Anda di halaman 1dari 11

Nama : Bunga Nur Annisa

NPM : 1910631210060
Kelas : Farmasi 2B

Tugas Mikrobiologi
Bab Virus
1. Zika Virus
A. Deskripsi Virus

Virus zika adalah virus RNA singlestranded positif. Adapun klasifikasi


sistematis virus zika yaitu:

Group: Group IV ((+)ssRNA)


Family: Flaviviridae
Genus: Flavivirus
Species: virus zika
Struktur virus zika biasanya berbentuk ikosahedral (kumpulan lipid yang
dilindungi oleh tonjolan padat, terdiri dari membran dan glikoprotein).
Terbungkus dengan diameter 18-45 nanometer. Genomenya adalah RNA strand
positif yang diselubungi kapsida dan dikelilingi membran. [1]

Gambar 1 : strukstur virus zika

B. Penularan Virus

Virus zika menyebar pada manusia melalui gigitan nyamuk. Virus yang
diperoleh dari nyamuk genus Aedes meliputi Aedes africanus, Aedes
apicoargenteus, Aedes leuteocephalus, Aedes aegypti, Aedes vitattus dan Aedes
furcifer. Beberapa bukti menyebutkan bahwa virus zika juga dapat ditransmisikan
ke manusia melaui transfusi darah, transfusi perinatal dan transmisi seksual.
Namun, jenis transmisi ini sangat jarang. Virus ini juga ditemukan pada satu kasus
dalam air mani. [1]

C. Patofisiologi

Tanda-tanda dan Gejala:

Hanya sekitar 20-25% orang yang terinfeksi virus zika memunculkan gejala-
gejala. Gejala infeksi virus zika yang paling umum yaitu:

 Demam
 Demam makulopapular
 Sakit sendi (arthritis, arthralgia)
 Konjungtivitis (mata merah)
 Myalgia

Infeksi zika lebih serius karena berhubungan dengan dua kondisi syaraf:

 Microcephaly: cacat kelahiran serius dimana bayi memiliki kepala kecil


dan perkembangan otak yang kurang sempurna. Hal ini dapat terjadi ketika
ibu terinfeksi selama tiga bulan pertama kehamilan.
 Sindrom Guillain-Barré: Sindrom Guillain-Barre (GBS) adalah gangguan
yang jarang dimana sistem imun seseorang merusak sel syaraf sehingga
menyebabkan kelemahan otot dan kadang paralisis. [1]

2. HIV/AIDS
A. Deskripsi virus

AIDS (Acquired Immunodeficiency Sindrom/ Sindrom imunodefisiensi)


adalah stadium akhir pada serangkaian abnormalitas imunologis dan klinis yang
yang dikenal sebagai spektrum infeksi HIV. HIV adalah virus RNA yang
termasuk ke dalam famili Retroviridae. Retrovirus adalah nama yang diberikan
kepada virus-virus RNA yang mengadakan replikasi melalui DNA intermediate di
dalam sel, yang informasi genetiknya dikatalisis oleh enzim RNA-directed DNA
polymerase atau yang disebut reverse transcriptase. Di dalam famili Retroviridae
ini HIV termasuk ke dalam subfamili Lentivirinae (Bahas Latin : lentus = lambat),
karena infeksi berjalan secara lambat yaitu berlangsung beberapa bulan sampai
beberapa tahun sejak invasi ke dalam sel sampai akhirnya menimbulkan gejala-
gejala klinik. HIV merupakan virus RNA berbentuk sferis dengan diameter 100
nm, terdiri dari bagian inti (core) berbentuk silindris dan dikelilingi oleh selubung
(envelope) sehingga virus ini peka terhadap inaktivasi. [2]

B. Penularan Virus

HIV ditularkan selama kontak seksual (termasuk seks genital-oral),


melalui paparan parenteral (pada transfusi darah yang terkontaminasi dan
pemakaian bersama jarum suntik / injecting drugs use (IDU)) dan dari ibu kepada
bayinya selama masa perinatal. [3]

