Anda di halaman 1dari 3

Topik 1 : Kompetensi Sosial Emosional

Kompetensi sosial emosional (KSE) adalah kemampuan individu untuk memahami dan
mengelola emosi, mengembangkan hubungan yang positif dengan orang lain, serta
mengambil keputusan yang tepat dan bertanggung jawab dalam berbagai situasi sosial. KSE
juga mencakup kemampuan untuk berkomunikasi dengan baik, berempati, dan bekerja sama
dengan orang lain.

Beberapa aspek dari KSE meliputi:

1. Kesadaran diri: kemampuan untuk mengenali dan memahami emosi dan perilaku diri
sendiri.
2. Manajemen Diri: kemampuan untuk mengelola emosi, menahan diri dari reaksi
impulsif, dan mengendalikan perasaan negatif.
3. Kesadaran sosial: kemampuan untuk memahami dan menghargai perbedaan antara
diri sendiri dan orang lain, serta memahami norma sosial yang berlaku dalam
masyarakat.
4. Keterampilan Berelasi: kemampuan untuk membangun hubungan yang sehat, saling
mendukung, dan positif dengan orang lain.
5. Pengambilan Keputusan yang Bertanggung Jawab: kemampuan untuk membuat
keputusan yang tepat dan bertanggung jawab dalam berbagai situasi sosial.

KSE memiliki peran penting dalam kehidupan sekolah. Warga sekolah dengan KSE yang
baik dapat mengelola emosi mereka dengan baik, berinteraksi dengan orang lain dengan
efektif, dan membuat keputusan yang tepat dalam situasi sosial yang kompleks.

Iklim dan budaya sekolah juga dapat menjadi lebih harmonis dan damai jika individu-
individu dalam sekolah memiliki KSE yang baik. Oleh karena itu, KSE semakin menjadi
perhatian penting dalam dunia pendidikan saat ini.

Topik 2 : Peran Guru Sebagai Teladan Pembelajaran Keterampilan Sosial Emosional


Guru memainkan peran penting dalam perkembangan kognitif, sosial dan
emosional peserta didik. Dalam pembelajaran sosial emosional, peran guru mendorong
terciptanya kolaborasi aktif dikelas dan menjadi panutan dalam bersikap positif bagi
peserta didik.

Pembelajaran keterampilan sosial emosional menjadi pengembangan kemampuan dasar


bagi peserta didik untuk hidup dengan baik karena tak hanya fokus pada kompetensi diri
namun juga pada relasi yang terjalin dengan orang lain dan lingkungan.

Pembelajaran keterampilan sosial emosional dapat berdampak terhadap kecerdasan


intelektual, peningkatan keterampilan, kemampuan sosial yang baik, hubungan yang
harmonis antara guru dan peserta didik, pengelolaan emosi dan membangun budi pekerti
serta sikap positif peserta didik. Pembelajaran keterampilan sosial emosional bertujuan
untuk menumbuhkan keterampilan sosial dan emosional peserta didik dalam kurikulum
pendidikan.
Keterampilan sosial emosional yang akan membuat anak-anak mampu mengelola
perilaku mereka dengan lebih baik sehingga akan tercipta interaksi sosial yang positif
yang akan berdampak pada lebih banyak perasaan bahagia karena lingkungan yang
terbentuk lebih baik dan menyenangkan. Keterampilan sosial emosional yang akan
diperoleh peserta didik dapat menciptakan interaksi sosial yang positif sehingga
lingkungan yang terbentuk menjadi lebih menyenangkan dan lebih banyak menimbulkan
perasaan bah

Topik 3. Experiential Learning


Mendapatkan pengetahuan bisa diperoleh dengan experiential learning; belajar melalui
mengalami, melalui pengalaman. Dengan experiential learning, siswa dapat mengalami
proses dan mendapatkan pengetahuan. Untuk mendapatkan pengetahuan melalui proses
Experiential Learning ada beberapa cara, yaitu concrete experience (pengalaman konkret)
dan abstract conceptualization (konseptualisasi abstrak), atau reflective observation
(observasi reflektif) dan active experimentation (eksperimentasi aktif), dimana individu
melakukan observasi dan bisa menjelaskan peristiwa yang terjadi disertai pemahaman, dan
kemudian aktif mempraktikkan. Kemudian terdapat 4 siklus pembelajaran dalam
mendapatkan pengetahuan melalui proses Experiential Learning yaitu mengalami
(experiencing), refleksi diri (reflecting), berpikir (thinking), dan melakukan (acting). Jadi ada
4 siklus dalam setiap cara mendapatkan pengetahuan melalui proses Experiential Learning.

