Oleh:
Kelompok 2 Offering C
Andita Miftakhul Ilmi 170341615003
Aulya Prasetya Firmana 170341615096
Azizah Nur Rochmah 170341615045
Ij’al Ausi Arrizki 170341615107
Putri Wahyuni Arofatun Nisak 170341615018
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Luas lahan pertanian di Indonesia semakin lama semakin menurun karena
banyak lahan pertanian yang dimanfaatkan untuk dibagun perumahan. Lahan
pertanian yang semakin sempit ini dapat diatasi dengan budidaya komoditas yang
tidak membutuhkan luas lahan yang besar, salah satunya adalah budidaya jamur
tiram putih. Budidaya jamur tiram putih juga dapat dikembangkan dan diarahkan
untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, serta memperbaiki keadaan gizi
melalui penganekaragaman jenis bahan makanan (Direktorat Jenderal
Hortikultura, 2014).
Jamur tiram atau dalam bahasa latin disebut Pleurotus sp. Merupakan salah
satu jamur konsumsi yang bernilai tingi. Beberapa jenis jamur yang biasa
dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia yaitu jamur tiram putih, amur merang,
jamur kuping, jamur shitake, jamur tiram, jamur merang dan jamur lingzhi
(Cahyana, dkk., 2001)
Budidaya jamur tiram saat ini sangat prospektif karena memiliki nilai
ekonomi yang tinggi, salah satu pangan alternatif yang lezat, sehat, dan bergizi
tinggi, tidak memerlukan lahan yang luas, belum banyaknya petani jamur tiram,
permintaan pasar terhadap jamur tiram masih tinggi, bahan media yang diperlukan
dapat diperoleh dengan mudah dan murah (Putri, E.S, 2014).
Budidaya jamur tiram mampu mendatangkan keuntungan yang sangat
menggiurkan baik dilakukan dalam skala kecil maupun besar. Hal ini tidak lepas
dari tingginya permintaan dan nilai jual dari jamur tiram. Kenaikan permintaan
jamur tiram meningkat setiap tahuunnya. Menurut data dari Badan Pusat Statistik
(BPS) tahun 2008 kebutuhan masyarakat terhadap jamur tiram untuk kota
Yogyakarta membutuhkan 200 - 250 kg per hari, Semarang 350 kg per hari,
Bandung 500 kg per hari, Tasikmalaya 300 kg per hari, Tangerang 3.000 kg per
hari. Kebutuhan tersebut hanya untuk memenuhi permintaan jamur tiram segar
saja. Padahal untuk memenuhi permintaaan pasar jamur tiram tidak hanya
dipasarkan dalam keadaan segar, tetapi juga dapat diolah lebih lanjut menjadi
produk olahan makanan. Oleh karena itu pada laporan budidaya jamur tiram ini
akan membahas mengenai bagaimana cara perawatan dan pemanenan jamur
tiram, mengetahui faktor yang mempengaruhi produksi jamur tiram serta kendala
dan solusi dalam budidaya jamur tiram agar diperoleh produksi jamur tiram yang
sesuai dengan permintaan masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara perawatan budidaya jamur yang benar?
2. Bagaimana cara pemanenan jamur yang benar ?
3. Bagaimana perhitungan BEP untuk produksi jamur?
4. Bagaimana faktor internal dan eksternal dapat mempengaruhi produksi
jamur?
5. Bagaimana kendala dan solusi dalam budidaya jamur?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui cara perawatan budidaya jamur yang benar
2. Untuk mengetahui cara pemanenan jamur yang benar
3. Untuk Mengetahui perhitungan BEP produksi jamur
4. Untuk mengetahui faktor internal dan eksternal dapat mempengaruhi
produksi jamur
5. Untuk mengetahui kendala dan solusi dalam budidaya jamur
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi dan Taksonomi Jamur Tiram
Jamur di dalam istilah biologi dikenal dengan sebutan fungi. Fungi jika
dilihat dari morfologinya ada 3 golongan, yaitu golongan mushroom atau
cendawan (bersel banyak dan membentuk tubuh buah), yeast atau khamir (bersel
satu) dan kapang (bersel banyak dan tidak membentuk tubuh buah) (Umniyatie
dkk, 2013). Jamur yang akan dibahas ini adalah cendawan yang memiliki sifat
menguntungkan dan banyak dibudidayakan orang untuk dikonsumsi dan obat.