C. Patofisiologi
Patofisiologi HIV dimulai dari transmisi virus ke dalam tubuh yang
menyebabkan infeksi yang terjadi dalam 3 fase: serokonversi, asimtomatik,
dan acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). HIV ditransmisikan melalui
cairan tubuh dari orang yang terinfeksi HIV seperti darah, ASI, semen dan sekret
vagina. Virus masuk ke dalam tubuh manusia melalui port d’entree yang terdapat
pada tubuh, umumnya kemungkinan ini meningkat melalui perilaku berisiko yang
dilakukan. Infeksi HIV terdiri dari 3 fase: serokonversi, asimtomatik, dan AIDS.
[4]

1) Serokonversi
Fase serokonversi terjadi di masa awal infeksi HIV. Pada fase ini,
terjadi viremia plasma dengan penyebaran yang luas dalam tubuh,
selama 4-11 hari setelah virus masuk melalui mukosa tubuh. Kondisi
ini dapat bertahan selama beberapa minggu, dengan gejala yang cukup
ringan dan tidak spesifik, umumnya berupa demam, flu-like
syndrome, limfadenopati dan ruam-ruam. Kemudian, keluhan akan
berkurang dan bertahan tanpa gejala mengganggu. Pada masa ini,
umumnya akan mulai terjadi penurunan nilai CD4, dan
peningkatan viral-load.
2) Fase Asimtomatik
Pada fase asimtomatik, HIV sudah dapat terdeteksi melalui
pemeriksaan darah. Penderita infeksi HIV dapat hidup bebas gejala
hingga 5-10 tahun walau tanpa intervensi pengobatan. Pada fase ini,
replikasi virus terus berjalan, virulensi tinggi, viral load stabil tinggi,
serta terjadi penurunan CD4 secara konstan.
3) Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)
Pada fase AIDS, umumnya viral-load tetap berada dalam kadar
yang tinggi. CD4 dapat menurun hingga lebih rendah dari 200/µl. Infeksi
oportunistik mulai muncul secara signifikan. Infeksi oportunistik ini
bersifat berat, meliputi dan mengganggu berbagai fungsi organ dan sistem
dalam tubuh. Menurunnya CD4 mempermudah infeksi dan perubahan
seluler menjadi keganasan. Infeksi oportunistik berupa:
 Demam > 2 minggu
 Tuberkulosis paru
 Tuberkulosis ekstra paru
 Sarkoma kaposi
 Herpes rekuren
 Limfadenopati
 Candidiasis orofaring
 Wasting syndrome [4]

3. DBD
A. Deskripsi virus

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang banyak


ditemukan di sebagian besar wilayah tropis dan subtropis, terutama asia tenggara,
Amerika tengah, Amerika dan Karibia. Host alami DBD adalah manusia,
agentnya adalah virus dengue yang termasuk ke dalam famili Flaviridae dan
genus Flavivirus. Virus dengue adalah virus RNA positif Envelope. [5]
B. Penularan virus

Penularan virus dengue terjadi melalui gigitan nyamuk yang termasuk


subgenus Stegomya yaitu nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus sebagai
vektor primer dan Ae. polynesiensis, Ae.scutellaris serta Ae (Finlaya) niveus
sebagai vektor sekunder, selain itu juga terjadi penularan transexsual dari nyamuk
jantan ke nyamuk betina melalui perkawinan serta penularan transovarial dari
induk nyamuk ke keturunannya. Ada juga penularan virus dengue melalui
transfusi darah seperti terjadi di Singapura pada tahun 2007 yang berasal dari
penderita asimptomatik. Dari beberapa cara penularan virus dengue, yang paling
tinggi adalah penularan melalui gigitan nyamuk Ae. aegypti. Masa inkubasi
ekstrinsik (di dalam tubuh nyamuk) berlangsung sekitar 8-10 hari, sedangkan
inkubasi intrinsik (dalam tubuh manusia) berkisar antara 4-6 hari dan diikuti
dengan respon imun. [5]

