Anda di halaman 1dari 39

GAMBARAN TELUR CACING STH (SOIL TRANSMINTED

HELMINTH) PADA BALITA STUNTING METODE

SEDIMENTASI MENGGUNAKAN EKSTRAK

UBI UNGU (IPOMOEA BATATAS L) DI

KABUPATEN BULUKUMBA

PROPOSAL KTI

Oleh :

ANDI AGUS. S

NIM : E.17.02.003

PROGRAM STUDI DIII ANALIS KESEHATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)

PANRITA HUSADA BULUKUMBA

2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Stunting merupakan salah satu penyakit yang menyebabkan infeksi seperti

diare, panas, batuk, pilek, dan sering terkena penyakit pada anak balita normal

karena kekurangan protein, gizi serta vitamin A yang dapat mempengaruhi

pertumbuhan dan daya tahan tubuh anak balita [ CITATION Kur17 \l 2057 ].

Di Indonesia stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak berusia di

bawah 5 tahun (balita) mengakibatkan kekurangan gizi kronik dan infeksi

berulang terutama pada periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu dari

janin hingga anak berusia 23 bulan. Anak di katakan stunting apabila panjang atau

tinggi badannya berada di bawah minus dari dua standar deviasi panjang atau

tinggi anak seumurannya (KEMENKES, 2018). Prevalensi gizi buruk dan gizi

kurang berdasarkan tinggi badan menurut umur (TB/U) yang di kumpulkan World

Health Organization (WHO), Indonesia termasuk negara urutan ke lima dengan

prevalensi di dunia. Rata-rata prevalensi di Indonesia tahun 2019 sebanyak 37%

(KEMENKES, 2019).

Infeksi stunting dapat terjadi di karenakan kurangnya zat gizi akibat dari

asupan makanan yang kurang, kondisi sosial ekonomi, di tambah dengan penyakit

infeksi dan masalah lingkungan. Selain itu dapat di sebabkan oleh kecacingan

yang di pengaruhi oleh beberapa faktor seperti sanitasi lingkungan dan higiene

personal yaitu kebiasaan mencuci tangan, frekuensi potong kuku anak, kebiasaan
bermain di tanah, kepemilikan jamban, lantai rumah dan ketersediaan air bersih

[ CITATION Ula18 \l 2057 ].

Kecacingan merupakan salah satu penyakit yang masih banyak terjadi di

kalangan masyarakat yang dapat disebabkan oleh infeksi cacing Soil Transmitted

Helminth (STH), yaitu kelompok cacing yang siklus hidupnya melalui tanah dan

pada umumnya terjadi di Negara bagian tropis maupun sub-tropis. Empat spesies

cacing yang termasuk dalam kelompok STH yang menjadi masalah kesehatan,

yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis dan

cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma sp) (susilawati & smaut,

2017).

Menurut KEMENKES (2017) menyatakan bahwa kecacingan merupakan

penyakit menular yang sangat berpengaruh pada kesehatan masyarakat di

Indonesia karena mengakibatkan di sebagian besar wilayah Indonesia dan

menyebabkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan, protein, dan

vitamin A.

Menurut World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa pada tahun

2019 lebih dari 1,5 miliar orang, atau 24% dari populasi dunia, terinfeksi Cacing

Soil Transmitted Helminth (STH) di seluruh dunia. Infeksi sudah tersebar luas di

daerah tropis maupun sub-tropis, dengan angka yang sangat besar terjadi di sub-

Sahara Afrika, Amerika, Cina dan Asia Timur. Bahkan lebih dari 267 juta anak-

anak usia prasekolah dan lebih 568 juta anak usia sekolah tinggal di daerah

dimana parasit ini secara intensif di transmisikan, sangat membutuhkan

pengobatan, perawatan dan intervensi pencegahan. Soil Transmitted Helminth

(STH) di tularkan melalui tanah oleh telur yang masuk ke dalam feses orang yang
terinfeksi. Spesies utama yang paling menginfeksi adalah cacing gelang (Ascaris

lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura) dan cacing tambang (Necator

americanus dan Ancylostoma duodenale).

Pemeriksaan telur cacing dapat di lakukan dengan 3 metode yang berbeda

yaitu metode kato katz, metode sedimentasi, dan metode pengapungan. Dari ke

tiga metode tersebut masing-masing menggunakan pewarna eosin, dan setiap

metode memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Dengan

pemeriksaan telur cacing sampel feses anak balita usia 2 – 5 tahun (Setiawan &

Khasanah, 2018)

Ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L. Poir) merupakan salah satu sumber

antosianin yang dapat berfungsi untuk pewarna alami, antioksidan, antimutagenik

dan antikarsinogen. Antosianin adalah kelompok pigmen yang larut dalam air

bertanggung jawab terhadap warna biru, ungu, violet, magenta, merah dan orange

(Armanzah & Hendrawati, 2016).

Ubi jalar ungu (Ipomoea Batatas L. Poir) merupakan zat mengandung lebih

dari 98% antosianin terasilasi dari konsentrasi antosianin yang terkandung di

dalam umbi. Jenis antosianin yang di temukan di dalam ubi jalar ungu adalah

sianidin 3-kafeol-sophorosida-5-glukosida dan peonidin 3-kafeol-sophorosida-5-

glukosida (Mahmudatussa’adah, Fardiaz, Andarwulan, & Kusnandar, 2015).

Ubi jalar ungu (Ipomoea Batatas L. Poir) mempunyai warna ungu yang

cukup pekat pada bagian daging ubinya, sehingga banyak menarik perhatian.

Warna ungu pada ubi jalar disebabkan oleh adanya pigmen yang memiliki warna

ungu pada antosianin yang menyebar dari bagian kulit sampai dengan daging

ubinya (Pratiwi & Priyani, 2019).