Hasil identifikasi ditemukan 10.000 jenis jamur (cendawan) dan kurang lebih 80
jenis jamur yang dapat dimakan (edible fungi) dan banyak juga sebagai obat-
obatan (Umniyatie dkk, 2013). Contoh, jamur edible yang sudah banyak
dibudidayakan orang adalah jamur tiram putih (pleurotus ostreatus), jamur tiram
merah (pleurotus flatellatus), jamur tiram coklat (pleurotus cycstidiosus), jamur
kuping (auricularia polytrica), jamur shiitake (lentiunue edodes)
(Tjokorokusumo, 2008).
Jamur tiram dari segi botani termasuk jenis jamur kayu yang mudah
dibudidayakan. Jamur tiram termasuk familia Agaricaceae atau Tricholomataceae
dari klasis Basidiomycetes. Klasifikasi jamur tiram menurut Alexopolous (1962)
adalah sebagai berikut:
Divisio : Amastigomycota
Sub-Divisio : Basidiomycotina
Klasis : Basidiomycetes
Ordo : Agaricales
Familia : Agaricaceae
Genus : Pleurotus
Spesies : Pleurotus sp
Menurut Suhardiman (1983) terdapat beberapa jenis jamur tiram yang
sering dibudidayakan petani, antara lain :
1. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus), warna tubuh buah putih.
2. Jamur tiram coklat (Pleurotus abalonus), warna tubuh buah kecoklatan.
3. Jamur tiram kuning (Pleurotus sp), warna tubuh buah kuning dan sangat jarang
ditemukan.
Dari beberapa jenis jamur tiram tersebut, jamur tiram putih dan coklat
paling banyak dibudidayakan, karena mempunyai sifat adaptasi dengan
lingkungan yang baik dan tingkat produktivitasnya cukup tinggi. Dikatakan lebih
lanjut oleh Cahyana dkk (1999) ketiga jenis jamur tiram tersebut mempunyai sifat
pertumbuhan yang hampir sama, tapi masing-masing mempunyai kelebihan dan
kekurangan, yaitu :
1. Jamur tiram putih tumbuh membentuk rumpun dalam sàtu media. Setiap
rumpun mempunyai percabangan yang cukup banyak. Daya simpannya lebih
lama dibandingkan dengan jamur tiram kuning, meskipun tudungnya lebih tipis
dibandingkan dengan jamur tiram coklat dan jamur tiram kuning.
2. Jamur tiram coklat mempunyai rumpun yang sangat sedikit dibandingkan
dengan jamur tiram putih dan jamur tiram kuning, tetapi tudungnya lebih tebal
dan daya simpannya lebih lama.
3. Jamur tiram kuning mempunyai rumpun paling banyak dibandingkan dengan
jamur tiram coklat maupun jamur tiram putih, tetapi jumlah cabangnya sedikit
dan lebih tipis dibandingkan dengan jamur tiram coklat serta daya simpannya
paling pendek.
Jamur tiram dalam bahasa Yunani disebut Pleurotus artinya bentuk
samping atau posisi menyamping antara tangkai dengan tudung (Riyanto, 2010).
Sedangkan sebutan tiram, karena bentuk atau badan buahnya menyerupai kulit
tiram (cangkang kerang). Jamur tiram yang merupakan jenis jamur kayu ini,
awalnya tumbuh secara alami pada batang-batang pohon yang telah mengalami
pelapukan, umumnya mudah dijumpai di daerah-daerah hutan. Sedangkan di
Indonesia sendiri budidaya jamur tiram baru mulai dirintis sejak lebih kurang
tahun 1988, dan pada waktu itu petani atau pengusaha jamur tiram masih sedikit
(Soenanto, 2000).