C. Patofisiologi

Patofisiologi primer DBD adalah peningkatan akut permeabilitas vaskuler


yang mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler, sehingga
menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah. Pada kasus berat,
volume plasma menurun lebih dari 20%, hal ini didukung penemuan post mortem
meliputi efusi pleura, hemokonsentrasi dan hipoproteinemi. Setelah masuk dalam
tubuh manusia, virus dengue berkembang biak dalam sel retikuloendotelial yang
selanjutnya diikuti dengan viremia yang berlangsung 5-7 hari. Akibat infeksi ini,
muncul respon imun baik humoral maupun selular, antara lain anti netralisasi,
anti-hemaglutinin dan anti komplemen. Antibodi yang muncul pada umumnya
adalah IgG dan IgM, pada infeksi dengue primer antibodi mulai terbentuk, dan
pada infeksi sekunder kadar antibodi yang telah ada jadi meningkat.

Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar


demam hari ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga, dan
menghilang setelah 60-90 hari. Kinetik kadar IgG berbeda dengan kinetik kadar
antibodi IgM, oleh karena itu kinetik antibodi IgG harus dibedakan antara infeksi
primer dan sekunder. Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat sekitar demam
hari ke-14 sedang pada infeksi sekunder antibodi IgG meningkat pada hari kedua.
Oleh karena itu diagnosa dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan
mendeteksi antibodi IgM setelah hari sakit kelima, diagnosis infeksi sekunder
dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan antibodi IgG dan IgM
yang cepat. Patofisiologi DBD sampai sekarang belum jelas, oleh karena itu
muncul banyak teori tentang respon imun. [5]

4. Cacar Air/ Chicken Pox/Varicella


A. Deskrispi virus

Cacar air/ Chicken Pox/Varicella adalah salah satu dari penyakit kulit
yang disebabkan oleh virus varicella zoster (VZV). Infeksi primer virus ini
menyebabkan penyakit cacar air, sedangkan reaktivasi menyebabkan herpes
zoster. Virus varicella termasuk family herpesvirus dan virus DNA envelope. [6]

B. Penularan Virus

Penularan terjadi terutama melalui kontak langsung dan melalui droplet


pernapasan yang mengandung virus, membuat penyakit sangat menular bahkan
sebelum timbulnya ruam pertama. [7]

C. Patofisiologi
Patofisiologi cacar air (varicella) dimulai pada saat   varicella-
zoster virus (VZV) masuk ke tubuh melalui mukosa saluran nafas atau orofaring.
Pada fase viremia pertama terjadi penyebaran virus dari lokasi masuknya virus
menuju ke pembuluh darah dan limfe. Selanjutnya VZV akan berkembang biak di
sel retikuloendotelial. Pada kebanyakan kasus, virus dapat mengatasi mekanisme
sistem imunitas tubuh non-spesifik seperti interferon.
Fase viremia kedua terjadi 14-16 hari kemudian ketika virus kembali
memasuki aliran darah. Pada saat ini akan muncul demam dan malaise. Terjadi
penyebaran virus ke seluruh tubuh, khususnya kulit dan mukosa. Infeksi VZV
pada lapisan Malphigi menghasilkan edema intraselular dan edema interselular
yang memberi gambaran khas pada bentuk vesikel. Pada keadaan normal siklus
ini akan berakhir setelah 3 hari akibat berhasilnya sistem kekebalan humoral dan
selular spesifik. Timbulnya penyulit diakibatkan kegagalan respons imun tubuh
mengatasi replikasi dan penyebaran virus.

Paparan VZV pada individu dengan sistem imunitas yang baik


menghasilkan kekebalan tubuh berupa antibodi immunoglobulin G
(IgG), immunoglobulin M (IgM) dan immunoglobulin A (IgA) yang memberikan
efek proteksi seumur hidup. Pada umumnya individu hanya mengalami satu kali
infeksi varicella sepanjang hidupnya. Jika terjadi infeksi VZV kembali mungkin
berupa penyebaran ke kulit pada herpes zoster.

