[http://1.bp.blogspot.com/-MMDKK8z93fY/VoN3mgNkn-
I/AAAAAAAAB4U/UGRKWLtG49s/s1600/Syaikh%2BKH%2BAhmad%2BRifa%2527i.jpg]
PENGANTAR
Lothorp Stoddart dalam bukunya : The New World of Islam menyatakan bahwa kondisi umat Islam pada
abad ke 18 sangatlah memprihatinkan. Mereka sebagian besar terjerumus dalam gelimang takhayul dan
mistik kekanak- kanakan. Keadaan ini tidak terkecuali terjadi di Hindia Belanda (Indonesia) pada waktu
itu. Seorang sarjana Belanda yang bernama C.Poensen dalam bukunya : Brieven over der Islam Uit de
Binnen Landen van Java, Leiden : Brill 1886, juga membuat pernyataan yang hampir sama dengan
pernyataan Lothorp Stoddart, khususnya umat Islam di Hindia Belanda, yaitu bahwa dalam hal
kepercayaan, orang Jawa pada saat itu tidak bisa disebut sebagai orang Islam. Keadaan inilah yang
membuat prihatin Assyaikh.H.A.Rifai dari Kalisalak, Limpung, Batang, Jawa Tengah. Seorang Ulama
yang baru pulang menimba ilmu selama lebih 8 tahun di Mekah, untuk segera memperbaiki keadaan
keyakinan dan peribadatan umat, sekaligus mengobarkan semangat Jihad menentang kolonialisme
Belanda. Dikarangnya kitab kitab tentang Tauhid (Keyakinan), Fikih (peribadatan) dan Tasawuf (Olah
batin/ managemen Qolbu), dengan bahasa Jawa dalam bentuk sajak maupun prosa, sehingga mudah
dihapal, dicerna dan mudah dimengerti oleh sebagian besar kaum awam khususnya yang berbahasa
Jawa. Yang menarik, ditengah uraian beliau tentang ketiga cabang ilmu agama tersebut, di sana- sini
diselipkan komentar komentar pedas tentang kondisi umat, perilaku aparat dan kezaliman penguasa
kolonial pada waktu itu yang harus dilawan dan ditentang. Inilah yang menyebabkan beliau diasingkan ke
Ambon dan kemudian dipindahkan ke Menado dan akhirnya wafat dan dikuburkan disana.
Dalam situs ini anda akan diajak melihat pokok- pokok bahasan/ tulisan beliau dalam bidang Tauhid,
dimana kami sengaja paparkan bahasa asli yang beliau pakai, baru kemudian di Indonesiakan dan
diuraikan. Selamat membaca.
Daftar Isi
1. Mukaddimah
2. Latar Belakang.
3. Definisi Ilmu Tauhid
4. Akidah Ahlussunnah
5. Taqlid dalam hal keyakinan
6. Ketundukan kepada hukum Islam merupakan Syarat Sahnya Iman.
7. Rukun Islam
8. Rukun Iman
9. Aqoid Lima puluh
10. Mukjizat, Irhas, Karomah, Ma’onah dan Sihir.
11. Wali- Wali Allah.
12. Bermacam dosa.
13.Taubat
Tulisan ini berdasarkan makalah Seminar Nasional Mengungkap Pembaharuan Islam Abad XIX Gerakan
K.H.A.Rifa'i : Kesinambungan dan Perubahannya, di Jogyakarta, 12- 13 Desember- 1990, Pokok
Bahasan : Tauhid Dalam Pandangan K.H.A.Rifa'i dan Pembandingnya, oleh : H. Khaeruddin Khasbullah,
dengan sedikit perubahan dan penambahan.
Tulisan- tulisan yang bersumber dari kitab- kitab karangan K.H.A.Rifa'i sengaja dirujuk ke sebuah catatan
khazanah buku- buku milik Dr.T.H. Pigeaud yang terdaftar dan tersimpan di Universitas Leiden Belanda,
karena buku- buku karya K.H.A.Rifa'i sulit didapatkan dipasaran bebas.
Mukaddimah
Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam yang telah mengutus para nabinya untuk
menyampaikan agama Tauhid, mengajak sekalian manusia dan jin menuju jalan kebahagiaan, yaitu jalan
sorga yang dijanjikan.
Solawat dan salamNya semoga terlimpah keharibaan junjungan Nabi Muhammad beserta seluruh
keluarga dan para sahabatnya serta kepada segenap kaum muslimin dan muslimat yang senantiasa
menjunjung tinggi tauhid dan menjauhkan diri dari kemusyrikan.
Kemudian perkenankanlah melalui tulisan ini saya mengenang guru guru saya seraya mengucapkan
terimakasih yang tiada terhingga kepada seluruh guru guru saya yang telah membimbing jiwa dan
rokhani saya dari sejak kecil sehingga dewasa dengan tekun dan tak kenal lelah. Khususnya kepada Al-
Maghfurlah K.H. Abdul Aziz Al- Mu’tasim dari ponpes Insap Paesan Pekalongan, Juga kepada Al-
Maghfurlah Al- Habib Muhammad Assegaf, salah seorang guru dan pengasuh Perguruan Tinggi Ma’had
Islam di Pekalongan, dan kepada segenap guru guru saya yang tak mungkin saya sebutkan satu demi
satu. Semoga Allah membalas segala amal saleh mereka semuanya dan menempatkan mereka dengan
layak disisi Allah yang Maha Tinggi.
Khusus Kepada Prof.Dr. Karel. A. Steenbrink dari IIMO/ Dept.of Religion Utrecht University, Nederland,
saya ucapkan penghargaan yang setinggi- tinginya dan terimakasih atas kiriman catatan- catatan
pentingnya sehingga tulisan ini terasa menjadi sedikit lebih lengkap.
Yang terakhir kami mohon kritik dan saran, khususnya kepada sesepuh seandainya tulisan ini dianggap
kurang mewakili tulisan tulisan Syaikh H.A.Rifa’i. Dengan kritik dan saran tersebut diharapkan tulisan ini
menjadi lebih lengkap dan bermanfaat, khususnya untuk segenap warga dan kaum muslimin seluruhnya.
Amien.
MOTTO:
Mu’min oleh pituduh sah iman
Iku anut ing angger wong kabeneran
Nyoto ono dalile syari’at panggeran
Qur’an, Hadist, Ijma’ Qiyas panutan
I.Latar belakang.
