OLEH:
RUSDIN
03420160091
C1
1
DAFTAR ISI
Judul
Abstrak..............................................................................................................ii
Lembar Persetujuan..........................................................................................iii
Kata Pengantar..................................................................................................iv
Daftar Isi...........................................................................................................v
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................3
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan.............................................................3
B. Saran.....................................................................................................31
Daftar Pustaka...................................................................................................vi
Biografi Penulis................................................................................................vii
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kolonial yang akan dibahas pun akan dipersempit menjadi kolonial Belanda.
Dikarenakan merupakan bangsa yang paling lama menjajah Indonesia, sehingga
dapat lebih mudah mencari informasi bangunan peninggalannya/bangunan
pengaruh Belanda.
3
Mengingat banyak perbedaan kebudayaan di tiap daerah, maka timbul pertanyaan,
apakah peran dan pengaruh arsitektur kolonial sama di setiap daerahnya? Maka,
penulispun menerucutkan peran dan pengaruh arsitektur kolonial ini pada satu
daerah di Sulawesi. Dikarenakan agar berbeda dengan satu teman-teman satu
kelas Arsitektur Indonesia yang sebagian besar mengambil lokasi di Jawa. Dan
secara lebih mengerucut lagi, hanya akan dibahas satu bangunan, yaitu Museum
Kota Makassar di Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang melatar belakangi didirikannya banguna besejarah.
2. Apa fungsi dan peranan keletakan banguna besejarah.
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
1) TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui penyebab didirikannya banguna besejarah .
2. Untuk mengetahui fungsi dan peranan banguna besejarah.
2) MANFAAT
1. Dapat mengetahui penyebab didirikannya banguna besejarah.
2. Dapat mengetahui fungsi dan peranan banguna besejarah.
4
BAB II
5
Polombangkeng dan sebagainya serta memaksa pengakuan raja-raja Bugis
atas kekuasaan tersebut.
Gambaran tersebut menunjukkan bahwa pada masa pemerintahan
raja Gowa IX banyak terjadi perang dalam usaha memperluas daerah
kekuasaan kerajaan, dalam situasi demikianlah kerajaan Gowa mulai
mengenal Benteng Pertahanan. Perkembangan Makassar sebagai bandar
niaga dan pangkalan pertahanan diawali ketika raja Gowa IX Daeng
Matunru Karaeng Tomappakrisik Kallonna (1510-1546) memerintahkan
pemindahan ibukota kerajaan dari daerah Tamalate ke daerah Somba Opu
dan menetapkan Somba Opu sebagai ibukota dan pusat kegiatan
administrasi pemerintahan dan perekonomian kerajaan Gowa.
Benteng Somba Opu sebagai benteng pertahanan ibukota kerajaan
Gowa terletak di Kelurahan Benteng Somba Opu Kecamatan Barombong
Kabupaten Gowa, letak astronomisnya adalah 5˚ 11̍ 22̎ LS, 119˚ 24̍ 4̎ BT
dengan ketinggian 0-10 meter di atas permukaan laut. Lokasinya
berbatasan langsung dengan Kota Makassar. Lokasi situs mudah dicapai
dengan kendaraan roda dua atau roda empat melaui Jl. Abdul Kadir
melewati jembatan yang melintasi sungai Jenebereng. Tempat ini sekarang
telah dijadikan objek wisata miniatur Sulawesi Selatan. Terdapat berbagai
kumpulan rumah adat yang mewakili etnis dan berbagai daerah yang ada
di Sulawesi Selatan. Di tengah kompleks benteng juga dapat dijumpai
museum “Pattingalloang”.
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, benteng Somba Opu
pertama kali dirintis oleh Raja Gowa IX Karaeng Tumapakrisik Kallonna
(1510-1574) dikarenakan ia ingin mengikuti nenek moyangnya yang
dikenal sebagai pelaut ulung, selain itu ia juga terobsesi menjalin
hubungan dengan dunia luar. Ketika istana kerajaan Gowa dipindahkan
dari bukit Tamalate ke daerah Somba Opu, maka bekas istana di Tamalate,
Baruga Loea, kemudian difungsikan sebagai tempat perundingan, yang
kabarnya menurut informan sejarah Gowa ‘Djufri Tenribali’, memang
memiliki kharisma. Semua perundingan yang dilakukan di tempat itu
6
selalu berhasil. Itulah sebabnya kalangan raja-raja banyak yang berwasiat
bila meninggal dikebumikan di Bukit Tamalate, antara lain Sultan
Hasanuddin bersama putra, ayah, dan kakeknya. Menurutnya pula yang
pertama kali dibangun di Somba Opu yaitu istana kerajaan, maka
disekeliling istana itu pula dibangun benteng dari gundukan tanah, lalu
menyusul sebuah dermaga. Usaha untuk menjamin keamanan kerajaan
dibangunlah benteng-benteng pertahanan. Dalam beberapa sumber sejarah
menyebutkan bahwa raja Gowa IX Karaeng Tumaparisik Kallonna yang
mengawali pembangunan Benteng Kale Gowa dan Benteng Somba Opu
dari gundukan tanah liat. Hal inilah yang mendukung mengapa kerajaan
Gowa memiliki benteng pertahanan yang cukup banyak yaitu 14 buah
antara lain:
