Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN DISKUSI KELOMPOK PEMICU 1

MODUL GASTROINTESTINAL
KELOMPOK 7

DISUSUN OLEH

Alfian Abdul Aziz Dja’afara I1011151014


Gaudensius I1011151073
Ani Soraya I1011181001
Jessica Juniarta Sihombing I1011181017
Giri Kristian I1011181026
Suci Athia I1011181029
Muhammad Akhdanu Fadhil I1011181042
Annisa Dwi Magistra Ramadhani I1011181063
Putri Adelya Pramasari I1011181069
Vinny Vania Parinding I1011181078
Hana Lutfiya I1011181081
Dery Wahyudi I1011181094
Shella Sakila I1011181098

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pemicu
Seorang wanita, Ibu W, berusia 32 tahun datang ke praktek dokter umum dengan
keluhan sakit di perut bagian atas sejak 2 jam yang lalu. Sakit dirasakan hanya di perut
bagian atas saja. Sakit perut disertai rasa mual dan bagian ats perut terasa penuh. Sekitar 1
jam yang lalu Ibu W mengkonsumsi 1 potog roti dan merasa kenyang tetapi tidak
mengurangi rasa sakit yang dialami.
Keluhan tidak disertai pusing dan demam. Ibu W sudah pernah mengalami keluhan
seperti ini sejak 3 tahun yang lalu, yang kadang-kadang rasa sakitnya sampai ke
punggung, disertai demam dan muntah. Setiap ada keluhan, Ibu W mengkonsumsi obat-
obat sesuai keluhan, yaitu obat maag, obat pusing, dan obat muntah.
Ibu W merupakan staf yang cukup sibuk di suatu perusahaan sehingga makan tidak
teratur dan suka mengkonsumsi minuman bersoda. Saat ditanyakan apakah memiliki
riwayat penyakit lain, ibu W menjawab tidak ada.
Dari hasil pemeriksaam fisik didapatkan: BB 68 kg, TB 154 cm, TD 110/70 mmHg.
Nadi 70x/menit, respiras 12x/menit, suhu 36,5˚C. Kesadaran compos mentis, keadaan
umum tampak sakit sedang, konjunctiva tidak anemis, thorax dalam batas normal,
terdapat nyeri tekan di regio epigastrium, peristaltik normal, ekstremitas dalam batas
normal.
1.2 Klarifikasi dan Definisi
a. Compos Mentis
Keadaan normal, sadar sepenuhnya dan dapat menjawab pertanyaan dengan baik.
b. Mual
Sensasi tidan menyenangkan yang samar pada epigastrium dan abdomen dengan
kecendrungan untuk muntah.
c. Regio Epigastrium
Regio pada ulu hati yang meliputi organ gaster, hepar, colon, dan duodenum.
d. Peristaltik
Gerakan mendorong karena kontraksi otot pada dinding kerongkongan.
e. Konjuctiva Anamis
Keadaan konjuctiva warna pucat, misal pada anemia.
1.3 Kata Kunci
1. Wanita, 32 tahun
2. Sakit perut di bagian atas
3. Tidak disertai pusing & demam
4. Keluhan serupa 3 tahun lalu
5. TTV normal
6. Riwayat penyakit lain (-)
7. Nyeri tekan di epigastrium
8. Makan tidak teratur
9. Mengonsumsi minuman bersoda
10. Disertai rasa mual
1.4 Rumusan Masalah
Seorang wanita, 32 tahun mengeluh di perut bagian atas sejak 2 jam yang lalu. Disertai
mual, perut terasa penuh, dan nyeri tekan di epigastrium.
1.5 Analisis Masalah Wanita usia 32 tahun

Anamnesis

Keluhan Utama Perjalanan Penyakit Riwayat Pasien


Sakit di perut bagian Keluhan sejak 2 jam Keluhan utama yang
atas sejak 2 jam lalu lalu sama pada 3 tahun lalu
1 jam kemudian pasien yang disertai demam
Keluhan Penyerta makan namun nyeri dan muntah
Mual masih terasa Tidak ada riwayat
Perut terasa penuh penyakit lain
Konsumsi obat maag,
pusing, dan muntah
Pemeriksaan Fisik Makan tidak teratur
TTV normal
Nyeri tekan pada regio
epigastrium

Diagnosis Awal
Dispepsia

Pemeriksaan Penunjang
Endoskopi

Diagnosis Kerja
Gastritis

Tata Laksana
Farmakologi & Edukasi
1.6 Hipotesis
Wanita, 32 tahun menderita gastritis.
1.7 Pertanyaan Diskusi
1. Regio Epigastrium
a. Anatomi
b. Fisiologi
2. Dispepsia
a. Definisi
b. Etiologi
c. Gejala
d. Red flag
e. Klasifikasi
f. Diagnosis
3. Gastritis
a. Definisi
b. Etiologi
c. Manifestasi klinis
d. Patofisiologi
e. Pemeriksaan penunjang
f. Diagnosis
g. Tata laksana
4. Sistem proteksi lambung
5. Mekanisme mual dan muntah
6. Studi kasus :
a. Hubungsn pola makan & minuman bersoda dengan kasus
b. Hubungan obat-obatan yang dikonsumsi dengan kasus
7. DD :
a. Gerd
b. Ulkus peptikum
BAB II
PEMBAHASAN

1. Regio Epigastrium
a. Anatomi 1,2
Sistem pencernaan terdiri atas saluran pencernaan dan kelenjar-kelenjar yang
berhubungan. Saluran pencernaan dimulai dari bibir sampai dengan anus. Pada beberapa
tempat mengalami dilatasi serta menempuh arah yang berliku-liku. Makanan dapat
bergerak ke belakang karena adanya gerakan peristaltik, dan gerakan anti peristaltik.
Gerakan ini dimungkinkan karena adanya lapisan otot (tunica muscularis) pada dinding
saluran pencernaan.
Organ-organ sistem pencernaan:
Organ utama :
a. Gaster
Gaster merupakan segmen saluran pencernaan yang melebar, yang fungsi utamanya
adalah menampung makanan yang telah dimakan, mengubahnya menjadi bubur yang
liat yang dinamakan kimus (chyme). Permukaan gaster ditandai oleh adanya
peninggian atau lipatan yang dinamakan rugae. Invaginasi epitel pembatas lipatan-
lipatan tersebut menembus lamina propria, membentuk alur mikroskopik yang
dinamakan gastric pits atau foveolae gastricae. Bagian dari gaster adalah :
1. Fundus gastricus, bagian yang menonjol ke atas terletak sebelah kiri osteum
kardium dan biasanya penuh berisi udara.
2. Corpus gastricum, terbentang dari ostium cardiacum sampai incisura angularis.
3. Antrum pyloricum, terbentang dari incisura angularis sampai pylorus.
4. Curvatura minor, terdapat di sebelah kanan lambung, terbentang dari osteum
cardiacum sampai ke pylorus.
5. Curvatura mayor, terbentang dari sisi kiri osteum cardiacum melalui fundus
gastricus menuju ke kanan sampai ke pylorus inferior.
6. Osteum cardiacum, merupakan tempat esophagus bagian abdomen masuk ke
lambung.
Gaster memiliki tiga lapisan otot yaitu m. longitudinalis, m. sirkularis, dan m.
oblique.
b. Intestinum tenue
Intestinum tenue relatif panjang  kira-kira 6 m. Panjang ini memungkinkan kontak
yang lama antara makanan dan enzim-enzim pencernaan serta antara hasil-hasil
pencernaan dan sel-sel absorptif epitel pembatas.