Pertengahan dekade 1800- an, Perang Diponegoro baru saja usai, dan Belanda dengan segala caranya
telah berhasil keluar sebagai pemenang. Maka sejak itu makin kokohlah kuku penjajahan menghunjam
dalam Bumi Nusantara. Dimana- mana kaum pribumi mengalami rasa rendah diri yang hebat dan makin
percaya bahwa bangsa Belanda adalah bangsa yang superior. Segala segi-segi kehidupan mereka
diperkosa, apalagi dengan mulai diterapkan CULTURE STELSEL (SISTEM TANAM PAKSA). Kepala
Desa dan Bupati tidak menjadi pelindung dan pengayom masyarakat, tetapi sudah menjadi pegawai atau
aparatur tuan tanah.1 [https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4446237471469018420#_ftn1] Saat itu makin
banyak kaum pribumi yang mencari aman dengan menjilat kepada sang penguasa. Sendi-sendi syariat
dan akidah yang sejak semula rapuh karena agama Islam masuk ke indonesia melalui sentuhan–
sentuhan kultural dan tasawuf, serta sejak berabad-abad tidak ditegakkan secara maksimal, makin
kelihatan bertambah rapuh. Maka tidak heran bila pada saat itu sinkretisme dan pencampur adukan
syariat dan adat istiadat yang berlaku, sangat menggejala dan kaum abangan serta tradisi pra-islam
mendapatkan moment perkembanganya yang subur pada saat itu.2 [https://www.blogger.com/blogger.g?
blogID=4446237471469018420#_ftn2] Bait-bait syair dibawah ini cukup jelas menggambarkan keadaan umat
Islam pada saat itu :
Lihat pengamatan C. Poensen dalam bukunya: Brieven over der Islam Uit de Binnenlanden Van Java,
Leiden : Brill 1886, bahwa : pada akhir abad 19 mayoritas orang Jawa sebenarnya tidak mengenal Islam
kecuali dalam hal sunatan, puasa dan larangan makan daging babi.
Selanjutnya Poensen menyimpulkan bahwa dalam hal kepercayaan orang Jawa tidak bisa disebut
sebagai orang Islam. 3 [https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4446237471469018420#_ftn3]
Keadaan masa itu sungguh jauh berbeda dengan keadaan akhir abad 20, dimana saat itu sekolah-
sekolah agama seperti Madrasah Ibtida’iyah, Tsanawiyah dan Aliyah belum melembaga seperti sekarang.
Sekolah- sekolah agama hanya ada di pesantren, dan para ulama memilih tempat tempat terpencil dan
jauh untuk kiprah pesantren mereka, untuk menghindari kontrol ketat yang dilakukan penguasa kolonial.
Sedangkan kiyai- kiyai didesa hanya mengajarkan cara baca Alqur’an. Dalam bukunya: HABIS GELAP
TERBITLAH TERANG, R.A Kartini juga mengeluhkan hal ini. Dalam suratnya yang ditulis kepada Ny.
Abandanon dia seakan memprotes bahwa ia diajar cara membaca Al Qur’an tanpa tahu artinya. Buku
buku terjemahan belum ada seperti sekarang ini, sehingga anak- anak kecil terpaksa diajar memahami
agama dari kitab- kitab berbahasa Arab yang tentu sangat sulit dipahami oleh mereka. Ada beberapa
kiyai yang bereksperimen dengan mengajar lebih dulu ilmu- ilmu alat (gramatika), tetapi karena usia
kawin yang sangat muda, eksperimen ini justru menghasilkan orang orang yang tak cukup memahami
ilmu alat dan tak mengerti ilmu- ilmu ibadah, serta tak memahami tauhid Islam dengan benar, sehingga
dilaporkanpada waktu itu akidah umat masih bercampur dengan kepercayaan- kepercayaan animisme
seperti Nyi Loro Kidul- penguasa laut selatan, Dewi Lanjar- penguasa laut utara, Nyi Putut- penunggu
bulan, Dewi Sri- Si dewi Padi dan sebagainya.
Dikala itulah seorang ulama pendobrak pulang ketanah air setelah sekian lama belajar di negeri sumber
agama Islam, yaitu di Mekah. Beliau adalah K.H.A.Rifa'i yang kemudian banyak menulis kitab kitab
hukum Islam. Beliau telah menterjemahkan dan menyadur berbagai kitab agama Islam dalam bahasa
Jawa, sehingga mudah dimengerti oleh masyarakat awam (lebih tepatnya mengarang beberapa kitab
dalam bahasa Jawa dengan mengambil sumber sumber keilmuan dari banyak sumber kitab berbahasa
Arab). Ajarannya penuh dengan ajakan bagi umat Islam untuk mengadakan masyarakat baru. Dalam
masyarakat baru itu hendaknya anggota- anggotanya kembali menjalankan perintah Tuhan dan
mengikuti perilaku nabi- nabi.4 [https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4446237471469018420#_ftn4] Salah
satu bagian dari fatwa- fatwa beliau adalah dalam bidang ilmu USHULUDDIN atau ilmu Tauhid, yang
akan kita tela’ah ala kadarnya pada tulisan berikut ini.
( RI’AYATUL HIMMAH.17
[https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4446237471469018420#_ftn7] )
Secara lengkap beliau menjelaskan bahwa ilmu ushuluddin (sering disebut juga: ilmu tauhid, ilmu
akidatuttauhid, ilmu kalam, atau ilmu akoid 50 dan sebagainya), adalah suatu ilmu yang mempelajari
tentang keimanan dan segala hal yang bersangkutan paut dengan keimanan, seperti mengetahui sifat-
sifat wajib bagi Allah, sifat-sifat muhal dan jaiz Nya. Begitu juga sifat-sifat wajib bagi rosul, muhal dan jaiz
Nya, mengetahui tentang iman kepada malaikat, iman kepada qodho dan qodar, tentang kiamat dan
sebagainya.
Oleh karena itulah dalam makalah ini penulis kadang-kadang menggunakan istilah ilmu tauhid, atau
kadang-kadang dengan istilah yang lainnya.
Sumber dari AKIDAH ISLAMIYAH ASHOHIHAH (kepercayaan Islami yang benar) tentu saja adalah
firman-firman Allah dan sabda-sabda Nabi. Pada masa-masa hidupnya beliau nabi sendiri yang
menerangkan dan menjelaskan mengurakan tentang segala hal yang berhubungan dengan pokok-pokok
keimanan tersebut.
Setelah Nabi wafat, tugas-tugas beliau dipikul dan di teruskan oleh para sahabat Nabi. Kemudian
Islampun makin lama makin berkembang melampaui batas-batas negara. Pada saat itu mulailah umat
Islam bersentuhan dengan kepercayaan dan filsafat yang telah lama berkembang di daerah-daerah baru
itu. Dengan demikian mulailah alam fikiran ARISTOTELES, AFLATHON (PLATO), SOCRATES dan lain
sebagainya. Demikian juga ajaran-ajaran SAINT JOHN OF DAMASCUS (676-749) THEODORUS ABU
BAKARA, TSABIT BIN QURROH, KUSTO BIN LUCAS (820-912), ikut mempengaruhi dan mewarnai dan
merusak akidah suci yang dibawa Nabi. Terlebih-lebih setelah terbunuhnya S. Ali melawan S. Muawiyah,
maka masalah-masalah politik ikut nimbrung dalam membentuk kepercayaan ummat pada masa itu.