1. Benteng Somba Opu
2. Benteng Tallo
3. Benteng Ujung Tanah
4. Benteng Ujung Pandang
5. Benteng Mariso
6. Benteng Bontorannu
7. Benteng Panakkukang
8. Benteng Bayoa
9. Benteng Garassi
10. Benteng Barombong
11. Benteng Kale Gowa
12. Benteng Ana’ Gowa
13. Benteng Galesong
14. Benteng Sanrobone.
7
lalu terdiri atas tiga tingkatan yaitu pertama atap, kedua badan rumah,
ketiga bawah atau kaki bangunan yang disertai umpak, biasanya istananya
sangat indah dan megah. Sumber sejarah lokal tidak menunjukkan dengan
tepat dimana benteng tersebut berada, kebanyakan sumber sejarah hanya
menggambarkan benteng tersebut secara fisik dengan pengagungan dan
kebanggaan yang hanya bercerita tentang pertempuran yang dilakukan di
sana, bukan deskripsi tentang benteng. Sumber sejarah yang dapat
digunakan untuk mendeskripsikan benteng ini secara objektif hanyalah
peta yang dibuat oleh Valentjin dan Schultzen pada tahun 1638.
Pada tanggal 24 Juni 1669 benteng pertahanan kebanggaan
Makassar ini jatuh ke tangan Belanda dan sekutunya kerajaan Bone dan
dibumiratakan dengan tanah. Oleh karena kekurangan tentara di pihak
Belanda untuk mendudukinya maka oleh Speelman benteng ini
dibumiratakan dengan tanah dengan menggunakan ribuan pon alat
peledak.
Benteng Somba Opu berdenah segi empat panjang dengan luas
363,00 m2, tinggi dindingnya 7 meter, tebal dinding benteng bervariasi
antara 3,66 m - 4,10 m dan 10,3 m – 10,5 m. Pintu benteng terdiri atas dua
yaitu terletak di sisi Utara bagian Barat dan pintu lainnya terletak di bagian
Selatan (Deskripsi peta VOC 1638 dalam Sonda 1999: 45). Indikasi
peletakan pintu berukuran 4,5 meter dengan tinggi 4 meter. Bahan baku
kontruksi Benteng Somba Opu terdiri atas tanah liat dibangun pada tahun
1510 oleh raja Gowa IX Karaeng Tumappakrisik Kallonna dan
disempurnakan pada masa pemerintahan raja Gowa X Manrigau Daeng
Bonto Lakiung (1546-1565). Kontruksi dinding benteng ditingkatkan
dengan menggunakan batu-bata, batu padas pada kaki benteng dan bastion
dan tanah isian di tengahnya. Ukuran batu padas bervariasi antara lain:
ukuran batu padas terbesar yaitu; Panjang 56 cm, lebar 29 cm, tebal 18 cm,
dan ukuran batu padas terkecil: Panjang 22 cm, lebar 12 cm, tebal 3 cm,
ukuran bata terbesar yaitu panjang 33 cm, lebar 22 cm, tebal 4 cm.
8
Bentuk dan ukuran celah yang ada pada kaki benteng bagian atas
berukuran 2,65 cm, tinggi 46 cm, lebar kaki celah 42 cm, dengan
kedalaman 56 cm. Tinggi tembok bastion ± 7-8 meter, ketebalan dinding
berukuran 3,60 cm. Pada dinding bagian barat terdapat celah yang
menyerupai pintu dengan ukuran lebar 3.60 cm bagian dalam, dan 4,80 cm
bagian luar, serta tinggi 2,84 cm. Pada bagian luar tedapat lengkungan
setengah lingkaran berukuran garis tengah 11,30 m, tebal 3,12 m dengan
diameter lengkungan 11,40 m, panjang lengkungan bagian luar 27,50 m
dengan tinggi 12,27 m.
Keseluruhan barang yang digunakan adalah bata pada bagian atas
berukuran panjang 33 cm, lebar 20 cm, tebal 5 cm, dan panjang 20 cm,
lebar 15 cm, tebal 2,4 cm. Jenis batu padas yang merupakan dasar
bangunan lengkungan berukuran panjang 82 cm, lebar 41 cm, tebal 22 cm,
dan panjang 91 cm, lebar 41 cm, tebal 23 ccm, serta panjang 56 cm, lebar
31 cm, tebal 19 cm, jarak celah dari bastion bagian barat adalah 62,65 m.
Atau dapat dikatakan bahwa tiap sisi dari Benteng Somba Opu berukuran
kurang lebih 2 kilometer dengan tinggi 7-8 meter, tebalnya rata-rata 12
kaki. Terdapat 4 buah selokoh berbentuk setengah lingkaran untuk
menempatkan senjata-senjata berat, seperti meriam. Sebuah selokoh paling
besar terdapat pada sudut Barat Laut yang diberi nama Baluwara Agung.
Di Baluwara Agung inilah di tempatkan meriam besar dan dianggap sakti
yang dimiliki oleh Kerajaan Gowa yang dikenal dengan nama Meriam
Ana’ Mangkasara’ (Anak Makassar).
