Oleh:
1
LEMBAR PERSETUJUAN
Disusun oleh:
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk memahami patofisiologi terjadinya Dislokasi Sendi
Temporomandibular
2. Untuk memahami tatalaksana Dislokasi Sendi Temporomandibular
3. Untuk memahami komplikasi Dislokasi Sendi Temporomandibular
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Dislokasi sendi temporomandibular adalah terlepasnya kondilus dari posisi
normal. Fossa glenoid terletak di bagian skuamosa-temporal dasar tengkorak. Hal ini
dapat terjadi secara parsial (subluksasi) atau komplit (luksasi), bilateral atau
unilateral, akut, atau kronis berkepanjangan (Caminiti, 1998).
2.2 Epidemiologi
Dislokasi pada 60% kasus disebabkan oleh trauma akibat jatuh, kecelakaan
lalu lintas, kecelakaan rumah tangga, kekerasan, dan penyebab lain seperti
membuka mulut yang berlebihan saat menguap, tertawa, bernyanyi, membuka mulut
berkepanjangan dari prosedur lisan dan THT. Sedangkan 40% kasus dislokasi
diakibatkan membuka mulut secara kuat dari prosedur anestesi, dan endoskopi
(Ozcelik, 2008).
Sebanyak 63 kasus dislokasi akut dirawat dengan reduksi manual tanpa
disertai anestesi sementara dua kasus dirawat dengan disertai pemberian analgesia
intravena dan obat penenang dan sebanyak 14 kasus diberikan tindakan reduksi
5
manual dengan bantuan anestesi umum, tiga kasus dilakukan reduksi dengan
bantuan refleks muntah (Ozcelik, 2008).
2.3 Etiologi dan Patogenesis
Etiologi dislokasi pada 60% kasus disebabkan oleh trauma akibat jatuh,
kecelakaan lalu lintas, kecelakaan rumah tangga, kekerasan, dan penyebab lain
seperti membuka mulut yang berlebihan saat menguap, tertawa, bernyanyi,
membuka mulut berkepanjangan dari prosedur lisan dan THT. Sedangkan 40%
kasus dislokasi diakibatkan membuka mulut secara kuat dari prosedur anestesi, dan
endoskopi. Dari semua kasus yang dikaji, hanya ditemukan empat kasus dislokasi
unilateral. Prognatisme rahang bawah, gigitan silang anterior, dan gigitan terbuka
merupakan gambaran pada kasus dislokasi bilateral. Sementara deviasi mandibula
merupakan pergeseran garis tengah pada sisi yang tidak terlibat dan gigitan silang
pada sisi tersebut merupakan gambaran dominan dalam kasus dislokasi unilateral
(Ozcelik, 2008).
Patofisiologi dislokasi adalah pergerakan proses condylar di depan artikular
dan ketidakmampuan untuk turun kembali ke posisi normalnya. Hal ini bisa parsial
(subluksasi) atau komplit (luksasi), bilateral atau unilateral, akut, dan kronis berulang
atau kronis berulang (Landes, 2005; Caminiti, 1998; dan Vasconcelos, 2009). Yang
paling umum adalah dislokasi anterior. Jenis lain seperti medial, lateral, superior ke
fossa kranial tengah, dan posterior jarang terjadi dan sebagian besar berhubungan
dengan trauma (Hoard, 1998 dan Harstall, 2005).
Mekanisme dislokasi sendi temporomandibular bervariasi tergantung pada
jenis dislokasi seperti dislokasi akut, kronis menahun, dan rekuren kronis.
Mekanisme tersebut sangat berhubungan dengan struktur dan fungsi sendi
temporomandibular yaitu sebagai sistem pengunyahan yang dinamis (Given, 2009).
Kapsul sendi merupakan struktur paling penting yang berperan dalam menstabilisasi
sendi dan diperkuat oleh ligamen lateral. Meskipun demikian pergeseran kondilus
dari fossa glenoid juga sangat dipengaruhi oleh morfologi kondilus, fossa glenoid,
eminensia artikularis, arkus zigomatikus, dan fisura squamotimpani (Wahab, 2008).
Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi jenis dan arah dislokasi. Selain itu,
umur, gigi geligi, penyebab dan lama dislokasi serta fungsi otot pengunyahan secara
signifikan berpengaruh pada mekanisme dan penatalaksanaan dislokasi sendi
temporomandibular.