Namun Allah Maha Penyayang, muncullah kemudian dua orang ulama besar pembela akidah yang
murni pada akhir abad ke III H. Beliau adalah Abu Hasan Al-Asyari (260-324 H) dan Muhammad bin
Muhammad Abu Mansur Al Maturidi( -332).
Kedua beliau mulai menyelidiki firman-firman Allah dan sabda-sabda Nabi yang menjadi pokok dan
sumber akidah Islamiyah yang suci, diselidikinya faham-faham menyesatkan dari golongan majusi,
pikiran-pikiran Failasuf, golongan Jabariyah dan Qodariyah (Determinisme/indeterminisme) ahli-ahli
batiniah dan sebagainya yang sesat. Bahkan kadang-kadang diserangnya Ahlul batil tersebut dengan
cara berdebat seperti yang pernah terjadi dengan bekas gurunya, Al-Jubai yang merupakan tokoh
mu’tazilah8 [https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4446237471469018420#_ftn8] . Beliau berdua
berpendapat bahwa pokok-pokok akidah harus dibina atas dasar keyakinan, bersandar kepada firman-
firman Allah dan Hadist-hadist shohih berderajat mutawatir. Kemudian dikarangnya buku-buku untuk
membela dan mempertahankan serta menyebar luaskan keyakinan suci tersebut. Oleh karena bersandar
kepada Assunnah dan mengikuti jejak sahabat serta diikuti oleh mayoritas ulama dan ummat pada masa
itu, maka fahamnya kemudian terkenal dengan sebutan AHLUSSUNAH-WAL JAMA’AH. Karena itulah
kalau dimutlakkan Ahlussunah Wal Jama’ah maka yang dimaksud adalah golongan yang mengikuti jejak
Asy’ari dan Maturidi9 [https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4446237471469018420#_ftn9] .
Dalam hal ini K.H.A. Rifa'i menulis dalam beberapa kitabnya, diantaranya dalam kitab Ri’ayatul
Himmah jilid 2 hal. 62, demikian:
Oleh karena itu tiada pilihan lain, bahwa kita harus mengikuti I’tikad yang secara jelas dan yakin
bersumber dari Al-Qur'an dan Assunnah. I’Tikad ini secara mendalam dan teliti telah dikaji oleh kedua
beliau, yaitu Imam Asyaikh’ari dan Imam Ma’turidi, istimbath dan istidlal dari ayat- ayat dan hadist- hadist
yang sorih (jelas) dan musytabih (samar), dan telah disimpulkan serta dituangkan dalam kitab- kitab
beliau seperti : Al- Ibanah dan Maqolatul Islamiyyin karangan Imam Asy’ari atau kitab Al- Ushul fi
Ushuliddin serta Kitabuttauhid karangan Imam Ma’turidi10 [https://www.blogger.com/blogger.g?
blogID=4446237471469018420#_ftn10] , dimana kitab- kitab tersebut dapat kita uji kebenarannya dan telah
dibahas oleh pakar- pakar dibidangnya sepanjang Zaman.
Oleh karena dasar- dasar yang jelas itulah K.H.A.Rifa'i memerintahkan agar hanya mengikuti jalan yang
ditempuh oleh para ulama Ahlussunnah tersebut, seperti tertulis dalam kitab Syarikhul Iman11
[https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4446237471469018420#_ftn11] halaman 286 sebagai berikut:
Faidatun : Utawi saben wong mukallaf iku wajib arep gegeyongan atine ing dalem
agamane Allah Ta’ala ingkang wus muwafakat ilmune mungguh Jumhur Ulama
Ahlussunni….dst.
Demikianlah bahwa setiap kaum muslimin harus mengikuti golongan AHLUSSUNNAH WAL- JAMA’AH,
golongan yang mengikuti hadist- hadist dan Sunnah Muhammadiyah dan mengikuti jejak para Sohaby,
karena hal itu merupakan pesan dan wasiyat Rasul yang wajib dilaksanakan. Dan hanya golongan inilah
yang dijamin selamat dari murka Allah13 [https://www.blogger.com/blogger.g?
blogID=4446237471469018420#_ftn13] .
Menurut konsep Islam, awal kepercayaan adalah TAUHID (monotheistis). Karena kepercayaan tauhid
adalah Fitrah dan alamiah. Baru setelah Iblis berusaha membelokkan kepercayaan umat manusia
dengan menyembah patung orang- orang saleh yang sudah meninggal yaitu : Wad, Suwa’, Yaghuts,
Ya’uq dan Nasr (Q.s 71. 23). Maka sejak itu kepercayaan polytheistis (syirik) mulai tumbuh dan
berkembang. Jadi menurut Islam, bila tak ada pengaruh- pengaruh jahat, secara naluri hati manusia akan
mengakui keesaan Allah. Demikian pulalah yang terjadi saat Nabiullah Ibrohim menemukan hakekat
kebenaran, yaitu : TIADA TUHAN SELAIN ALLAH.
Tentang kekuasaan dan keesaan Allah telah cukup bukti- bukti yang mendukungnya, dan Allah telah
memberikan keistimewaan kepada manusia dengan akalnya untuk sampai kepada hakekat kebenaran
sampai batas- batas tertentu.
Oleh karena itu dalam bertauhid, amatlah tercela bagi seseorang yang tak mau menggunakan akalnya,
padahal ia mampu untuk berusaha meyakinkan diri dalam meng- esakan Allah. Tentu saja harus dalam kerangka
landasan yang telah dirisalahkan oleh para nabi, karena detil masalah ini adalah masalah sima’i yang hanya bisa dimengerti melalui wahyu yang
diturunkan kepada para nabi.
Karena itulah dalam kitabnya Asyaikh, K.H.A.Rifa'I kurang menghargai orang yang mampu bernalar,
namum bertaqlid dalam meng-esakan allah. Perlu diketahui dahulu batasan taqlid yang dimaksud.
Asyaikh menulis dalam kitabnya Ri'ayatul Himmah jilid I demikian14 [https://www.blogger.com/blogger.g?
blogID=4446237471469018420#_ftn14] :
Taqlid adalah mengikuti selainmu, dalam ucapan dan keyakinannya tanpa mengetahui
dalil-dalilnya, Adapun apabila engkau tahu dalil-dalilnya maka sesungguhnya engkau
adalah seseorang arif dan bukan seorang muqollid.
Dalam hal taqlid dibidang ilmu tauhid ini beliau menulis15 [https://www.blogger.com/blogger.g?
blogID=4446237471469018420#_ftn15] :
Kerono gholib saben wong taqlid anutan
Muhung pengucape ulama pituturan
Ing dalem bab tauhid kinawaruhan
Iku imane tan sepi gholiban
Saking mamang atine wong iku tinemune
Selanjutnya Asyaikh mempersilahkan untuk memilih pendapat mana yang cocok untuk diikuti .