Antosianin yang terkandung dalam ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L. Poir)

di sebabkan oleh adanya zat warna alami. Kandungan antosianin yang berbeda

pada ubi ungu (Ipomoea batatas L. Poir), menyebabkan warna pada ubi ungu

berbeda beda. Zat antosianin pada ubi jalar ungu bisa di gunakan sebagai senyawa

antioksidan yang berguna bagi tubuh (Armanzah & Hendrawati, 2016)

Senyawa antosianin berfungsi sebagai antioksidan dan penangkap radikal

bebas, sehingga sangat penting untuk mencegah terjadinya penuaan, kanker, dan

penyakit degeneratif. Selain itu, antosianin juga dapat mencegah gangguan fungsi

hati, anti hipertensi, serta menurunkan kadar gula darah (Husna, Novita, &

Rohaya, 2013).

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu di lakukan penelitian tentang

penggunaan pewarna antosianin dari ekstrak ubi ungu pada pemeriksaan telur

cacing pada feses balita stunting dengan menggunakan metode sedimentasi.

B. Perumusan Masalah

Perumusan masalah dari penelitian ini adalah :

1. Apakah terdapat telur cacing STH pada balita stunting metode

sedimentasi ?

2. Apakah ekstrak ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L. Poir) dapat di

jadikan sebagai pewarna antosianin pada feses anak balita ?

C. Tujuan penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui adanya telur cacing STH pada balita stunting

metode sedimentasi.
2. Tujuan Khusus

Untuk mengetahui ekstrak ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L.

Poir) dapat di jadikan sebagai pewarna antosianin pada feses anak

balita.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Umum

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang

berkaitan dengan status dan intensitas gambaran telur cacing STH

pada balita stunting berdasarkan status gizi yang berguna untuk

menentukan kebijakan penanganan balita gizi buruk dan gizi kurang

di Kabupaten Bulukumba.

2. Manfaat Khusus

Dapat memberikan informasi apakah antosianin dapat

digunakan sebagai pewarna dalam pemeriksaan telur cacing di

Kabupaten Bulukumba.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori

1. Tinjauan umum mengenai kecacingan

Kecacingan merupakan salah satu penyakit yang masih banyak terjadi di

kalangan masyarakat yang dapat disebabkan oleh infeksi cacing Soil Transmitted

Helminth (STH), yaitu kelompok cacing yang siklus hidupnya melalui tanah.

Empat spesies cacing yang termasuk dalam kelompok STH yang menjadi masalah

kesehatan, yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides

stercoralis dan cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma sp).

[ CITATION sus17 \l 2057 ]

Menurut KEMENKES (2017) menyatakan bahwa kecacingan merupakan

penyakit yang menular yang sangat berpengaruh pada kesehatan masyarakat di

Indonesia karena mengakibatkan di sebagian besar wilayah Indonesia dan

menyebabkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan, protein, dan

vitamin A.

Infeksi cacing dapat terjadi dikarenakan beberapa faktor yaitu rendahnya

tingkat perilaku terhadap kebiasaan hidup bersih dan sehat seperti kebiasaan tidak

mencuci tangan sebelum makan dan setelah buang air besar (BAB), kebersihan

kuku, kebiasaan jajan disembarang tempat, bermain ditempat kotor, dan tidak

menggunakan alas kaki, serta kurangnya sumber air bersih. [ CITATION Res18 \l

2057 ]
Soil Transmitted Helminth (STH) merupakan suatu penyakit infeksi cacing

nematoda pada manusia yang dapat ditularkan melalui tanah dan pada umumnya

terjadi di negara bagian tropis maupun sub-tropis. Soil Transmitted Helminth

(STH) memiliki lima spesies cacing yang termasuk dalam kelompok yaitu Ascaris

lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis, Necator americanus

dan Ancylostoma duodenale. [ CITATION Kri19 \l 2057 ]

a. Ascaris lumbricoides (cacing gelang)

Cacing Ascaris Lumbricoides berukuran besar berwarna putih

kecoklatan atau kuning pucat. Panjang cacing betina 22-35 cm dan cacing

jantan 10-31 cm. Bentuknya silindris memanjang, ujung anterior tumpul

memipih dan ujung posterior yang runcing. Baik cacing jantan, maupun

betina memiliki mulut terdiri atas tiga buah bibir yaitu satu bibir di bagian

dorsal dan dua bibir lainnya terletak subventral. Untuk membedakan bentuk

tubuh cacing adalah cacing betina membulat (conical) dengan ukuran badan

yang lebih besar dan lebih panjang daripada cacing jantan dan bagian ekor

yang lurus, tidak melengkung. (Bedah & Syafitri. 2018)

i. Siklus Hidup

Cacing ini keluar bersama dengan tinja penderita. Jika telur cacing

dibuahi jatuh di tanah yang lembab dan suhunya optimal, telur akan

berkembang menjadi telur yang infektif yang mengandung larva cacing.

Untuk menjadi infektif diperlukan pematangan di tanah yang lembab

dan teduh selama 20-24 hari dengan suhu optimum 30°C. Bentuk ini

bila tertelan manusia akan menetas menjadi larva di usus halus,

khusunya pada bagian usus halus bagian atas. Dinding telur akan pecah
kemudian larva keluar, menembus dinding usus halus dan memasuki

vena porta hati. Dengan aliran darah vena, larva beredar menuju

dinding paru, lalu menembus dinding kapiler menembus masuk dalam

alveoli, migrasi larva berlangsung selama 15 hari. Setelah melalui

dinding alveoli masuk ke rongga alveolus, lalu naik ke trachea melalui

bronchiolus dan bronchus. Dari trachea larva menuju ke faring,

sehingga menimbulkan rangsangan batuk, kemudian tertelan masuk

dalam eosofagus menuju ke usus halus, tumbuh menjadi cacing dewasa.

Proses tersebut memerlukan waktu kurang lebih 2 bulan sejak tertelan

sampai menjadi cacing dewasa. Migrasi larva cacing dalam darah

mencapai organ paru disebut “lung migration”. Dua bulan sejak

masuknya telur infektif melalui mulut cacing betina mulai mampu

bertelur dengan jumlah produksi telurnya encapai 300.000 butir perhari.

Gambar 1. Siklus hidup Ascaris lumbricoides

[ CITATION Elf16 \l 2057 ].

ii. Epidemiologi

Di indonesia prevalensi askariasis tinggi, terutama pada anak.