6
2.4 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari Temporomandibular Joint Dislocation antara lain adalah
kekakuan (stiffness), sakit kepala, sakit kuping, persoalan menggigit (malocclusion),
bunyi-bunyi clicking atau rahang yang terkunci. Perilaku-perilaku dan kondisi-kondisi
yang dapat menjurus ke gangguan sendi rahang (TMJ disorders) meliputi
mengertakan gigi (teeth grinding) dan mengepalkan gigi (bruxism) yang dapat
meningkatkan keausan pada lapisan tulang rawan dari sendi rahang. Pasien-pasien
mungkin tidak sadar atas perilaku ini sampai mereka diberitahu oleh seseorang yang
mengamati pola ini ketika sedang tidur atau oleh klinisi yang mendapatkan tanda-
tanda yang menunjukan kerusakan gigi. Banyak pasien bangun pagi dengan sakit
rahang atau sakit telinga. Selain itu kebiasaan mengunyah permen karet atau
menggigit kuku juga dapat menyebabkan gangguan sendi rahang (TMJ Disorders).
Gejala Dislokasi Sendi Temporomandibula dibagi menjadi dua yakni ke arah
anterior dan posterior. Untuk yang ke arah anterior biasanya mulut terbuka lebar dan
sulit ditutup, penderita tampak cemas atau seringkali tampak panik. Meskipun tidak
selalu namun terasa nyeri pada sendi yang mengalami dislokasi. Terjadi bengkak
atau penonjolan tulang pada sisi yg mengalami dislokasi. Pada kasus bilateral
tampak dagu protrusif. Pada kasus unilateral tampak deviasi mandibula ke arah sisi
normal. Pada pemeriksaan radiologis akan tampak kondilus berada di anterior
eminensia artikularis. Dan pemeriksaan ini ditujukan untuk mendiagnosis banding
dengan fraktur kondilus.
Adapun gejala Dislokasi Sendi Temporomandibula ke arah posterior meliputi
mulut sedikit terbuka dan sulit ditutup atau dibuka lebar, distoklusi pada gigi posterior
dan open bite pada gigi anterior, selalu disertai nyeri hebat terutama jika rahang
digerakkan, bengkak atau penonjolan tulang pada sisi normal, pada kasus bilateral
tampak dagu retrusif, pada kasus unilateral tampak deviasi mandibula ke arah sisi
dislokasi, dan perdarahan dari lubang telinga pada sisi dislokasi. Pemeriksaan
radiologis digunakan untuk membedakannya dengan fraktur mandibula.
7
Dislokasi akut memiliki waktu dua minggu dan itu mudah direduksi oleh manuver
Hipokrates. Setelah dua minggu, kejang dan pemendekan otot temporalis dan otot
masseter terjadi dan pengurangan menjadi sulit dicapai secara manual. Hal ini
menyebabkan dimulainya dislokasi berlarut-larut menjadi kronis. Pemanjangan
artikular eminensia dapat mencegah pergeseran kebelakang dalam posisi normal di
fossa glenoid, dalam hal ini dislokasi kronis berkepanjangan dengan pembentukan
pseudojoint baru dengan berbagai derajat gerakan dan pasien tersebut memiliki
masalah dengan kesulitan dalam menutup mulut (kunci terbuka) dan maloklusi di
mana ada prognatisme mandibula dengan gigitan anterior (Min, 2008).
Dislokasi kronis berulang terjadi pada orang-orang dengan kebiasaan membuka
mulut yang lebar biasanya terjadi secara spontan dan direduksi tergantung pada
tingkat perubahan morfologi sendi temporomandibular dan struktur yang berdekatan.
Ketika artikular eminensia memanjang, dislokasi sulit untuk direduksi. Hal ini terjadi
biasanya pada pasien dengan hipoplasia eminensia, fossa sempit, kapsul longgar,
gangguan kolagen, kondilus kecil, sindrom hipermobilitas, oromandibular dystonias
dan penggunaan obat neuroleptik tampilan polos TMJ terutama pada transcranio-
oblique, kontras CT scan, i-CAT scan dan MRI, tomografi digital linear dan rotasi
polos, artroskopi sendi berguna untuk menilai posisi kepala kondilus dan meniskus
dalam kaitannya dengan fossa glenoid, proses mastoid, piring timpani dan artikular
eminensia. Alat baru termasuk sistem Dolphin yang mengimpor foto wajah 2D
(bungkus wajah) gambar stereografik 3D digunakan untuk meningkatkan simulasi
pengobatan (Akinbami, 2011).
Tanda dan gejala Dislokasi Sensi Temporomandibular sangat umum ditemukan.