Demikianlah dalam masalah- masalah khilafiah beliau selalu moderat, tetapi dalam masalah prinsip,
beliau tak terbengkokkan.
V. KETUNDUKAN KEPADA HUKUM (TASLIM) ADALAH MERUPAKAN SYARAT SAH NYA IMAN
Seperti kita ketahui dalam pendahuluan, bahwa suasana saat itu sangat mendukung berkembangnya
ISLAM ABANGAN. Terisolasinya pondok- pondok pesantren di gunung- gunung, pendidikan sistem
madrasah yang belum melembaga, superioritas kolonial Belanda yang makin kentara dan MISKINNYA
KITAB- KITAB AGAMA DALAM BAHASA JAWA/ INDONESIA pada masa itu, menyebabkan banyak umat
tidak mengetahui hakekat agamanya. Apalagi suatu hal yang sangat beralasan bahwa sejak dari mula
pertama keberadaan Islam di indonesia, sebagian besar kelompok keagamaan tidak mendasari doktrin-
doktrinya dengan Al-Qur'an, tetapi mengambil dari tradisi- tradisi Jawa pra-islam. Prof.Dr. Sartono
Kartodirjo menulis dalam bukunya : PROTES MOVEMENT IN RURAL JAVA halaman 127 demikian :
Maka nampaklah dipermukaan bahwa islam hanyalah merupakan formalitas. Banyak kaum muslimin
pada waktu itu yang tidak memahami dan mengikuti syari’at dengan benar- benar. Bahkan pada waktu itu
banyak karya sastra Jawa klasik yang membawa serta ajaran zindiq dan khurafat. Salah satunya adalah
Serat Gatoloco. Penolakan terhadap syari’at yang dilakukan oleh sebagian besar orang- orang yang
mengaku muslimin inilah yang mendorong K.H.A.Rifa'I perlu bicara lebih keras. Oleh karena itu dalam
hampir semua kitabnya beliau dalam ilmu Ushuluddin, beliau mengupas tentang perlunya ketundukan
kepada syari’at ini.
Beberapa dalil Al-Qur'an pun dikemukakan oleh beliau untuk memperkuat fatwanya bahwa TASLIM dan
ketundukan terhadap hukum syara’ adalah suatu masalah yang sangat penting dan merupakan kunci
dapat diterimanya iman. Diantaranya beliau menukil sebuah ayat Al-Qur'an Surat Annisa’ ayat 64 dengan
sebelumnya diberikan pengantar 18 [https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4446237471469018420#_ftn18]
:
Lan weruho siro setuhune syarate iman iku pasrah lan anut asih atine ing hukum Allah
dan hukum Rasulullah. Kelawan mengkono iku dalile pengendikane Allah Ta’ala: “ Moko
demi temen pangeraniro ya Muhammad, ora nono podo ngesto’aken wongiku kabeh anging
hinggo podo anjaluk hukum wong iku kabeh ing siro ing dalem ma barang kang bebantah
poro padu ing antarane wongiku kabeh, moko keri- keri ora ono nemu wong iku kabeh ing
dalem atine wong iku kabeh mamang lan ora sengit atine ing setengah saking barang kang
wus siro hukumi lan podo pasrah asih atine wongiku kabeh kelawan pasrah nurut”.
Dan ketahuilah oleh mu sesungguhnya syarat iman itu menyerah dan tunduk, cinta
hatinya pada hukum Allah dan hukum Rasulullah. Demikian itu sesuai dalil firman Allah
Ta’ ala : “ Maka demi Tuhanmu ya Muhammad, mereka tidak dianggap beriman sehingga
mereka meminta hukum kepadamu dalam suatu perkara yang mereka perbantahkan, maka
kemudian tidak ditemukan dalam hati mereka keraguan dan kebencian terhadap sesuatu
perkara yang sudah kau putuskan dan mereka pasrah, cinta hati mereka dengan benar-
benar pasrah tunduk”. Annisa’ 64.
Dalam kitab berjudul Ri'ayatul Himmah halaman 14 beliau mengutip Surat Al- Hujurat ayat 14:
Dengan cara yang demikian gamblang, Asyaikh membawa para sidang pembacanya untuk memahami
bahwa “ Iman tidak sekedar percaya dalam hati, tetapi iman adalah AKIDAH dan AMAL sekaligus”. Iman
adalah percaya dalam hati, mengucapkan dengan lisan dan beramal dengan anggota badan. Dan amal
disini tidak terbatas pada hanya sholat, puasa dan haji yang sudah terbiasa disebut sebagai ibadah,
tetapi juga mencakup segala sesuatu perbuatan yang diridhoi Allah, bermanfaat bagi sesama dan
kembali kepada kebaikan umat manusia19 [https://www.blogger.com/blogger.g?
blogID=4446237471469018420#_ftn19] .
Memang secara bahasa Iman artinya percaya. Tetapi yang dimaksud secara istilah syara’ adalah
membenarkan dalam hatinya dan harus berusaha menegakkan dengan ketundukan kepada segala apa
yang dibawa dan disampaikan oleh Muhammad Rasulullah.
Salah satu masalah kontroversial dalam fatwa- fatwa Assyaikh adalah tentang rukun Islam. Dan pada
saat itu oleh pemerintah kolonial yang Machiavelist masalah tersebut sengaja dibenturkan diantara
masyarakat kaum muslimin untuk memecah kekuatan revolusioner yang tersembunyi dalam ajaran-
ajaran Asyaikh. Namun sebenarnya setelah kita baca uraian beliau tentang keharusan TUNDUK dan
TASLIM kepada semua perintah agama, termasuk tunduk kepada keharusan sholat lima waktu, tunduk
pada aturan Zakat, pasrah dan senang hati berpuasa dibulan Ramadhan dan tunduk pada ketentuan
untuk melaksanakan ibadah haji, serta tunduk kepada semua aturan syara’ yang lain, maka kontroversi
itu akan hilang dengan sendirinya. Bahkan dengan menyatakan bahwa ketundukan terhadap ketentuan
hukum syara’ itu sebagai syarat sah diterimanya iman, berarti pembangkangan terhadap kelima pilar
Islam itu adalah merupakan batal dan ditolaknya iman seseorang. Apalagi kalau kita lebih dalam
mengkaji dan menghayati tulisan- tulisan beliau, maka nyatalah bahwa yang terjadi adalah hanya
perbedaan LAFDHI / DEFINISI, bukan perbedaan makna. Baiklah berturut- turut kita kutip tulisan- tulisan
beliau tentang RUKUN ISLAM. Yang pertama kita ambil dari kitab TAKHYIROH MUKHTASOR 20
[https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4446237471469018420#_ftn20] :
Utawi rukune Islam iku sewiji beloko, yoiku angucap syahadat loro kang wus kasebut.
