlihat pada beberapa pasien sakit berat yang
mengembangkan sikap tabah
 Identification : Pasien dengan gangguan konversi dapat secara tidak sadar
mencontoh gejala mereka dari seseorang yang mereka anggap penting.

Diagnosis Banding
 Gangguan Kondisi Medis Umum
Gangguan kondisi medis umum yang didiagnosis banding,
terutama merupakan gangguan neurologis.Seperti gejala kelemahan otot
ditemukan pula pada Myastenia Gravis, Poliomyositis, Multiple Sclerosis,
dan Myopati. Lalu gejala kebutaan terjadi pula pada Neuritis Opticus.
Gejala paralysis didiagnosis banding dengan pada penyakit sindroma
Guillain Baree, penyakit Creutzfeldt-Jakob dan AIDS.
Apabila gejala-gejala tersebut dapat diatasi dengan sugesti,
hipnotis, serta obat-obatan seperti Amobarbital (Amytal) dan Lorazepam
(Ativan) kemungkinan penyakit tersebut adalah gangguan Konversi.

 Gangguan Mental
Gejala gangguan Konversi dapat timbul pada Skizofrenia, Depresi dan
Anxietas. Namun gangguan-gangguan mental ini memiliki gejala
tersendiri yang khas.

 Gangguan Somatoform Lain


Gejala berupa gangguan sensori-motoris juga ditemukan pada Gangguan
somatisasi. Namun gangguan Somatisasi lebih bersifat kronis, terjadi di
usia yang lebih muda, dan adanya gejala yang bersifat multiple organ.
Hypochondriosis memiliki karakteristik pasien yang tidak mengalami
gangguan atau kehilangan fungsi. Ditemukan gangguan somatis yang
bersifat kronis. Gangguan tidak terbatas pada gejala-gejala neurologis dan
adanya kekhasan perilaku serta kepercayaan hypochondrial. Gangguan
Nyeri didiagnosa jika hanya terbatas pada timbulnya gejala nyeri. Pasien
yang hanya mengeluhkan gangguan fungsi seksual sebaiknya
diklasifikasikan sebagai gangguan disfungsi seksual, daripada sebagai
gangguan Konversi.

Perjalanan Penyakit dan Prognosis


Onset pada gangguan konversi bersifat akut namun peningkatan
simptomatologi dapat terjadi.Gejala biasanya terjadi dalam durasi yang pendek
dan sekitar 95% dari kasus yang akut kembali secara spontan biasanya 2 minggu
pada pasien yang di rawat inap. Rekurensi terjadi pada 1/5 sampai ¼ orang dalam
1 tahun pada episode pertama
Prognosis dikatakan baik jika awitan bersifat akut, faktor stressor yang
mudah dikenali, interval yang pendek antara onset dan mulai pengobatan, dan
pada tingkat intelektualitas yang lebih tinggi. Paralysis, aphonia, dan kebutaan
berhubungan dengan prognosis yang baik, sedangkan tremor dan bangkitan
termasuk ke dalam faktor buruknya prognosis.

Penatalaksanaan
 Gangguan Konversi biasanya hilang secara spontan, terutama jika
didukung oleh insight-oriented supportive yang baik dan terapi perilaku.
Yang paling penting adalah caring dan hubungan yang baik pasien dengan
dokter dan terapis lainnya.
 Psikodinamik approach dilakukan untuk menganalisa dan menggali
konflik psikis serta simbolisasi dari gejala gangguan konversinya.
Psikoterapi yang dianjurkan adalah terapi yang bersifat singkat dan
dilakukan dalam jangka yang pendek. Proses psikoterapi difokuskan untuk
mengurangi faktor stres. Yakinkan pasien bahwa gejala-gejala yang timbul
akan semakin memperberat penyakitnya.
 Terapi Hipnotis, obat-obatan anxiolytic, serta pelatihan relaksasi tingkah
laku cukup efektif.Obat-obatan parenteral sepertiAmobarbital atau
Lorazepam juga efektif.