Benteng Somba Opu pada zaman kerajaan silam sangat besar
pengaruhnya dalam menjadikan Gowa sebagai kerajaan Maritim terbesar
di kawasan timur Indonesia. Benteng tersebut tinggal puing-puing dan
menjadi saksi keperkasaan dan kebesaran Gowa dimasa silam, setelah
dihancurkan dengan ribuan pon bahan peledak pada serangan Belanda di
bawah pimpinan C.J. Speelman. Pada tahun 1980-an, benteng ini
ditemukan kembali oleh sejumlah ilmuan, kemudian baru pada tahun
1990, bangunan benteng yang sudah rusak direkonstruksi sehingga
9
tampak lebih indah. Ilmuwan Inggris, William Wallace, menyatakan,
Benteng Somba Opu adalah benteng terkuat yang pernah dibangun orang
nusantara. Benteng ini adalah saksi sejarah kegigihan Sultan Hasanuddin
serta rakyatnya mempertahankan kedaulatan negerinya. Pernyataan
Wallace bisa jadi benar. Begitu memasuki kawasan Benteng Somba Opu,
akan segera terlihat tembok benteng yang kokoh. Menggambarkan sistem
pertahanan yang sempurna pada zamannya. Meski terbuat dari batu bata
merah, dilihat dari ketebalan dinding, dapatlah terbayangkan betapa
benteng ini amat sulit ditembus dan diruntuhkan.
Ada tiga bastion yang masih terlihat sisa-sisanya, yaitu bastion di sebelah
barat daya, bastion tengah, dan bastion barat laut. Yang terakhir ini disebut
Buluwara Agung. Di bastion inilah pernah ditempatkan sebuah meriam
paling dahsyat yang dimiliki orang Indonesia. Namanya Meriam Anak
Makassar. Bobotnya mencapai 9.500 kg, dengan panjang 6 meter, dan
diameter 4,14 cm.
Sebenarnya, Benteng Somba Opu sekarang ini lebih tepat dikatakan
sebagai reruntuhan dengan sisa-sisa beberapa dinding yang masih tegak
berdiri. Bentuk benteng ini pun belum diketahui secara persis meski upaya
ekskavasi terus dilakukan. Tetapi menurut peta yang tersimpan di Museum
Makassar, bentuk benteng ini adalah segi empat.
Di beberapa bagian terdapat patok-patok beton yang memberi tanda bahwa
di bawahnya terdapat dinding yang belum tergali. Memang, setelah
berhasil mengalahkan pasukan Kerajaan Gowa yang dipimpin Sultan
Hasanuddin, Belanda menghancurkan benteng ini. Selama ratusan tahun,
sisa-sisa benteng terbenam di dalam tanah akibat naiknya sedimentasi dari
laut. Secara arsitektural, begitu menurut peta dokumen di Museum
Makassar, benteng ini berbentuk segi empat dengan luas total 1.500
hektar. Memanjang 2 kilometer dari barat ke timur. Ketinggian dinding
benteng yang terlihat saat ini adalah 2 meter. Tetapi dulu, tinggi dinding
10
sebenarnya adalah antara 7-8 meter dengan ketebalan 12 kaki atau 3,6
meter.
Benteng Somba Opu selanjutnya direnovasi oleh raja-raja Gowa
berikutnya, hingga bentuknya sempurna yang terbuat dari susunan batu
merah. Benteng Somba Opu merupakan benteng induk dalam wilayah
kerajaan Gowa. Di sepanjang pesisir pantai dibangun anak benteng untuk
memperkuat benteng induk. Benteng Somba Opu sebagai ibu kota
kerajaan, di situ juga dibangun istana yang dilindungi benteng besar di
sebelah timurnya dengan Benteng Anak Gowa. Sedang di sebelah
timurnya terdapat Benteng Tamalate. Di depan benteng Somba Opu juga
telah dibangun sebuah bandar niaga yang letaknya sangat strategis, karena
sering disinggahi oleh pedagang yang mencari rempah-rempah di wilayah
Timur nusantara ini.
Pada dasarnya pemindahan kerajaan Gowa ke pesisir pantai telah
mengubah watak kerajaan Gowa yang Agraris menjadi kerjaan Maritim.
Obsesi Karaeng Tumapakrisik Kallonna akhirnya menjadi kenyataan,
hubungan dengan dunia luar terbuka lebar. Sejalan dengan berkembangnya
pelayaran dan perdagangan di Asia Tenggara akhirnya muncullah
kekuatan baru di Asia Tenggara yaitu kerajaa Gowa dengan ibukotanya
Somba Opu yang berkembang menjadi kota bandar yang besar. Hal ini
didukung dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511 dan
kemunduran bandar-bandar niaga di daerah Jawa, maka kapal-kapal
dagang dari luar negeri mengalihkan perhatiannya ke Somba Opu.
Berdatanganlah pedagang dari Eropa, di antaranya Belanda, Inggris, dan
Portugis serta pedagang dari Negara Asia. Ramainya bandar niaga Somba
Opu saat itu, sehingga praktis menjadi Bandar Niaga Internasional.