Beberapa diantaranya muncul sebagai gejala yang signifikan sehingga pasien
berusaha untuk mencari pengobatan. Namun banyak juga yang tidak memberikan
gejala yang jelas sehingga diabaikan oleh pasien. Oleh karena itu perlu diketahui
pemeriksaan TMJ dengan tepat. Pemeriksaan TMJ dapat dilakukan dengan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (gambaran radiograf). Pemeriksaan
fisik pada TMJ adalah mengukur jarak perpindahan mandibula, palpasi, dan
mendeteksi bunyi sendi (auskultasi TMJ). Pemeriksaan jarak perpindahan
mandibula dilakukan untuk mengetahui apakah ada kesulitan/keterbatasan saat
mandibula digerakkan. Sementara itu, pemeriksaan palpasi dilakukan untuk
mengetahui kesimetrisan pergerakan sendi dan ada atau tidaknya rasa nyeri saat
8
dilakukan palpasi. Sedangkan, pemeriksaan auskultasi bertujuan untuk mengetahui
bunyi sendi yang ditimbulkan akibat adanya kelainan TMJ. Pemeriksaan auskultasi
TMJ dapat menggunakan light digital palpation atau menggunakan stetoskop. Pada
pemeriksaan standar TMJ, klinisi menggunakan stetoskop untuk mendeteksi adanya
bunyi TMJ (Robert, 2003).
Tanda dan gejala Dislokasi Sendi Temporomandibular sangat umum ditemukan.
Beberapa diantaranya muncul sebagai gejala yang signifikan sehingga pasien
berusaha untuk mencari pengobatan. Namun banyak juga yang tidak memberikan
gejala yang jelas sehingga diabaikan oleh pasien.
2.5.1 Anamnesis
Tujuan anamnesis adalah untuk identifikasi pasien dengan tanda dan
gejala subklinis dimana pasien mungkin tidak berhubungan dengan
gangguan yang diderita namun umumnya terkait dengan gangguan
fungsional sistem pengunyahan (contohnya sakit kepala, telinga). Anamnesis
terdiri dari beberapa pertanyaan yang akan membantu orientasi klinisi pada
dislokasi sendi temporomandibular. Beberapa pertanyaan dapat ditanyakan
secara langsung oleh klinisi atau dapat dimasukkan sebagai pelengkap
dalam kuesioner kesehatan umum dan gigi pasien sebelum masuk ke ruang
periksa dokter. Klinisi dapat menanyakan pertanyaan-pertanyaan berikut
pada pasien untuk mengidentifikasi gangguan fungsional (Dipoyono, 2010):
1. Apakah kesulitan atau merasa nyeri saat membuka mulut (misalnya saat
menguap)?
2. Apakah merasa rahang seperti melekat satu sama lain, seperti terkunci,
atau seperti macet?
3. Apakah merasa kesulitan atau nyeri saat mengunyah, berbicara, atau
menggerakkan rahang?
4. Apakah sendi rahang mengeluarkan suara berisik?
5. Apakah sering merasa rahang kaku, kencang, atau lelah?
6. Adakah merasa nyeri di dalam atau di sekitar telinga, pada pelipis, atau
pipi?
7. Adakah sakit kepala, sakit leher, atau sakit gigi yang berulang?
8. Pernahkah mengalami trauma kepala, leher, atau rahang akhir-akhir ini?
9. Pernahkah mengalami perubahan saat menggigit akhir-akhir ini?
9
10. Pernahkah berobat untuk nyeri wajah atau masalah sendi rahang yang
sulit dijelaskan?
2.5.2 Pemeriksaan Klinis
Setelah riwayat diperoleh melalui diskusi mendalam dengan pasien,
maka dilanjutkan dengan pemeriksaan klinis melalui pemeriksaan TMJ.
Pemeriksaan akan mengidentifikasi berbagai variasi dari sistem mastikasi
yang normal, sehat beserta fungsinya (Dipoyono, 2010).
10
menciptakan perubahan posisi mandibula dan pola oklusi. Posisi mandibula dan
pola oklusi akan bergantung pada penyebab kelainan. Ketika dilakukan penanganan
aktivitas parafungsional, maka alat oklusal akan menjadikan posisi mandibula dan
oklusi dalam hubungan yang optimum sesuai dengan kriteria. Maka ketika alat itu
dikenakan, pola kontak oklusal dibuat sesuai dengan hubungan kondile-diskus-fossa
pasien. Dengan demikian alat oklusal memberikan stabilitas ortopedik. Tipe alat ini
telah digunakan untuk menurunkan berbagai gejala dislokasi sendi
temporomandibular dan menurunkan aktivitas parafungsional. Dalam hal ini
stabilitas ortopedik dipertahankan hanya ketika alat itu dikenakan, sehingga dengan
demikian ini dianggap penanganan reversibel. Ketika alat dilepas maka kondisi akan
kembali seperti sebelumnya (Suhartini, 2011).