D. PSYCHOLOGICAL FACTORS AFFECTING OTHER


MEDICAL CONDITIONS

Etiologi
Stres berat dan kronis mempunyai peran dalam menimbulkan penyakit-penyakit
psikosomatik. Stres yang paling sering terlibat adalah:
1. Kematian pasangan hidup 15. Keadaan bisnis
2. Perceraian
3. Pemisahan selama pernikahan
4. Penahanan di penjara
5. Kematian anggota keluarga yang
dekat
6. Luka atau penyakit berat
7. Pernikahan
8. Dipecat dari pekerjaan
9. Rujuk selama pernikahan
10. Pensiun dari pekerjaan
11. Perubahan besar pada kesehatan
atau perilaku anggota keluarga
12. Kehamilan
13. Kesulitan seksual
14. Hadirnya anggota keluarga baru
(kelahiran, adopsi, serumah
dengan orang tua, dll)
Teori Stres
Walter Cannon (1875-1945) memperkenalkan studi sistematis
mengenai hubungan antara stres dengan suatu penyakit. Stres yang
menstimulasi sistem saraf otonomik, terutama saraf simpatis,
menimbulkan reaksi fight or flight. Ketika tubuh tidak dapat memilih di
antara keduanya, terjadilah gangguan psikosomatik.
Harold Wolf (1898-1962) menjelaskan hubungan antara kondisi
emosi spesifik dengan fisiologi pada saluran gastrointestinal. Hostilitas
berhubungan dengan hiperfungsi, sedangkan kesedihan berkaitan dengan
hipofungsi.
Hans Seyle (1907-1982) mengembangkan model stres yang disebut
sebagai general adaptation syndrome yang terdiri dari 3 fase, yaitu fase
reaksi alarm, fase pertahanan (proses adaptasi), dan fase kelelahan. Stres
yang dimaksud dapat berupa kondisi yang menyenangkan ataupun tidak
menyenangkan. Diperlukan proses adaptasi untuk dapat menerima kedua
tipe stres tersebut.
George Engel menyatakan bahwa dalam keadaan stres, seluruh
mekanisme neuroregulasi mengalami perubahan fungsi yang menekan
mekanisme homeostatik tubuh sehingga tubuh menjadi rentan terhadap
infeksi dan penyakit lain. Jalur neurofisiologi yang dianggap memediasi
reaksi stres meliputi korteks serebral, sistem limbik, hipotalamus, medula
adrenal, dan saraf simpatis serta parasimpatis. Neuromessenger yang
berperan adalah hormon kortisol dan tiroksin. Respons fungsional
terhadap stres meliputi sistem neurotransmiter, sistem endokrin, dan
sistem imun.
1) Sistem Neurotransmiter
Tubuh manusia bereaksi terhadap stres dan memberikan respons
yang bertujuan untuk meredakan stres tersebut dan
mempertahankan homeostasis. Respons neurotransmiter terhadap
stres mengaktivasi sistem noradrenergik di otak sehingga
menyebabkan pelepasan katekolamin dari sistem saraf otonom.
Stres juga mengaktivasi sistem serotonergik otak. Demikian pula,
stres meningkatkan neurotransmisi dopaminergik.