B. Penyebab Keruntuhan Benteng Somba Opu
Kedatangan pedagang dari Eropa terutama dari Belanda ternyata
punya maksud lain. Mereka tidak saja melakukan perdagangan rempah-
rempah tetapi sekaligus ingin menguasai perdagangan. Pada masa
pemerintahan Raja Gowa XIV Sultan Alauddin, Belanda berupaya
11
menguasai perdagangan. Mereka berupaya membujuk Sultan agar mau
melakukan kerjasama dengannya dalam bentuk perjanjian dagang.
Namun, bujukan itu ditolak oleh Sultan, karena Sultan sudah mengetahui
akal licik orang-orang Belanda tersebut. Apalagi beberapa isi perjanjian itu
sangat merugikan golongan pribumi. Misalnya, Belanda melarang orang-
orang Makassar melakukan perdagangan rempah-rempah di Maluku dan
Banda. Usul perjanjian itu ditolak keras oleh Sultan. Bahkan Sultan
Alauddin pada masa itu mengeluarkan kata-kata: “Kalau Belanda
melakukan larangan perdagangan rempah-rempah, maka berarti itu sama
saja Belanda mengambil nasi dari mulut kami”.
Pada tahun 1607, Belanda memainkan peranan dengan mengutus
Abraham Matyz untuk menghadap Raja Gowa dan membujuk agar Sultan
mau bekerjasama yang tidak lain pengakuan monopoli perdagangan
rempah-rempah di Maluku. Bujukan tersebut ditolak oleh Sultan.
Akibatnya timbul perselisihan antara kedua belah pihak. Tahun 1615
Belanda menutup kantor perwakilan dagangannya di Somba Opu. Pada
tanggal 10 Desember 1616, datang kapal Belanda De Eendrach sandar di
pelabuhan Benteng Somba Opu, juru mudi bersama 15 orang awaknya
turun dari tangga kapal memperlihatkan kecongkakannya seakan-akan
tidak menghargai petugas pelabuhan. Atas tindakannya itu Sultan marah,
petugas pelabuhan dan prajurit kerajaan Gowa menyerang awak tersebut,
akibatnya semua awak kapal terbunuh. Atas tindakan itu, Belanda marah
dan ingin melakukan serangan balasan. Tahun1620-1630 pecah perang
antara Gowa dengan Belanda di perairan Maluku yang menelan banyak
korban. Tahun 1632, Antony Coen dan anggota Raad Van Indie (Dewan
Hindia) dari Batavia datang ke Gowa menghadap Sultan untuk
membicarakan perdamaian dengan Gowa, tapi upaya itu menemui
kegagalan.
Tahun 1634, dengan kekuatan prajurit Kerajaan Gowa, telah
berhasil menduduki perairan Sulawesi Utara seperti Gorontalo dan
Tomini. Gowa juga mengirimkan armadanya ke Maluku untuk membantu
12
perjuangan rakyat Maluku melawan Belanda. Di Maluku Belanda
melakukan perbuatan keji, membunuh rakyat yang tak berdosa dan
menghancurkan pohon-pohon cengkeh mereka. Tahun 1635 perang
kembali berkobar dan menewaskan Van Liet dan 5 orang rekannya.
Setelah Sultan Alauddin turun dari tahta, ia digantikan oleh anaknya
Sultan Malikkussaid untuk menjadi raja Gowa ke XV. Pada masa
pemerintahan beliau, Gowa mencapai puncak keemasannya. Selain kuat,
juga didukung oleh kepiawaian Mangkubuminya I Mangada Cinna Daeng
Sitaba Karaeng Pattingalloang yang menguasai berbagai bahasa asing, di
antaranya Belanda, Prancis, Latin, dan Portugis. Pada masa itu, pengaruh
kerajaan Gowa mencakup beberapa kawasan timur Nusantara ini. Pada
bagian timur sampai di kepulaun Marege (Australia), bagian barat sampai
di kerajaan Kutai, di bagian Selatan sampai pulau Lombok, Sumbawa dan
Timor dan ke utara sampai di pulau Mangindanao (Mindanao) Filipina
Selatan.
Karaeng Pattingalloang selain menjabat mangkubumi juga
merangkap Karaeng Assulukang (Menteri Luar Negeri). Dengan diplomasi
yang hebat, Gowa berhasil menjalin hubungan persahabatan dengan
beberapa kerajaan dari luar negeri, di antaranya raja muda Portugis, Gowa
(India), Marchante di Mosulipatan (India), Gubernur Spanyol. Raja
Inggris, Raja Kastilia di Spanyol, serta Mufti Besar Arabia di Mekkah.
Belanda yang berupaya menguasai perdagangan di belahan Timur
Nusantara ini, sehingga pada tanggal 25 Agustus 1653 Raja Gowa Sultan
Malikkussaid mengisyaratkan pada rakyat yang berada di wilayah
kekuasaanya untuk tetap siap siaga melawan Pasukan Belanda. Setelah
beberapa bulan lamanya beliau mengeluarka seruan, beliau wafat pada 5
November 1653 dan mendapat gelar Anumerta Tumenanga Ri Papan
Batunna. Baginda kemudian digantikan oleh putranya, I Mallombasi
Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin untuk menjadi Raja Gowa XVI.