Setelah infeksi primer, VZV diduga bersembunyi dalam fase latennya di


ganglion dorsalis neuron sensoris. Reaktivasi virus VZV menimbulkan
sekumpulan gejala yang disebut herpes zoster atau ruam saraf (shingles), yaitu
berupa : lesi vesikuler pada kulit yang terdistribusi hanya pada dermatom neuron
sensoris tertentu. Reaktivasi virus VZV biasanya terjadi pada usia dewasa dan
bertahun-tahun setelah infeksi pertama cacar air. Penderita herpes zoster juga
dapat menularkan cacar air kepada orang lain, khususnya yang belum pernah
menderita cacar air. [8]

5. Rabies
A. Deskripsi Virus

Rabies adalah penyakit yang ditularkan oleh gigitan hewan (anjing) gila
dan virus dapat disebarkan oleh beberapa jenis kelelawar . Virus Rabies yang
termasuk virus ss –RNA envelope dari golongan Rhabdoviridae, memiliki ukuran
75 x 180 nm dengan panjang genom 12.000 bp. Virus Rabies memiliki lima jenis
partikel protein yang berbeda, yakni dua protein berada pada amplop (G dan M)
dan tiga protein pada nukleokapsid (L, N, dan P). [9]

B. Penularan virus

Cara penularan virus Rabies dapat melalui gigitan dan non gigitan
(aerogen, transplantasi, kontak dengan bahan mengandung virus rabies pada kulit
lecet atau mukosa). Cakaran oleh kuku hewan penular rabies adalah berbahaya
karena binatang menjilati kuku - kukunya. Luka gigitan biasanya merupakan
tempat masuknya virus melalui saliva, virus tidak bisa masuk melalui kulit utuh.
[9]

C. Patofisiologi
Patogenesis rabies diawali dengan penyebaran virus rabies melalui saraf
perifer ke sistem saraf pusat (SSP), pembelahan virus di SSP serta penyebaran
melalui saraf otonom dan somatik menuju jaringan yang kaya sel saraf seperti
kelenjar ludah. Setelah virus masuk ke badan, virus rabies dapat membelah di sel
otot rangka dan menginfeksi serabut otot. Virus juga dapat menginfeksi serabut
saraf sekitar otot yang terinfeksi dan bergerak ke SSP melalui akson yang
menghubungkan neuron yang berdekatan. Replikasi virus umumnya terjadi di
neuron namun dapat pula ditemukan di sel glia. Virus dapat ditemukan di ganglia
dorsal dalam kurun 60-72 jam pasca inokulasi sebelum akhirnya menuju neuron
saraf spinal.
Terdapat bukti keterlibatan taut neuromuskuler pada invasi virus terhadap
neuron dan hambatan pada reseptor asetilkolin dapat menghambat perlekatan
virus. Namun, juga ditemukan adanya bukti bahwa virus rabies dapat masuk ke
neuron yang tak mengekspresikan reseptor asetilkolin sehingga terdapat indikasi
bahwa ada peran reseptor selain asetilkolin dalam masuknya virus rabies ke dalam
neuron.
1) Replikasi Lokal pada Sel Saraf
Untuk meningkatkan efisiensi inokulasi, virus rabies bereplikasi lokal
sebelum menginfeksi sel saraf. Itulah sebabnya, pemberian imunoglobulin
antirabies dan imunisasi aktif dapat membantu mengurangi penyebaran virus
ke sel saraf sehingga mencegah terjadinya manifestasi penyakit. Saat virus
telah mencapai saraf perifer, virus mudah menyebar ke SSP sebab metode
pengobatan terkini belum ada yang mampu mencegah hal tersebut. Virus
rabies menyebar ke SSP melalui transpor aksonal yang melibatkan interaksi
rantai dynein sitoplasma dengan fosfoprotein pada virus. Setelah mencapai
SSP, virus dengan mudah menyerang seluruh neuron SSP menurut pola
hubungan sinaptik antar neuron.
2) Penyebaran ke Seluruh Tubuh
Setelah mencapai SSP, virus menyebar ke seluruh tubuh melalui jalur
saraf perifer. Adanya temuan kadar virus yang tinggi di kelenjar ludah
membuktikan bahwa terdapat kemungkinan replikasi virus yang tinggi di
kelenjar ludah. Mekanisme kerusakan SSP oleh virus rabies masih belum
diketahui dengan pasti. Namun, gangguan transmisi saraf dan sistem opioid
endogen serta peningkatan produksi oksida nitrat (NO) oleh virus rabies
mengisyaratkan adanya proses eksitotoksisitas. Selain itu, infeksi virus rabies
juga berhubungan dengan apoptosis limfosit T dan diduga menyebabkan
kegagalan sistem imun dalam mengendalikan penyakit. Namun, keterkaitan
antara keduanya masih perlu dipelajari lebih lanjut. [10]