2) Sistem Endokrin
Sebagai respons terhadap stres, hipotalamus mengeluarkan
corticotropin-releasing hormone (CRF) ke hipofisis. CRF
mencetuskan pelepasan ACTH yang merangsang pembuatan dan
pelepasan glukokortikoid di korteks adrenal. Efek glukokortikoid
terhadap tubuh sangat banyak, tetapi dapat digabung dalam waktu
singkat menimbulkan peningkatan penggunaan energi,
meningkatkan aktivitas kardiovaskular, dan menghambat fungsi
pertumbuhan, reproduksi, dan imunitas.
3) Sistem Imun
Stres akut menyebabkan pelepasan faktor imun humoral yang
mengaktifkan sistem imun, sedangkan pada stres kronik terjadi
penurunan jumlah dan aktivitas sel natural killer.
Diagnosis
Kriteria diagnosis DSM-V-TR untuk faktor psikologis yang
mempengaruhi kondisi medis adalah:
A. Didapatkan adanya kondisi medis umum
B. Faktor psikologis mempengaruhi kondisi medis dengan salah satu
cara:
(1) Faktor psikologis mempengaruhi perjalanan penyakit,
ditunjukkan dengan adanya hubungan sementara antara
faktor psikologis dan munculnya penyakit, eksaserbasi
penyakit, atau penyembuhan yang lambat dari suatu penyakit.
(2) Faktor psikologis mempengaruhi pengobatan suatu penyakit.
(3) Faktor psikologis menimbulkan tambahan risiko terjadinya
suatu penyakit pada suatu individu.
(4) Respons fisiologis akibat stres mencetuskan atau
mengeksaserbasi gejala suatu penyakit.
C. Faktor psikologis dan perilaku pada kriteria B tidak dapat
dijelaskan secara lebih baik dengan gangguan mental lain (contoh :
gangguan panik, gangguan depresi mayor, gangguan stress pasca
trauma)
Gangguan Spesifik
Gangguan spesifik yang dapat terjadi pada gangguan psikosomatik
sangat bervariasi, di antaranya adalah:
Penyakit Keterangan
Gangguan Kardiovaskular
Hipertensi Stres akut menyebabkan pelepasan katekolamin yang
meningkatkan tekanan sistolik. Stres kronik
berhubungan dengan hipertensi esensial. Perubahan pola
hidup diperlukan. Teori psikologis: kemarahan yang
terpendam, rasa bersalah, dan kebutuhan untuk diakui.
Angina, aritmia, Kepribadian tipe A (agresif, iritabel, mudah frustrasi)
penyakit rentan terhadap PJK. Aritmia sering terjadi pada
jantung koroner gangguan cemas. Perubahan pola hidup diperlukan untuk
menurunkan risiko. Propranolol dapat diberikan pada
pasien fobia sosial yang mengalami takikardia untuk
menurunkan risiko penyakit jantung.
Gangguan Pernafasan
Asma Serangan dicetuskan oleh stres, ISPA, dan alergi.
Pemeriksaan dinamika keluarga diperlukan, terutama
ketika pasien masih anak-anak. Mungkin didapatkan
orangtua yang overprotektif. Propranolol dan β-bloker
dikontraindikasikan pada pasien asma dengan gangguan
cemas. Mengi pada asma merupakan jeritan tersembunyi
pasien untuk mendapatkan kasih sayang dan
perlindungan.
Sindrom Menyertai gangguan panik, gangguan cemas menyeluruh.
hiperventilasi Pasien berespons terhadap MAO, antidepresan trisiklik,
atau agen serotonergik.
Gangguan Muskuloskeletal
SLE dan RA Penyakit dapat dicetuskan oleh stres kehidupan mayor,
terutama kematian orang yang dicintai. Penyakit
memburuk dengan stres kronik, kemarahan, atau depresi.
Penting untuk meminta pasien terus aktif untuk
mengurangi deformitas sendi. Obati depresi dengan
antidepresan atau psikostimulan, dan obati spasme otot
dengan benzodiazepin.
Osteoartritis Perubahan pola hidup meliputi penurunan berat badan,
olahraga isometrik untuk menguatkan sendi, aktivitas
fisik, dan kontrol nyeri.
Gangguan Gastrointestinal
IBD: penyakit Berkaitan dengan depresi. Stres mencetuskan gejala. Teori
Crohn, IBS, psikologis: kepribadian pasif, intimidasi masa kanak-
kolitis kanak, obsesif, ketakutan akan hukuman, hostilitas yang
ulserativa tertutup.
Ulkus peptikum Peningkatan asam lambung terjadi karena rasa cemas,
stres, kopi, alkohol. Teori psikologis: ketergantungan
yang besar pada orang lain, tidak dapat mengeluarkan
kemarahan.
Gangguan Kulit
Neurodermatitis Terjadi karena stresor psikososial: kematian orang yang
dicintai, konflik seksual, kemarahan yang terpendam.
Sebagian berespons terhadap hipnosis dalam mengatasi
gejala.
Lain-lain
Nyeri kepala Tension-type headache (TTH) terjadi akibat kontraksi
otot-otot di leher yang menyebabkan konstriksi aliran
darah. TTH berhubungan dengan cepas dan stres
situasional. Terapi relaksasi dan anti-cemas dapat
berguna.
Nyeri kepala migrain dapat dicetuskan oleh stres,
olahraga, dan makanan tinggi tiramin. Penatalaksanaan
adalah dengan pemberian ergotamin. Profilaksis dengan
propranolol dapat menyebabkan depresi. Sumatriptan
dapat digunakan pada serangan migrain nonhemiplegik
dan nonbasilar.
Obesitas Hiperfagia mengurangi rasa cemas. Behavioral therapy,
grup support, konseling nutrisi, dan psikoterapi suportif
dapat membantu.

