Anda di halaman 1dari 10

PERBEDAAN INDIVIDU DALAM BELAJAR

disusun untuk memenuhi tugas


Psikologi Pendidikan

disusun oleh

Muhammad yanda

UNIVERSITAS NEGERI PADANG


2020
A. Gaya Belajar
1. Pengertian
Kosasih (1978:7) Gaya belajar adalah segala faktor yang mempermudah dan
mendorong siswa/mahasiswa untuk belajar dalam situasi yang telah ditentukan.
Gaya belajar adalah kunci untuk mengembangkan kinerja dalam pekerjaan, di
sekolah, dan dalam situasi-situasi antar pribadi. Ketika menyadari bahwa
bagaimana seseorang menyerap dan mengolah informasi, belajar dan
berkomunikasi menjadi sesuatu yang mudah dan menyenangkan (Nunan, 1991:
168). Setiap anak atau peserta didik memiliki cara belajar sendiri yang di pandang
efektif dalam belajar. Cara belajar atau kesenangan belajar yang sering juga
disebut gaya belajar (learning style) diartikan sebagai karakteristik dan preferensi
atau pilihan individu mengenai cara mengumpulkan infomasi, menafsirkan,
mengorganisasi, merespon, dan memikirkan informasi tersebut.
Gaya belajar dapat dibedakan menjadi tiga. Pertama, gaya belajar visual,
yaitu gaya
belajar yang lebih banyak menggunakan alat indra penglihatan sebagai alat untuk
memperoleh pengetahuan. Karakteristik anak yang memiliki gaya belajar visual
ialah mudah memperoleh pengetahuan terhadap apa yang dilihatnya, suka
membaca, teliti, dan menyukai metode demonstrasi serta kurang menyukai
metode ceramah. Kedua, gaya belajar auditorial, yaitu gaya belajar yang lebih
banyak menggunakan indra pendengaran untuk memperoleh pengetahuan.
Karakteristik anak yang memiliki gaya belajar auditorial ialah mudah
memperoleh pengetahuan terhadap apa yang didengarnya, sulit menulis tetapi
mudah bercerita, senang bersuara keras ketika sedang membaca, lebih suka
gurauan dari pada membaca buku, dan menyukai metode ceramah. Ketiga, gaya
belajar kinestetik, yaitu gaya belajar yang lebih menekan gerak atau praktek
langsung atas apa yang sedang dipelajarinya. Karakteristik anak yang memiliki
gaya belajar kinestetik ialah suka mengerjakan sendiri atau praktek langsung,
banyak bererak, ketika membaca menggunakan jari sebagai penunjuk, menyukai
permainan yang menyibukkan, dan ingin selalu melakukan sesuatu.
Dengan adanya tiga gaya tersebut, guru dapat mengidentifikasi gaya belajar
peserta
didiknya, sehingga dapat memberikan layanan kepada peserta didiknya sesuai
dengan gaya belajar masing-masing peserta didik. Dengan demikian masing-
masing peserta didik dapat belajar dengan optimal.
2. Dikotomi Gaya Belajar dan Berpikir
Kagan (1965) menjelaskan dua dikotomi gaya yang paling banyak didiskusikan
dalam wacana tentang pembelajaran adalah gaya impulsif/reflektif dan
mendalam/dangkal. Gaya impulsif/reflektif juga disebut sebagai tempo konseptual, yakni
murid cenderung bertindak cepat dan impulsif atau menggunakan lebih banyak waktu
untuk merespons dan merenungkan akurasi dari suatu jawaban. Murid yang impulsif
seringkali lebih banyak melakukan kesalahan ketimbang murid yang reflektif.
Dibandingkan murid yang impulsif, murid yang reflektif lebih mungkin melakukan tugas
berikut ini.
a. Mengingat informasi yang terstruktur
b. Membaca dengan memahami dan menginterpretasi teks
c. Memecahkan problem dan membuat keputusan