Gejala klinis pada manusia dibagi menjadi empat stadium, yaitu:

1. Stadium Prodromal
Gejala awal yang terjadi sewaktu virus menyerang susunan saraf pusat
adalah perasaan gelisah, demam, malaise, mual, sakit kepala, gatal, merasa
seperti terbakar, kedinginan, kondisi tubuh lemah dan rasa nyeri di
tenggorokan selama beberapa hari.
2. Stadium Sensoris
Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas
luka kemudian disusul dengan gejala cemas dan reaksi yang berlebihan
terhadap ransangan sensoris.
3. Stadium Eksitasi
Tonus otot-otot akan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan gejala
berupa eksitasi atau ketakutan berlebihan, rasa haus, ketakutan terhadap
rangsangan cahaya, tiupan angin atau suara keras. Umumnya selalu
merintih sebelum kesadaran hilang. Penderita menjadi bingung, gelisah,
rasa tidak nyaman dan ketidakberaturan. Kebingungan menjadi semakin
hebat dan berkembang menjadi argresif, halusinasi, dan selalu ketakutan.
Tubuh gemetar atau kaku kejang.
4. Stadium Paralis
Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium eksitasi.
Kadang-kadang ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala eksitasi,
melainkan paresis otot - otot yang bersifat progresif. Hal ini karena
gangguan sumsum tulang belakang yang memperlihatkan gejala paresis
otot-otot pernafasan. [9]

DAFTAR PUSTAKA

[1] Krisna, LAW. Zika Outbreak : What You Need to Know. J. Meditory. 2016;
4(2): 134-44

[2] Sudigdoadi, Sunarjati. Imunopatogenesis Infeksi HIV. Jatinangor : Bagian


Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran; 2015

[3] Mariam, Siti. Perbandingan respon… [Tesis]. Depok: FMIPA Universitas


Indonesia; 2010

[4] Noya, Alert. Patofisiologi HIV (Internet). Situs Alomedika. [Tanggal Sitasi: 9
Maret 2020. Dikutip dari https://www.alomedika.com/penyakit/penyakit-
infeksi/hiv/patofisiologi]

[5] Candra, Ayu. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan


Faktor Risiko Penularan. J. Aspirator. 2010; 2(2): 110-19

[6] Sinagar, Dameria. Cacar Air. Jakarta : Departemen Biomedik Dasar UKI;
Tanpa Tahun

[7] Aninditya, N dan Nur, AVI. Infeksi Varisela Zoster pada Kehamilan. J.
Majority. 2018; 7(3): 197-01

[8] Arliesta, Amanda Sonia. Patofisiologi Cacar Air (Vericella) (Internet). Situs
Alomedika. [Tanggal Sitasi: 9 April 2020. Dikutip dari
https://www.alomedika.com/penyakit/penyakit-infeksi/cacar-air/patofisiologi]

[9] Subawa, AAN, dkk. Rabies Virus Infecion : Confirmed by PCR [File Riwayat
Penelitian]. Bali: Departemen Patologi dan Neurologi FK Universitas Udayana;
Tanpa Tahun
[10] Sunita. Patofisiologi Rabies (Internet). Situs Alomedika. [Tanggal Sitasi : 9
April 2020. Dikutip dari https://www.alomedika.com/penyakit/penyakit-
infeksi/rabies/patofisiologi]

Anda mungkin juga menyukai