Usus halus terletak di daerah umbilkius dan dikelilingi oleh usus besar dan dibagi
menjadi beberpa segmen. Usus halus terdiri atas 3 segmen yaitu duodenum, jejunum,
dan ileum. Membran mukosa usus halus menunjukkan sederetan lipatan permanen
yang disebut plika sirkularis.
Mukosa usus halus dibatasi oleh beberapa jenis sel, yang paling banyak adalah sel
epitel toraks (absorptif), sel paneth, dan sel-sel yang mengsekresi polipeptida
endokrin.
1. Sel toraks adalah sel-sel absorptif yang ditandai oleh adanya permukaan apikal
yang mengalami spesialisasi yang dinamakan ”striated border” yang tersusun atas
mikrovili. Mikrovili mempunyai fungsi fisiologis yang penting karena sangat
menambah permukaan kontak usus halus dengan makanan. Striated border
merupakan tempat aktivitas enzim disakaridase usus halus. Enzim ini terikat pada
mikrovili, menghidrolisis disakarida menjadi monosakarida, sehingga mudah
diabsorbsi. Di tempat yang sama diduga terdapat enzim dipeptidase yang
menghidrolisis dipeptida menjadi unsur-unsur asam aminonya. Fungsi sel toraks
usus halus lebih penting adalah mengabsorbsi zat-zat sari-sari yang dihasilkan dari
proses pencernaan.
2. Sel-sel goblet terletak terselip diantara sel-sel absorpsi, jumlahnya lebih sedikit
dalam duodenum dan bertambah bila mencapai ileum. Sel goblet menghasilkan
glikoprotein asam yang fungsi utamanya melindungi dan melumasi mukosa
pembatas usus halus.
3. Sel-sel Paneth (makrofag) pada bagian basal kelenjar intestinal merupakan sel
eksokrin serosa yang mensintesis lisosim yang memiliki aktivitas antibakteri dan
memegang peranan dalam mengawasi flora usus halus.
4. Sel-sel endokrin saluran pencernaan. Hormon-hormon saluran pencernaan antara
lain: sekretin, dan kolesistokinin (CCK). Sekretin berperan sekresi cairan pankreas
dan bikarbonat. Kolesistokinin berperan merangsang kontraksi kandung empedu
dan sekresi enzim pankreas. Dengan demikian, aktivitas sistem pencernaan
diregulasi oleh sistem saraf dan hormon-hormon peptida.
Duodenum
Disebut juga usus 12 jari, panjangnya + 25 cm, berbentuk sepatu kuda
melengkung ke kiri. Pada lengkungan ini terdapat pankreas. Pada bagian kanan
duodenum ini terdapat selaput lendir yang disebut vateri. Pada papila vateri ini
bermuara duktus empedu (duktus koleduokus) dan salurann pankreas (dukus
pankreatikus).
1) Tunika Mukosa
Epitel kolumner simpleks dengan mikrovili, terdapat vili intestinalis dan sel
goblet. Pada lamina propia terdapat kelenjar intestinal lieberkuhn.
2) Tunika Submukosa
Jaringan ikat longgar. Terdapat kelenjar duodenal Brunner (ciri utama pada
duodenum yang menghasilkan mucus dan ion bikarbonat). Trdapat plak
payeri (nodulus lymphaticus agregatia/ gundukan sel limfosit)
3) Tunika Muskularis
Terdiri atas otot sirkular (bagian dalam) dan otot longitudinal (bagian luar).
Diantaranya dipisah oleh pleksus mienterikus auerbach.
4) Tunika Serosa
Merupakan peritoneum visceral dengan epitel squamosa simpleks, yang diisi
pembuluh darah dan sel-sel lemak.

Jejunum
Vili paling besar, lakteal berkembang sempurna, absorbsi maksimal. Dan tidak
ada kelenjar Brunner dan plaque Peyeri. Mempunyai panjang sekitar 6 meter. Dua
perlima bagian atas adalah jejunum + 2,5 m dan sisanya adalah ileum.

Ileum
Ileum dengan panjang sekitar 4-5 m. Ujung bawah ileum berhubungan dengan
sekum dengan perantaran lubang yang bernama orifisium ileosekalis dan
diperkuat oleh katup sfingter ileosekalis.
1) Banyak limfonoduli agregatii didalam lamina propria (Peyer’s patches,
plaques Peyeri )
2) Folikel limf berbentuk buah pir bulat, kubah menonjol kearah lumen
3) Terdapat sel khusus yang berfungsi untuk transport antigen dari lumen usus
ke folikel limfoid, disebut sel M .
Perbedaan Jejunum dan Ileum

Jejunum Ileum
2/5 proksimal usus halus,
Bagian tidak termasuk 3/5 distal usus halus
duodenum
Diameter 4 cm 3,5 cm
Ketebalan dinding Lebih tebal Lebih tipis
Plica sirkularis Besar, jelas Kecil
Vasa recta panjang Pendek
Arcade 1-2 lapis 3 lapis/lebih
Warna Lebih terang (pink) Lebih gelap (merah)
Villi chorialis sedikit Banyak dan panjang
Limfosit Tersebar rata/soliter Berkumpul/teragregasi
Lemak Disimpan di dekat radix Di seluruh bagian

c. Intestinum Crasum
Intestinum crasum memiliki panjang + 1½ m, dan lebar 5-6 cm. Lapisan-lapisan usus
besar dari dalam ke luar: selaput lendir, lapisan otot melingkar, lapisan otot
memanjang, dan jaringan ikat.
Usus besar terdiri atas membran mukosa tanpa lipatan kecuali pada bagian
distalnya (rektum) dan tidak terdapat vili usus. Epitel yang membatasi adalah toraks
dan mempunyai daerah kutikula tipis. Fungsi utama usus besar adalah:
1) Untuk absorpsi air dan pembentukan massa feses,
2) Pemberian mukus dan pelumasan permukaan mukosa, dengan demikian
banyak sel goblet.
Appendix

1) Lamina propria dan mukosa bagian atas di infiltrasi secara luas oleh limfosit
2) Terdapat massa jaringan limfoid pada mukosa dan sub mukosa .
3) Lumen biasanya terlihat hampir segitiga .