Raja Gowa Sultan Hasanuddin punya kewajiban untuk melindungi
kerajaan sahabat bawahannya, mulai dari sepanjang pesisir Pulau Sulawesi
13
sampai Maluku, Mandar, Toli-Toli, Manado, Gorontalo, Banggai, Ternate,
Ambon, Banda, dan Manggarai.
Tahun 1655 terjadi perang di Buton yang dipimpin langsung oleh
Sultan Hasanuddin. Benteng Pertahanan Belanda di Buton berhasil direbut
dan 35 orang Belanda terbunuh. Belanda menyadari, dengan kekuatan
armada Hasanuddin yang menelan kerugian besar di pihak Belanda,
sehingga ia mengutus Williem Van Der Beek (bekas Gubernur Belanda di
Maluku) untuk menawarkan perdamaian dengan Raja Gowa. Namun,
karena persyaratan isi perjanjian perdamaian itu sangat merugikan Gowa,
sehingga Sultan Hasanuddin menolaknya.
Tahun 1657 Belanda mengutus lagi Williem Basting dengan
membawa ultimatum berupa ancaman kepada Sultan Hasanuddin.
Ultimatum itu dibalas oleh Sultan Hasanuddin dengan surat yang nadanya
keras. Sultan Hasanuddin tidak mau menyerah. Atas tindakannya itu,
Belanda marah, dan memperkuat armadanya untuk menyerang Gowa. 31
kapal perang dan 2700 tentara terlatih yang dipimpin Johan Van Dam
dibantu oleh John Truitman. Penyerangan Belanda itu dipersiapkan selama
2 tahun. Pada awal tahun 1660 berangkatlah armada itu menuju Ambon.
Maksudnya memancing Sultan Hasanuddin agar meninggalkan pangkalan
di Makassar. Setibanya di perairan Makassar pada 6 Juni 1660 Benteng
Panakkukang diserang. Belanda kemudian pura-pura berlayar menuju ke
Benteng Somba Opu tempat kedudukan Sultan. Pasukan Gowa sebagian
besar meninggalkan Benteng Panakkukang menuju Benteng Somba Opu,
karena menyangka pemusatan serangan akan dilakukan di Benteng Somba
Opu. Pada saat itulah pasukan Belanda menyerang dan merebut Benteng
Panakkukang pada 12 Juni 1660.
Dengan semangat Ayam Jantan dari Timur, Sultan Hasanuddin
memilih mati daripada menyerah. Atas serangan itu lebih dari 200 orang
Portugis di Makassar diusir dan armadanya dihancurkan. Untuk
memudahkan menundukkan pasukan Gowa yang dipimpin Sultan
Hasanuddin, Belanda memainkan peran politik Devide et Impera. Belanda
14
mengadu domba antara Sultan Hasanuddin dengan saudaranya Arung
Palakka dari Bone. Karena sebelumnya sudah ada benih permusuhan
antara Arung Palakka dengan Sultan Hasanuddin, itulah yang ditiupkan
oleh Belanda, sehingga misinya berhasil. Arung Palakka kemudian
bergabung dengan Belanda. Kesempatan itulah dimanfaatkan oleh Belanda
untuk menyerang Gowa. Pada tahun 1662 kapal Belanda De Walvis masuk
ke bandar Somba Opu. Pengawal pantai mencegatnya dan terjadilah
peperangan. 16 pucuk meriam berhasil direbut pasukan Gowa. Untuk
menghadapi serangan besar-besaran Belanda itu, Sultan Hasanuddin harus
menundukkan kerajaan yang berhasil masuk bujukan Belanda. Buton
harus dibebaskan dengan mengerahkan 700 buah perahu dan 20.000
prajurit di bawah pimpinan Laksamana Alimuddin Karaeng Bontomarannu
beserta Sultan Bima dan Raja Luwu yang saat itu diangkat menjadi
Laksamana muda Kerajaan Gowa memimpin armada tersebut.
Tahun 1666 Buton berhasil diduduki oleh Karaeng Bontomarannu.
Namun kemudian pasukan Belanda yang dipimpin Speelman dibantu
Arung Palakka dan pasukannya, akhirnya berhasil merebut kembali Buton.
Rapat yang dilaksanakan Belanda pada 5 Oktober 1666 memutuskan untuk
segera menaklukkan Gowa dan merebut Makassar. Atas keputusan itu
Belanda mengerahkan armadanya ke Makassar dengan 21 kapal perang
dilengkapi 600 tentara Belanda, ditambah 400 laskar pasukan Arung
Palakka dan pasukan Kapten Jongker dari Ambon. Armada merapat di
Somba Opu pada 15 Desember 1666. Kondisi di Kota Makassar saat itu
terjadi ketegangan menunggu ditaburnya gendang perang. Pedagang asing
yang bermukim di sana menghentikan kegiatannya dan membuat
perlindungan. Sementara Hasanuddin juga mempersiapkan seluruh
Benteng dilengkapi dengan meriam dan makanan untuk beberapa bulan
lamanya Sepanjang pantai, pasukan kerajaan Gowa disiapkan. Di Benteng
Somba Opu, pusat pertahanan Gowa dipimpin langsung Sultan
Hasanuddin bersama Raja Tallo ‘Harun Al-Rasyid’. Karaeng Bonto
15
Sunggu dipercayakan memimpin Benteng Pannyua dan Karaeng Popo
memimpin pertahanan di Benteng Panakkukang.
Tanggal 19 Agustus 1667, Benteng Galesong diserang dengan
meriam dan pasukan Belanda dibantu sekutunya berhasil membakar
persediaan beras di Galesong. Dari darat pasukan Arung Palakka
berjumlah 6.000 orang menyerang Galesong dan Barombong. Atas
serangan itu, pasukan Gowa berhasil memukul mundur pasukan Belanda
dan sekutunya. Terpaksa Belanda minta bantuan dari Batavia dengan
mengirim 5 kapal perang dibawah pimpinan Komandan Kapten P. Dupon.
Tanggal 22 Oktober 1667 armada Speelman dan Dupon mengepung Pantai
Makassar, Benteng Barombong berhasil dibobol. Pasukan Speelman
didaratkan di Galesong dibantu pasukan Arung Palakka. Somba Opu
kemudian di serang dari laut dan dari darat. Di daratan pasukan Gowa
bertempur melawan pasukan Bone, Ternate, Buton, dan Maluku. Dalam
pertempuran ini banyak menelan korban. Pertempuran yang sangat
melelahkan itu, akhirnya memaksa Sultan Hasanuddin untuk
menandatangani perjanjian Bungaya, pada tanggal 18 November 1667.
Ditandatanganinya Perjanjian Bungaya itu dengan pertimbangan, bahwa
yang dihadapi bukan hanya kompeni, tetapi sesama saudara sendiri.
Kedua, perlu untuk menyelamatkan generasi supaya ada yang bisa
melanjutkan perjuangan kelak. Penandatanganan Perjanjian Bungaya itu
tidak diterima oleh para pembesar Gowa. Raja Tallo Sultan Harun Al-
Rasyid, Karaeng Lengkese dan Arung Matoa Wajo tak mau menerima
Perjanjian Bungaya. Tekad mereka tetap, “hanya mayat yang bisa
menyerah”. Mangkubumi Karaeng Karunrung mendesak agar Perjanjian
Bungaya itu dibatalkan.
Karena Gowa masih menyimpan kekuatan, pecah perang pada 21
April 1668. Karaeng Karunrung menyerang Benteng Pannyua tempat
Speelman bermukim. Dalam pertempuran itu, banyak pasukan Belanda
yang mati dan luka-luka. Dikabarkan Arung Palakka juga terluka atas
serangan Karaeng Karunrung itu. Tiap harinya sekitar 7 orang Belanda
16
dikuburkan. Dalam tempo 4 minggu, 139 orang mati dalam Benteng
Pannyua dan 52 orang tewas di kapal. Tanggal 5 Agustus 1668 Karaeng
Karunrung membawa pasukannya menyerbu Benteng Pannyua. Serangan
itu hampir menewaskan Arung Palakka. Speelman kemudian minta
bantuan dari Batavia. Kapal perang Belanda tiba di Makassar pada April
1669 dengan dilengkapi persenjataan seperti meriam besar dan diarahkan
ke Benteng Somba Opu. Akhirnya pada tanggal 15 Juni 1669 Speelman
memerintahkan untuk menyerang Benteng Somba Opu. Pertempuran
berlangsung siang malam secara terus menerus. Meriam Belanda
menembakkan lebih dari 30.000 biji peluru ke Benteng Somba Opu.
Patriot Kerajaan Gowa tetap memberikan perlawanan yang gigih
atas serangan Belanda. Kedua belah pihak jatuh korban banyak. Setelah
perang selama 10 hari, maka pada 24 Juni 1669 seluruh Benteng Somba
Opu dikuasai oleh Belanda. Tak kurang dari 272 pucuk meriam besar dan
kecil termasuk meriam Anak Mangkasara’ yang dianggap keramat
dirampas oleh Belanda. Sultan Hasanuddin kemudian mundur ke Benteng
Kale Gowa di Maccini Sombala dan Karaeng Karunrung meninggalkan
Istananya di Bontoala dan mundur ke Benteng Anak Gowa. Akhirnya,
karena Benteng Somba Opu yang menjadi pusat kekuatan kerajaan Gowa
sudah jatuh ke tangan Belanda, Belanda kemudian meledakkan benteng
tersebut yang tebalnya 12 kaki. Udara memerah dan tanah seperti gempa
bumi, mayatpun bergelimpangan di mana-mana. Seluruh Istana Benteng
Somba Opu dibumihanguskan. Sultan Hasanuddin kalah perang, tapi
menurut pengakuan Belanda, pertempuran inilah yang paling dahsyat dan
terbesar serta memakan waktu paling lama yang pernah dialami Nusantara
ini. Itulah sebabnya Sultan Hasanuddin mendapat julukan “Ayam Jantan
dari Benua Timur” (de haantjes van het Oosten). Walaupun secara
DeVacto, Belanda dan sekutunya menguasai Gowa, tetapi pasukan
Kerajaan Gowa tetap melanjutkan perjuangan. Mereka berkonvoi
melanjutkan perjuangan di Tanah Jawa untuk membantu saudaranya yang
17
sedang berperang melawan Belanda, antara lain Syekh Yusuf ke Banten,
Karaeng Galesong dan Karaeng Bonto Marannu membantu Trunojoyo.