Gambar 1. Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) dengan ciri-ciri tudung
jamur berbentuk tiram dan berwarna putih. Keterangan gambar: A. Tudung
Jamur, B. Tangkai Jamur, dan C. Medium Serbuk Gergaji
(Sumber: Warisno dan Dahana, 2009)
Menurut Gunawan & Mulyani (2004), jamur tiram memiliki ciri-ciri
daging tebal berwarna putih, kokoh, tetapi lunak pada bagian yang berdekatan
dengan tangkai, bau dan rasa tidak merangsang. Tangkai tidak ada atau jika ada
biasanya pendek, kokoh dan tidak dipusat atau lateral (tetapi kadang-kadang
dipusat), panjang 0,5-4,0 cm, gemuk, padat, kuat kering, umumnya berambut atau
berbulu kapas paling sedikit di dasar. Jamur ini memiliki tubuh buah yang tumbuh
mekar membentuk corong dangkal seperti kulit karang (tiram) (Riyanto, 2010).
Tubuh buah jamur memiliki tudung (pilues) dan tangkai (stipes atau stalk). Pileus
berbentuk mirip cangkang tiram berukuran 5-15 cm dan permukaan bagian bawah
berlapis-lapis seperti insang berwana putih dan lunak. Pertumbuhan tangkainya
dapat pendek atau panjang (2-6 cm). Tangkai ini menyangga tudung lateral
(dibagian tepi) atau eksentris (agak ke tengah). Jamur tiram memiliki tudung
berwarna putih susu atau putih kekuning-kuningan dengan garis tengah 3-14 cm
(Djarijah dan Abbas, 2001).
Permukaan jamur tiram licin dan agak berminyak ketika lembab
sedangkan bagian tepinya mulus agak bergelombang. Daging jamur cukup tebal,
kokoh tapi lunak pada bagian yang berdekatan dengan tangkai. Jika sudah terlalu
tua, daging buah menjadi alot dan keras. Spora berbentuk batang berukuran 8-
11×3-4μm. Miselium berwarna putih dan bisa tumbuh dengan cepat (Gunawan &
Mulyani, 2004). Jamur tiram memiliki inti plasma dan spora yang berbentuk sel-
sel lepas atau bersambungan membentuk hifa dan miselium.
Pada titik–titik pertemuan percabangan miselium akan terbentuk bintik
kecil yang disebut pin head atau calon tubuh jamur yang akan berkembang
menjadi tubuh buah jamur (Parjimo & Agus, 2007). Permukaan bawah tudung
dari tubuh buah muda terdapat bilah-bilah (lamela). Lamela tubuh menurun dan
melekat pada tangkai. Pada lamela terdapat sel-sel pembertuk spora (basidium)
yang berisi basidiospora. Basidiospora biasanya dibentuk pada saat tubuh buah
telah dewasa (mengalami kematangan). Selama tepi tudung masih berlipat-lipat,
tubuh buah dikatakan belum dewasa. Tepi tudung yang merengah penuh maka
tubuh buah mencapai fase dewasa dan dapat dipanen. Tubuh buah yang matang
biasanya rapuh dan spora dapat dilepaskan (Parjimo & Agus, 2007). Batang atau
tangkai jamur tiram tidak tepat berada ditengah tudung, tetapi agak kepinggir.
Tubuh buahnya membentuk rumpun yang memiliki banyak percabangan dan
menyatu dalam satu media. Jika sudah tua, daging buahnya akan menjadi liat dan
keras (Parjimo & Agus, 2007).