Frekuensinya sekitar 60-90%. Kurangnya jamban keluarga sangatlah


berdampak pada pencemaran tanah dengan tinja di sekitar halaman

rumah, di bawah pohon, di tempat mencuci dan di tempat pembuangan

sampah akan memudahkan terjadinya infeksi. Tanah liat yang lembab

dan suhunya optimal, telur akan berkembang menjadi telur yang

infektif yang mengandung larva cacing. Untuk menjadi infektif

diperlukan pematangan di tanah yang lembab dan teduh selama 20-24

hari dengan suhu optimum 30°C. Kondisi ini sangat baik untuk

berkembangnya telur Ascaris lumbricoides menjadi bentuk infektif.

(Bedah & Syafitri. 2018)

iii. Pencegahan

Untuk mencegah terjadinya infeksi kecacingan STH adalah dengan

cara menjaga hygiene dan sanitasi, tidak membuang air besar di

sembarang tempat, melindungi makanan dari pencemaran kotoran,

mencuci tangan sebelum makan, tidak bermain tanah dan tidak

memakai tinja manusia sebagai produk pupuk tanaman (Bedah &

Syafitri, 2018).

A B

Gambar 2: Telur cacing Ascaris lumbricoides

A. Telur Ascaris lumbricoides yang dibuahi, B. yang tidak dibuahi.

(Bedah & Syafitri. 2018)


A B

Gambar 3: cacing dewasa Ascaris lumbricoides

A. Cacing betina dewasa, B. cacing jantan dewasa (Bedah & Syafitri.

2018)

b. Trichuris Trichiura (Cacing Cambuk)

Trichiuriasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh Trichuris

Trichiura. Trichiura termasuk dalam kelompok STH. Cacing Trichuris

Trichiura memiliki bentuk tubuh mirip seperti cambuk, sehingga dalam

keseharian cacing ini dikenal sebagai cacing cambuk (whipworm). Cacing

cambuk tersebar luas di daerah tropis yang berhawa panas, lembab dan

dapat ditularkan dari manusia ke manusia melalui makanan yang dapat

terkontaminasi tinja [ CITATION Elf16 \l 2057 ].

i. Siklus Hidup

Telur yang keluar bersama tinja dalam keadaan belum matang,

tidak infektif. Telur ini perlu pematangan dalam tanah selama 3-5

minggu sampai terbentuk telur infektif yang berisi embrio di dalamnya.

Jika telur yang infektif tertelan oleh manusia maka di dalam usus halus

dinding telur pecah dan larva keluar menuju sekum lalu berkembang
menjadi cacing dewasa. Pada bagian proksimal usus halus, telur

menetas keluar larva dan menetap 3-10 hari. Setelah dewasa cacing

akan turun ke usus besar dan menetap selama beberapa tahun. Waktu

yang diperlukan sejak telur infektif tertelan sampai cacing betina

menghasilkan telur adalah 30-90 hari. Cacing T. trichiura dewasa dapat

hidup beberapa tahun lamanya di dalam usus manusia.

Gambar 4: Siklus hidup Trichuris trichiura

[ CITATION Elf16 \l 2057 ].

ii. Epidemiologi

Di daerah yang sangat endemik infeksi dapat di cegah dengan

pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang baik dan

pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan perorangan, terutama anak.

Mencuci tangan sebelum makan, mencuci dengan baik sayuran yang di

makan mentah, apalagi di beberapa negara pemakaian tinja di gunakan

sebagai produk pupuk kebun merupakan sumber infeksi. Faktor

penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan tinja. Telur


tumbuh di tanah liat, tempat lembab dan teduh dengan suhu optimum

kira-kira 300oc. Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya

berkisar antara 30-90% (Bedah & Syafitri, 2018).

iii. Pencegahan

Pencegahan utamanya adalah kebersihan, sedangkan infeksi di

daerah yang sangat endemik dapat di lakukan dengan cara membuang

tinja pada tempatnya sehinggaa tidak lagi membuat pencemaran oleh

telur cacing, mencuci tangan sebelum makan, mencuci bersih sayur-

sayuran atau memasaknya sebelum dimakan (Bedah & Syafitri, 2018).

Gambar 5 : Telur Trichuris trichiura (Bedah & Syafitri, 2018).

Gambar 6 :Cacing dewasa Trichuris trichiura (Bedah & Syafitri,

2018).
c. Cacing Tambang atau Hookworm (Ancylostoma Duodenale dan

Necator Americanus)

Infeksi cacing hookworm banyak di jumpai pada pekerja tambang dan

di temukan di negara tropis dan sub tropis yang bersuhu tropis dan

mempunyai kelembaban yang sangat tinggi. Cacing ancylostoma duodenale

menimbulkan ankilostomiasis sedangkan cacing dewasa necator

americanus menimbulkan nekatoriasis. Cacing necator americanus

ditemukan terutama di beberapa negara barat dan negara-negara tropis

seperti Afrika, Asia Tenggara, Indonesia, Australia, kepulauan pasafik, dan

beberapa bagian amerika. Cacing ancylostoma duodenale tersebar terutama

di mediterania, Asia utara, India utara, Cina dan Jepang. Ancylostoma

duodenale dan necator americanus dewasa di bedakan dalam morfologinya

berdasarkan bentuk tubuh, rongga mulut dan bentuk bursa kopulatriknya

[ CITATION Elf16 \l 2057 ].

i. Siklus Hidup

Daur hidup hookworm hanya membutuhkan satu hospes defenitif

yaitu manusia. Tidak ada hewan yang bertindak sebagai hospes

reservoir. Telur keluar bersama tinja pada tanah yang cukup baik, suhu

optimal 23-33°C, dalam 24-48 jam akan menetas, keluar larva

rhabditiform berukuran (250-300) x 17 m. Mulut larva ini terbuka dan

aktif makan sampah organik atau bakteri pada tanah sekitaran tinja.