18
2. MESEUM KOTA MAKASSAR
Museum Kota Makassar dibangun pada tahun 1918, yang berarti, menurut teori
Handinoto (1996) masuk pada periodesasi tahun 1902 -1920, sebagai bangunan
kolonial Indonesia.
Dimulai dari fasad bangunan, tampak bahwa pola simetris diterapkan pada
bangunan ini. Terdapat tiga jendela pada bagian terdepan, dengan jendela di
tengah terbagi sama rata. Lalu terdapat masing-masing dua jendela di bagian
bangunan yang menjorok ke dalam.
Jendela pun dihias dengan bentuk lengkung di atasnya, dan dilihat dari jumlahnya,
sesuai dengan teori Sumalyo yang menyatakan bahwa bangunan kolonial
memiliki bukaan yang banyak pada permukaan dindingnya.
Bentuk atap yang cukup curam, memberikan ruang yang besar di bawahnya,
untuk memernyaman sirkulasi udara. Namun, dikarenakan digunakan system atap
perisai, maka jelas atap bangunan Museum Kota Makassar ini tidak menggunakan
atap gevel (gable).
19
Gambar: bentuk kolom pada bangunan, menggunakan ornamen Romawi
20
Gambar: diperlihatkan pada sebelah kiri, bangunan Museum Kota
Makassar pada tahun 1924, dan pada masa kini di sebelah kanan.
21
Gambar: interior Museum pada ruang A
Gambar di atas menunjukkan interior ruang A, yang memajang
wajah para walikota yang pernah menjabat di Makassar. Terlihat balok dan
kolom yang besar dan kokoh. Jelas ini merupakan kejujuran struktur yang
menjadi ciri khas bangunan kolonial.
Terlihat juga pencahayaan yang tembus melalui jendela maupun ventilasi.
Sesuai dengan pernyataan sumalyo yang mengedepankan pencahyaan,
penghawaan, lewat hibridasi gaya Eropa dan Nusantara, yang
menghasilkan arsitektur kolonial.
22
Bentuk hiasan pada bagian atas kolom dan pintu, menunjukkan gaya Romawi,
dengan lekukan yang mirip gaya Tuscan.
Secara umum, gaya arsitektur kolonial pada bangunan Museum Kota Makassar ini
lebih mirip gaya periode tahun 1800an-1902. Dikarenakan penggunaan atap
perisai dan kolom/pilar yang menjulang. Namun, terlihat penggunaan dormer
pada bagian depan bangunan, yang menguatkan identitasnya sebagai periode
1902-1920.
Dari karakteristiknya sebagai bangunan kolonial, maka sangat terlihat jelas
pengaruh kolonial pada bangunan ini, dan penggabungannya dengan unsur alam
di sekitarnya yang berupa pencahayaan dan penghawaan. Peran arsitektur kolonial
tentunya telah jelas terlihat, dan kita semua sangat bersyukur, bahwa bangunan ini
masih dapat terus berdiri dan terjaga dengan baik sebagai warisan nenek moyang
kita.
23
3. MONUMEN MANDALA
24
barat,namun setuju bahwa hal ini akan dibicarakan kembali dalam jangka waktu
1tahun.
Desain monumen yang dibuat dengan bentuk segi tiga sama sisi
menyimbolkan Tiga Komando Rakyat (Trikora). Pada bagian bawah monumen,
terdapat relief lidah api yang menjadi simbol semangat dari Trikora, sementara
relief sama di bagian atas melambangkan semangat yang tidak pernah padam.
Lalu ada juga 27 patung batang bambu runcing sebagai simbol instrumen
perjuangan fisik rakyat saat itu.
25
ditumbuhi lumut dan semak, begitu pula kolam air yang mengelilingi monumen
sudah tidak berfungsi lagi. Apabila Anda melihat di ketinggian puncak menara, di
sana terlihat sebuah harde (penangkal petir) yang seolah hendak menusuk langit;
bermakna cita-cita tinggi yang hendak diraih. .
26
4. MUSEUM BALLA LOMPOA
A. SELAYANG PANDANG
27
A. Idjo Karaeng Lalongan (1947-1957). Note: Sumber lain menyebutnya sebagai
Andi Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir
Aididdin.
Museum ini pernah direstorasi pada tahun 1978-1980 dan diresmikan oleh
Prof. Dr. Haryati Subadio yang pada waktu itu menjabat sebagai Direktur Jenderal
Kebudayaan. Hingga saat ini, pemerintah daerah setempat telah mengalokasikan
dana sebesar 25 juta rupiah per tahun untuk biaya pemeliharaan secara
keseluruhan.
B. DESKRIPSI BANGUNAN
Bangunan museum ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu ruang utama
seluas 60 X 40 meter persegi dan ruang teras (ruang penerima tamu) seluas 40 X
4,5 meter persergi. Di dalam ruang utama terdapat tiga bilik, yaitu bilik sebagai
kamar pribadi raja, bilik tempat penyimpanan benda-benda bersejarah, dan bilik
kerajaan. Ketiga bilik tersebut masing-masing berukuran 6 X 5 meter persegi.