Dibandingkan murid yang impulsif, murid yang reflektif juga lebih mungkin untuk
menentukan sendiri tujuan belajar dan berkonsentrasi pada informasi yang relevan.
Murid reflektif biasanya standar kinerjanya tinggi.
Gaya mendalam/dangkal. Maksudnya adalah sejauh mana murid mempelajari materi
belajar dengan satu cara yang membantu mereka untuk memahami makan materi tersebut
(gaya mendalam), atau sekedar mencari apa-apa yang perlu untuk dipelajari (gaya
dangkal). Murid yang belajar menggunakan gaya dangkal tidak bisa mengaitkan apa-apa
yang mereka pelajari dengan kerangka konseptual yang lebih luas. Mereka cenderung
belajar secara pasif, seringkali hanya mengingat informasi. Pelajar mendalam (deep
learner) lebih mungkin untuk secara aktif memahami apa-apa yang mereka pelajari dan
memberi makna pada apa yang perlu diingat. Jadi, pelajar mendalam menggunakan
pendekatan konstruktivis dalam aktivitas belajarnya. Selain itu, pelajar mendalam lebih
mungkin memotivasi diri sendiri untuk belajar, sedangkan pelajar dangkal (surface
learner) lebih mungkin akan termotivasi belajar jika ada penghargaan dari luar, serta
pujian dan tanggapan positif dari guru (Snow, Corno & Jackson, 1996, dalam Santrock
2004:157).
B. Kepribadian dan Temperamen
1. Kepribadian
Santrock (2010:158) kepribadian atau personalitas adalah pemikiran, emosi, dan
perilaku tertentu yang menjadi ciri dari seseorang dalam menghadapi dunianya. Ada lima
faktor utama dalam kepribadian, yaitu openness, conscientiousness, extraversion,
agreableness, dan neuroticsm.
a. Openness (keterbukaan kepada pengalaman)
1) Imajinatif atau praktis
2) Tertarik pada variasi atau rutinitas
3) Indenpenden atau mudah menyesuaikan diri
b. Conscientiousness (kepatuhan)
1) Rapi atau tidak rapi
2) Perhatian atau cereboh
3) Disiplin atau impulsif
c. Extraversion
1) Terbuka secara sosial atau menyendiri
2) Suka bersenang atau bersedih
3) Kasih sayang atau sebaliknya
d. Agreableness (kepekaan nurani)
1) Berhati lembut atau kasar
2) Percaya atau curiga
3) Membantu atau tidak kooperatif
e. Neuroticism (stabilitas emosional)
1) Tenang atau cemas
2) Merasa aman atau tidak aman
3) Puas pada diri atau mengasihani diri sendiri
Menurut konsep interaksi orang-situasi, cara terbaik untuk mengkarakterisi
kepribadian individual bukan hanya berdasarkan pada ciri bawaan personal atau karakter
saja, namun juga dengan situasinya. Interaksi orang-situasi adalah pandangan yang
menyatakan bahwa cara terbaik untuk mengkonseptualisasikan kepribadian bukan hanya
dari segi ciri atau karakteristik pesonal saja, tetapi juga dari segi situasinya. Teori
interaksi orang-situasi memperkirakan bahwa murid yang ekstravert akan mampu
beradaptasi dengan baik jika dia diminta untuk bekerja sama dengan murid lain,
sedangkan murid yang introvert akan mampu beradaptasi dengan lebih baik jika dia
diminta mengerjakan tugas secara sendirian. Murid ekstravert akan lebih senang apabila
bersosialisasi dengan banyak orang di sebuah pesta, sedangkan murid introvert lebih
senang duduk sendiri atau sekedar bercakap dengan satu teman. Kesimpulannya, jangan
menganggap bahwa kepribadian itu akan selalu membuat seseorang berperilaku tertentu
di semua situasi. Konteks atau situasi juga penting (Burger,2000; Derlega, Winstead,
&Jones, 1999). Pantau situasi dimana murid dengan berbagai karakternya yang berbeda
tampak merasa nyaman, dan beri mereka kesempatan untuk belajar dalam situasi tersebut.