Setelah berganti kulit dua kali, larva rhabditiform dalam waktu

seminggu berkembang menjadi larva filariform yang tidak infektif yang

tidak dapat makan di tanah. Larva filariform mempunyai bentuk lebih


kurus dan panjang dibandingkan larva rhabditiform. Larva filariform

mencari hospes yaitu manusia yang selanjutnya akan menginfeksi kulit

mausia, pembuluh darah dan limfe selanjutnya masuk kedalam darah

mengikuti aliran darah menuju jantung dan paru-paru. Kemudian

menembus dinding kapiler masuk ke dalam alveolus. Sesudah berganti

kulit dua kali larva cacing mengadakan migrasi ke bronki, trakea dan

faring akhirnya tertelan masuk dalam saluran eosofagus. Di dalam

eosofagus larva berganti kulit untuk ketiga kalinya, migrasi larva

berlangsung sekitar 10 hari. Dari eosofagus larva masuk ke usus halus

berganti kulit yang ke empat kalinya lalu tumbuh menjadi cacing

dewasa jantan dan betina. Dalam satu bulan cacing betina sudah mampu

bertelur untuk melanjutkan keturunannya [ CITATION Elf16 \l 2057 ].

Gambar 7. Siklus hidup hookworm [ CITATION Elf16 \l 2057 ].

ii. Epidemiologi

Lebih dari 500 juta manusia di seluruh dunia terinfeksi cacing,

namun ada daerah yang paling tinggi prevalensinya adalah daerah tropis

yang sangat lembab dengan hygiene sanitasi yang rendah seperti di Asia
Tenggara. Di laporkan bahwa daerah substropis, daerah yang beriklim

dengan kelembaban seperti tropis, misalnya di tambang memiliki

prevalensi yang tinggi. Ancylostoma duodenale banyak di temukan di

Afrika utara, daerah lembah Sungai nil, India bagian utara serta

Amerika selatan [ CITATION Bed18 \l 2057 ].

iii. Pencegahan

Di daerah endemik cacing tambang sering mengalami terinfeksi.

Infeksi baru maupun terinfeksi dapat di cegah dengan cara memberikan

obat cacing pada penderita dan di lakukan pengobatan massal pada

seluruh penduduk di daerah endemik. Pendidikan kesehatan di berikan

pada penduduk yang memiliki daerah endemik. Pendidikan kesehatan

di berikan pada penduduk untuk membuat jamban pembuangan tinja

(WC) yang baik untuk mencegah pencemaran tanah, jika berjalan di

tanah selalu menggunakan alas kaki untuk mencegah terjadinya infeksi

pada kulit, serta mencuci tangan sebelum makan, dan tidak membuang

air besar di sembarang tempat, dan jika berjalan di tanah selalu

menggunakan alas kaki untuk mencegah terjadinya infeksi pada kulit

oleh larva filariform cacing tambang [ CITATION Bed18 \l 2057 ].


Gambar 8. Telur cacing hookworm [ CITATION Elf16 \l 2057 ].

2. Tinjauan umum mengenai Stunting

Stunting merupakan salah satu penyakit yang menyebabkan infeksi seperti

diare, panas, batuk, pilek, dan sering terkena penyakit pada anak balita normal

karena kekurangan protein, gizi serta vitamin A yang dapat mempengaruhi

pertumbuhan dan daya tahan tubuh anak balita [ CITATION Kur17 \l 2057 ].

Di Indonesia stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak berusia di

bawah 5 tahun (balita) mengakibatkan kekurangan gizi kronik dan infeksi

berulang terutama pada periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu dari

janin hingga anak berusia 23 bulan. Anak di katakan stunting apabila panjang atau

tinggi badannya berada di bawah minus dari dua standar deviasi panjang atau

tinggi anak seumurannya (KEMENKES, 2018). Prevalensi gizi buruk dan gizi

kurang berdasarkan tinggi badan menurut umur (TB/U) yang di kumpulkan World

Health Organization (WHO), Indonesia termasuk negara urutan ke lima dengan

prevalensi di dunia. Rata-rata prevalensi di Indonesia tahun 2019 sebanyak 37%

(KEMENKES, 2019).

Infeksi stunting dapat terjadi di karenakan kurangnya zat gizi akibat dari

asupan makanan yang kurang, kondisi sosial ekonomi, di tambah dengan penyakit

infeksi dan masalah lingkungan. Selain itu dapat di sebabkan oleh kecacingan
yang di pengaruhi oleh beberapa faktor seperti sanitasi lingkungan dan higiene

personal yaitu kebiasaan mencuci tangan, frekuensi potong kuku anak, kebiasaan

bermain di tanah, kepemilikan jamban, lantai rumah dan ketersediaan air bersih

[ CITATION Ula18 \l 2057 ].

3. Hubungan kecacingan dan Stunting

Masalah kekurangan gizi pada balita, umumnya di sebabkan oleh adanya

beberapa faktor yaitu penyebab langsung dan penyebab tidak langsung. Penyebab

langsung yaitu makanan yang di konsumsi anak dan penyakit infeksi yang

mungkin di derita anak. Sedangkan penyebab tidak langsung yaitu ketahanan

pangan, pola pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan. Kecacingan merupakan

salah satu penyakit yang masih banyak terjadi di kalangan masyarakat, pada

umumnya terjadi di Negara berkembang, salah satunya adalah Negara Indonesia [

CITATION Ula18 \l 2057 ].

4. Tinjaun umum mengenai Ubi jalar Ungu (Ipomoea batatas L. Poir)

Ubi jalar atau ketela rambat (Ipomoea batatas L.) adalah sejenis tanaman

budidaya, tanaman yang termasuk ke dalam jenis tanaman palawija. Bagian yang

dimanfaatkan adalah akarnya yang membentuk umbi dengan kadar gizi

(karbohidrat) yang tinggi. Di Afrika, umbi ubi jalar menjadi salah satu sumber

makanan pokok yang penting. Di Asia, selain di manfaatkan umbinya, daun muda

ubi jalar juga dibuat sayuran. Terdapat pula ubi jalar yang dijadikan tanaman hias

karena keindahan daunnya. Ubi jalar telah menemani kehidupan manusia sebagai

bahan pangan sudah sangat lama. Sejak 750 tahun sebelum masehi. Dalam

perjalanannya menjelajah untuk menemukan “dunia baru”, Columbus membawa


ubi jalar dari pulau Saint Thomas. Umbi yang disebut patata dalam bahasa

Spanyol kemudian sering disebut patae (Perancis) dan orang Inggris menamakan

potato. Ketika itu, sebutan potato memang untuk ubi jalar bukannya kentang. Dari

catatan sejarah pertanian, tanaman kentang baru menyebar keluar dari amerika

selatan ke belahan bumi bagian utara mulai pada abad 17. Kemudian untuk

membedakan, ubi jalar disebut sweet potato dan kentang potato[ CITATION

Ham14 \l 2057 ].