Bahwa rukun Islam itu hanyalah satu, yaitu mengucapkan dua kalimah syahadat yang
telah tersebut.
Kita teruskan penyelidikan kita pada tulisan beliau dalam kitab THORIQOT
Halaman 23 demikian21 [https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4446237471469018420#_ftn21] :
Sekarang kita perhatikan tulisan beliau dalam kitab SYARIKHUL IMAN halaman 2- 3, demikian :
Utawi kelakuhan Islam iku angucapaken ing kalimah syahadat loro, lan anjenengaken
sholat, lan aweh zakat, lan puoso wulan Ramadhan, lan munggah haji ing Baitullah lamun
kuoso ing dedalane. Utawi rukun Islam kang dadi hasil sah Islam seseorang dalem
dhohir, iku muhung ngucapaken ing kalimah syahadat loro.
Perilaku Islam adalah : mengucapkan dua kalimah syahadat, dan mendirikan sholat, dan
berpuasa di bulan Ramadhan, dan melaksanakan ibadah haji ke Baitullah bila mampu dan
aman perjalanannya. Adapun rukun Islam yang menjadikan sah nya Islam secara lahiriyah
adalah hanya dengan mengucapkan dua kalimah syahadat.
Jelaslah dari maksud tulisan diatas bahwa seseorang yang telah mengucapkan dua kalimah syahadat,
secara lahiriyah orang tersebut telah menjadi muslim. Dan bagi orang tersebut berlaku hak- hak dan
kewajiban sebagai seorang muslim22 [https://www.blogger.com/blogger.g?
blogID=4446237471469018420#_ftn22] .
Bandingkan dengan tulisan dalam sebuah kitab berjudul : GHOYATUL BAYAN syarah Matan ZUBAD
yang terkenal didunia pesantren karangan Syekh Ibnu Ruslan, pada halaman 6.
“Maka Islam adalah mengucapkan dua kalimah syahadat saja. Maka barang siapa telah
berikrar dengan dua kalimat tersebut, diberlakukanlah hukum hukum Islam didunia dan
ia tidak lagi dihukumi kafir.
Bagi orang yang bisa berpikir jernih, nyatalah tidak ada perbedaan pernyatan Asyaikh dengan
pernyataan ulama lain, dalam hal ini yang telah diwakili oleh Syekh Ibnu Ruslan yang terkenal itu.
Titik permasalahan telah kita temukan, yaitu adanya perbedaan LAFDHI atau DEFINISI, bukan
perbedaan makna.
Jika Rasulullah menggunakan lafadh BINA’UL ISLAM (Bunial Islam ala Khomsin23
[https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4446237471469018420#_ftn23] ), Imam Al- Ghozali dalam kitab
Ihya’u Ulumuddin menggunakan lafadh MABAANIYAL ISLAM24 [https://www.blogger.com/blogger.g?
blogID=4446237471469018420#_ftn24] , sedang beberapa ulama mayoritas memakai lafadh ARKAANUL
ISLAM, maka K.H.A.Rifa'i memakai lafadh A’MAALUL ISLAM (kelakuan Islam), dengan isi dan
kandungan yang sama persis.
Baiklah, untuk lebih meyakinkan kita kita gunakan metode analisa perbandingan dengan mengajukan
beberapa pertanyaan kunci kepada fatwa- fatwa Assyaikh dengan membandingkannya dengan fatwa-
fatwa ulama Ahlussunnah yang lainnya. Bila jawaban yang diperoleh sama, maka berarti dalam masalah
rukun Islam tak ada perbedaan maknawi diantara keduanya.
PERTANYAAN JAWABAN
A, Rifa’I Lainnya
Dari beberapa pertanyaan kunci yang diajukan yang mencakup beberapa masalah yang merupakan
hal- hal paling pokok dari agama Islam Ahlussunnah Waljama’ah tersebut ternyata mendapatkan jawaban
yang persis sama. Oleh karena itu tiada keraguan lagi bahwa tiada perbedaan maknawi antara fatwa-
fatwa Assyaikh K.H.A.Rifa'i dengan fatwa- fatwa ulama Ahlussunnah lainnya. Kalaupun ada perbedaan,
maka sesungguhnya hanyalah perbedaan lafdhi/ definisi saja. Tiada perbedaan yang prinsipiel diantara
keduanya.
Mungkin ada suatu pertanyaan menggelitik, mengapa Asyaikh tidak memakai istilah “Rukun” yang
merupakan istilah populer pada masa itu juga? Padahal bila menggunakan lafadh itu, tidak ada
kesempatan bagi pemerintah Kolonial untuk mengadu domba antar murid- murid beliau dengan
masyarakat umum?
Ternyata K.H.A.Rifa'i sebagai salah seorang ulama Ahlussunnah justru konsisten dengan ke
Ahlussunahannya itu dengan tidak menggunakan lafadh Rukun. Apa sebab? Karena bila sesuai
dengan DEFINISI lafadh “Rukun”, kita dapat terjebak dalam pengertian yang tidak sesuai dengan
keyakinan Ahlussunnah Waljama’ah. Mengapa demikian ? Marilah kita tela’ah.
Dalam kitab Al- Bajuri Juz I halaman 137 dinyatakan definisi rukun sebagai berikut:
“Gambarannya adalah : Sesungguhnya syarat itu bukan bagian dari sesuatu (amalan),
sedangkan rukun merupakan bagian tak terpisahkan dari sesuatu itu”.
Ustadz Abdul Hamid Hakim dalam kitabnya yang biasa dipakai di madrasah madrasah Tsanawiyah
berjudul : Mabaadi’ul Awwaliyah pada halaman 7 menulis demikian:
“ Rukun adalah sesuatu yang ditegakkan diatasnya keabsahan sesuatu (amalan), dan ia
merupakan bagian dari sesuatu itu, seperti membasuh wajah adalah rukun bagi wudhu,
dan takbirotul ihrom adalah rukun dari sholat”.
“ Sedangkan syarat adalah sesuatu yang ditegakkan diatasnya keabsahan sesuatu
amalan, tapi ia bukan merupakan bagian dari sesuatu itu, seperti menutup aurat adalah
sebagai syarat sah sholat, dan air mutlaq sebagai syarat sah wudhu”.
Maka tanpa membasuh wajah, rukun wudhu tak dipenuhi, berarti wudhunya tidak sah alias batal.
Tanpa takbirotul ihrom, rukun sholat tak dipenuhi, berarti sholatnya ditolak.
Begitu juga wukuf di Arofah adalah salah satu rukun haji. Tanpa wukuf di Arofah, hajinya tertolak, karena
kurang rukun. Oleh karena itu jama’ah haji yang sakit parah pun, dibawa dengan ambulan khusus untuk
memenuhi rukun haji itu dengan melaksanakan wukuf walau sebentar.
Puasa Ramadhan harus dengan niat. Karena niat adalah rukun, bagian tak terpisahkan dari amalan
puasa. Tanpa niat, gagallah puasa wajibnya.