B. Kandungan dan Manfaat Jamur Tiram
Jamur Tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan bahan sayuran yang
mulai banyak diminati di Indonesia. Jamur ini memiliki aroma yang khas karena
mengandung muskorin, dan penting bagi kesehatan karena mampu menyediakan
kebutuhan gizi manusia tanpa harus menaikkan tekanan darahnya (Riyanto,
2010). Jamur banyak disukai orang untuk dikonsumsi karena di samping rasanya
lezat juga banyak mengandung protein nabati serta zat-zat yang sangat diperlukan
oleh tubuh manusia. Kandungan gizi jamur tiram dalam 100 gram mengandung
367 kalori yang lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1. Jamur tiram putih
diketahui dapat menurunkan kandungan kolesterol, sebagai antibakteri,
antioksidan, antitumor, antikanker, dan antivirus karena kandungan β- Dglukans
(Umniyatie dkk, 2013). Komponen aktif jamur tiram yaitu statin dapat
menurunkan kolesterol. Adanya kandungan serat yang tinggi dapat digunakan diet
untuk mengatasi problem pencernaan. Pada akhir-akhir ini jamur tiram telah
didemosntrasikan dapat berperan sebagai Mycorestorasi, yaitu mampu memecah
bahan polusi organik yang berbahan dasar minyak, terutama Polycyclic Aromatic
Hidrocarbon (PAH) yang merupakan inti dalam minyak, pestisida, herbisida dan
beberapa polutan yang bersifat racun (Tjokrokusumo, 2008).
Tabel 1. Kandungan Gizi dan Kandungan Kalori serta Mineral Jamur Tiram per
100 Gram Penyajian
ANALISIS DATA
Baglog Jumlah
A 0,158
B 0,052
C 0,22
D 0,08
E
F
G 0,0995
H 0,153
Jumlah 0,7625 kg
(762,5 gr)
0.14
0.12
0.1
0.08
0.06
0.04
0.02
0
A B C D E F G H
C. Biaya Produksi
Dalam budidaya jamur yang kami lakukan selama satu bulan memiliki biaya
produksi sebesar Rp. 1.038.000, dengan rincian sebagai berikut:
D. Perhitungan BEP
163.000
BEP harga produksi per kemasan = 7
Maka, penjualan jamur akan mengalami balik modal apabila penjualan sudah
mencapai 6 kemasan (per kemasan 100 gr) dengan harga 25.000,-
Biaya BEP Asumsi
Penjualan selama 4 bulan = 400 unit @Rp 6000
= Rp 2.400.000
1 Unit = 350 gram
163.000
BEP dalam unit = 6000−3500 = 65 𝑏𝑢𝑎ℎ
163.000
Biaya per kemasan = = 2.507
65
163.000 163.000
BEP dalam rupiah penjualan = 1−0,0116 = = 164,912
0,9884
Dalam 8 baglog hanya diperoleh 762,5 kg sehingga hanya berhasil menjual 2 unit
Keuntungan per unit = 6000-2500
= 3500 x 62 unit
= 217.000
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Perawatan Budidaya Jamur Tiram (Pleorotus ostreatus)
Keberhasilan budidaya jamur tidak terlepas dari daya dukung lingkungan
tumbuh yang sesuai, misalnya untuk jamur tiram,suhu lokasi 30-32ᵒC, suhu
optimum ruang 22- 28ᵒC dan kelembaban ruang, pH media yang umumnya
mengarah ke asam, kadar air media sekitar 60% (Purbo, 2012). Pada pH yang
terlalu tinggi atau terlalu rendah akan mempengaruhi penyerapan air dan hara,
bahkan kemungkinan akan tumbuh jamur lain yang akan menganggu
pertumbuhan jamur tiram itu sendiri, pH optimum pada media tanam berkisar
6-7 (Susilawati dan Raharjo, 2010). Pada keadaan green house mempengaruhi
beglog menghasilkan tubuh buah, yang mana suhu dan kelembapan pada
tempat tersebut kurang diperhatikan, karena kurang rutinnya dalam
penyiraman.
Rak dalam kubung disusun sedemikian rupa sehingga memudahkan dalam
pemeliharan dan sirkulasi udara terjaga. Umumnya jark antara rak ± 75 cm.
Jarak didalam rak 60 cm (4 – 5 bag log), lebar rak 50 cm, tingi rak maksimal 3
m, panjang disesuaikan dengan kondisi ruangan. Bag log dapat disusun secara
vertikal cocok untuk daerah lebih kering. Sedangkan penyusunan secara
horizontal untuk daerah dengan kelembaban tinggi. Antara rak pertama
berjarak 20 cm (Susilawati dan Raharjo, 2010). Jarak rak satu dengan lain pada
budidaya ini sudah baik, yakni ± 50 cm, tetapi jarak antar beglog terlalu dekat,
sehingga jamur sulit untuk tumbuh dan keluar dari beglog.
Penyiraman dilakukan dengan cara penyemprotan atau pengkabutan
dengan menggunakan air bersih yang ditujukan pada ruang kubung dan media
tumbuh jamur, tujuan untuk menjaga kelembaban kubung (Susilawati dan
Raharjo, 2010). Penyiraman menggunakan air yang tidak terkontrol
(kandungan) yakni air dari kran pada Green House dan ketidakrutinan dalam
penyiraman membuat jamur kurang tumbuh maksimal.
B. Perhitungan BEP untuk produksi jamur
Salah satu alat bantu yang digunakan manajemen perusahaan adalah
analisis Break Even Point, yang merupakan bagian dari analisis biaya-volume-
laba yaitu suatu analisis yang memberikan informasi tentang berapa tingkat
penjualan yang harus dicapai agar perusahaan tidak menderita kerugian dan
tidak memperoleh laba. Analisis ini manajemen juga akan mengetahui berapa
produk yang harus dijual untuk mencapai laba yang ditargetkan (Juliaty, 2002).
Berdasarkan analisis data hasil produksi jamur yakni 0,7625 kg (762,5 gr).
Penjualan jamur akan mengalami balik modal apabila penjualan sudah
mencapai 6 kemasan (per kemasan 100 gr) dengan harga 25.000,-. Sehingga
produksi kami tidak mendapatkan untung dan tidak mendapatkan rugi atau
hanya balik modal, hal tersebut dikarenakan adanya beberapa faktor.
C. Proses Pemanenan Jamur Tiram (Pleorotus ostreatus)
Pemanenan: 1-2 minggu setelah pembukaan tutup kapas (Umniyatie, dkk.
2013). Tubuh buah umumnya akan tumbuh setelah tutup dibuka, kurang lebih
2 minggu, atau 30-45 hari setelah penanaman bibit. Hasil panen yang baik jika
setiap polybbag menghasilkan 400-500 gram dan panen dapat berlangsung
selama 4 bulan (Achmad, dkk: 2011). Panen jamur dapat diperpanjang dengan
menyobek badan samping polybag dengan bentuk X,V atau +. Jamur tiram siap
dipetik ketika telah berusia 2 hari sejak tumbuh tunas. Pemanenan sebaiknya
dilakukan pagi hari dengan cara mencabut seluruh rumpun jamur, kemudian
dibersihkan. (Umniyatie, dkk. 2013). Sedangkan menurut Rahmat (2000)
panen dilakukan sekitar 1 minggu setelah proses pembentukan badan buah
dengan ciri ujung tepi jamur tiram sudah tidak melengkung ke bawah.
Pemanenan badan buah jamur tiram dilakukan sampai bersih hingga ke
akarnya.
Kelompok Kami memanen jamur setelah jamur sudah tumbuh dan
berukuran sedang, atau terkadang lupa memanen sehingga jamur sampai
kering, keriput, dan berwarna kuning. Pengambilan jamur dari baglog juga
salah, mencabut tidak sampai akarnya dan terlalu kuat mencabut hingga
merusak plastik baglog dan mempengaruhi produksi jamur untuk selanjutnya.
D. Faktor Internal dan Eksternal yang Memperngaruhi Produksi Jamur
Tiram (Pleorotus ostreatus)
1. Faktor internal
Salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam budidaya yaitu
ketersediaan substrat (Brock and Michael, 1991). Menurut penelitian Suryani
(2007) tentang kajian komposisi medium serbuk gergaji kayu sengon 85% dan
ampas tebu 15% berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil jamur tiram abu-
abu terbaik. Pertumbuhan miselium yang baik disebabkan oleh adanya media
tumbuh jamur yang terdekomposisi secara cepat dan merata, sehingga unsur-
unsur hara yang terdapat pada media tumbuh (Setiagama, 2014). Produktivitas
jamur tiram putih membutuhkan nutrisi kalsium, glukosa, nitrogen, protein,
dan lemak (Darnetty, 2006). Pada jamur kelompok 2 menggunakan medium
berupa gergaji kayu, memiliki nutrisi baik yang dibutuhkan oleh jamu untuk
pertumbuhannya.
Tingkat kepadatan baglog juga mempengaruhi pada penyebaran miselium.
Apabila baglog terlalu padat maka miselium juga akan sulit untuk menyebar ke
seluruh permukaan baglog. Oleh karena itu dalam pengisian baglog diusahakan
untuk tidak terlalu padat atau terlalu renggang (Setiagama, 2014). Pada
kelompok 2 medium pada baglog terlalu padat, menyebabkan terdapat bagian
yang tidak ditumbuhi oleh miselium, sehingga produksi jamur Kami tidak
banyak.
Faktor internal lain yang mempengaruhi jumlah produksi jamur tidak
sebanyak kelompok lain karena Kelompok Kami adalah kelompok kontrol.
Kelompok control adalah untuk mengetahui efektifitas pertumbuhan jamur
tanpa adanya tambahan serum Super Growth.
2. Faktor eksternal
Suhu pada pembentukan tubuh buah berkisar antara 16 – 22 º C.
Kelembaban udara selama masa pertumbuhan miselium dipertahankan antara
60-70%. Kelembaban udara pada pertumbuhan tubuh buah dipertahankan
antara 80-90% (Susilawati dan Raharjo, 2010). Jamur pada Kelompok 2 kurang
menghasilkan buah atau jamur karena tidak mempertahankan kelembapan
udara disekitar dalam proses penyiraman yang 1 minggu tidak rutin setiap hari.
Hal tersebut mengakibatkan kurang berkembangnya jamur tersebut.
Pertumbuhan jamur sangat peka terhadap cahaya matahari secara
langsung. Cahaya tidak langsung (cahaya pantul biasa ± 50-15000 lux)
bermanfaat dalam perangsangan awal terbentuknya tubuh buah. Pada
pertumbuhan miselium tidak diperlukan cahaya. Intensitas cahaya yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan Namur sekitar 200 lux (10%) (Susilawati dan
Raharjo, 2010). Peletakan rak atau beglog yang dekat candela dengan
penutupan rak menggunakan tirai yang berlubang-lubang mempengaruhi
pertumbuhan jamur, karena cahaya matahari dapat masuk ke rak dan
mempengaruhi pertumbuhan jamur.
Komponen penting dalma udara yang berpengaruh pada pertumbuhan
jamur yaitu oksigen (O2) dan karbondioksida (CO2). Oksigen merupakan unsur
penting dalam respirasi sel. Sumber energi dalam sel dioksida menjadi
karbondioksida. Konsentrasi karbondioksida (CO2) yang terelalu banyak dalam
kumbung menyebabkan pertumbuhan jamur tidak normal. Di dalam kumbung
jamur konsentrasi CO2 tidak boleh lebih dari 0,02% (Susilawati dan Raharjo,
2010). Pemberian aerasi pada beglog kurang baik dan benar, sirkulasi udara
pada tempat (Green House UM) kurang baik, sehingga sirkulasi oksigen (O2)
dan karbondioksida (CO2) kurang memadai. Aerasi pada beglog kurang benar,
karena pemberian lubang pada beglog menggunakan lidi yang berukuran kecil,
sehingga jamur tidak bisa berkembang dengan baik dan tidak dapat
memanenya.