Ubi jalar ungu merupakan salah satu jenis ubi jalar yang banyak ditemui di

Indonesia selain yang berwarna putih, kuning dan merah. Ubi jalar ungu memilki

warna ungu yang cukup pekat pada daging ubinya, sehingga banyak menarik

perhatian. Warna ungu pada ubi jalar di sebabkan oleh adanya pigmen ungu

antosianin yang menyebar dari bagian kulit sampai dengan daging

ubinya[ CITATION Pra191 \l 2057 ].

Era yang kini semakin modern menuntut manusia untuk dapat berfikir lebih

maju untuk mengembangkan bahan pangan lokal alternatif untuk mengurangi

konsumsi beras dalam rangka mendukung program pemerintah tentang

diversifikasi pangan. Dalam hal ini sumber karbohidrat lain yang dapat dijadikan

sebagai pengganti beras yakni ubi jalar. Salah satu jenis ubi jalar yang banyak

ditanam dan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia yaitu ubi jalar ungu. Ubi jalar

ungu kini menjadi sebagai salah satu makanan mewah yang banyak diminati di

negara maju seperti sedang tren di Amerika dan negara maju lainnya, selain itu

juga di Jepang sedang dikembangkan banyak produk baru berbasis ubi jalar yang

memiliki kandungan gizi yang baik. Pengembangan ubi jalar ungu sebagai produk

yang sangat potensial dapat ditingkatkan dengan cara melakukan pengolahan


dengan teknik dan metode yang benar dengan menganalisis karakteristik fisik dan

kimia dari ubi jalar ungu. Pengolahan ubi jalar ungu menjadi suatu produk pangan

dilakukan dengan menggunakan panas yang bervariasi menurut suhu dan

jenisnya, sehingga beresiko merusak kandungan antosianin dan akan menurunkan

aktivitas antioksidannya [ CITATION Sha17 \l 2057 ].

Pada masa sekarang, tuntutan akan makanan sehat dan enak mulai

meningkat, berbagai jenis olahan makanan yang terbuat dari bahan-bahan

sederhana mempunyai nilai jual yang tinggi, contohnya adalah ubi jalar ungu

(Ipomoea batatas L. Poir). Ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L. Poir) tidak hanya

di gunakan sebagai makanan pengganti nasi. Namun, ubi ungu bisa dijadikan

banyak olahan makanan seperti ice cream, pudding, tepung, bolu, sampai daging

vegetarian sebagai pengganti daging pada burger. Selain itu, Pati ubi jalar

digunakan sebagai bahan baku produk kimia farmasi, pembuatan alkohol dan

fruktosa (pemanis) dalam industry minuman serta plastik yang cepat

terdekomposisi. Pati ubi jalar juga merupakan salah satu bahan dalam proses

pembuatan tekstil dan kertas serta pengganti BBM (Bioetanol) setelah terlebih

dahulu diolah menjadi alkohol[ CITATION Arm16 \l 2057 ].

Sekitar 70-100 % umbi jenis ini telah dimanfaatkan untuk dikonsumsi di

sebagian besar daerah tropik. Sekitar 10-30 % dikonsumsi sebagai sumber

pangan, hanya 5-10 % untuk keperluan industri. Di Asia sekitar 30-35 %

digunakan untuk industri alkohol maupun tepung. Di daerah tropik Asia termasuk

Indonesia, jenis ini dimanfaatkan sebagai makanan tambahan, untuk macam-

macam kue, es krim, selai , syirup dan minuman anggur . namun di Papua Nugini

dan beberapa kepulauan Oseania jenis ini dimanfaatkan sebagai bahan pangan
pokok. Daun mudanya sering kali dimakan untuk sayur[ CITATION Ham14 \l

2057 ].

Produksi ubi jalar selama kurun waktu 5 tahun cenderung meningkat rata-

rata 6,78 % per tahun dari 1,8 juta ton pada tahun 2008 menjadi 2,4 juta ton pada

tahun 2012. Namun penggunaannya masih relatif kecil sehingga hasil olahan ubi

jalar baik berupa tepung maupun pati sebagian besar di ekspor ke mancanegara.

Warna ungu dari ubi jalar ungu berasal dari pigmen alami yang terkandung di

dalamnya. Ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L. Poir) tidak hanya memiliki rasa

yang enak tetapi memiliki warna yang cantik (ungu) dan ubi ungu biasanya di

gunakan sebagai pewarna makanan yang alami. Zat antosianin yang terkandung

dalam ubi ungu ini yang digunakan sebagai pewarna alami. Kandungan antosianin

yang berbeda pada ubi ungu (Ipomoea batatas L. Poir), menyebabkan warna pada

ubi ungu berbeda beda. Zat antosianin pada ubi jalar ungu bisa di gunakan sebagai

senyawa antioksidan yang amat berguna bagi tubuh[ CITATION Arm16 \l 2057 ].

Warna ungu pada ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L. Poir) disebabkan oleh

adanya zat warna alami yang disebut antosianin [ CITATION Sal17 \l 2057 ].

Antosianin (bahasa inggris: anthocyanin, dari gabungan kata Yunani yaitu

anthos = bunga , dan cyanos = biru) adalah pigmen larut air yang secara alami

banyak terdapat pada berbagai jenis tumbuhan. Sesuai namanya, pigmen ini dapat

memberikan warna pada bunga, buah, dan daun tumbuhan hijau, dan telah banyak

digunakan sebagai pewarna alami pada berbagai produk pangan dan berbagai

aplikasi lainnya[ CITATION Ham14 \l 2057 ].