Kolon
Ada beberapa bagian yang membentuk usus besar :
1) Sekum
Di bawah sekum terdapat apendiks vermiformis yang berbentuk seperti cacing
sehingga disebut juga umbai cacing. Panjangnya sekitar 6 cm, seluruhnya ditutupi
oleh peritoneum.

2) Kolon asenden
Panjangnya sekitar 13 cm, terletak di bawah abdomen, membujur ke atas dari ileum
ke bawah hati. Di bawah hati melengkung ke kiri yang disebut fleksure hepatica, dan
dilanjutkan sebagai kolon tranvesum.
3) Kolon tranvesum
Panjangnya sekitar 38 cm, membujur dari kolon asenden sampai ke kolon desendens,
sebelah kanan terdapat fleksure hepatica dan sebelah kiri terdapat fleksure renalis.
4) Kolon desenden
Panjangnya sekitar 25 cm, terletak di bawah abdomen sebelah kiri membujur dari atas
ke bawah dari fleksure renalis sampai ke kolon sigmoid.
5) Kolon sigmoid
Kolon sigmoid merupakan kelanjutan dari kolon desenden, terletak miring dalam
rongga pelvis sebelah kiri, bentuknya menyerupai huruf S, ujung bawahnya
berhubungan dengan rectum.

Pada umumnya, hal hal yang terdapat pada kolon adalah sebagai berikut
1) Tidak terdapat lipatan mukosa, Tidak terdapat vili .
2) Kriptus panjang, didominasi oleh sel goblet dan sel absorbtif dengan mikovili
yang pendek .
3) Fungsi utama kolon: penyerapan air, pembentukan massa feses dan produksi
mukus .
4) Lamina propria mempunyai banyak jaringan limfoid yang termasuk kedalam gut-
asociated limphoid tissue (GALTs).
Rectum – Anus
Rektum  terletak di bawah  kolon sigmoid yang menghubungkan intestinum mayor
dengan anus, terletak dalam rongga pelvis depan os sacrum dan os koksigis. Anus adalah
bagian dari saluran pencernaan yang menghubungkan rectum dengan dunia luar.
Terletak di dasar pelvis, dindingnya diperkuat oleh 3 sfingter :
1.  Sfingter ani internus (sebelah atas), involunter.
2.  Sfingter levator ani, bersifat involunter.
3.  Sfingter ani eksternus (sebelah bawah), bersifat volunter.

b. Fisiologi 3
Lambung melakukan tiga fungsi utama:
1) Fungsi terpenting lambung adalah menyimpan makanan yang masuk hingga makanan
dapat disalurkan ke usus halus dengan kecepatan yang sesuai unhik pencernaan dan
penyerapan yang optimal. Diperlukan waktu beberapa jam tmtuk mencerna dan
menyerap satu porsi makanan yang dikansumsi hanya dalam bilangan menit. Karena
usus halus adalall tempat utama pencernaan dan penyerapan, lambung perlu
menyimpan makanan dan menyalurkannya ke duodenum dengan kecepakan yang
tidak melebihi kapasitas usus halus.
2) Lambung mengeluarkan asam hidroklorida (HCI) dan enzim yang memulai
pencernaan protein.
3) Melalui gerakan mencampur lambung, makanan yang tertelan dihaluskan dan
dicampur dengan sekresi lambung untuk menghasilkan campuran cair kental yang
dikenal sebagai kimus. Isi lambung harus diubah menjadi kimus sebelum dapat
dialirkan ke duodenum.
Lambung memiliki motilitas yang kompleks dan berada di bawah banyak sinyal regulatorik.
Empat aspek motilitas lambung adalah (1) pengisian, (2) penyimpanan, (3) pencampuran, dan
(4) pengosongan.

2. Dispepsia
4
a. Definisi
Kata dispepsia berasal dari Bahasa Yunani dys (bad = buruk) dan peptein (digestion=
pencernaan). Jika digabungkan dispepsia memiliki arti indigestion yang berarti sulit atau
ketidaksanggupan dalam mencerna. Jadi dispepsia didefinisikan sebagai kesulitan dalam
mencerna yang ditandai oleh rasa nyeri atau terbakar di epigastrium yang persisten atau
berulang atau rasa tidak nyaman dari gejala yang berhubungan dengan makan (rasa
penuh setelah makan atau cepat kenyang – tidak mampu menghabiskan makanan dalam
porsi normal).

b. Etiologi 5
Dispepsia paling sering disebabkan oleh ulkus lambung atau penyakit acid reflux. Jika
memiliki penyakit acid reflux maka asam lambung terdorong ke atas menuju esofagus
(saluran muskulo membranosa yang membentang dari faring ke dalam lambung). Hal ini
menyebabkan nyeri di dada. Beberapa obat-obatan seperti obat anti radang dapat
menyebabkan dispepsia. Terkadang penyebab dispepsia belum dapat ditemukan. Penyebab
dispepsia antara lain:
1. Menelan udara (aerofagi).
2. Regurgitasi (alir balik, refluks) asam dari lambung.
3. Iritasi lambung (gastritis).
4. Ulkus gastrikum atau ulkus duodenalis.
5. Kanker lambung.
6. Peradangan kandung empedu (kolesistitis).
7. Intoleransi laktosa (ketidakmampuan mencerna susu dan produknya).
8. Kelainan gerakan usus.
9. Stress psikologis, kecemasan, atau depresi.
10. Infeksi Helicobacter pylori.

Berdasarkan kategorinya, penyebab dispepsia antara lain:


1. Non-ulcer dyspepsia adalah dispepsia yang tidak diketahui penyebabnya karena bila
diendoskopi di bagian kerongkongan, perut, atau duodenum terlihat normal dan tidak
menunjukkan borok sama sekali. Diperkirakan 6 dari 10 penderita dispepsia termasuk
golongan ini.
2. Duodenal and stomach (gastric) ulcers yakni dispepsia yang disebabkan oleh borok
di usus dua belas jari atau lambung. Jenis ini kerap disebut peptic ulcer.
3. Duodenitis dan gastritis atau radang di usus dua belas jari dan/atau lambung. Radang
tersebut bisa saja ringan atau parah dikarenakan tergantung lukanya. Gastritis akut
dapat disebabkan karena stres, zat kimia misalnya obat-obatan dan alkohol, makanan
yang pedas, panas maupun asam. Pada pasien yang mengalami stres akan terjadi
perangsangan saraf simpatis nervus vagus yang akan meningkatkan produksi asam
klorida (HCl) didalam lambung. Adanya HCl yang berada di dalam lambung akan
menimbulkan rasa mual, muntah, dan anoreksia. Zat kimia maupun makanan yang
merangsang akan menyebabkan sel epitel kolumner yang berfungsi untuk
menghasilkan mukus mengurangi produksinya sedangkan fungsi mukus adalah untuk
memproteksi lambung. Respon mukosa lambung karena penurunan sekresi mukus
bervariasi diantaranya vasodilatasi sel mukosa gaster. Lapisan mukosa gaster terdapat
sel yang memproduksi HCl (terutama daerah fundus) dan pembuluh darah.
Vasodilatasi mukosa gaster akan menyebabkan produksi HCl meningkat. Anoreksia
juga dapat menyebabkan rasa nyeri. Rasa nyeri ini ditimbulkan oleh karena kontak
HCl dengan mukosa gaster. Respon mukosa lambung akibat penurunan sekresi mukus
dapat berupa eksfeliasi (pengelupasan). Eksfeliasi sel mukosa gaster akan
mengakibatkan erosi pada sel mukosa. Hilangnya sel mukosa akibat erosi memicu
timbulnya perdarahan. Perdarahan yang terjadi dapat mengancam hidup penderita,
namun dapat juga berhenti sendiri karena proses regenerasi sehingga erosi
menghilang dalam waktu 24±48 jam setelah perdarahan. Helicobacter pylori
merupakan bakteri gram negatif. Organisme ini menyerang sel permukaan gaster,
memperberat timbulnya deskuamasi sel, dan munculah respon radang kronis pada
gaster yaitu destruksi kelenjar dan metaplasia.
4. Acid reflux, oesophagitis and GERD. Acid reflux terjadi ketika zat asam keluar dari
lambung dan naik ke kerongkongan. Acid reflux bisa menyebabkan esofagitis (radang
kerongkongan) atau gastro-esophagealreflux disease (GERD ± acid reflux dengan
atau tanpa esofagitis).
c. Gejala 6
Didasarkan atas gejala yang dominan, membagi dyspepsia menjadi 3 tipe :

1. Dyspepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulkus-like dyspepsia) dengan gejala :


a. Nyeri epigastrium terlokalisasi
b. Nyeri hilang setelah makan
c. Nyeri saat lapar
d. Nyeri episodic
2. Dyspepsia dengan gejala dismotilitas (dysmotility-like dyspepsia) dengan gejala :
a. Mudah kenyang
b. Perut cepat terasa penuh saat makan
c. Mual
d. Muntah
e. Rasa tidak nyaman bertambah saat makan
3. Dyspepsia mixed / gabungan, yang gejalanya gabungan antara nyeri di ulu hati dan
rasa mual, kembung dan muntah tapi tidak ada yang spesifik atau dominan.

d. Red flag 7,8


Tabel Gejala dan tanda alarm (red flags)
Usia >55 tahun

Perdarahan saluran cerna (hematemesis, melena)

Anemia

Cepat kenyang/penuh

Disfagia (sulit menelan) atau odinofagia (nyeri


menelan)
Penurunan berat badan (>10% berat normal)

Muntah berulang
Limfadenopati
Riwayat keluarga kanker lambung/esofagus

Teraba massa abdominal

e. Klasifikasi 9,10,11,12,13
Pengelompokkan mayor dyspepsia terbagi atas dua kelompok, yaitu dispepsia organik dan
dispepsia non organik (dispepsia fungsional).

1. Dispepsia organik
Dispepsia organik adalah keadaan yang disertai kelainan struktural pada organ
sebagai penyebabnya yang ditemukan dari pemeriksaan endoskopi. Jenis-jenis dispepsia
organik antara lain:

a. Tukak pada saluran cerna atas


Keluhan yang sering terjadi nyeri epigastrum. Nyeri yang dirasakan yaitu nyeri
tajam dan menyayat atau tertekan, penuh atau terasa perih seperti orang lapar.
Nyeri epigastrum terjadi 30 menit sesudah makan dan dapat menjalar ke
punggung. Nyeri dapat berkurang atau hilang sementara sesudah makan atau
setelah minum antasida. Gejala lain seperti mual, muntah, bersendawa, dan kurang
nafsu makan
b. Gastritis
Gastritis adalah peradangan/inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung.
Penyebabnya oleh makanan atau obat-obatan yang mengiritasi mukosa lambung
dan adanya pengeluaran asam lambung yang berlebihan. Gejala yang timbul
seperti mual, muntah, nyeri epigastrum, nafsu makan menurun, dan kadang terjadi
perdarahan.
c. Gastro Esophageal Reflux Disease
GERD adalah kelainan yang menyebabkan cairan lambung mengalami refluks
(mengalir balik) ke kerongkongan dan menimbulkan gejala khas berupa rasa
panas terbakar di dada (heart burn), kadang disertai rasa nyeri serta gejala lain
seperti rasa panas dan pahit di lidah, serta kesulitan menelan. Belum adates
standart mendiagnosa GERD, kejadiannya diperkirakan dari gejala-gejala
penyakit lain atau ditemukannya radang pada esofagus seperti esophagitis.
d. Karsinoma
Karsinoma pada saluran pencernaan (esofagus, lambung, pankreas, kolon) sering
menimbulkan dispepsia. Keluhan utama yaitu rasa nyeri diperut, bertambah
dengan nafsu makan turun, timbul anoreksia yang menyebabkan berat badan
turun.
e. Pankreatitis
Gambaran yang khas dari pankreatitis akut ialah rasa nyeri hebat di epigastrum.
Nyeri timbul mendadak dan terus menerus, seperti ditusuk-tusukdan terbakar.
Rasa nyeri dimulai dari epigastrum kemudian menjalar ke punggung. Perasaan
nyeri menjalar ke seluruh perut dan terasa tegang beberapa jam kemudian. Perut
yang tegang menyebabkan mual dan kadang-kadang muntah. Rasa nyeri di perut
bagian atas juga terjadi pada penderita pankreatitis kronik. Pada pankreatitis
kronik tidak ada keluhan rasa pedih, melainkan disertai tanda-tanda diabetes
melitus atau keluhan steatorrhoe.
f. Dyspepsia pada sindrom malabsorbsi
Malabsorpsi adalah suatu keadaan terdapatnya gangguan proses absorbsi dan
digesti secara normal pada satu atau lebih zat gizi. Penderita ini mengalami
keluhan rasa nyeri perut, nausea, anoreksia, sering flatus, kembung dan timbulnya
diare berlendir.
g. Gangguan metabolism
Diabetes Mellitus (DM) dapat menyebabkan gastroparesis yang hebat sehingga
muncul keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, mual dan muntah.
Definisi gastroparesis yaitu ketidakmampuan lambung untuk mengosongkan
ruangan. Ini terjadi bila makanan berbentuk padat tertahan di lambung. Gangguan
metabolik lain seperti hipertiroid yang menimbulkan nyeri perut dan vomitus.
h. Dyspepsia akibat infeksi bakteri Helicobacter Pylori

Penemuan bakteri ini dilakukan oleh dua dokter peraih nobel dari Australia, Barry
Marshall dan Robin Warre yang menemukan adanya bakteri yang bisa hidup dalam
lambung manusia. Penemuan ini mengubah cara pandang ahli dalam mengobati penyakit
lambung. Penemuan ini membuktikan bahwa infeksi yang disebabkan oleh Helicobacter
pyloripada lambung dapat menyebabkan peradangan mukosa lambung yang disebut
gastritis. Proses ini berlanjut sampai terjadi ulkus atau tukak bahkan dapat menjadi
kanker.

f. Diagnosis 14
Sindrom dispepsia dapat didiagnosis berdasarkan kriteria diagnosis Rome III. Berdasarkan
kriteria diagnosis Rome III, sindroma dispepsia didiagnosis dengan gejala seperti rasa penuh
yang mengganggu, cepat kenyang, rasa tidak enak atau nyeri epigastrium, dan rasa terbakar
pada epigastrium. Pada kriteria tersebut juga dinyatakan bahwa dispepsia ditandai dengan
adanya satu atau lebih dari gejala dispepsia yang diperkirakan berasal dari daerah
gastroduodenal. Penegakan diagnosis dispepsia memerlukan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium sederhana, dan pemeriksaan tambahan, seperti pemeriksaan
radiologis dan endoskopi.
Pada anamnesis, ada tiga kelompok besar pola dispepsia yang dikenal yaitu:
 Dispepsia tipe seperti ulkus (nyeri di epigastrium terutama saat lapar/epigastric
hunger pain yang reda dengan pemberian makanan, antasida, dan obat antisekresi
asam).
 Dispepsia tipe dismotilitas (dengan gejala yang menonjol yaitu mual, kembung, dan
anoreksia).
 Dispepsia non spesifik, dimana tidak ada keluhan yang dominan.

Terdapat batasan waktu yang ditujukan untuk meminimalisasi kemungkinan adanya


penyebab organik. Jika terdapat alarm symptoms atau alarm sign seperti penurunan berat
badan, timbulnya anemia, muntah yang prominen, maka hal tersebut merupakan petunjuk
awal akan kemungkinan adanya penyebab organik yang membutuhkan pemeriksaan
penunjang diagnostik secara lebih intensif seperti endoskopi. Tidak semua pasien dispepsia
dilakukan pemeriksaan endoskopi dan banyak pasien yang dapat ditatalaksana dengan baik
dan diagnosis secara klinis dengan baik kecuali bila ada alarm sign. Bila terdapat salah satu
atau lebih pada tabel tersebut ada pada pasien, sebaiknya dilakukan pemeriksaan endoskopi.

3. Gastritis
a. Definisi 15
Gastritis merupakan keadaan peradangan atau pendarahan pada mukosa lambung yang
dapat bersifat akut, kronis, difusi atau local.

b. Etiologi 16
Penyebab asam lambung tinggi antara lain: aktivitas padat sehingga telat makan,
stress tinggi yang berimbas pada produksi asam lambung berlebih. Faktor lain yaitu
infeksi kuman(e-colli, salmonella atau virus), pengaruh obat-obatan, konsumsi alkohol
berlebih. Secara hispatologi dapat dibuktikan dengan adanya infiltrasi sel-sel.

c. Manifestasi klinis 17
1. Gastritis Akut : nyeri epigastrium, mual, muntah, dan perdarahan terselubung maupun
nyata. Dengan endoskopi terlihat mukosa lambung, hyperemia dan udiem, mungkin
juga ditemukan erosi dan pendarahan aktif.
2. Gastritis Kronik : kebanyakan gastritis asimptomatik, keluhan lebih berkaitan dengan
komplikasi gastritis atrofik, seperti tukak lambung, defisiensi zat besi, anemia
pernisiosa, dan karsinoma lambung.

d. Patofisiologi 18
1. Gastritis Akut. Zat iritasi yang masuk ke dalam lambung akan mengiritasi mukosa
lambung. Jika mukosa lambung teriritasi ada dua hal yang akan terjadi antara lain:
a. Oleh karena terjadi iritasi mukosa lambung sebagai kompensasi lambung, maka
lambung akan meningkatkan sekresi mukosa yang berupa HCO 3. Di lambung
HCO3 akan berikatan dengan NaCL sehingga menghasilkan HCI dan NaCO3.
Hasil dari penyawaan tersebut akan meningkatkan asam lambung. Jika asam
lambung meningkat, maka akan meningkatkan mual, muntah, dan akan terjadi
gangguan nutrisi cairan serta elektrolit.
b. Iritasi mukosa lambung akan menyebabkan mukosa inflamasi. Jika mukus yang
dihasilkan dapat melindungi mukosa lambung dari kerusakan HCL maka akan
terjadi hemostatis dan akhirnya akan terjadi penyembuhan tetapi jika mukus gagal
melindungi mukosa lambung maka akan terjadi erosi pada mukosa lambung. Jika
erosi ini terjadi dan sampai pada lapisan pembuluh darah maka akan terjadi
perdarahan yang akan menyebabkan nyeri dan hypovolemik.
2. Gastritis Kronik. Gastritis kronik disebabkan oleh gastritis akut yang berulang
sehingga terjadi iritasi mukosa lambung yang berulang-ulang dan terjadi
penyembuhan yang tidak sempurna. Akibatnya akan terjadi atrofi kelenjar epitel dan
hilangnya sel pariental dan sel chief. Oleh karena sel pariental dan sel chief hilang,
maka produksi HCL, pepsin, dan fungsi intinsik lainnya akan menurun dan dinding
lambung juga menjadi tipis serta mukosanya rata. Gastritis bisa sembuh dan juga bisa
terjadi perdarahan serta formasi ulcer.

e. Pemeriksaan penunjang 19
a. EGD (esofagogastriduodenoskopi) : tes diagnostic kunci untuk pendarahan GI atas,
dilakukan untuk melihat sisi perdarahan/derajat ulkus jaringan/cedera. Endoskopi
dapat melihat adanya ketidaknormalan pada saluran cerna yang mungkin terlihat
dengan sinar-X. Tes ini dilakukan dengan cara memasukkan sebuah selang kecil yang
fleksibel (endoskop) melalui mulut dan masuk ke dalam esophagus, lambung, dan
bagian atas usus kecil. Tenggorokan akan terlebih dahulu dimati-rasakan (anestesi)
sebelum endoskop dimasukkan untuk memastikan pasien merasa nyaman menjalani
tes. Jika ada jaringan yang mencurigakan, maka dilakukan biopsi
b. Minum barium dengan foto rontgen : dilakukan untuk membedakan diagnosis
penyebab/lesi.
c. Analisis gaster : dapat dilakukan untuk menentukan adanya darah, mengkaji sekretori
mukosa gaster, contoh peningkatan asam hidroklorik dan pembentukan asam
nocturnal penyebab ulkus duodenal. Penurunan atau jumlah diduga ulkus gaster,
dipersekresi berat dan asiditas menunjukkan sindrom Zollinger-Elison.
d. Amylase serum : meningkat dengan ulkus duodenal, kadar rendah diduga gastritis.
e. Pemeriksaan darah : dilakukan untuk memeriksa adanya antibody H. Pylori dalam
darah. Hasil tes yang positif menunjukkan bahwa pasien pernah kontak dengan bakteri
pada suatu waktu dalam hidupnya, tapi itu tidak menunjukkan bahwa pasien tersebut
terkena infeksi. Tes darah dapat juga dilakukan untuk memeriksa anemia, yang terjadi
akibat pendarahan lambung akibat gastritis.
f. Pemeriksaan pernapasan : tes ini dapat menentukan apakah pasien terinfeksi oleh
H.pylori atau tidak.
g. Pemeriksaan feses : tes ini memeriksa apakah terdapat H.pylori dalam feses atau
tidak. Hasil yang positif mengindikasikan terjadinya infeksi. Pemeriksaan juga
dilakukan terhadap adanya darah dalam feses untuk melihat adanya pendarahan pada
lambung.
f. Diagnosis 20,21
Kebanyakan gastritis tanpa gejala. Mereka yang mempunyai keluhan biasanya berupa
keluhan yang tidak khas. Keluhan yang sering diohubung-hubungkan dengan gastritis
adalah nyeri panas dan pedih diulu hati disertai mual kadang-kadang sampai muntah.
Keluhan-keluhan tersebut juga tidak dapat digunakan sebagai alat evaluasi keberhasilan
pengobatan. Pemeriksaan fisis juga tidak dapat memberikan informasi yang dibutuhkan
untuk menegakkan diagnosis.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan endoskopi dan histopatologi.
Sebaiknya biopsi dilakukan dengan sistematis sesuai dengan update sydney system yang
mengharuskan mencantumkan topografi. Gambaran endoskopi yang dapat dijumpai adalah
eritema, eksudatif, flat erosion, raised erosion, perdarahan, edematous rugae. Perubahan-
perubahan histopatologi selain menggambarkan perubahan morfologi sering juga
menggambarkan proses yang mendasari, misalnya otoimun atau respon adaptif mukosa
lambung. Peubahan-perubahan yang terjadi berupa degradasi epitel, hyperplasia foveolar,
infiltrasi netrofil, inflamasi sel mononuklear, folikel limpoid, atropi, intestinal metaplasia,
hyperplasia sel endokrin, kerusakan sel parietal.

g. Tata laksana 22,23,24


A. Tatalaksana secara farmakologi
1. Antasida untuk menetralisisr asam lambung dan menghilangkan rasa nyeri
2. Pompa proton pencegah pertumbuhan bakteri digunakan untuk menghentikan
produksi asam lambung dan menghambat ineksi bakteri H.Pylori
3. Agen cytoprotektif untuk melindungi jaringan mukosa lambung dan usus halus.
4. Obat anti sekretorik untuk menekan sekresi asam lambung
5. Pankreatin untuk mengatasi gangguan pencernaan seperti perut kembung, mual,
dan sering mengeluarkan gas
6. Ranitidin mengobati tukak lambung
7. Simetidin mengobati dispepsia
B. Penatalaksanaan non farmakologi
1. Gastritis kronik diatasi dengan memodifikasi diet pasien, dan meningkatkan
istirahat pasien

4. Sistem proteksi lambung 25


Permukaan mukosa lambung ditutupi oleh suatu lapisan mucus yang berasal dari sel
epitel permukaan dan sel mukus. Mukus ini berfungsi sebagai sawar protektif
terhadap beberapa bentuk cedera yang dapat mengenai mukosa lambung:
1. Berkat sifat pelumasannya, mukus melindungi mukosa lambung dari cedera mekanis.
2. Mukus membantu mencegah dinding lambung mencerna dirinya sendiri karena pepsin
terhambat jika berkontak dengan lapisan rnukus yang menutupi bagian dalam
lambung. (Namun, mukus tidak memengaruhi aktivitas pepsin di lunien, tempat
pencernaan protein makanan berlangsung tanpa gangguan.)
3. Karena bersifat basa, mukus inernbantu melindungi lambung dari cedera asam karena
menetralkan HCl di dekat lapisan dalam lambung, tetapi tidak mengganggu fungsi
HCl di lumen. Sementara pH di lumen dapat serendah 2, pH di lapisan mukus di
samping permulcaan sel mukosa adalah sekitar 7.

5. Mekanisme mual dan muntah 26

Jalur alamiah dari muntah juga belum sepenuhnya dimengerti namun beberapa
mekanisme patofisiologi diketahui menyebabkan mual dan muntah telah diketahui.
Koordinator utama adalah pusat muntah, kumpulan saraf – saraf yang berlokasi di
medulla oblongata.
Saraf –saraf ini menerima input dari :

 Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ) di area postrema

 Sistem vestibular (yang berhubungan dengan mabuk darat dan mual karena
penyakit telinga tengah)

 Nervus vagus (yang membawa sinyal dari traktus gastrointestinal)

 Sistem spinoreticular (yang mencetuskan mual yang berhubungan dengan


cedera fisik)

 Nukleus traktus solitarius (yang melengkapi refleks dari gag refleks)

Sensor utama stimulus somatik berlokasi di usus dan CTZ. Stimulus emetik dari usus
berasal dari dua tipe serat saraf aferen vagus.
 Mekanoreseptor : berlokasi pada dinding usus dan diaktifkan oleh kontraksi
dan distensi usus, kerusakan fisik dan manipulasi selama operasi.

 Kemoreseptor : berlokasi pada mukosa usus bagian atas dan sensitif terhadap
stimulus kimia.

Pusat muntah, disisi lateral dari retikular di medula oblongata, memperantarai

refleks muntah. Bagian ini sangat dekat dengan nukleus tractus solitarius dan area

postrema. Chemoreseptor Trigger Zone (CTZ) berlokasi di area postrema. Rangsangan

perifer dan sentral dapat merangsang kedua pusat muntah dan CTZ. Afferent dari faring,

GI tract, mediastinum, ginjal, peritoneum dan genital dapat merangsang pusat muntah.

Sentral dirangsang dari korteks serebral, cortical atas dan pusat batang otak, nucleus

tractus solitarius, CTZ, dan sistem vestibular di telinga dan pusat penglihatan dapat juga

merangsang pusat muntah. Karena area postrema tidak efektif terhadap sawar darah otak,

obat atau zat-zat kimia di darah atau di cairan otak dapat langsung merangsang CTZ.

Reseptor sepeti 5-HT3, dopamin tipe 2 (D2), opioid dan neurokinin-1 (NK-1) dapat
dijumpai di CTZ. Nukleus tractus solitarius mempunyai konsentrasi yang tinggi pada
enkepalin, histaminergik, dan reseptor muskarinik kolinergik. Reseptor-reseptor ini
mengirim pesan ke pusat muntah ketika di rangsang. Sebenarnya reseptor NK-1 juga
dapat ditemukan di pusat muntah. Pusat muntah mengkoordinasi impuls ke vagus, frenik,
dan saraf spinal, pernafasan dan otot- otot perut untuk melakukan refleks muntah.

