NPM : 1910631210060
Kelas : Farmasi 2B
Tugas Mikrobiologi
Bab Virus
1. Zika Virus
A. Deskripsi Virus
B. Penularan Virus
Virus zika menyebar pada manusia melalui gigitan nyamuk. Virus yang
diperoleh dari nyamuk genus Aedes meliputi Aedes africanus, Aedes
apicoargenteus, Aedes leuteocephalus, Aedes aegypti, Aedes vitattus dan Aedes
furcifer. Beberapa bukti menyebutkan bahwa virus zika juga dapat ditransmisikan
ke manusia melaui transfusi darah, transfusi perinatal dan transmisi seksual.
Namun, jenis transmisi ini sangat jarang. Virus ini juga ditemukan pada satu kasus
dalam air mani. [1]
C. Patofisiologi
Hanya sekitar 20-25% orang yang terinfeksi virus zika memunculkan gejala-
gejala. Gejala infeksi virus zika yang paling umum yaitu:
Demam
Demam makulopapular
Sakit sendi (arthritis, arthralgia)
Konjungtivitis (mata merah)
Myalgia
Infeksi zika lebih serius karena berhubungan dengan dua kondisi syaraf:
2. HIV/AIDS
A. Deskripsi virus
B. Penularan Virus
C. Patofisiologi
Patofisiologi HIV dimulai dari transmisi virus ke dalam tubuh yang
menyebabkan infeksi yang terjadi dalam 3 fase: serokonversi, asimtomatik,
dan acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). HIV ditransmisikan melalui
cairan tubuh dari orang yang terinfeksi HIV seperti darah, ASI, semen dan sekret
vagina. Virus masuk ke dalam tubuh manusia melalui port d’entree yang terdapat
pada tubuh, umumnya kemungkinan ini meningkat melalui perilaku berisiko yang
dilakukan. Infeksi HIV terdiri dari 3 fase: serokonversi, asimtomatik, dan AIDS.
[4]
1) Serokonversi
Fase serokonversi terjadi di masa awal infeksi HIV. Pada fase ini,
terjadi viremia plasma dengan penyebaran yang luas dalam tubuh,
selama 4-11 hari setelah virus masuk melalui mukosa tubuh. Kondisi
ini dapat bertahan selama beberapa minggu, dengan gejala yang cukup
ringan dan tidak spesifik, umumnya berupa demam, flu-like
syndrome, limfadenopati dan ruam-ruam. Kemudian, keluhan akan
berkurang dan bertahan tanpa gejala mengganggu. Pada masa ini,
umumnya akan mulai terjadi penurunan nilai CD4, dan
peningkatan viral-load.
2) Fase Asimtomatik
Pada fase asimtomatik, HIV sudah dapat terdeteksi melalui
pemeriksaan darah. Penderita infeksi HIV dapat hidup bebas gejala
hingga 5-10 tahun walau tanpa intervensi pengobatan. Pada fase ini,
replikasi virus terus berjalan, virulensi tinggi, viral load stabil tinggi,
serta terjadi penurunan CD4 secara konstan.
3) Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)
Pada fase AIDS, umumnya viral-load tetap berada dalam kadar
yang tinggi. CD4 dapat menurun hingga lebih rendah dari 200/µl. Infeksi
oportunistik mulai muncul secara signifikan. Infeksi oportunistik ini
bersifat berat, meliputi dan mengganggu berbagai fungsi organ dan sistem
dalam tubuh. Menurunnya CD4 mempermudah infeksi dan perubahan
seluler menjadi keganasan. Infeksi oportunistik berupa:
Demam > 2 minggu
Tuberkulosis paru
Tuberkulosis ekstra paru
Sarkoma kaposi
Herpes rekuren
Limfadenopati
Candidiasis orofaring
Wasting syndrome [4]
3. DBD
A. Deskripsi virus
C. Patofisiologi
Cacar air/ Chicken Pox/Varicella adalah salah satu dari penyakit kulit
yang disebabkan oleh virus varicella zoster (VZV). Infeksi primer virus ini
menyebabkan penyakit cacar air, sedangkan reaktivasi menyebabkan herpes
zoster. Virus varicella termasuk family herpesvirus dan virus DNA envelope. [6]
B. Penularan Virus
C. Patofisiologi
Patofisiologi cacar air (varicella) dimulai pada saat varicella-
zoster virus (VZV) masuk ke tubuh melalui mukosa saluran nafas atau orofaring.