Topik 4. Experiential Learning untuk Pembelajaran Sosial Emosional


 Experiential Learning untuk Pembelajaran Sosial Emosional dapat dimanfaatkan
pendidik untuk memotivasi siswa, membuat situasi belajar lebih kondusif dan
menyenangkan dengan cara mengetahui gaya belajar siswa. Berdasarkan siklus dalam
mempelajari experiential learning ada beberapa gaya belajar siswa, yaitu:
a. Diverging (Divergen), gaya ini merupakan kombinasi elemen Pengalaman Konkrit
dan Observasi Reflektif. Individu dengan gaya belajar ini mencoba melihat
situasi/pengalaman dari beragam perspektif. Individu ini cenderung mengumpulkan
informasi yang ada. Mereka memiliki minat sosial yang tinggi, cukup peka terhadap
lingkungannya. Dalam situasi belajar formal, individu cenderung menikmati bekerja
dalam kelompok, mendapatkan umpan balik. Individu ini cenderung terbuka
terhadap saran dan umpan balik.
b. Assimilating (Asimilasi), gaya yang merupakan kombinasi konseptualisasi abstrak
dan observasi Reflektif. Individu dengan gaya ini cukup terampil mengolah
informasi dan dapat menjelaskan dengan logis. Secara umum, individu dengan gaya
belajar ini cenderung mementingkan nilai logis ketimbang praktis. Dalam situasi
belajar formal, individu ini cenderung suka membaca, melakukan analisa dan
melakukan mengekplorasi ide.
c. Converging (Konvergen), merupakan kombinasi Konseptualisasi Abstrak dan
Ekperimen Aktif. Individu dengan gaya ini akan berusaha menemukan kegunaan
praktis dari teori. Individu ini cenderung mampu memecahkan masalah dengan baik.
Dalam situasi belajar formal, individu dengan gaya ini cenderung melakukan
simulasi dan mencoba penerapan praktis.
d. Accommodating (Akomodasi), merupakan kombinasi pengalaman konkrit dan
eksperimentasi aktif. Individu ini senang belajar dari pengalaman langsung. Dalam
menyelesaikan masalah, ia akan mencari informasi terlebih dahulu dan
menggunakan cara yang sudah tersedia. Dalam situasi belajar formal, individu
cenderung menikmati bekerja dengan orang lain, menikmati kerja atau belajar di
lapangan.
 Selain itu, interaksi anak dan lingkungan tempatnya berinteraksi dapat mempengaruhi
perkembangan anak. Seorang ahli psikologi, Urie Bronfenbrenner (1917-2005) membagi
lingkungan menjadi beberapa lapisan yaitu mikrosistem (lingkungan rumah/keluarga),
mesosystem (lingkungan rumah/keluarga, sekolah, teman sebaya atau antar mikrosistem
yang berbeda), ekosistem (kondisi ekonomi, sistem politik, system pendidikan atau
seringkali merupakan faktor situasional), makrosistem (sistem nilai dan budaya yang
ada), dan chronosystem (dimensi waktu).

Topik 5. School Well-Being


 School well-being adalah kondisi dimana individu dapat memenuhi kebutuhan dasarnya
baik materiil maupun non-materiil di sekolah yang terdiri atas empat dimensi yaitu (1)
having (kondisi/situasi sekolah), (2) loving (mengarah pada hubungan sosial), (3) being
(pemenuhan diri), dan (4) health (kesehatan siswa/guru secara umum).
 Ada berbagai faktor yang dapat mempengaruhi school-well-being, yaitu stress pada guru,
kemampuan memahami orang lain, dan iklim sekolah.

Anda mungkin juga menyukai