2. Temperamen
Temperamen adalah gaya perilaku seseorang dan cara khasnya dalam memberi
tanggapan atau respons. Klasifikasi yang paling terkenal adalah klasifikasi oleh
Alexander Chess dan Stella Thomas ( Chess & Thomas, 1997; Thomas & Chess, 1991).
Mereka percaya bahwa ada tiga tipe atau jenis tempramen, yaitu sebagai berikut.
a. Easy child, biasanya memiliki mood positif, cepat membangun rutinitas, dan
mudah beradaptasi dengan pengalaman baru.
b. Difficult child, cenderung bereaksi negatif, cenderung agresif, kurang kontrol
diri, dan lamban dalam menerima pengalaman baru.
c. Slow-to-warm-up child atau anak lambat bersikap hangat biasanya beraktivitas
lamban, agak negatif, menunjukan kelambanan dalam beradaptasi, dan
intensitas mood yang rendah.
Dalam satu studi, remaja bertempramen sulit biasanya mudah tergoda oleh
penyalahgunaan narkoba dan mudah stres (Tubman & Windle, 1995). Dalam studi lain,
faktor temperamen yang diberi label”diluar kendali”(mudah tersinggung dan terganggu)
yang diketahui ada pada usia 3 sampai 5 tahun ternyata ada hubungannya dengan
problem perilaku yang muncul pada usia 13 sampai 15 tahun (Caspi, dkk., 1995). Berikut
ini klasifikasi tempramen sekarang ini lebih difokuskan pada sikap dan pendekatan
positif, sikap negatif dan usaha kontrol (pengaturan diri).

C. Sosio-ekonomi dan Budaya


1. Sosial Ekonomi
Sosial ekomoni meliputi tingkat pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, dan
penghasilan orang tua. Tingkat orang tua berbeda satu dengan yang lainnya. Meskipun
tidak mutlak tingkat pendidikan ini dapat mempengaruhi sikap orang tua terhadap
pendidikan anak serta tingkat aspirasinya terhadap pendidikan anak. Demikian juga
dengan pekerjaan dan penghasilan orang tua yang berbeda-beda. Perbedaan ini akan
membawa implikasi pada berbedanya aspirasi orang tua terhadap pendidikan anak,
aspirasi anak terhadap pendidikannya, fasilitas yang diberikan pada anak dan mungkin
waktu disediakan untuk mendidik anak-anaknya. Demikian juga perbedaan status
ekonomi dapat membawa implikasi salah satunya pada perbedaan pola gizi yang
diterapkan dalam keluarga.
Pengaruh status sosio-ekonomi terhadap pencapai siswa didasarkan pada penghasilan
perkerjaan, pendidikan dan gengsi sosial sangat mempengaruhi sikap pelajar terhadap
sekolah, pngetahuan, kesiapan beajar dan pencapaian akademis. Siswa yang berasal dari
keluarga yang berpendidikan rendah mengalami tekanan yang mempunyai andil bagi
praktik pengasuhan anak, pola komunikasi dan harapan yang rendah yang mungkin akan
kurang menguntungkan anak-anak ketika mereka memasuki sekolah.