Pada fase viremia pertama terjadi penyebaran virus dari lokasi masuknya virus
menuju ke pembuluh darah dan limfe. Selanjutnya VZV akan berkembang biak di
sel retikuloendotelial. Pada kebanyakan kasus, virus dapat mengatasi mekanisme
sistem imunitas tubuh non-spesifik seperti interferon.
Fase viremia kedua terjadi 14-16 hari kemudian ketika virus kembali
memasuki aliran darah. Pada saat ini akan muncul demam dan malaise. Terjadi
penyebaran virus ke seluruh tubuh, khususnya kulit dan mukosa. Infeksi VZV
pada lapisan Malphigi menghasilkan edema intraselular dan edema interselular
yang memberi gambaran khas pada bentuk vesikel. Pada keadaan normal siklus
ini akan berakhir setelah 3 hari akibat berhasilnya sistem kekebalan humoral dan
selular spesifik. Timbulnya penyulit diakibatkan kegagalan respons imun tubuh
mengatasi replikasi dan penyebaran virus.
5. Rabies
A. Deskripsi Virus
Rabies adalah penyakit yang ditularkan oleh gigitan hewan (anjing) gila
dan virus dapat disebarkan oleh beberapa jenis kelelawar . Virus Rabies yang
termasuk virus ss –RNA envelope dari golongan Rhabdoviridae, memiliki ukuran
75 x 180 nm dengan panjang genom 12.000 bp. Virus Rabies memiliki lima jenis
partikel protein yang berbeda, yakni dua protein berada pada amplop (G dan M)
dan tiga protein pada nukleokapsid (L, N, dan P). [9]
B. Penularan virus
Cara penularan virus Rabies dapat melalui gigitan dan non gigitan
(aerogen, transplantasi, kontak dengan bahan mengandung virus rabies pada kulit
lecet atau mukosa). Cakaran oleh kuku hewan penular rabies adalah berbahaya
karena binatang menjilati kuku - kukunya. Luka gigitan biasanya merupakan
tempat masuknya virus melalui saliva, virus tidak bisa masuk melalui kulit utuh.
[9]
C. Patofisiologi
Patogenesis rabies diawali dengan penyebaran virus rabies melalui saraf
perifer ke sistem saraf pusat (SSP), pembelahan virus di SSP serta penyebaran
melalui saraf otonom dan somatik menuju jaringan yang kaya sel saraf seperti
kelenjar ludah. Setelah virus masuk ke badan, virus rabies dapat membelah di sel
otot rangka dan menginfeksi serabut otot. Virus juga dapat menginfeksi serabut
saraf sekitar otot yang terinfeksi dan bergerak ke SSP melalui akson yang
menghubungkan neuron yang berdekatan. Replikasi virus umumnya terjadi di
neuron namun dapat pula ditemukan di sel glia. Virus dapat ditemukan di ganglia
dorsal dalam kurun 60-72 jam pasca inokulasi sebelum akhirnya menuju neuron
saraf spinal.
Terdapat bukti keterlibatan taut neuromuskuler pada invasi virus terhadap
neuron dan hambatan pada reseptor asetilkolin dapat menghambat perlekatan
virus. Namun, juga ditemukan adanya bukti bahwa virus rabies dapat masuk ke
neuron yang tak mengekspresikan reseptor asetilkolin sehingga terdapat indikasi
bahwa ada peran reseptor selain asetilkolin dalam masuknya virus rabies ke dalam
neuron.
1) Replikasi Lokal pada Sel Saraf
Untuk meningkatkan efisiensi inokulasi, virus rabies bereplikasi lokal
sebelum menginfeksi sel saraf. Itulah sebabnya, pemberian imunoglobulin
antirabies dan imunisasi aktif dapat membantu mengurangi penyebaran virus
ke sel saraf sehingga mencegah terjadinya manifestasi penyakit. Saat virus
telah mencapai saraf perifer, virus mudah menyebar ke SSP sebab metode
pengobatan terkini belum ada yang mampu mencegah hal tersebut. Virus
rabies menyebar ke SSP melalui transpor aksonal yang melibatkan interaksi
rantai dynein sitoplasma dengan fosfoprotein pada virus. Setelah mencapai
SSP, virus dengan mudah menyerang seluruh neuron SSP menurut pola
hubungan sinaptik antar neuron.