Sekarang pertanyaannya :
Seseorang yang meninggalkan sholat lima waktu karena malas, batalkah Islamnya ? Jawabannya
menurut Ahlussunnah adalah tidak, selama masih mengakui kewajiban sholat lima waktu tersebut.
Padahal bila konsisten terhadap Ta’rif / definisi “Rukun” dimana sholat adalah salah satu rukun Islam,
maka ia merupakan bagian dari Islam. Tanpa memenuhi rukun berarti batallah Islamnya alias kafir. Dan
ini adalah keyakinan KHAWARIJ, bukan keyakinan Ahlussunnah Waljama’ah31
[https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4446237471469018420#_ftn31] .
Demikian juga bila seseorang ogah membayar zakat atau malas berpuasa di bulan Ramadhan atau tak
mau berhaji padahal ia sudah mampu, ia tidak dianggap sudah keluar dari Islam. Hanya dianggap
sebagai muslim pendosa yang akan disiksa berat dineraka, namun karena masih adanya iman, pada
akhirnya akan masuk kesorga juga. Inilah inti pelajaran Ahlus Sunnah yang berlawanan dengan
keyakinan Lhowarij bahwa pelaku dosa besar itu dihikumi kafir.
Dalam bab ini akan kita petikkan tulisan- tulisan K.H.A.Rifa'i yang berhubungan dengan rukun iman.
Kami sertakan juga beberapa komentar beliau yang dapat mengantarkan kita lebih mengenal dan
mendalami karya- karya beliau.
Yang pertama dari kitab Syarkhul Iman32 [https://www.blogger.com/blogger.g?
blogID=4446237471469018420#_ftn32] halaman 2- 3:
Setiap rukun iman tersebut dijelaskan oleh beliau dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh
masyarakat kebanyakan. Perhatikan penjelasannya pada kitab Ri’ayatul Himmah I halaman 31:
Uraian tersebut dilanjutkan dengan mengetengahkan beberapa ayat Al-Qur'an beserta tafsirnya. Berikut
ini terjemahannya dalam bahasa Indonesia:
Sekarang kita lanjutkan pada keterangan beliau tentang rukun iman ke dua, yakni percaya kepada
semua malaikat ciptaan Allah. Setelah menjelaskan nama dan kedudukan malaikat- malaikat yang
terpenting, seperti Jibril dan Mikail, Isrofil dan Izrail, diantaranya Asyaikh menjelaskan tentang adanya
malaikat- malaikat pengiring, seperti dalam bait- bait sya’ir berikut ini34 [https://www.blogger.com/blogger.g?
blogID=4446237471469018420#_ftn34] :
Kita teruskan pengkajian kita tentang rukun iman ketiga, termaktub dalam kitab Ri'ayatul Himmah I
halaman 39. Langsung di Indonesiakan:
Sekarang kita sampai pada rukun iman ke enam. Kami kutipkan beberapa uraian beliau yang pokok-
pokok.
Demikianlah sebagian kecil uraian beliau tentang rukun iman. Dan kita akan segera mengkaji tulisan-
tulisan Asyaikh tentang AQO’ID LIMA PULUH, yang tertulis dalam kitab- kitab beliau.
Pembahasan kita sekarang adalah tentang AQO’ID LIMA PULUH. Karena tak ada hal- hal yang special,
maka kita akan kaji bersama secara ringkas saja. Seperti telah kita ketahui bersama, bahwa seorang
muslim diwajibkan memahami keyakinan Tauhid nya dengan mempelajari dalil- dalilnya secara IJMALI
(global). Adapun mengetahui dalil- dalil nya secara TAFSILI (terperinci), hukumnya adalah fardhu
kifayah.41 [https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4446237471469018420#_ftn40] Demikian itu agar iman
seseorang tidak goyang dengan hujjah- hujjah kaum falasifah dan gempuran- gempuran kaum bid’ah.
Dalam hal ini kaum muslimin harus memahami AQO’ID 50, yang mempelajari tentang : Sifat- sifat Wajib
(mesti adanya) bagi Allah, Sifat Muhal dan Jaiz Nya, Sifat- sifat Wajib bagi Rasul, Sifat Muhal dan Jaiz
bagi mereka. Asyaikh K.H.A.Rifa'i dalam kitab- kitab nya menjelaskan dan mengutip dari kitab- kitab yang
MU’TABAROT (punya kredibilitas) dari ulama- ulama Ahlussunnah. Dibawah ini kesimpulan tulisan beliau
tentang AQO’ID 50 42 [https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4446237471469018420#_ftn41] :
2. JAIZ ALLAH.
Jaiz Allah adalah satu, yaitu MEMBUAT ATAU TAK MEMBUAT MUMKIN. Yang dimaksud dengan Mumkin
adalah segala sesuatu yang mungkin adanya, yaitu semua makhluq. Demikian menurut bahasa Asyaikh
K.H.A.Rifa'i :
1. MUMKIN WUJUD BA’DA ‘ADAM, ADANYA SETELAH TAK ADANYA. Seperti manusia wujudnya
didunia adalah setelah didahului tak adanya sebelum lahir.
2. MUMKIN ‘ADAM BA’DA WUJUD. TIDAK ADANYA SETELAH ADANYA. Seperti bumi langit nanti
hancur tak berbekas setelah keberadaannya sekarang.
3. MUMKIN SAYUJAD. SUATU SAAT NANTI AKAN ADA. Seperti hari kiamat, timbangan, mahsyar
adalah sesuatu yang akan diciptakan Allah nanti.
4. MUMKIN FI ASLIHI ALIMALLAHU ANNAHU LA YUJADU.
(Allah mampu menciptakan, tetapi tak diwujudkanNya. Seperti apakah Allah tak mampu membuat
Fir’aun beriman? Pada dasarnya Allah mampu tetapi Dia tak menghendaki hal itu terjadi.43
[https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4446237471469018420#_ftn42]
Demikianlah tentang AQO’ID 50 yang terdapat dalam kitab- kitab karangan Asyaikh K.H.A.Rifa'i.
Mukjizat adalah suatu perbuatan diluar nalar (supra natural) yang dilakukan Para Nabi/ Rasul atas seizin
Allah untuk membuktikan kenabian/ kerasulan mereka. Seperti mukjizat Nabi Musa membelah lautan,
atau mukjizat Nabi Isa membuat burung dari tanah liat, atau mukjizat Nabi Muhammad menyembuhkan
seorang Sahabat yang matanya keluar terkena anak panah.