6. Studi kasus :

a. Hubungan Pola Makan dan Minuman Bersoda dengan Kasus 27,28

Pola makan merupakan salah satu faktor risiko gastritis. Orang yang memiliki pola
makan tidak teratur mudah terserang gastritis. Pada saat perut harus diisi, tetapi dibiarkan
kosong atau ditunda pengisiannya, sehingga asam lambung akan mencerna lapisan
mukosa lambung sehingga timbul rasa nyeri. Asam lambung akan terus diproduksi setiap
waktu dalam jumlah yang kecil, setelah 4-6 jam sesudah makan biasanya kadar glukosa
dalam darah telah banyak terserap dan terpakai sehingga tubuh akan merasakan lapar dan
pada saat itu jumlah asam lambung akan terstimulasi. Bila seseorang telat makan sampai
2-3 jam, maka asam lambung yang diproduksi semakin banyak dan berlebih sehingga
dapat mengiritasi mukosa lambung serta menimbulkan rasa nyeri di sekitar epigastrium.

Minuman bersoda atau minuman ringan berkarbonasi mengandung kafein, CO2, dan
asam fosfat merupakan satu di antara faktor eksogen yang dapat menimbulkan kerusakan
mukosa lambung dengan merangsang peningkatan sekresi asam lambung (HCl).
Kandungan kafein, CO2, dan asam fosfat dalam minuman ringan berkarbonasi akan
membentuk suasana asam (pH 2-3) dan akan menambah suasana asam di dalam lambung
dengan memicu sekresi asam lambung yang berlebih oleh sel. Apabila hal ini terjadi
terus-menerus, paparan ini akan menginduksi stres oksidatif pada mukosa lambung. Stres
oksidatif mengakibatkan permeabilitas mukosa lambung meningkat, sehingga
memudahkan terjadinya difusi-balik asam ke dalam sel. Difusi-balik asam lambung
mengakibatkan timbulnya kerusakan jaringan, terutama pembuluh darah. Selain itu
peningkatan sekresi asam lambung ini juga akan merangsang penurunan kadar enzim
siklooksigenase (COX-1), prostaglandin (PG-2), dan sitoprotektif gaster. Barrier mukosa
lambung yang terganggu keseimbangannya secara terus-menerus akan mengakibatkan
terjadinya iritasi pada mukosa lambung. Iritasi dapat berupa hiperemi ringan dengan
edema disertai sel radang, limfosit, makrofag, PMN, dan eosinofil pada lapisan
permukaan dari lamina propria.

b. Hubungan Konsumsi Obat dengan Kasus 29


Beberapa macam obat yang bersifat asam atau basa keras dapat menyebabkan
gastritis. Obat-obatan yang mengandung salisilat misalnya aspirin (sering digunakan
sebagai obat pereda sakit kepala) dalam tingkat konsumsi yang berlebihan dapat
menimbulkan gastritis
Obat-obat tertentu yang mengandung aspirin, obat-obat reumatik, dan golongan
kortikosteroid dapat menyebabkan penyakit gastitis bila lambung penderitanya terlalu
peka terhadap bahan-bahan tersebut
Radang lambung atau gastritis dapat pula disebabkan oleh beberapa obat seperti
NSAIDs (asetosal, indometasin, dan lain-lain ), kortikosteroid. Obat tersebut dapat
menghambat produksi prostaglandin tertentu dengan efek pelindung terhadap mukosa.
Selain itu penggunaan dalam kadar tinggi dapat merusak barrier mucus lambung dan
dapat mengakibatkan pendarahan
Caruso, dkk meneliti secara gastrokopis efek OAINS yang diberikan tunggal atau
kombinasi pada 164 pasien dengan artritis reumatoid dan 84 pasien dengan osteoartritis.
Selama 1 tahun pengobatan, ternyata secara endoskopis dipastikan mengalami lesi gaster.
Diperkirakan terjadi ulkus gastrointestinal, pendarahan, dan perforasi pada kurang lebih
12% dari seluruh pasien yang menggunakan OAINS selama 3 bulan dan 25% pada
pasien yang menggunakan OAINS selama 1 tahun. Risiko kumulatif dari keadaan di atas
akan meningkat dengan lamanya pengobatan
Menurut Lintott (1983) melakukan pemeriksaan gastroskopi berturut-turut pada 16
penderita yang minum tablet aspirin, asam salisilat yang telah dihancurkan. Tiga belas
orang dari 16 penderita yang minum 15 gram aspirin, terlihat mukosa yang hiperemik
sampai pembengkakan pembuluh-pembuluh darah dengan pendarahan sub mukosa.
Ternyata bahwa aspirin yang tidak larut dapat menyebabkan timbulnya iritasi lambung
secara tidak langsung.

7. DD :
a. GERD 30,31,32,33
Gastroesophageal reflux disease (GERD) adalah suatu keadaan patologis sebagai
akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus dengan berbagai gejala yang
timbul akibat keterlibatan esofagus, laring, dan saluran nafas. GERD bisa dibagi menjadi
tipe erosif dan non-erosif. Beberapa faktor risiko terjadinya refluks gastroesofageal
antara lain: obesitas, usia lebih dari 40 tahun, wanita, ras (India lebih sering mengalami
GERD), hiatal hernia, kehamilan, merokok, diabetes, asma, riwayat keluarga dengan
GERD, status ekonomi lebih tinggi, dan skleroderma. Pada sebagian orang, makanan
dapat memicu terjadinya refluks gastroesofageal, seperti bawang, saos tomat, mint,
minuman berkarbonasi, coklat, kafein, makanan pedas, makanan berlemak, alkohol,
ataupun porsi makan yang terlalu besar. Beberapa obat dan suplemen diet pun dapat
memperburuk gejala refluks gastroesofageal, dalam hal ini obat-obatan yang
mengganggu kerja otot sfinter esofagus bagian bawah, seperti sedatif, penenang,
antidepresan, calcium channel blockers, dan narkotika. Termasuk juga penggunaan rutin
beberapa jenis antibiotika dan non steroidal antiinflammatory drugs (NSAIDs) dapat
meningkatkan kemungkinan terjadinya inflamasi esofagus. Terapi GERD bertujuan
untuk mengurangi jumlah asam lambung yang memasuki esofagus distal dengan cara
menetralkan asam lambung, mengurangi produksi, dan meningkatkan pengosongan
lambung ke duodenum, serta menghilangkan ketidaknyamanan akibat rasa terbakar.
Terapi pilihan, yaitu PPI atau H2-blocker, dapat didukung dengan pemberian antasida,
agonis 5-HT4, atau analog prostaglandin (sukralfat, misoprostol). Edukasi pasien untuk
mengurangi makanan/minuman pemicu gejala dispepsia (pedas, berlemak, asam, kopi,
dan alkohol), membiasakan makan porsi sedikit frekuensi sering, tidak langsung
berbaring setelah makan, elevasi tubuh bagian atas saat tidur dan menurunkan berat
badan direkomendasikan.