Penatalaksanaan
1. Pendekatan kolaboratif. Kolaborasi dengan ilmu penyakit dalam dan ilmu
bedah diperlukan untuk mengatasi gangguan fisik pasien. Pada saat yang
bersamaan, psikiater mengatasi aspek psikiatrik.
2. Psikoterapi
a. Psikoterapi suportif.
b. Dynamic insight-oriented psychotherapy. Eksplorasi konflik di
bawah alam sadar mengenai seks dan agresi. Kecemasan yang
disebabkan stresor kehidupan diatasi dengan mematangkan defense
mechanism.
c. Terapi grup. Terapi grup dapat digunakan bila terdapat beberapa
pasien yang memiliki kondisi fisik yang sama. Pasien dapat saling
berbagi pengalaman dan belajar dari satu sama lain.
d. Terapi keluarga. Eksplorasi hubungan keluarga dengan menekankan
bagaimana penyakit pasien dapat mempengaruhi anggota keluarga
lain.
e. Cognitive-behavioral therapy.
i. Cognitive. Pasien belajar bagaimana stres dan konflik dapat
menyebabkan penyakit somatik. Pikiran negatif mengenai
penyakit diatasi dan diubah.
ii. Behavioral. Relaksasi dan teknik biofeedback mempengaruhi
sistem saraf otonom secara positif. Teknik ini dapat
digunakan pada pasien asma, alergi, hipertensi, dan nyeri
kepala.
f. Hipnosis. Hipnosis berguna untuk menghentikan kebiasaan rokok
dan mengubah kebiasaan makan (diet).
g. Biofeedback. Melatih untuk mengontrol sistem saraf otonom.
Digunakan untuk nyeri kepala tension, migrain, dan hipertensi.
h. Akupresur dan akupuntur. Terapi alternatif memiliki hasil yang
bervariasi pada seluruh gangguan psikosomatik.
3. Farmakoterapi
a. Anggap serius gejala nonpsikiatrik dan berikan pengobatan yang
tepat (misal: laksatif untuk konstipasi). Konsultasikan dengan dokter
yang merujuk ke bagian kedokteran jiwa.
b. Gunakan obat antipsikotik bila terdapat gejala psikosis. Perhatikan
efek samping dan imbasnya pada gangguan psikosomatik.
c. Obat anti-cemas dapat mengurangi rasa cemas pada periode stres
akut, namun batasi penggunaan untuk mencegah terjadinya
ketergantungan.
d. Antidepresan dapat diberikan bila terdapat depresi akibat kondisi
medis. Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) dapat membantu
bila pasien mengalami obsesi terhadap penyakitnya.

E. Factitious Disorder
Factitious disorder merupakan suatu kelainan dimana penderita
berpura-pura, menginduksi, atau memperparah penyakitnya agar
mendapatkan perhatian medis, tanpa melihat apakah dia benar sakit ataupun
tidak. Para penderita menimbulkan nyeri, kelainan deformasi, atau bahkan
cedera yang mengancam jiwa pada dirinya sendiri, anak-anaknya, atau
orang lain dengan tujuan agar mendapatkan pelayanan medis. Factitious
disorder ini dapat mengakibatkan morbiditas atau bahkan kematian.
Meskipun tanda dan gejala yang timbul merupakan kebohongan, namun
seorang psikiatri harus menanggapinya dengan serius. Munchausen
syndrome merupakan istilah yang muncul pada tahun 1951 yang
diperuntukkan bagi orang-orang dengan kelainan buatan, yang secara terus
menerus mengeluhkan gejala palsu agar dapat masuk ke rumah sakit, dan
berpindah dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain.

Epidemiologi & Komorbiditas


Belum ada data komprehensif mengenai kelainan buatan ini, namun
suatu penelitian menyatakan sekitar 0,8% – 1.0% pasien yang konsultasi ke
psikiatri merupakan penderita kelainan buatan. Sekitar 2/3 pasien dengan
munchausen syndrome merupakan laki-laki. Banyak pada orang berkulit
putih, usia pertengahan, tidak bekerja, tidak menikah, dan tanpa ikatan
sosial atau keluarga yang signifikan. Kelainan buatan ini umumnya
dilakukan oleh ibu terhadap bayi atau anak kecil.
Beberapa orang dengan kelainan buatan ini memiliki komorbiditas
diagnosis psikiatri, seperti gangguan mood, gangguan kepribadian atau
gangguan yang berhubungan dengan zat.

Etiologi
Faktor psikososial, dasar psikodinamik pada pasien kelainan buatan
ini belum dapat dipahami dengan baik, karena penderita susah untuk
mengikuti proses psikoterapi. Para penderita tetap bersikeras kalau gejala
yang dialami hanyalah gejala fisik, sehingga beranggapan kalau terapi
berbasis psikologi tidak akan berguna. Riwayat kekerasaan pada saat anak
juga dapat mempengaruhi, dimana sang anak menjadi lebih suka dirawat di
rumah sakit karena dapat menghindari kekerasan yang terjadi di rumah.
Selain itu, sang anak merasa ada yang perhatian jika dirawat di rumah sakit
(seperti dokter, perawat). Pasien yang suka mencari prosedur yang
menyakitkan, seperti operasi dan serangkaian tes yang invasif mungkin
memiliki kepribadian masokis.
Faktor biologis, beberapa peneliti menyatakan bahwa disfungsi otak
merupakan salah satu faktor pada kelainan buatan ini.

Diagnosis dan Manifestasi klinis


Factitious disorder merupakan tanda dan gejala fisik atau psikologis
yang dipalsukan.

Pemeriksaan psikiatri harus diyakinkan dengan menanyakan pada teman,


kerabat dekat, atau keluarga pasien, karena anamnesis pada sumber terpercaya
dapat mengungkapkan sifat salah tentang pasien, meskipun memakan waktu dan
tenaga, tapi hetero-anamnesis ini sangat penting. Jika dugaan adanya gejala-gejala
palsu, pastikan lagi dengan kembali anamnesis kepada pasien dengan pertanyaan
yang tidak menuduh. Hindari pertanyaan yang dapat membuat pasien mengelak,
marah atau meninggalkan rumah sakit.
Berdasarkan jenis gejalanya, factitious disorder dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu tanda & gejala psikologis serta tanda & gejala fisik.
 Factitious disorder dengan tanda dan gejala psikologis
Pasien dengan gejala psikiatri seperti depresi, halusinasi, gangguan
disosiasi dan konversi, dan kebiasaan aneh yang tidak ada perbaikan
setelah pemberian terapi rutin. Hal ini dapat menyebabkan pasien
menerima dosis psikotik yang tinggi. Gejala psikologis factitious ini
menyerupai fenomena pseudomalingering.
Adanya gejala psikosis sebagai salah satu gangguan, dapat
mengindikasikan prognosis yang buruk pada factitious disorder. Pasien
dengan psikotik dan diketahui memiliki gejala factitious disorder dengan
tanda & gejala psikologis, memiliki prognosis yang buruk dibandingkan
dengan gangguan bipolar atau skizoafektif. Beberapa pasien secara sengaja
mengkonsumsi zat psikoaktif agar gejala seperti insomnia, susah tidur,
halusinasi dapat muncul. Kombinasi penggunaan zat psikoaktif dapat
memberikan gambaran klinis yang tidak khas.

 Factitious disorder dengan tanda dan gejala fisik


Factitious disorder dengan tanda dan gejala fisik dikenal juga
dengan Munchausen syndrome atau addiksi terhadap rumah sakit, atau
addiksi terhadap multioperasi. Gambaran penting yang muncul pada
pasien ini adalah adanya keluhan fisik yang cukup berat, yang
membutuhkan perawatan dan pengobatan di rumah sakit, gejalanya dapat
melibatkan beberapa organ. Manifestasi klinisnya dapat berupa hematoma,
hemoptysis, nyeri perut, demam, hipoglikemi, gejala seperti lupus, mual,
muntah, kejang.

Patologis dan Pemeriksaan Laboratorium

Diagnosis Banding
Gangguan dengan tanda dan gejala fisik yang menonjol perlu
mempertimbangkan kemungkinan penyakit lain yang dapat mempengaruhi
fisik. Riwayat banyaknya operasi pada pasien gangguan buatan dapat
menjadi predisposisi adanya komplikasi atau penyakit yang mengharuskan
operasi lanjutan. Factitious disorder merupakan rangkaian kesatuan antara
somatoform disorder dan malingering, tujuannya untuk menganggap
dirinya sakit.
a. Conversion Disorders
Pada factitious disorder gejala muncul dengan disengaja, rela
melakukan prosedur-prosedur yang membahayakan tubuhnya sendiri,
berulangkali dirawat di rumah sakit. Pasien dengan conversion disorder
biasanya tidak berulangkali dirawat di rumah sakit, dan gejalanya
memiliki hubungan langsung dengan temporal atau symbolic reference to
specific emotional conflicts.
Hypochondriasis atau illness anxiety disorder berbeda dengan factitious
disorder. Pada pasien hipokondriasis gejala muncul tidak disengaja, dan khas pada
usia lanjut.
b. Personality Disorders
Karena kurangnya hubungan dekat dengan orang lain, bermusuhan, dan
riwayat penggunaan zat & riwayat kriminal, pasien dengan factitious disorder
sering diklasifikasikan sebagai gangguan kepribadian antisosial. Orang yang
antisosial, biasanya tidak secara sengaja melakukan prosedur invasif supaya
mendapat perawatan di rumah sakit.
c. Skizofren
Diagnosis skizofren seringkali ditegakkan berdasarkan gaya hidup yang aneh,
tapi pasien factitious disorder biasanya tidak memenuhi kriteria diagnosis
skizofren, kecuali jika terdapat delusi yang membuatnya benar-benar sakit dan
karena itu dia mengunjungi rumah sakit. Beberapa pasien factitious disorder
menunjukkan adanya gangguan pikiran yang parah atau delusi aneh.
d. Malingering
Factitious disorders harus dibedakan dengan malingering.
Malingerers have an obvious, recognizable environmental goal in
producing signs and symptoms. Pasien malingering mencari perawatan
rumah sakit untuk mendapatkan kompensasi finasial, menghindari
pekerjaan, atau hanya ingin mendapat makan dan tidur gratis. Pasien
malingering biasanya berhenti mengeluhkan gejalanya ketika dianggap
sudah tidak menguntungkan lagi, atau ketika resikonya menjadi tinggi.
e. Substance Abuse
Meskipun pasien factitious disorders memiliki riwayat komplikasi
dengan penggunaan zat, mereka tidak dianggap sebagai pengguna,
melainkan memiliki 2diagnosis bersamaan.
f. Ganser’s Syndrome
Ganser’s syndrome, merupakan kondisi kontroversi yang
berhubungan dengan tahanan, yang ditandai dengan penggunaan jawaban
yang dapat diperkirakan. Pasien dengan Ganser’s syndrome menjawab
dengan jawaban yang salah. Ganser’s syndrome merupakan varian dari
malingering, untuk menghindari hukuman atau kewajibannya. Pada DSM-
5, Ganser’s syndrome dapat diklasifikasikan pada tipe gangguan disosiasi,
dan pada ICD-10 diklasifikasikan pada gangguan disosiasi dan konversi
yang lain.