Irhash, adalah kejadian- kejadian luar biasa atas seizin Allah yang dialami oleh para calon nabi. Seperti
adanya bintang terang saat kelahiran Nabi Isa dan Nabi Muhammad, dibedahnya Muhammad kecil oleh
para malaikat yang dilaporkan oleh pengasuhnya Halimatus Sa’diyah, hancur dan padam nya api abadi
di Persia yang merupakan sesembahan orang Majusi tepat saat kelahiran Muhammad, dan lain-lain.44
[https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4446237471469018420#_ftn43] Demikian definisinya menurut
K.H.A.Rifa'I :
Dan dinamakan IRHASH, (kejadian luar biasa) yang diberikan bagi seseorang yang
dicalonkan sebagai Nabi. Dan dinamakan KERAMAT, bagi seseorang yang nampak
kesalehannya. Disebut MA’UNAH, bagi seorang mu’min awam bila kejadian luar biasa itu
terjadi dalam keadaan berbakti kepada Allah. Disebut ISTIDROJ, seandainya kejadian
luar biasa itu dilakukan oleh orang kafir, atau oleh seorang muslim, yang dapat
membantu maksiyat atau dilakukan dengan TAKABBUR.45
[https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4446237471469018420#_ftn44]
Selanjutnya tentang keramat (KAROMAH) ini secara lebih luas akan dijelaskan dalam bab wali- wali
Allah.
Wali adalah seseorang yang dicintai Allah. Jama’ (plural) nya adalah Auliya, artinya: para kekasih Allah.
Menurut Asyaikh K.H.A.Rifa'I, untuk menjadi seorang wali seseorang harus memenuhi 2 (dua) syarat,
yaitu:
1. Beriman kepada Allah.
2. Bertaqwa kepada Allah.46 [https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4446237471469018420#_ftn45]
Sesuai dengan firman Allah pada Surat Yunus, ayat 62- 63:
“ Ingatlah, sesungguhnya para wali- wali Allah itu, tiada ketakutan pada mereka dan
tiada mereka berduka cita. (Yaitu) mereka yang beriman dan mereka semuanya
bertaqwa”
Allah memang memberikan keistimewaan kepada mereka yang SALEH karena cinta Nya dengan
memberikan KAROMAH, suatu kemampuan yang diluar kemampuan akal untuk menalarnya. Akan tetapi
kemampuan yang diluar batas- batas nalar itu tidak boleh menjadi ukuran bahwa seseorang boleh
disebut sebagai wali. Banyak orang yang mempunyai kekuatan super natural (KHORIQUL 'ADAH),
namun mereka sebenarnya adalah kekasih- kekasih setan karena mereka ingkar kepada Allah dan
banyak melakukan dosa, sebagai contoh adalah para penyihir Fir’aun. Pernyataan tersebut bersesuaian
dengan tulisan seorang Maha Guru Universitas Al- Azhar, Ibrahim “Athwah ‘Audl dalam kata pengantar
terhadap kitab”JAMI’ KAROMATIL AULIYA”, demikian:
“ Makna Wali adalah orang yang terus menerus mencintai Allah sambil terus menerus
berbuat taat kepada Nya. Dengan demikian Allah senantiasa melimpahkan kepadanya
Karomah (kemuliaan) dan perlindungan. Demikian pula telah dikatakan para wali itu orang
yang secara terus menerus perbuatannya cocok dengan syara’ yang mulia. Siapa yang
perbuatannya melanggar syara’, maka ia bukanlah seorang wali meskipun ia bisa terbang
di udara maupun berjalan diatas air”.47 [https://www.blogger.com/blogger.g?
blogID=4446237471469018420#_ftn46]
Lebih jauh bahkan Asyaikh K.H.A.Rifa'i dengan tulisannya menyatakan bahwa perbuatan super natural
itu jangan sampai menjadi tujuan seseorang didalam mencari ilmu dan beribadah seperti yang banyak
dilakukan dan difahami orang pada saat itu, tetapi seseorang harus mencari KAROMAH HAKIKI
(Karomah sebenarnya) yang nilainya lebih unggul disisi Allah. Itulah yang harus selalu dicari dan harus
dicapai oleh segenap umat Islam. Perhatikan tulisan tulisannya:
Bandingkan dengan pernyataan Abi Muhammad Al- Murtaisy tatkala dikatakan kepada beliau bahwa si
Fulan sanggup berjalan diatas air. Maka beliau berkata:
“ Bagiku, seorang yang ditetapkan Allah sanggup melawan hawa nafsunya, adalah lebih
hebat dari pada orang yang sanggup berjalan diatas air atau terbang di awang- awang”49
[https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4446237471469018420#_ftn48]
Perlu dicatat, pernyataan K.H.A.Rifa'i tersebut ditulis pada pertengahan abad kesembilan belas! Diukur
pada zaman sekarang pun pernyataan tersebut masih dapat dikatakan sangat modern. Apalagi diukur
pada saat itu dimana suasana klenik dan takhayul masih sangat tebal di tengah- tengah masyarakat.
Menurut beliau karomah yang harus digapai dan di cita- cita kan oleh kita adalah Karomah Hakiki seperti
telah disebutkan diatas. Yaitu kemampuan untuk MEROBAH ADAT MAKSIAT (Khoriqu Adatil Ma’aasiy)
menjadi perbuatan Ta’at. Sebagaimana telah dilakukan oleh para Wali Songo yang telah mampu
merobah tatanan Hindu menjadi masyarakat Muslim. Itulah sebenar- benar karomah yang wajib ditiru dan
dicari. Beliau selanjutnya menyatakan:
“Maka kemudian Karomah Hakiki adalah sesuatu hal yang benar- benar dapat
menghasilkan jiwa yang ISTIQOMAH”.
Pernyataan beliau dalam kitab Syarikh- Al-Iman halaman 76 tersebut bersesuaian dengan pernyataan
pensyarah Al- Hikam:
“ Karena makna Karomah yang Hakiki adalah teguh (Istiqomah) dalam mengabdi kepada
Allah”.50 [https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4446237471469018420#_ftn49]
Jiwa yang istiqomah adalah jiwa yang tegak dan langgeng dalam menjalankan syari’at agama Islam,
hatinya dipenuhi dengan sifat- sifat terpuji (Mahmudat) dan menjauhkan diri dari pekerti jahat
(Madzmumat), serta menghindarkan diri dari segala noda dan dosa, bahkan dosa- dosa kecilpun. Hatinya
tak pernah terlepas dari mengingat Allah. Segala perilakunya baik lahir maupun batin semata- mata
dimaksudkan untuk mendapatkan ridho Allah. Demikian perilaku para Auliya.
K.H.A.Rifa'i menulis dalam kitab- kitabnya bahwa seorang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah
haruslah berusaha menghindar dari melakukan dosa, baik dosa kecil, besar, maupun dosa dosa yang
dapat menyebabkan kekufuran, sebelum ia berusaha untuk mengerjakan amal- amal saleh. Menghindari
dosa adalah harus lebih diutamakan daripada melakukan amal saleh. Sesuai kaidah usul fikih yang
menyatakan :
“ Meninggalkan perkara yang merusak harus lebih diutamakan daripada membangun kebaikan”.