b. Ulkus peptikum 34
1) Definisi
Ulkus peptikum merupakan luka terbuka dengan pinggir edema disertai indurasi
dengan dasar tukak tertutup debris. Ulkus peptikum merupakan erosi lapisan mukosa
biasanya di lambung atau duodenum.
Ulkus peptikum adalah keadaan terputusnya kontinuitas mukosa yang meluas di
bawah epitel atau kerusakan pada jaringan mukosa, submukosa hingga lapisan otot
dari suatu daerah saluran cerna yang langsungberhubungan dengan cairan lambung
asam/pepsin.
2) Etiologi
Kasus ulkus peptikum kebanyakan disebabkan oleh infeksi Helicobacterpylori dan
penggunaan NSAID. Jumlah penderita ulkus duodenum di Amerika Serikat akibat
Helicobacterpylori yang tidak menggunakan NSAID kurang 75%. Dalam salah satu
penelitian, pasien yang tidak menggunakan NSAID, 61% merupakan penderita ulkus
duodenum dan 63% merupakan penderita ulkus lambung positif terinfeksi
Helicobacter pylori. Hasil ini lebih rendah pada ras kulit putih dibandingkan ras
yang tidak berkulit putih.
3) Patofisiologi
Permukaan epitelium dari lambung atau usus rusak dan berulkus dan hasil dari
inflamasi menyebar sampai ke dasar mukosa dan submukosa. Asam lambung dan
enzim pencernaan memasuki jaringan menyebabkan kerusakan lebih lanjut pada
pembuluh darah dan jaringan disekitarnya.
BAB III
KESIMPULAN

Wanita, 32 tahun mengalami Dispepsia.


DAFTAR PUSTAKA

1. S. Ethel. W. palupi (ed). 2013. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Penerbit Buku
Kedokteran.
2. Syaifuddin. 2002. Struktur & Komponen Tubuh Manusia. Penerbit Buku Kedokteran
EGC: Jakarta.
3. Sherwood L. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem Edisi 8. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2015.
4. Talley, N.J., Segal, I., Weltman, M.D., 2008. Gastroenterology and Hepatology: A
Clinical Handbook. ed. Australia: Churchill Livingstone, 42-51.
5. Nadarajan G. Gambaran Tentang Dispepsia Pada Pegawai Kesehatan di Klinik
Kesehatan Taman Medan Maju Jaya Petaling Jaya, Malaysia. Skripsi. 2013.
Makassar: Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
6. Arif Mansjoer. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Media Aesculapius: Jakarta; 2001
7. Otero W, Zuleta MG, Otero L. Update on approaches to patients with dyspepsia and
functional dyspepsia. Rev Col Gastroenterol. 2014;29(2):129-34.
8. Talley NJ, Ford AC. Functional dyspepsia. New England Journal of Medicine 2015;
373(19):1853-63.
9. Hadi S. Gastroenterology. Bandung: Alumni Bandung; 2002.
10. Sutanto, Hariwijaya M., Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Kronis. EDSA
Mahkota: Jakarta; 2007.
11. Berdanier, CD. Nutrient Interaction in Berdanier, D. Dweyer, J.F, Elaine B.
Handbook Of Nutrition And Food. 2nd Edition. USA : CRC Press; 2008.
12. Aru W, Sudoyo. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, edisi V. Jakarta: Interna
Publishing; 2009.
13. Rani AA, Jacobus A. Buku Ajar Gastroenterologi. Jakarta Pusat: Interna Publishing;
2011.
14. Djojoningrat D. Dispepsia Fungsional dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I,
Edisi 5. Jakarta : InternaPublishing; 2009
15. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisihal : 749
16. Simadibrata M, Fauzi A. Penyakit Tropik Infeksi Gastrointestinal dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakt Dalam Edisi VI Jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyeakit Dalam FKUI; 2014.
17. Darmawan, Wisnu Dwi. 2014. Asuhan Keperawatan pada Ny.Y dengan Gastritis
Erosif di Ruang Bougenvile RSUD Banyumas. Purwokerto: Fakultas Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Purwokerto
18. Khanza N, Isnandari N, Lestari OP, Ariyati R. Asuhan Keperawatan dengan
Gastritis. Klaten: Stikes Muhammadiyah Klaten.
19. Misnadiarly. Mengenal Penyakit Organ Cerna : Gastritis (Dyspepsia), Infeksi
Mycobacteria pada Ulser Gastrointestinal. Jakarta : Pustaka Populer Obor.
20. Sudoyo, Aru, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi V. Jakarta: Interna
Publishing. 2009.
21. Tanto, Chris, dkk. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ke-4. Jakarta: Media
Aesculapius. 2014.
22. Priyanto, Agus dan Lestari. Endoskopi Gastrointestinal. Jakarta: Selemba Medika.
2009
23. Sukarmin. Keperawatan Pada Sistem Pencernaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2012
24. Muttaqin, Arif dan Sari Kumala. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medical Bedah. Jakarta: Selemba Medika. 2011
25. Sherwood L. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem Edisi 8. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2015.
26. Susanti, L., Tarigan, M., & Manusia, D. D. K. D. Karakteristik Mual dan Muntah
Serta Upaya Penanggulangan. Univ. Sumatera Utara. 2013.
27. Smeltzer, Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Bruner and Suddarth,
Ed 8. Jakarta: EGC; 2010
28. Isselbacher. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Alih Bahasa Asdie
Ahmad H Edisi, 13. Jakarta: EGC. p 223; 2012
29. Murjayanah, Hanik. Faktor-Faktor Resiko yang Berhubungan dengan Kejadian
Gastritis (Studi di RSU dr. R. Soetrasno Rembang tahun 2010). Semarang : Jurusan
Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Keolahragaan Universitas Negeri Semarang
2010
30. Makmun D. Penyakit refluks gastroesofageal. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam, Edisi VI.
Jakarta: Interna Publishing; 2015. hal.1750-7.
31. Vakil N, van Zanten SV, Kahrilas P, Dent J, Jones R; Global Consensus Group. The
Montreal definition and classification of gastroesophageal reflux disease: a global
evidence-based consensus. Am J Gastroenterol. 2006;101(8):1900-20.
32. Schellack N, Schellack G, Sandt N, Masuku B. Gastric pain. S Afr Fam Pract. 2015;
57(4):13-9.
33. Otero W, Zuleta MG, Otero L. Update on approaches to patients with dyspepsia and
functional dyspepsia. Rev Col Gastroenterol. 2014;29(2):129-34.
34. Djajapranata, Indrawan. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed 3. Jilid 2. Jakarta:
FKUI; 2001.

Anda mungkin juga menyukai