Bangunan museum ini juga dilengkapi dengan banyak jendela (yang merupakan
ciri khas rumah Bugis) yang masing-masing berukuran 0,5 X 0,5 meter persegi.
28
Diantara koleksi tersebut, rata-rata memiliki bobot 700 gram bahkan ada yang
sampai atau lebih dari 1 kilogram. Di ruang pribadi raja, terdapat sebuah mahkota
raja yang berbentuk kerucut bunga teratai (lima helai kelopak daun) memiliki
bobot 1.768 gram yang bertabur 250 permata berlian. Di museum ini juga terdapat
sebuah tatarapang, yaitu keris emas seberat 986,5 gram, dengan panjang 51 cm
dan lebar 13 cm, yang merupakan hadiah dari Kerajaan Demak.
C. LOKASI
29
5. BENTENG FORT ROTTERDAM
A. LATAR BELAKANG.
30
rempah rempah dan memperluas sayap kekuasaan untuk memudahkan
mereka membuka jalur ke Banda dan Maluku.Armada perang Belanda pada waktu
itu dipimpin oleh Gubernur Jendral Admiral Cornelis Janszoon
Speelman.Selama satu tahun penuh Kesultanan Gowa diserang, serangan ini
pula yang mengakibatkan sebagian benteng hancur.Akibat kekalahan ini
Sultan Gowa dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Bongaya pada
tanggal 18 November 1667.Gubernur Jendral Speelman kemudian
membangun kembali benteng yang sebagian hancur dengan model
arsitektur Belanda.Bentuk benteng yang tadinyaberbentuk segi empat
dengan empat bastion, ditambahkan satu bastion lagi di sisi barat. Nama
benteng kemudian dinamakan Fort Rotterdam, yang merupakan nama tempat
kelahiran Speelman.
31
kura. Terdapat empat bastion utama yang seolah-olah menjadi kaki untuk sang
kura-kura. Sedangkan pintu masuk utamanya terdapat di bagian kepala.Karena
bentuknya itu lah orang Makassar sering menamainyaBentengPanyyua.Pada masa
kerajaan Gowa, benteng ini dijadikan markas Pasukan Katak.Tembok di Fort
Rotterdam.Tiap bastion di benteng ini dihubungkan oleh tembok kokoh yang
konstruksinya disusun menggunakan batu padas yang diambil dari daerah
Maros.Di sepanjang tembok ini terdapat jalur menyerupai parit yang digunakan
oleh pasukan penjaga benteng untuk berlindung dan berpindah
antarbastion.Pengunjung bisa menaiki dan menyusuri tembok ini untuk merasakan
sensasi menjadi prajurit penjaga benteng.Di beberapa tempat di dalam benteng,
kita dapat juga menjumpai beberapa benda peninggalan sejarah seperti
meriamcanon. Selain itu, di dalam benteng Fort Rotterdam juga terdapat
museumLa Galigoyang mempunyai berbagai macam referensi sejarah kebesaran
Gowa-Tallo (Makassar) dan beberapa daerah lain di Sulawesi Selatan. Berada di
dalam museum ini, kita seakan-akan sedang menyaksikan kehidupan rakyat
Sulawesi Selatan di zaman dulu.
32
merdeka, benteng ini dijadikan sebagai pusat komando yang kemudian
beralih fungsi menjadi pusat kebudayaan dan seni Makassar.Benteng ini
amat mudah dikenali mengingat bangunannya yang sangat mencolok
dibandingkan dengan gedung perkantoran ataupun rumah disekitarnya.
Memasuki pintu utama benteng ini, nuansa kejayaan masa lalu terekam
jelas melalui dinding benteng yang masih kokoh. Di sudut benteng, terdapat
bastion yang di bangun sebagai pertahanan artileri utama. Di tempat ini pula
terdapat beberapa lubang meriam untuk pertahanan benteng.Di benteng ini juga
terdapat beberapa ruang tahanan yang salah satunya pernah digunakan untuk
menahan Pangeran Diponegoro. Ruang tahanan amat kokoh dengan dinding
melengkung. Selain itu di tempat ini juga terdapat gereja yang merupakan
gereja pertama yang adadi Makassar.Sebagai pusat kebudayaan dan seni, saat ini
dalam kompleks benteng terdapat Museum Nageri La Gilago yang menyimpan
beragam koleksi prasejarah, numismatik, keramik asing, sejarah hingga naskah
serta etnografi. Kebanyakan benda kebudayaan yang dipamerkan berasal dari
suku-suku di Sulawesi seperti suku Bugis, Makassar, Mandar, dan
Toraja.Benteng Ujung Pandang memang memiliki keunikan tersendiri.
Sebagai bangunan sejarah, benteng ini merupakan bukti nyata kisah panjang masa
kolonialisme yang pernah ada di bumi nusantara. Selain itu, benteng ini
juga menjadi saksi bisu sejarah panjang kota Makassar
33
BAB III
Penutup & Kesimpulan
34