“ Apabila kamu sekalian menjauhkan diri dari dosa- dosa besar yang kularang darinya, tentu kami
hapuskan kesalahan/ dosa- dosa kecil kalian dan kami akan masukkan kalian ketempat yang mulia
(sorga)”.
Dibawah ini daftar dosa- dosa, baik dosa kecil, dosa besar maupun dosa kufur yang tertulis dalam kitab-
kitab K.H.A.Rifa'i:
A. DOSA KUFUR.
Pelakunya menjadi kafir bila melakukannya dengan kesadaran dan atas kemauan dan pilihan sendiri (
ikhtiyari), yaitu 51 [https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4446237471469018420#_ftn50] :
Pelakunya tak menjadi kafir, tetapi dihukumi fasik, hilang sifat adil (‘Adalah) nya. Mereka tak boleh
menjadi saksi pengantin, makruh solat dibelakang mereka bahkan haram bila kejahatannya terang
terangan dilakukan, juga haram mengangkatnya menjadi imam sholat. Mereka akan disiksa dengan berat
di neraka bila mati belum bertobat, namun bila mereka masih mempunyai iman walau seberat zarah,
akhirnya setelah perhitungan (ba’dal hisab), mereka akan dimasukkan kesorga kekal selama-
lamanya. Lihat perbedaannya dengan keyakinan Khowarij.
Catatan: dalam kitab- kitab K.H.A.Rifa'i , dosa nomer 43- 46 dihitung satu.
XII. TAUBAT.
Diantara sifat- sifat Allah adalah Dia Maha Pengampun dan Penerima taubat hamba Nya. Betapapun
besarnya dosa seseorang, bila ia bertobat dengan benar dan menyesali perbuatannya, ia akan diampuni
Allah, dan segala dosanya akan dihapus sehingga tidak berbekas.
Taubat yang benar atau disebut TAUBAT NASUHA, haruslah memenuhi beberapa syarat dan rukun,
yaitu:
A. SYARAT :
Bila maksiyat itu berupa meninggalkan sholat dan zakat atau meninggalkan puasa bulan Ramadhan,
maka rukunnya ditambah satu, yaitu harus menqodho sholat zakat dan puasanya.
Bila maksiyatnya berupa memakan harta orang lain/ korupsi/ GHOSOB, maka ditambah satu rukun lagi,
yaitu ia harus mengembalikan harta yang ia makan, atau harus minta dihalalkan/ direlakan kepada orang
yang pernah dirugikan.55 [https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4446237471469018420#_ftn54]
Maka dengan bertobat dan menyesali segala perbuatan dosanya, seseorang bisa bersih kembali, suci
kembali bagaikan kapas bersih yang tiada bernoda. Demikian karena Allah adalah Zat yang Maha
Pengampun dan Maha Penyayang.
1 [https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4446237471469018420#_ftnref18] 8 Bandingkan
dengan komentar Sayid Qutub : FiDhilalil Qur’an dalam tafsir ayat yang sama, juga dengan komentar
Isma’il Ibnu Katsier: Tafsir Al- Qur’anil Adhim. Darul Ma’rifah Beirut. Juz I.P. 520.
1 [https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4446237471469018420#_ftnref19] 9 Assyaik Abdul
Qodir Aljaelani : Al- Ghunyah Litholiby Thoriqil Haq. Darul Fikri. Beirut. P. 2. Bab awal dan P. 62. Pasal Al-
Iman Qoulun bil Lisan wa Ma’rifatun bil Janan, wa Amalun bil Arkan.
2 [https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4446237471469018420#_ftnref20] 0 Dr. T.H.Pigeaud:
Literature of Java vol II/ LOr 7522- R- 16.010. Takhyira, targuma in prose on syahadat etc. by Ahmad
Rifa'i, copy made for Dr.Sn.Hurgronye, 1903.
2 [https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4446237471469018420#_ftnref21] 1 Ibid.. Lor
11.004- R- 16.010- Arabic binding no.3 kitab Tarika, Poem, with colophon dated 1257/ 1841
3 [https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4446237471469018420#_ftnref35] 5 Muhammad
Nawawi Al- Bantani: Qotrul Ghoits. Matba’ah dan Wa maktabah Raja Murah Pekalongan. Halaman 7,
tentang 104 kitab untuk para nabi.
3 [https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4446237471469018420#_ftnref36] 6 Asyaikh
K.H.A.Rifa'I: Ri’ayatul Himmah P 28.
4 [https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4446237471469018420#_ftnref39] 0 Bandingkan
dengan : Ibrohim bin Muhammad Al- Baijuri: Tuhfatul Murid al JauharatuttTauhid. Mustofa Babil Halabi
Mesir. P 65.
4 [https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4446237471469018420#_ftnref42] 3 Ri’ayatul
Himmah I P 93- 94. Bandingkan dengan : Nawawi Al- Bantani : Nurul Dholam.P 10.
4 [https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4446237471469018420#_ftnref43] 4 Abdus Salam
Harun : Tahdzib Siroh Ibnu Hisyam. Mu’assasah Arrisalah. Beirut. P 34- 35. Lihat pula : Maulidul Barzanji,
bagian kisah Muhammad sewaktu kecil.
4 [https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4446237471469018420#_ftnref44] 5 Dr.TH.Pigeaud :
Literatureof Java vol II. LOr 8568- R- 16.010: Sarhu I-man, treatise on theology, partly in prose partly in
popular rhyme, by Ahmad Ripangi. P 76.
4 [https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4446237471469018420#_ftnref45] 6Ibid. LOr 7522-
R- 16.010. Takhyira, targuma in prose on syahadat atc. by Ahmad Rifa'i, copy made for Dr.Sn.Hurgronye,
1903.
4 [https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4446237471469018420#_ftnref46] 7 K.H.Saefuddin
Zuhri: Sejarah Kebangkitan Islam. P 249.
4 [https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4446237471469018420#_ftnref47] 8 K.H.A.Rifa'i :
Syarikh- Al- Iman. Ringkasan halaman 78- 79.
4 [https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4446237471469018420#_ftnref48] 9 Al- Arif Billah
Ahmad bin Muhammad bin Ajibah al-Husna: Ieqodhul Himam fi Syarhil Hikam. Penerbit Sinqofuroh,
Jeddah. P 175.
5 [https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4446237471469018420#_ftnref49] 0 Ibid. P 336.
5 [https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4446237471469018420#_ftnref50] 1 Dr.TH.Pigeaud:
Literature of Java vol II.LOr 11.002- R.16.010 Riayat al- himmat, by Ahmad Rifa'i, treatise on Muslim
theology and religious law (fiqh) in verse (stanzas of 4 rhyming lines of about 12 syllables) dated 1266
A.H (1849 A.D) Jilid II Bab dosa- dosa.
0 Tambahkan komentar
Publikasikan Pratinjau