Perjalanan Penyakit dan Prognosis


Factitious disorders biasanya muncul pada dewasa muda,
meskipun bisa muncul pada anak atau remaja. Pada awalnya, pasien
dirawat di rumah sakit karena sakit dengan gejala yang jelas pada saat
kecil atau remaja. Setelah itu, pasien menjadi lebih tau tentang pengobatan
dan rumah sakit, dan akhirnya muncul perlahan keingin untuk dirawat di
rumah sakit. Prognosis pada kebanyakan kasus factititious disorder adalah
buruk, beberapa pasien berakhir di penjara. Beberapa kemungkinan yang
mempengaruhi prognosis pada kasus ini seperti:
 Kepribadian masokis,
 Tidak sepenuhnya psikotik, ada saat-saat dia berfungsi dengan baik
 Gangguan kepribadian antisosial dengan gejala minimal
Pengobatan
Tidak ada pengobatan psikiatri yang spesifik pada pasien factitious
disorder. Pengobatan yang paling baik berfokus pada manajemen non-
farmakologi, bukan farmakologi. 3 tujuan utama dalam pengobatan
gangguan ini adalah:
 Mengurangi resiko morbiditas dan mortalitas
 Mengatasi kebutuhan emosionalnya, atau penyebab perilaku factitious
disorder
 Berhati-hati dengan persoalan hukum dan etik
Hubungan yang baik antara pasien dengan dokter atau petugas
kesehatan lain dengan pasien akan sangat membantu, untuk menghindari
timbulnya perasaan pengkhianatan, permusuhan, kebingungan, sia-sia,
bahkan penghinaan. Dokter dan petugas kesehatan harus menahan rasa
benci ketika pasien menghina pelayanannya.

F. Pain Disorder (gangguan nyeri)


Pada DSM-IV, pain disorder memiliki kriteria diagnosis tersendiri,
namun pada DSM-V termasuk dalam kategori gangguan gejala somatik
lainnya (variant of somatic symptom disorder). Pain disorder ditandai
dengan ada dan berfokus pada nyeri, baik pada satu atau lebih bagian
tubuh dan cukup berat untuk menjadi perhatian klinis. Faktor psikologis
berpengaruh pada perjalanan penyakit, tingkat keparahan, atau perawatan
nyeri.

Epidemiologi
 Prevalensi nyeri sampai saat ini sekitar 12%. 10-15% orang dewasa di
Amerika disabilitas karena nyeri pada bagian belakang.
 Pain disorder dapat muncul pada usia berapapun, berhubungan dengan
gangguan psikiatri terutama gangguan afek dan cemas.
 Pasien dengan depresi berat atau penyakit yang mematikan meingkatkan
resiko bunuh diri.

Etiologi
Faktor psikodinamika, nyeri timbul sebagai dampak adanya konflik dalam
pikirannya, yang dimanifestasikan lewat adanya nyeri fisik. Nyeri ini dapat
berfungsi juga sebagai cara untuk mendapat kasih sayang, hukuman akibat
perbuatan yang salah, cara untuk menebus perilaku buruknya.
Faktor perilaku, nyeri akan semakin kuat ketika dihargai dan akan dihambat
ketika diabaikan.
Faktor interpersonal, nyeri dapat timbul untuk mendapatkan keuntungan dalam
hubungan interpersonal.
Faktor biologis, adanya kekurangan endorfin dapat berhubungan dengan stimulus
sensori yang berlebih. Beberapa pasien dapat mengalami gangguan nyeri daripada
gangguan mental lainnya, hal ini diakibatkan karena adanya keadaan kelainan
pada sensori, struktur limbik, dan gangguan kimiawi.