Antosianin adalah bagian senyawa fenol yang tergolong flavonoid. Pigmen

ini berperan terhadap timbulnya warna merah hingga biru pada beberapa bunga,
buah, dan daun. Antosianin bersifat polar sehingga dapat dilarutkan pada pelarut

polar seperti etanol, aceton, dan air[ CITATION YUD11 \l 2057 ].

Antosianin ubi jalar ungu memiliki beberapa komponen diantaranya adalah

turunan mono atau diasetil 3-(2-glukosil)glukosil-5-glukosil peonidin dan

sianidin. Selain sebagai penangkal radikal bebas dan antioksidan , antosianin juga

memiliki kemampuan sebagai antimutagenik dan antikarsinogenik, mencegah

gangguan fungsi hati, antihipertensi, dan menurunkan kadar gula

darah[ CITATION Hus13 \l 2057 ].

Antosianin mempunyai stabilitas yang rendah. Biasanya pada pemanasan

yang tinggi, kestabilan dan ketahanan zat warna antosianin akan berubah dan

mengakibatkan kerusakan. pH dapat mempengaruhi warna antosianin, pH juga

mempengaruhi stabilitasnya, dimana dalam suasana asam akan berwarna merah

dan suasana basa berwarna biru. Antosianin dapat lebih stabil dalam suasana asam

dibandingkan dalam suasana alkalis ataupun netral. Zat warna ini tidak stabil

dengan adanya oksigen dan asam askorbat. Asam askorbat kadang melindungi

antosianin tetapi ketika antosianin menyerap oksigen, asam askorbat akan

menghalangi terjadinya oksidasi[ CITATION Ham14 \l 2057 ]

Antosianin mempunyai salah satu sifat mudah larut dalam air dan aman

dikonsumsi sehingga sering digunakan sebagai pewarna alami pada makanan dan

minuman. Beberapa ekstrak kaya antosianin juga dapat diperoleh dari buah-

buahan dan sayuran sehingga dapat digunakan sebagai pewarna makanan untuk

menggantikan pewarna sintetis untuk keamanan konsumen. Tidak hanya sebagai

sumber pewarna alami, antosianin juga menunjukkan sejumlah fungsi biologis


diantaranya memiliki aktivitas antioksidan dan anti-karsinogen, dan kemampuan

untuk meningkatkan memori[ CITATION Wul19 \l 2057 ].

5. Senyawa Kimia Antosianin

Secara kimia antosianin merupakan turunan struktur aromatik tunggal, yaitu

sianidin, dan semuanya terbentuk dari pigmen sianidin dengan penambahan atau

pengurangan gugus hidroksil, metilasi dan glikosilasi. Antosianin adalah senyawa

yang bersifat amfoter, yaitu memiliki kemampuan dapat bereaksi baik dengan

asam maupun dengan basa. Dalam media asam antosianin berwarna merah, dan

pada media basa berubah menjadi ungu dan biru. Perubahan warna karena

perubahan kondisi lingkungan ini tergantung dari gugus yang terikat pada struktur

dasar dari posisi ikatannya[ CITATION Arm16 \l 2057 ].

Gambar 9. Struktur Senyawa Rumus Kimia Antosianin[ CITATION Arm16 \l

2057 ]

Antosianin merupakan zat warna larut air yang banyak ditemukan pada

tanaman, yaitu di bagian bunga, daun, umbi, buah atau sayur. Antosianin adalah

senyawa yang terdiri dari antosianidin dan gugus gula. Antosianidin yang banyak

ditemukan di dalam buah, sayur atau umbi adalah Pelargonidin, Sianidin,

Delfinidin, Peonidin, Petunidin, Malvidin. Antosianin dapat memberikan warna


yang berbeda (merah, ungu, biru, atau kuning), tergantung pada pHnya. Pada

kondisi pH asam antosianin berwarna merah atau ungu, pada pH basa berwarna

hijau atau kuning, dan pada pH netral berwarna biru[ CITATION Mah151 \l 2057 ].

Ubi jalar ungu merupakan sumber antosianin, yaitu mengandung lebih dari

98% antosianin terasilasi dari konsentrasi antosianin yang terkandung di dalam

umbi. Jenis antosianin yang ditemukan di dalam ubi jalar ungu adalah sianidin 3-

kafeol-sophorosida-5-glukosida dan peonidin 3-kafeol-sophorosida-5-

glukosida[ CITATION Mah151 \l 2057 ].

6. Identifikasi STH (Soil Transminted Helminth)

Pemeriksaan telur cacing STH (Soil Transminted Helminth) dapat di

lakukan dengan 3 metode yang berbeda yaitu metode kato katz, metode

sedimentasi, dan metode pengapungan. Dari ke tiga metode tersebut masing-

masing menggunakan pewarna eosin, dan setiap metode memiliki kekurangan dan

kelebihannya masing-masing. Dengan pemeriksaan telur cacing sampel feses anak

balita usia 2 – 5 tahun (Setiawan & Khasanah, 2018).

a. Metode Kato Katz

Metode Kato Katz merupakan salah satu metode pemeriksaan

tinja yang bisa di gunakan untuk menegakkan diagnos di lapangan

karena memiliki sensitivitas yang tinggi, sederhana, murah, dan

sampel yang di butuhkan sedikit.

b. Metode flotasi

Metode Flotasi merupakan teknik pemeriksaan parasit cacing

berdasarkan berat jenis, dalam hal ini berat jenis telur cacing lebih
kecil di bandingkan dengan NaCl (reagen pemeriksaan), sehingga

telur cacing akan mengapung [ CITATION Res18 \l 2057 ].

c. Metode Sedimentasi

Metode sedimentasi merupakan metode pemeriksaan telur cacing

yang menggunakan prinsip kerja berdasarkan gaya sentrifugal,

sehingga telur cacing (berupa endapan) akan terpisah dengan akuades

(berupa supernatan) [ CITATION Res18 \l 2057 ].