E. Kendala atau Penyebab Terjadinya Rugi Pada Budidaya Jamur Tiram
(Pleorotus ostreatus)
Widyastanto (2012) komposisi baglog menggunakan konsentrasi nutrisi
yang tinggi, sedangkan suhu dalam ruangan inkubasi panas dan pengap karena
cuaca panas. Hal tersebut akan memicu munculnya bakteri termofilik dan
jamur lain yang aktif bekerja pada suhu tinggi dan didukung dengan nutrisi
tinggi pada baglog. Proses perombakan bahan-bahan organik itu akan
memunculkan organisme-organisme lain seperti jamur-jamur liar (selain jamur
tiram yang dibudidayakan). Hadirnya jamur liar menyerap nutrisi dari baglog
akan menghambat miselium jamur (Suriawiria, 2004).
Hama maupun hewan pengganggu merupakan bagian penting yang sangat
mempengaruhi keberhasilan budidaya jamur pada umumnya, antara lain kutu,
tikus dan jamur jenis lain sering mengkontaminasi media tumbuh, dengan
gejala adanya warna hijau yaitu jamur Trichoderma.sp; adanya serangga jenis
tungau yang menyerang pangkal tubuh buah dan serangan penyakit ini dapat
mengganggu pertumbuhan (Purbo, 2012). Menurut Karlovsky (2008), ketika
jamur lain menjadi inang parasit jamur kontaminan, maka terjadilah kompetisi
penyerapan nutrisi. Pada beglog kelompok 2 terdapat kutu dan jamur liar yang
mempengaruhi pertumbuhan dan produksi jamur. Kutu memakan miselium
jamur sehingga jamur yang berbuah sedikit dan kelamaan habis, sedangkan
jamur liar yang membuat warna tubuh buah jamur menjadi kuning. Kebersihan
pada rak dapat mempengaruhi adanya kutu dan jamur lain yang menyebakan
ruginya produksi jamur.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Terdapat beberapa langkah yang dapat dilakukan dalam budidaya jamur
tiram yaitu Penyiapan Bibit Jamur, Penyiapan Rumah Jamur, Pembuatan
Media Tanam Jamur, Sterilisasi Media Tanam, Inokulasi Bibit, Inkubasi,
Pembukaan Tutup Kapas, Perawatan, dan Pemanenan
2. Pemanenan jamur dilakukan 1-2 minggu setelah pembukaan tutup kapas,
jamur dapat dipanen. Jamur tiram siap dipetik ketika telah berusia 2-3 hari
sejak tumbuh tunas atau muncul pinhead, ukuran jamur cukup, dan jamur
tidak terlalu basah, Pemanenan sebaiknya dilakukan pagi hari dengan cara
mencabut seluruh rumpun jamur tanpa menyisakan bagian jamur
kemudian dibersihkan supaya tidak mengundang hama dan penyakit.
Jamur yang telah dipanen dibersihkan kemudian diwadahi dalam kantong
plastik dengan beberapa ukuran dan siap dipasarkan
3. Berdasarkan analisis data hasil produksi jamur yakni 0,7625 kg (762,5 gr).
Penjualan jamur akan mengalami balik modal apabila penjualan sudah
mencapai 6 kemasan (per kemasan 100 gr) dengan harga 25.000,-.
Sehingga produksi kami tidak mendapatkan untung dan tidak mendapatkan
rugi atau hanya balik modal, hal tersebut dikarenakan adanya beberapa
faktor.
4. Faktor internal yang mempengaruhi produksi jamur tiram yaitu
ketersediaan substrat, tingkat kepadatan baglog, dan jamur sebagai kontrol.
Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi produksi jamur tiram
yaitu suhu, intensitas cahaya, dan kadar oksigen dan karbon dioksida.
5. Kendala yang dialami selama budidaya jamur yaitu adanya jamur liar dan
hama maupun hewan pengganggu. Solusi dari kendala tersebut yaitu
dengan menjaga suhu ruangan dan kebersihan rak
B. SARAN
Dalam membudidayakan jamur, mahasiswa atau peneliti harus merawat
dan menjaga jamur yang dibudidayakan dengan baik. Perawatan dan
pemanenan jamur harus dilakukan secara rutin dan konsisten sehingga hasil
panen yang didapatkan akan akan sesuai dengan perkiraan dan dapat
menghasilkan keuntungan dalam penjualannya.
Daftar Pustaka
Dokumentasi