2. Budaya
KBBI V ofline, budaya merupakan pikiran, akal budi, hasil karya manusia, atau dapat
juga didefinisikan sebagai adat istiadat. Adanya nilai-nilai dalam masyarkat memberitahu
pada anggotanya tentang apa yang baik dan atau penting dalam masyarakatnya. Nilai-
nilai tersebut terjabarkan dalam suatu norma-norma. Norma masing-masing masyarakat
berbeda, maka perilaku yang muncul dari anggota masing-masing masyarakat berbeda
satu dengan lainnya.
Fungsi pendidikan dalam konteks kebudayaan dapat dilihat dalam perkembangan
kepribadian manusia. Tanpa kepribadian manusia tidak ada kebudayaan, meskipun
kebudayaan bukanlah sekadar jumlah kepribadian-kepribadian. Para pakar antropologi,
menunjuk kepada peranan individu bukan hanya sebagai bidakbidak di dalam papan catur
kebudayaan. Individu adalah creator dan sekaligus manipulator kebudayaannya. Di dalam
hal ini studi kebudayaan mengemukakan pengertian “sebab-akibat sirkuler”yang berarti
bahwa antara kepribadian dan kebudayaan terdapat suatu interaksi yang saling
menguntungkan.
Di dalam perkembangan kepribadian diperlukan kebudayaan dan seterusnya
kebudayaanakan dapat berkembang melalui kepribadian–kepribadian tersebut. Inilah
yang disebut sebab-akibat sirkuler antara kepribadian dan kebudayaan. Hal ini
menunjukkan kepada kita bahwa pendidikan bukan semata-mata transmisi kebudayaan
secara pasif tetapi perlu mengembangkan kepribadian yang kreatif. Pranata sosial yang
disebut sekolah harus kondusif untuk dapat mengembangkan kepribadian yang kreatif
tersebut. Namun apa yang terjadi di dalam lembaga pendidikan yang disebut sekolah kita
ialah sekolah telah menjadi sejenis penjara yang memasung kreativitas peserta
didik.Kebudayaan sebenarnya adalah istilah sosiologis untuk tingkah-laku yang bisa
dipelajari. Dengan demikian tingkah laku manusia bukanlah diturunkan seperti tingkah-
laku binatang tetapi yang harus dipelajari kembali berulang-ulang dari orang dewasa
dalam suatu generasi. Di sini kita lihat betapa pentingnya peranan pendidikan dalam
pembentukan kepribadian manusia.Para pakar yang menaruh perhatian terhadap
pendidikan dalam kebudayaan mula-mulanya muncul dari kaum behavioris dan
psikoanalisis Para ahli psikologi behaviorisme melihat perilaku manusia sebagai suatu
reaksi dari rangsangan dari sekitarnya.
Di sinilah peran pendidikan di dalam pembentukan perilaku manusia. Begitu pula
psikolog aliran psikoanalis menganggap perilaku manusia ditentukan oleh dorongan-
dorongan yang sadar maupun tidak sadar ini ditentukan antara lain oleh kebudayaan di
mana pribadi itu hidup. John Gillin (Tilaar, 1999) menyatukan pandangan behaviorisme
dan psikoanalis mengenai perkembangan kepribadian manusia sebagai berikut.
a. Kebudayaan memberikan kondisi yang disadari dan yang tidak disadari untuk
belajar.
b. Kebudayaan mendorong secara sadar ataupun tidak sadar akan reaksi-reaksi
perilaku tertentu. Jadi selain kebudayaan meletakkan kondisi, yang terakhir ini
kebudayaan merupakan perangsang-perangsang untuk terbentuknya perilaku-
perilaku tertentu.
c. Kebudayaan mempunyai sistem “reward and punishment” terhadap perilaku-
perilaku tertentu. Setiap kebudayaan akan mendorong suatu bentuk perilaku yang
sesuai dengan system nilai dalam kebudayaan tersebut dan sebaliknya
memberikan hukuman terhadap perilaku-perilaku yang bertentangan atau
mengusik ketentraman hidup suatu masyarakat budaya tertentu.
d. Kebudayaan cenderung mengulang bentuk-bentuk kelakuan tertentu melalui
prosesbelajar.
D. Pendekatan Pembelajaran Sesuai dengan Perbedaan Individu
Pendekatan individual adalah suatu pendekatan yang melayani perbedaan-perbedaan
perorangan siswa sedemikian rupa sehingga dengan penerapan pendekatan individual
memungkinkan berkembangnya potensi masing-masing siswa secara optimal. Dasar
pemikiran dari pendekatan individual ini adanya perlakuan terhadap perbedaan individual
masing-masing siswa. Sebagai individu anak mempunyai kebutuhan dasar baik fisik maupun
kebutuhan anak untuk diakui sebagai pribadi, kebutuhan untuk dihargai dan menghargai
orang lain, kebutuhan rasa aman, dan juga sebagai makhluk sosial anak mempunyai
kebutuhan untuk menyesuaikan dengan lingkungan baik dengan temannya ataupun dengan
guru dan orang tuanya.
Pembelajaran individual merupakan salah satu cara guru untuk membantu siswa belajar.
Pendekatan individual akan melibatkan hubungan yang terbuka antar guru dan siswa, yang
bertujuan untuk menimbulkan perasaan bebas dalam belajar sehingga terjadi hubungan yang
harmonis antara guru dengan siswa dalam belajar. Dalam mencapai hal ini Djamarah
(2005:165) menjelaskan guru harus melakukan hal-hal berikut ini.
1. Mendengarkan secara empati dan menanggapi secara positif pikiran anak didik dan
membuat hubungan saling percaya.
2. Membantu anak didik dengan pendekatan verbal dan nonverbal.
3. Membantu anak didik tampa harus mendominasi/mengambil alih tugas
4. Menerima perasaan anak didik sebagaimana adanya atau menerima perbedaannya
dengan penuh perhatian.
5. Menangani anak didik dengan member rasa aman, penuh pengertian, bantuan dan
mungkin member beberapa alternative pemecahan.
Sejalan dengan itu, Hamalik (2008:187) menjelaskan beberapa cara pendekatan
pembelajaran sesuai dengan gaya belajar individu sebagai berikut.
1. Gaya Visual
a. Gunakan materi visual seperti gambar-gambar, diagram dan peta.
b. Gunakan warna untuk memperjelas hal-hal penting
c. Ajak anak untuk membaca buku-buku berilustrasi
d. Gunakan multimedia
e. Ajak anak untuk mencoba mengilustrasikan ide-idenya ke dalam gambar.
2. Gaya Auditori
a. Ajak anak untuk ikut berpartisipasi dalam diskusi
b. Dorong anak untuk membaca materi pelajaran dengan keras
c. Gunakan musik
d. Diskusikan ide dengan anak secara verbal
e. Biarkan anak merekam materi
3. Gaya Kinestik
a. Jangan paksakan anak untuk belajar sampai berjam-jam
b. Ajak anak untuk belajar sambil mengeksplorasi lingkungannya
c. Izinkan anak untuk mengunyah permenkaret pada saat belajar
d. Gunakan warna terang untuk memperjelas hal-hal penting dalam bacaan
e. Izinkan anak untuk belajar sambil mendengarkan musik
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan

Gaya belajar adalah kunci untuk mengembangkan kinerja dalam pekerjaan, di sekolah,
dan dalam situasi-situasi antar pribadi. Ketika menyadari bahwa bagaimana seseorang
menyerap dan mengolah informasi, belajar dan berkomunikasi menjadi sesuatu yang mudah
dan menyenangkan. Gaya belajar dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu gaya belajar visual,
audiovisual dan kinestetik. Dengan adanya gaya tersebut guru dapat mengidentifikasi gaya
belajar peserta didiknya, sehingga dapat memberikan layanan kepada peserta didiknya sesuai
dengan gaya belajar masing-masing peserta didik. Dengan demikian masing-masing peserta
didik dapat belajar dengan optimal.
Kepribadian atau personalitas adalah pemikiran, emosi, dan perilaku tertentu yang
menjadi ciri dari seseorang dalam menghadapi dunianya. Ada lima faktor utama dalam
kepribadian, yaitu openness, conscientiousness, extraversion, agreableness, dan neuroticsm.
Menurut konsep interaksi orang-situasi, cara terbaik untuk mengkarakterisi kepribadian
individual bukan hanya berdasarkan pada ciri bawaan personal atau karakter saja, namun juga
dengan situasinya. Sedangkan, temperamen adalah gaya perilaku seseorang dan cara khasnya
dalam memberi tanggapan atau respons.
Sosial ekomoni meliputi tingkat pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, dan
penghasilan orang tua. Tingkat orang tua berbeda satu dengan yang lainnya. Meskipun tidak
mutlak tingkat pendidikan ini dapat mempengaruhi sikap orang tua terhadap pendidikan anak
serta tingkat aspirasinya terhadap pendidikan anak. Demikian juga dengan pekerjaan dan
penghasilan orang tua yang berbeda-beda. Budaya merupakan pikiran, akal budi, hasil karya
manusia, atau dapat juga didefinisikan sebagai adat istiadat. Adanya nilai-nilai dalam
masyarkat memberitahu pada anggotanya tentang apa yang baik dan atau penting dalam
masyarakatnya.
Pendekatan individual adalah suatu pendekatan yang melayani perbedaan-perbedaan
perorangan siswa sedemikian rupa sehingga dengan penerapan pendekatan individual
memungkinkan berkembangnya potensi masing-masing siswa secara optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Djamarah, Syaiful Bahri. 2005. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif.
Jakarta:Rineka Cipta.
Hamalik, Oemar. 2008. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.
Kagan, Jerome. 1965. “Reflection-Implusivity and Reading Ability in Primary Grade
Children”. Child Development. Journal (3).
Kosasih & Ma’mun. 1978. Pengajaran Studi Sosial/Ilmu Pengetahuan. Bandung. LPP-IPS:
FKIS IKIP.
Nunan, David. 1991. “Language Teaching Methodology. Prentice Hall.
Santrock, John W. 2010. Psikologi Pendidikan. Jakarta:Kencana.
Santrock, John.W. 2004. Live-Span Development:Perkembangan Masa Hidup. Jakarta:
Erlangga.
Tilaar H.AR. 1999.“Beberapa Agenda reformasi Pendidikan Nasional, Tera
Indonesia”. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai