Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PRAKTIKUM ILMU MATERIAL II

Topik : Resin Komposit


Grup : A-8
Tanggal Praktikum : Rabu, 23 Oktober 2013
Pembimbing : Dr. Elly Munadziroh, drg., Msi

Penyusun :

Firsta Maulidya Yasmin 021211131043


Nisrina Hasna Nabila 021211131044
Amelia Kristanti 021211131045
Dita Rana Widati 021211131046
Wilda Safira 021211131047

DEPARTEMEN MATERIAL KEDOKTERAN GIGI


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2013
1. Tujuan Praktikum
1. Mahasiswa mampu melakukan manipulasi komposit secara tepat.
2. Mahasiswa mampu mengetahui perbedaan kekerasan hasil polimerisasi
resin komposit berdasarkan pengamatan hasil percobaan
2. Alat dan Bahan
2.1 Bahan :
a. Resin komposit aktivasi sinar tampak (light activated resin composite),
bentuk sediaan pasta tunggal.
Merk : Solare (Asia), pabrik: GC Corporation
b. Vaselin
2.2 Alat :
a. Cetakan teflon diameter 2 mm, tebal 5 mm, dan tebal 8 mm
b. Plat kaca
c. Celluloid strip
d. Plastic filling
e. Light Curing unit
f. Sonde

3. Cara kerja
Untuk cetakan teflon tinggi 2 mm, dilakukan penyinaran dengan jarak 0 mm
dan 10 mm.
Untuk cetakan teflon tinggi 5 mm, dilakukan penyinaran dengan jarak 0 mm
dan 10 mm.
Untuk cetakan teflon tinggi 8 mm, dilakukan penyinaran dengan jarak 0 mm.
a. Permukaan cetakan teflon diulas dengan vaselin, kemudian diletakkan di
atas lempeng kaca yang sudah dilapisi celluloid strip.
b. Bahan tumpatan resin komposit dikeluarkan dari tube, kemudian
dimasukkan sedikit demi sedikit ke dalam cetakan teflon tinggi 2 mm
memakai plastic filling, hingga cetakan terisi penuh dengan resin komposit
tanpa ada rongga.
Gambar 1. Resin komposit dikeluarkan dari tube dan dimasukkan ke
dalam cetakan
c. Intensitas sinar dicek dengan cure light meter (antara 400-500 nm)
sebelum light curing halogen digunakan. Bila menggunakan LED,
intensitas sinar dicek dengan light tip ditempelkan pada perangkat yang
tersedia.

Gambar 2. Intensitas sinar LED dicek


d. Celluloid strip diletakkan di atas cetakan teflon yang telah diisi resin
komposit, kemudian diberi pemberat 1 kg selama 30 menit, ujung alat
curing (light tip) ditempelkan pada celluloid strip dan disinari selama 20-
40 detik.
Gambar 3. Cetakan disinari dengan LED selama 20 detik.
e. Resin komposit yang telah berpolimerisasi/ mengeras dilepaskan dari
cetakan teflon.
f. Hasil kekerasan permukaan yang terkena light tip alat curing (0 mm)
dengan permukaan yang jauh dari light tip alat curing (10 mm) dibedakan
dengan cara digores dengan sonde.
g. Tahap a-f diulangi pada cetakan dengan tinggi 5 mm dan 8 mm.
Untuk cetakan dengan tinggi 8 mm, resin komposit dimasukkan ke dalam
cetakan yang dilakukan secara bertahap (layer per layer) lalu disinari
selama 20 detik, kemudian baru diberi lapisan komposit lagi,disinari lagi.
Begitu seterusnya hingga cetakan terisi penuh.
4. Hasil Praktikum

Tinggi Jarak Panjang Keterangan


Teflon Penyinaran Gelombang Teknik Bagian Bagian

Sinar Atas bawah


2 mm 0 mm 429 nm Tidak berlapis Keras Keras
2 mm 10 mm 129 nm Tidak berlapis Keras Lunak
5 mm 0 mm 383 nm Tidak berlapis Keras Lunak
5 mm 10 mm 99 nm Tidak berlapis Keras Lunak
8 mm 0 mm 602 nm Tidak berlapis Keras Lunak
8mm 0 mm (1) 414 nm Keras Lunak
(2) 394 nm
Berlapis
(3) 378 nm
Pada praktikum ini, digunakan 3 ketebalan teflon, yaitu 2 mm, 5 mm dan 8
mm. pada ketebalan teflon 2 mm dan 5 mm, digunakan 2 jarak penyinaran, yaitu 0
mm dan 10 mm. pada teflon dengan ketebalan 8 mm, digunakan dua teknik, yaitu
teknik berlapis dan tidak berlapis. Lalu, masing-masingnya diukur intensitas
sinarnya sebelum dipaparkan pada resin komposit.
Pada teflon ketebalan 2 mm dengan jarak penyinaran 0 mm, didapatkan
panjang gelombang sinar 429 nm, dengan hasil bagian atas dan bawah pada resin
komposit keras. Sedangkan dengan jarak 10 mm, didapatkan gelombang sinar 129
nm dengan hasil bagian atas keras dan bawahnya lunak.
Pada teflon ketebalan 5 mm dengan jarak penyinaran 0 mm, didapatkan
panjang gelombang sinar 383 nm, dengan hasil bagian atas keras dan bawah
lunak. Sedangkan dengan jarak 10 mm, didapatkan gelombang sinar 99 nm
dengan bagian atas keras dan bawah lunak.
Pada teflon dengan ketebalan 8 mm, masing-masingnya diberi jarak
penyinaran yang sama yaitu 0 mm, namun diberi teknik yang berbeda yaitu teknik
tidak berlapis dan berlapis. Pada teknik tidak berlapis, didapatkan gelombang
sinar 602 nm dengan hasil bagian atas keras dan bawah lunak.
Pada teknik berlapis dengan ketebalan 8 mm, dibagi menjadi 3 lapis. Pada
lapisan pertama, diberi intensitas gelombang sinar sebesar 414 nm, lapisan kedua
sebesar 394 nm, serta lapis ketiga 378 nm. Hasilnya, didapatkan bagian atas keras
dan bagian bawah yang lunak.
5. Pembahasan
 Jenis Resin Komposit
Sistem klasifikasi resin komposit didasarkan pada ukuran partikel filler
dan distribusinya seperti ditunjukkan pada tabel berikut ini: (Anusavice, 2003,
hal. 418)

Gambar 2. Klasisfikasi dari Resin Komposit Berdasarkan Ukuran Partikel


dengan Indikasi Penggunaan (Anusavice, 2003, hal. 418)

Selain berdasarkan ukuran fillernya, komposit juga dapat dikelompokkan


berdasarkan cara aktivasinya. Berdasarkan cara aktivasinya, komposit dapat
digolongkan menjadi dua yaitu secara kimiawi (self cured) dan dengan
menggunakan cahaya atau sinar (light cured).
a.) Aktivasi Secara Kimiawi (self cured)
Komposit pada awalnya diaktivasi dengan proses polimerisasi kimia.
Proses ini juga disebur cold curing atau self-curing. Polimerisasi aktivasi secata
kimia dilakukan dengan mencampurkan dua pasta sebelum penggunaan komposit.
Selama pencampuran, mustahil untuk menghindari masuknya udara ke dalam
campuran yang menyebabkan terbentuknya pori-pori yang membuat struktur lebih
rapuh dan membuat oksigen terjebak. Oksigen ini menghambat proses
polimerisasi selama proses curing. Operator juga tidak memiliki control terhadap
waktu pengerjaan setelah kedua komponen tercampur. Insersi dan pembentukan
kontur harus dilakukan segera setelah komponen resin tercampur. (Anusavice,
2003, hal. 410)

b.) Aktivasi menggunakan cahaya (light cured)


Untuk mengatasi masalah pada aktivasi kimia, dilakukan pengembangan
terhadap resin yang tak membutuhkan proses pencampuran. Hal ini dilakukan
dengan penggunaan sistem inisiator photosensitive dan sumber cahaya untuk
aktivasi. (Anusavice, 2003, hal. 410)

 Komposisi Resin Komposit


Sebuah komposit resin terdiri dari empat komponen utama: Organic
polymer matrix, inorganic filler particles, Coupling agent, dan initiator-
accelerator system. Organic polymer matrix komposit kebanyakan berbentuk baik
aromatik atau urethane diacrylate oligomer. Oligomer adalah cairan kental,
viskositas yang menurun ke tingkat penggunaan klinis dengan
penambahan monomer pengencer. 2 oligomer yang biasanya terdapat pada resin
komposit adalah dimethacrylates (Bis-GMA) 2,2-bis[4(2- hydroxy-3
methacryloyloxy-propy1oxy)-phenyll propane dan urethane dimethacrylate
(UDMA) yang memiliki viskositas tinggi. Untuk mengontrolnya biasanya
ditambahkan triethylene glycol dimethacrylate (TEGDMA). Inorganic particles
tersebar dapat terdiri bahan anorganik beberapa seperti kaca atau kuarsa (partikel
halus) atau koloid silika (microfine partikel). Dua-dimensi diagram halus dan
microfine partikel dikelilingi oleh polimer matriks. Coupling agent, sebuah
organosilane (silan), diterapkan pada partikel anorganik oleh produsen sebelum
dicampur dengan oligomer yang tidak bereaksi. Silan mengandung gugus
fungsional (seperti metoksi), yang menghidrolisis dan bereaksi dengan pengisi
anorganik, serta kelompok organik tak jenuh yang bereaksi dengan oligomer
selama polimerisasi. Silan disebut coupling agent, karena mereka membentuk
ikatan antara anorganik dan fase organik komposit. Komposit diformulasikan
mengandung akselerator dan inisiator yang memungkinkan self-curing, light
curing, dan dual curing. (Craig 2002, hal 233-234)
 Pengaruh Penggunaan Light Curing
Bahan yang diaktivasi dengan sinar memiliki sejumlah keuntungan
dibandingkan dengan resin yang diaktifkan secara kimia. Kelebihan penggunaan
light cured composites adalah dapat dihindarinya porositas karena material dapat
diinsersi dan dikontur sebelum kuring terinisiasi. Setelah kuring terinisisasi,
waktu tambahan sekitar 40 detik dibutuhkan untuk kuring lapisan setebal 2 mm,
dengan perbandingan beberapa menit untuk material aktivasi kimia. Keuntungan
lain dari sistem kuring cahaya adalah mereka tidak sensitif terhadap inhibisi
oksigen seperti sistem kuring kimia. (Annusavice, 2003, hal. 410 )
Ada keterbatasan substansial dengan komposit light-cure. Pertama, mereka
harus ditempatkan secara bertahap ketika massal melebihi sekitar 2 sampai 3 mm
karena terbatasnya kedalaman penetrasi cahaya. Jadi komposit light cure bisa
benar-benar membutuhkan lebih banyak waktu ketika memproduksi restorasi
besar (misalnya, di Kelas I1 rongga persiapan). Kelemahan lainnya termasuk
biaya unit light-curing dan beberapa faktor yang terkait dengan sumber cahaya
dan photocuring (Anusavice, 2003, hal. 410)
Intensitas maksimum pancaran sinar radiasi terpusat di dekat permukaan
komposit light-cured. Saat sinar menembus material, maka sinar tersebut akan
dihamburkan dan dipantulkan, serta akan kehilangan intensitasnya. Beberapa
faktor dapat mempengaruhi derajat polimerisasi pada kedalaman tertentu dari
permukaan setelah light curing. Konsentrasi dari photoinitiator atau light
absorber harus sedemikian rupa agar dapat bereaksi pada panjang gelombang
yang tepat dan diberikan dalam konsentrasi yang cukup. Baik filler content
maupun ukuran partikel sangat penting untuk dispersi pancaran sinar. Oleh karena
itu, komposit microfilled dengan partikel yang lebih kecil dan lebih banyak akan
menghamburkan cahaya lebih banyak dibanding komposit microhybrid dengan
partikel yang lebih besar dan lebih sedikit. Semakin lamanya waktu penyinaran
diperlukan untuk mendapatkan kedalaman curing yang adekuat (cukup) pada
komposit microfilled. (Craig & Powers, 2002, hal. 241-243)
Intensitas cahaya pada permukaan resin merupakan faktor penting dalam
kelengkapan curing pada permukaan dan di dalam material. Ujung sumber cahaya
harus diberikan dalam jarak 1mm dari permukaan untuk mendapatkan penetrasi
yang optimum. Shade yang semakin opaque dapat mengurangi transmisi cahaya
dan hanya dapat meng-curing pada kedalaman minimal, yaitu 1mm. Standart
lamanya penyinaran dengan menggunakan sinar tampak adalah 20 detik. Pada
umumnya, waktu (20 detik) tersebut cukup untuk meng-curing resin dengan light-
shade untuk kedalaman 2 atau 2,5 mm. Penyinaran selama 40 detik dapat
memperbaiki derajat curing pada seluruh kedalaman, tetapi hal ini diperlukan
untuk mendapatkan curing yang cukup dengan shade yang lebih gelap. Aplikasi
dari pancaran sinar pada ketebalan 1 mm atau pada struktur gigi dengan tingkat
ketebalan yang sedikit lebih rendah akan menghasilkan curing yang tepat pada
kedalaman yang dangkal, dengan nilai kekerasanyang didapat akan tidak
konsisten. Light curing units dibuat dengan ujung yang lebar. Tetapi, pancaran
sinar yang didistribusikan pada permukaan yang luas dapat menyebabkan
turunnya intensitas penyinaran pada titik yang diberi sinar. Penggunaan waktu
penyinaran yang lebih lama yaitu hingga 60 detik diperlukan ketika menggunakan
ujung emitting yang lebih lebar. (Craig & Powers, 2002, hal. 241-243).