2) Penyebaran ke Seluruh Tubuh
Setelah mencapai SSP, virus menyebar ke seluruh tubuh melalui jalur
saraf perifer. Adanya temuan kadar virus yang tinggi di kelenjar ludah
membuktikan bahwa terdapat kemungkinan replikasi virus yang tinggi di
kelenjar ludah. Mekanisme kerusakan SSP oleh virus rabies masih belum
diketahui dengan pasti. Namun, gangguan transmisi saraf dan sistem opioid
endogen serta peningkatan produksi oksida nitrat (NO) oleh virus rabies
mengisyaratkan adanya proses eksitotoksisitas. Selain itu, infeksi virus rabies
juga berhubungan dengan apoptosis limfosit T dan diduga menyebabkan
kegagalan sistem imun dalam mengendalikan penyakit. Namun, keterkaitan
antara keduanya masih perlu dipelajari lebih lanjut. [10]
1. Stadium Prodromal
Gejala awal yang terjadi sewaktu virus menyerang susunan saraf pusat
adalah perasaan gelisah, demam, malaise, mual, sakit kepala, gatal, merasa
seperti terbakar, kedinginan, kondisi tubuh lemah dan rasa nyeri di
tenggorokan selama beberapa hari.
2. Stadium Sensoris
Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas
luka kemudian disusul dengan gejala cemas dan reaksi yang berlebihan
terhadap ransangan sensoris.
3. Stadium Eksitasi
Tonus otot-otot akan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan gejala
berupa eksitasi atau ketakutan berlebihan, rasa haus, ketakutan terhadap
rangsangan cahaya, tiupan angin atau suara keras. Umumnya selalu
merintih sebelum kesadaran hilang. Penderita menjadi bingung, gelisah,
rasa tidak nyaman dan ketidakberaturan. Kebingungan menjadi semakin
hebat dan berkembang menjadi argresif, halusinasi, dan selalu ketakutan.
Tubuh gemetar atau kaku kejang.
4. Stadium Paralis
Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium eksitasi.
Kadang-kadang ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala eksitasi,
melainkan paresis otot - otot yang bersifat progresif. Hal ini karena
gangguan sumsum tulang belakang yang memperlihatkan gejala paresis
otot-otot pernafasan. [9]
DAFTAR PUSTAKA
[1] Krisna, LAW. Zika Outbreak : What You Need to Know. J. Meditory. 2016;
4(2): 134-44
[4] Noya, Alert. Patofisiologi HIV (Internet). Situs Alomedika. [Tanggal Sitasi: 9
Maret 2020. Dikutip dari https://www.alomedika.com/penyakit/penyakit-
infeksi/hiv/patofisiologi]
[6] Sinagar, Dameria. Cacar Air. Jakarta : Departemen Biomedik Dasar UKI;
Tanpa Tahun
[7] Aninditya, N dan Nur, AVI. Infeksi Varisela Zoster pada Kehamilan. J.
Majority. 2018; 7(3): 197-01
[8] Arliesta, Amanda Sonia. Patofisiologi Cacar Air (Vericella) (Internet). Situs
Alomedika. [Tanggal Sitasi: 9 April 2020. Dikutip dari
https://www.alomedika.com/penyakit/penyakit-infeksi/cacar-air/patofisiologi]
[9] Subawa, AAN, dkk. Rabies Virus Infecion : Confirmed by PCR [File Riwayat
Penelitian]. Bali: Departemen Patologi dan Neurologi FK Universitas Udayana;
Tanpa Tahun
[10] Sunita. Patofisiologi Rabies (Internet). Situs Alomedika. [Tanggal Sitasi : 9
April 2020. Dikutip dari https://www.alomedika.com/penyakit/penyakit-
infeksi/rabies/patofisiologi]