Diagnosis dan Manifestasi Klinis


Pasien dapat mengalami nyeri di beberapa bagian tubuh, seperti
nyeri pinggang, nyeri kepala, nyeri pada wajah, nyeri pelvis kronis, dan
nyeri lainnya. Nyeri dapat berupa posttraumatic, neurophatic,
neurological, iatrogenic, atau musculoskeletal. Untuk mendiagnosis pain
disorder, harus ditemukan adanya faktor psikologis yang berpengaruh
pada munculnya gejala nyeri.
Pasien seringkali memiliki riwayat pengobatan yang lama dan
operasi, banyak mengunjungi dokter untuk meminta berbagai pengobatan,
dan bisa bersikeras menginginkan operasi. Terdapat preokupasi terhadap
nyeri dan menganggap nyeri adalah sumber penderitaannya. Manifestasi
klinisnya dapat diperparah akibat penggunaan zat.
Suatu penelitian menunjukkan adanya hubungan antara gejala
nyeri dengan tingkat keparahan dari gangguan gejala somatik, gangguan
depresi, dan gangguan cemas. Sekitar 25-50% pasien dengan gangguan
nyeri, memiliki major depressive disorder. Pada dysthymic disorder or
depressive disorder symptoms terdapat pada 60-100% pasien dengan
gangguan nyeri.

Diagnosis Banding
 Physical pain: intensitasnya fluktuatif, sangat sensitif terhadap pengaruh
emosi, kognitif, atensi, dan situasi. Nyeri pada psikogenik tidak menghilang
oleh distraksi atau analgesik.
 Hipokondriasis: adanya preokupasi terhadap nyeri, tubuh, dan keyakinan
akan penyakit. Lebih memiliki banyak gejala, dan fluktuasinya lebih
daripada gangguan nyeri.
 Conversion disorder: gejalanya hanya sebentar, berbeda dengan gangguan
nyeri yang seringkali kronik.

Perjalananan Penyakit dan Prognosis


Nyeri dapat muncul tiba-tiba dan semakin parah dalam beberapa
minggu atau bulan. Prognosis pada kasus ini bervariasi, meskipun
gangguan nyeri seringkali kronis, menyebabkan stress, dan disabilitas.
Prognosis pada gangguan nyeri akut lebih baik dibandingkan dengan
gangguan nyeri kronis.
Pengobatan
Karena akan sangat susah untuk mengurangi nyerinya, pendekatan
terapi lebih diarahkan ke rehabilitasi. Dokter harus mempertimbangkan
faktor psikologis dan harus menjelaskan sejujurnya kepada pasien bahwa
hal tersebut merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam
menyebabkan nyeri. Bagaimanapun juga, dokter harus mengetahui bahwa
nyeri pada pasiennya memang nyata.
 Terapi Farmakologi
Analgesic tidak terlalu bermanfaat bagi pasien, hal ini mengakibatkan
penyalah gunaan zat dan ketergantungan menjadi masalah utama pada pasien
yang menggunanakan analgesik dalam jangka waktu yang lama. Begitupun
dengan obat sedatif dan antiansietas.
Antidepresan, seperti tryciclics dan SSRI merupakan obat yang paling
efektif untuk pasien dengan gangguan nyeri.
 Psikoterapi
Psikoterapi menunjukkan adanya manfaat pada pasien dengan gangguan
nyeri. Dalam psikoterapi, hal pertama yang dilakukan adalah membentuk
hubungan yang baik antara pasien-dokter.
 Terapi lain
Biofeedback dapat membantu dalam pengobatan pada pasien dengan
gangguan nyeri, seperti nyeri kepala sebelah, nyeri pada wajah, muscle
tension state, dan tension headaches. Hipnosis, transcutaneous nerve
stimulation, dan dorsal column stimulation juga dapat dilakukan.
 Pain Control Programs
DAFTAR PUSTAKA

Sadock, Benjamin J, Virginia A. Sadock. Kaplan & Sadock’s


Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. 2007.
Edisi 11. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Anda mungkin juga menyukai