 Proses Polimerisasi
Reaksi proses polimerisasi self-cured composites secara kimiawi dimulai
dari inisiator peroksida dan akselarator amina. Polimerisasi light-cured
composites diinisiasi dengan sinar biru yang tampak. Polimerisasi dual-cured
composites menggunakan kombinasi kimiawi dan aktivasi cahaya untuk
melakukan rekasi tersebut. Polimerisasi resin memiliki cross linked yang cukup
tinggi karena adanya disfungsi ikatan karbon ganda. Polimerisasi light-cured
composites sangat bervariasi sesuai dengan jarak dari komposit ke sinar dan durasi
dari lama paparan sinar (Craig, 2002, page: 236).

Proses polimerisasi terjadi dalam tiga tahapan yaitu inisiasi dimana molekul
besar terurai karena proses panas menjadi radikal bebas. Proses pembebasan
tersebut menggunakan sinar tampak yang dimulai dengan panjang gelombang
460–485 nm. Tahap kedua adalah propagasi, pada tahap ini monomer yang
diaktifkan akan saling berikatan sehingga tercapai polimer dengan jumlah
monomer tertentu. Tahap terakhir adalah terminasi dimana rantai membentuk
molekul yang stabil (Susanto, 2005 hal: 32).

 Kekurangan Komposit
Kekurangan resin komposit menurut ADA adalah
1. Bahan pengisi ini dapat pecah dan lebih mudah aus daripada tambalan
logam terutama di daerah yang membutuhkan kekuatan menggigit yang
kuat. Oleh karena itu tambalan komposit mungkin perlu diganti lebih
sering daripada tambalan logam.
2. Dibandingkan dengan tambalan lain, komposit kadang-kadang susah
menempatkannya dan memakan waktu yang lama saat
menempatkannya. Komposit tidak dapat digunakan di semua situasi.
3. Komposit umumnya lebih mahal daripada amalgam.
4. Dapat merembes atau bocor dari waktu ke waktu ketika terikat di
bawah lapisan enamel.
5. Dalam kasus yang jarang terjadi, secara lokal komposit dapat
menimbulkan reaksi alergi yang mungkin dapat terjadi

Menurut Hedge et al, 2009 kekurangan utama dari light-cured composites


adalah penyusutan pada polimerisasi. Penyusutan tersebut dapat mengakibatkan
pembentukan celah antara material komposit dan struktur gigi, terutama jika
margin restorasinya ditempatkan dalam dentin atau cementum Bakteri, cairan,
molekul atau ion dapat melewati celah diantara resin komposit dan dinding
rongga ini, proses tersebut disebut microleakage. Microleakage dianggap
penyebab dari hipersensitivitas, karies sekunder, patosis pulpa dan kegagalan
restorasi. Selain iritasi pulpa dan karies sekunder, microleakage juga dapat
menyebabkan perubahan warna marginal.
Menurut Putriyanti et al 2010, penggunaan resin komposit memiliki
beberapa kekurangan. Salah satunya adalah terjadinya degradasi jaringan polimer
matriks resin komposit dan terlepasnya komponen resin komposit yang tidak
bereaksi, akibat pemaparan minuman dengan pH asam (Putriyanti et al, 2012).
 Pengaruh ketebalan resin komposit
Polimerisasi resin komposit sinar sangat dipengaruhi oleh teknik
penyinaran seperti, intensitas sinar, jarak penyinaran, ketebalan bahan, dan lama
penyinaran. Ketebalan dari resin komposit perlu diperhatikan karena dapat
mempengaruhi kekuatan dari resin komposit sebagai restorasi gigi. Idealnya resin
komposit sinar diletakkan sebagai bahan restorasi sekitar 2–2,5 mm, dengan
demikian sinar dapat menembus masuk sampai lapisan yang paling bawah.
Apabila ketebalan dari resin komposit melebihi 2,5 mm, maka resin komposit
tidak dapat mengeras sempurna pada saat penyinaran dan didapatkan hasil resin
komposit yang lunak bagian bawahnya. Penyinaran optimum menggunakan
panjang gelombang sinar 400-515 nanometer. Ujung alat sinar harus diletakkan
sedekat mungkin tanpa menyentuh resin komposit. Hal ini dilakukan untuk
meminimalisasi dispersi cahaya light curing unit. Variasi penyinaran resin
komposit berkisar antara 20-60 detik. Berdasarkan data penelitian, terlihat dengan
jelas bahwa kekerasan maksimum didapatkan pada sampel resin komposit sinar
dengan ketebalan 2 mm dan lama waktu penyinaran 60 detik. (Tarigan, 2011 &
Susanto, 2005)