Pada penelitian ini metode yang di gunakan adalah metode sedimentasi, di

mana sampel feses di Sentrifugal menggunakan larutan aquadest dan biasanya di

gunakan untuk pemeriksaan feses yang mengandung sedikit telur. sehingga telur

cacing (berupa endapan) akan terpisah dengan akuades (berupa supernatan)

[ CITATION Res18 \l 2057 ].

Adapun prosedur kerja pemeriksaan telur cacing STH pada balita stunting

metode sedimentasi menggunakan pewarna ekstrak ubi jalar ungu (Ipomoea

batatas L. Poir), yaitu:

a. Di siapkan alat dan bahan yang akan di gunakan untuk penelitian.

b. Di timbang 1 gram feses di masukan ke dalam gelas kimia.

c. Lalu di tambahkan aquadest sebanyak 20 ml.

d. Di aduk sampai homogen.

e. Pipet 5 tetes ke dalam tabung reaksi.

f. Tabung di masukan ke dalam sentrifuge.

g. Lalu di putar selama 2 menit dengan kecepatan 2500 rpm.

h. Supernatan di buang dan sedimennya di ambil menggunakan pipet

pasteur.
i. Di letakkan di atas objek glass dan di tetesi 1 atau 2 tetes larutan

antosianin atau eosin, kemudian di tutup dengan kaca penutup (deck

glass).

j. Di lakukan pemeriksaan di bawah mikroskop dengan pembesaran

objektif 10× untuk mencari dasar atau lapang pandang pada preparat

dan 40× untuk lebih memperjelas telur cacing dan termasuk preparat

basah.

B. Kerangka Konsep

SAMPEL
PEMERIKSAA

METODE METODE METODE


KATO- SEDIMENTASI FLOTASI

PEWARNAAN PEWARNAAN
EOSIN ANTOSIANIN

HASIL

Gambar 10. Kerangka Konsep

Keterangan :

: Variabel Yang Di Periksa.

: Variabel Yang Tidak Di Periksa.

C. Kerangka Teori

STUNTIN Ubi Jalar Ungu


(Ipomoea Batatas L.
Poir)
PEMERIKSAA

Pencucian
Pemeriksaan Telur
Cacing
Pemotongan
Ke Bagian-
Bagian kecil

Pencampuran
Zat Pelarut
(Methanol)

Proses Ekstraksi

Ekstrak
Antosianin Ubi
Jalar Ungu

HASIL

Gambar 11. Kerangka Konsep

Keterangan :

: Variabel Yang Di Periksa.

: Variabel Yang Tidak Di Periksa.

D. Hipotesis Penelitian

Adapun hipotesis dalam penelitian ini yaitu adanya telur cacing STH

(Soil Trasminted Helminth) pada sampel feses anak balita stunting yang

sering bersentuhan langsung dengan tanah di Kabupaten Bulukumba.


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Desain penelitian ini yang di gunakan adalah jenis penelitian

observasi laboratorik yang bersifat deskriptif kategorik dengan menganalisis

keberadaan telur cacing STH pada balita stunting di Kabupaten Bulukumba

dengan menggunakan pewarna ekstrak ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L.

Poir) metode sedimentasi.

B. Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah stunting, kecacingan, balita dan

ekstrak dari ubi ungu.

C. Definisi Penelitian

1. Stunting (kerdil) adalah apabila panjang atau tinggi badannya berada

di bawah minus dua standar deviasi panjang atau tinggi anak

seumurannya, yang di sebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi

sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan

kurangnya asupan gizi pada bayi.

2. Kecacingan merupakan kondisi di temukannya telur cacing melalui

pemeriksaan feses dengan menggunakan metode sedimentasi.

3. Balita adalah anak berusia 2 – 5 tahun.

4. Antosianin adalah senyawa yang bersifat amfoter, yaitu memiliki

kemampuan dapat bereaksi baik dengan asam maupun basa.

D. Waktu dan Lokasi Penelitian

1. Waktu

Waktu penelitian ini rencana akan dilaksanakan pada bulan Mei-

Juni 2020.
2. Lokasi penelitian

Penelitian ini akan di lakukan di Laboratorium Mikrobiologi

Analis Kesehatan kampus Stikes Panrita Husada Bulukumba.

E. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah Feses atau Tinja.

2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah perwakilan anak balita

stunting sebanyak 22 orang yang terjangkau memenuhi kriteria

penelitian.

Penentuan sampel di lakukan secara proporsional sampling.

Berdasarkan Rumus Besar Sampel (Dahlan. S, 2016).

za 2 . P .Q ( 1,96 )2 . 0,37 . (1−0,37 )


n= n=
d2 ¿¿

3,84 .0,23
n=
0,04

0,88
n= =22
0,04

Keterangan :

n : Jumlah subjek

za : Nilai standar dari alpha (1,96)

P : Proporsi dari kategorik (Nilainya di peroleh dari kepustakaan)

Q :1-P
d : Presisi Penelitian (0,20)

F. Instrumen Penelitian

1. Instrumen pemeriksaan laboratorium

a. Alat dan bahan

1) Alat

Mikroskop (Olympus), objek glass (Sail Braind), deck

glass (Sail Braind), tabung reaksi (pyrex), pipet Pasteur

(pyrex), pipet tetes (pirex), aluminium foil, spatula,

lidi/tusuk gigi, pot tinja (B-e Instrument), neraca digital

(Henherr Scale), cawan porselin (pirex), botol semprot, rak

tabung dan penyaring, rangkaian alat ekstraksi dan destilasi

serta alat pendukung seperti kertas saring, gelas ukur

(pyrex), beaker glass (pyrex), neraca analitik, pengaduk,

pisau, blender, gelas arloji (pyrex), erlenmeyer (pyrex) dan

parut.

2) Bahan

Feses, aquadest, daging ubi jalar ungu dan

menggunakan pelarut methanol 96% dan pewarnaan ekstrak

antosianin dan eosin.

b. Prosedur penelitian

Dalam penelitian ini prosedur kerja menggunakan tiga

tahap, yakni :

1) Pra Analitik

a) Persiapan pasien :
Menjelaskan kepada orang tua anak terhadap

tindakan yang akan di lakukan.

b) Persiapan sampel :

Tidak memerlukan persiapan khusus.

c) Persiapan alat dan bahan

Di siapkan alat dan bahan yang di gunakan

sebelum melakukan pemeriksaan. Semua peralatan di

cuci bersih terlebih dahulu, lalu di keringkan, serta

disterilisasi peralatan menggunakan autoclave pada

temperatur 121oc selama 15 menit.

d) Instrument pembuatan ekstrak antosianin dari ubi ungu

Proses dapat di mulai dengan membersihkan ubi

jalar ungu terlebih dahulu kemudian memotong daging

ubi jalar ungu kemudian dihaluskan dan ditimbang

sebanyak 50 gram daging ubi jalar ungu menggunakan

blender atau parut. Kemudian ke dalam labu leher tiga

yang sudah dirangkai dengan pendingin balik,

magnetic stirer, termometer, statif dan penangas air

dimasukkan daging ubi jalar kuning yang sudah halus,

dan pelarut methanol 96%. Campuran diekstraksi pada

suhu yang di variasikan (60°C, 70°C, 75°C, 80°C dan

90°C) dan waktu ekstraksi yang di variasikan (60

menit, 90 menit, 120 menit, 150 menit, dan 180 menit).

Ekstrak yang di peroleh di saring dengan kertas saring.


Setelah di saring, ekstrak di destilasi pada suhu 80°C

untuk menghilangkan kandungan methanolnya. Setelah

proses destilasi selesai ekstrak antosianin

diperoleh[ CITATION Pur19 \l 2057 ].

Gambar 12. Rangkaian Alat Distilasi[ CITATION Pur19 \l 2057

2) Analitik

a) Di siapkan alat dan bahan yang akan di gunakan untuk

penelitian.

b) Di timbang 1 gram feses di masukan ke dalam gelas

kimia.

c) Lalu, di tambahkan aquadest sebanyak 20 ml.

d) Di aduk sampai homogen.

e) Di pipet 5 tetes dan di masukkan ke dalam tabung

reaksi.
f) Di masukkan ke dalam sentrifuge.

g) Lalu, di putar selama 2 menit dengan kecepatan 2500

rpm.

h) Supernatan di buang dan sedimennya di ambil

menggunakan pipet pasteur.

i) Di letakkan di atas objek glass dan di tetesi 1 atau 2

tetes larutan antosianin atau eosin.

j) Kemudian, di tutup dengan kaca penutup (deck glass).

k) Di lakukan pemeriksaan di bawah mikroskop dengan

pembesaran objektif 10× untuk mencari dasar atau

lapang pandang pada preparat dan 40× untuk lebih

memperjelas telur cacing dan termasuk preparat basah.

3) Pasca analitik

Untuk pelaporan hasilnya :

(+¿) : Jika di temukan telur cacing.

(-) : Jika tidak di temukan telur cacing.

G. Alur Penelitian

Pengisian Ubi Jalar Ungu


vInform Consen (Ipomoea Batatas L.
Poir)

Pembagian Kuisioner
Pencucian

Pembagian Penampungan
Tinja dan Menjelaskan
Pemotongan Ke
Cara Penampungan Tinja
Bagian-Bagian kecil

Pencampuran Zat
SAMPEL FESES Pelarut (Methanol)
METODE
SEDIMENTAS
I

PEWARNAAN PEWARNAAN
EOSIN ANTOSIANIN

HASIL PEMERIKSAAN

Pengolahan & Input Data

Gambar 13. Alur Penelitian

H. Pengolahan dan Analisis Data

1. Memeriksa Data (Editing) yaitu mengkaji dan meneliti data yang telah

terkumpul.

2. Member Kode (Coding) yaitu kegiatan mengklasifikasikan data

menurut kategori dan jenis masing-masing untuk memudahkan dalam

pengolahan data maka setiap kategori di beri kode.


3. Tabulasi Data (Tabulating) yaitu untuk meringkas data yang di

perlukan dalam bentuk tabel yang telah di persiapkan. Data yang di

peroleh kemudian di kelompokkan dan dip roses dengan

menggunakan tabel menurut kategorinya masing-masing.

4. Pengolahan dan analisi data menggunakan program spss dengan uji

Man Whitney.

I. Etika Penelitian

Penelitian ini dilakukan setelah mendapatkan izin penelitian dari

program studi Analis Kesehatan Stikes Panrita Husada Bulukumba.

Kemudian peneliti mendekati responden penelitian. Setelah mendapatkan

persetujuan barulah melakukan penelitian dengan menekankan masalah

etika yang meliputi :

1. Lembar Persetujuan (Informed Consent)

Lembar persetujuan di berikan pada subjek yang akan di teliti.

Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan riset yang di lakukan. Jika

subyek bersedia di teliti maka harus menandatangani lembar

persetujuan (Informed Consent). Jika subjek menolak untuk tidak di

teliti maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati

haknya responden.

2. Tanpa nama (Anonimity)

Untuk menjaga kerahasiaan identitas, peneliti tidak akan

mencantumkan nama subyek pada lembar Informed Consent yang di

isi oleh subyek, lembar tersebut hanya di beri kode.

3. Kerahasiaan (Anonfidentility)
Peneliti menjamin kerahasiaan informasi yang di peroleh dari

responden.

4. Menghargai (Respect for Person)

Peneliti di tuntut untuk dapat menghargai hak-hak dan privasi

responden atau yang terlibat dalam penelitian.

J. Jadwal Penelitian

Tabel 3.1 Jadwal penelitian

N Bulan 2020
Jan Feb Ma Ap Me Jun ju
o Kegiatan
r r i l
1. Tahap persiapan

penelitian
a. Pen

yusunan

dan

pengajuan

judul
b. Pen

gajuan

Proposal
c. Perij

inan

Penelitian
2. Tahap

pelaksanaan
Pengumpulan data
Analisis data
3. Tahap
penyusunan tugas

akhir

Anda mungkin juga menyukai