 Hasil Analisa
Pada percobaan manipulasi resin komposit light cured yang telah
dilakukan, banyak didapatkan hasil yang permukaan bawahnya lunak. Terlihat
pada resin komposit dengan ketebalan 2 mm yang jarak penyinarannya 0 mm
menggunakan panjang gelombang 429 nm, hasilnya keras merata pada bagian atas
dan bawah sedangkan pada ketebalan 10 mm menggunakan panjang gelombang
129 nm hasilnya lunak pada bagian bawah. Hasil yang lunak tersebut merupakan
akibat dari jarak penyinaran terlalu jauh (10 mm) sehingga panjang gelombang
turun dan akhirnya sinar tidak sampai menembus ke bawah. Hasil dengan
permukaan bawah yang lunak juga didapatkan pada percobaan-percobaan
selanjutnya. Pada resin komposit dengan ketebalan 5 mm yang jarak
penyinarannya 0 mm dan 10 mm dan panjang gelombang berturut-turut 383 nm
dan 99 nm, hasil yang lunak dikarenakan ketebalannya melebihi ketentuan yaitu
2-2,5 mm dan panjang gelombang yang tidak mencukupi. Pada resin komposit
dengan ketebalan 8 mm (tidak berlapis) jarak penyinarannya 0 mm dengan
panjang gelombang 602 nm, didapatkan juga hasil lunak karena ketebalan
melebihi 2,5 mm. Meskipun panjang gelombangnya tinggi, bila resin komposit
terlalu tebal, akan diperoleh pula hasil yang lunak karena sinar tidak sampai
menembus ke bawah. Terakhir, pada ketebalan 8 mm (berlapis) jarak
penyinarannya 0 mm dengan panjang gelombang berturut-turut 414 nm, 394 nm,
dan 378 nm juga didapat hasil yang lunak permukaan bawahnya. Hasil lunak pada
bagian bawah tersebut bisa disebabkan oleh faktor operator yang pada saat
pengisian lapis paling bawah terlalu banyak/tebal resin kompositnya sehingga
tidak bisa mengeras dengan sempurna.

6. Kesimpulan
Dari hasil yang didapatkan menunujukkan bahwa semakin tipis tumpatan
serta jarak penyinaran yang semakin dekat didapatkan hasil polimerisasi
sempurna. Tetapi makin tebal tumpatan, serta makin jauh jarak sinar, polimerisasi
yang terjadi tidak menyeluruh, hanya bagian atas saja yang pengalami
polimerisasi. Hal ini menunjukkan bahwa polimerisasi resin komposit dipengaruhi
oleh tebal tumpatan, panjang gelombang sinar serta jarak penyinaran.
7. Daftar Pustaka
Susanto, AA. 2005. Pengaruh Ketebalan Bahan dan Lamanya Waktu
Penyinaran terhadap Kekerasan Permukaan Resin Komposit Sinar.
Majalah Kedokteran gigi (Dent J). Vol. 38 No.1 P.32
Hedge MN, Vyapaka P, Shetty S. 2009. A comparative evaluation of
microleakage of three different newer direct composite resins using a self
etching primer in class V cavities: An in vitro study. Journal of
Conservative Dentistry. Vol 12. Issue: 4. P. 160
Putiyanti F, Herda E, Sofyan A. 2012. Pengaruh saliva buatan terhadap
diametral tensile strength micro fine hybrid resin composite yang
direndam dalam minuman isotonic. Jurnal PDGI. Vol 61. No 1. P. 44
Susanto, Alexandra A. Pengaruh Ketebalan Bahan dan Lamanya Waktu
Penyinaran terhadap Kekerasan Permukaan Resin Komposit Sinar.
Majalah Kedokteran gigi (Dent J). 2005, Vol. 38 No.1 p.33
Anusavice, KJ 2003, Phillips’ Science of Dental Materials, 11th ed, Saunders.
P.410;418

Craig, RG & Powers, JM 2002, Restorative Dental Material, 11 th ed, Mosby


Elsevier. P. 233-234;236;241-243.

Anda mungkin juga menyukai