Terapi oklusal ireversibel adalah penanganan yang mengubah secara permanen
kondisi oklusal, posisi mandibula atau keduanya. Contohnya adalah menggertakan
selektif dari gigi dan prosedur restoratif yang memodifikasi kondisi oklusal. Contoh
lain adalah penanganan ortodontik dan prosedur bedah yang bertujuan mengubah
oklusi, posisi mandibular, atau keduanya. Alat yang dirancang unuk mengubah
pertumbuhan atau reposisi permanen mandibula juga dipandang sebagai terapi
oklusal ireversibel (Suhartini, 2011).
Penanganan Dislokasi Sendi Temporomandibular harus mempertimbangkan
kompleksitas Dislokasi Sendi Temporomandibular. Khususnya ketika berhadapan
dengan hiperaktivitas otot, maka mustahil untuk menangani sebab utama. Dengan
demikian terapi reversibel selalu diindikasikan sebagai penanganan awal untuk
pasien dengan Dislokasi Sendi Temporomandibular. Keberhasilan atau kegagalan
dari penanganan ini bisa membantu menentukan kebutuhan untuk terapi oklusal
ireversibel lanjut. Ketika seorang pasien merespon dengan berhasil pada terapi
oklusal reversibel, hal ini mengindikasikan bahwa terapi oklusal ireversibel dapat
berguna (Okeson, 1998).
11
BAB 3
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
12
DAFTAR PUSTAKA
13
Landes CA, Lipphardt R. Prospective evaluation of a pragmatic treatment rationale:
Open reduction and internal fixation of displaced and dislocated condyle and
condylar head fractures and closed reduction of non-displaced, non-dislocated
fractures. Part I: Condyle and sub condylar fractures. Int J Oral Maxillofac Surg.
2005;34 :859–70
Lorenzo D, Alexandra AP, Gallois C, Faisy C. Bilateral temporomandibular joint
dislocation after upper gastrointestinal endoscopy in an intensive care unit
patient: a rare complication. Endoscopy J 2014; 46:01:38-42
Min B-H, Lee H, Jeong JS et al. Comparison of a novel teeth-protecting mouthpiece
with a traditional device in preventing endoscopy-related complications
involving teeth or temporomandibular joint: a multicenter randomized trial.
Endoscopy 2008; 40: 472-477
Nijhawan S, Nepalia S. Dislocation of temporomandibular joint after upper
gastrointestinal endoscopy. Trop Gastroenterol 1994; 15: 232
Ning, NA; Endang S; Fathurachman. 2016. Penatalaksanaan dislokasi sendi
temporomandibula anterior bilateral. Bandung: Studi Kasus Departemen Bedah
Ortopedi, Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjaran, RSUP Dr.Hasan
Sadikin, Bandung MKGK. Desember 2016; 2(3): 120-125 ISSN: 2460-0059
(online)
Okeson J.P, Management of Temporomandibular Disorders and Occlusion, 1998,
Toronto: C.V. Mosby Company.
Ozcelik TB,Pektas ZO. Management of chronic temporomandibular joint dislocation
with a mandibular guidance prosthesis: a clinical report: J Prosthet Dent 2008;
99:95-100
Ramfjord, S et al. Occlusion, Thirth Edition. 1983.Canada : I. Goldthorme Avenne
Saleh. 2005. Penanganan Temporomandibular Disorder Non Bedah. Yogyakarta:
PSPDG FKIK Univeristas Muhammadiyah Yogyakarta
Sang LK, MulupiE, Akama MK, Muriithi JM, Macigo FG, Chindia ML.
Temporomandibular dislocation in Nairobi. East Afr Med J 2010; 87:32-7
Schawrtz AJ. Dislocation of mandible: A case report.AANAJ 2000;68:507-13
Septadina. 2015. Prinsip Penatalaksanaan Dislokasi Sendi Temporomandibular.
Palembang: MKS, Th. 47, No. 1, Januari 2015 Anatomi FK Unsri Palembang.
14
Suhartini. 2011. Kelainan pada Temporo mandibular Joint (TMJ). Jember: Biomedik
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember
Vasconcelos BC, Porto GG. Treatment of chronic mandibular dislocations: A
comparison between eminectomy and mini plates. J Oral Maxillofac Surg.
2009; 67:2599–604.
Wahab NU, Warraich RA. Treatment of TMJ recurrent dislocation through
eminectomy:a study. Pakistan Oral Dent J 2008; 28:25-8
Zubarik R, Eisen G, Mastropietro C et al. Prospective analysis of complications 30
days after outpatient upper endoscopy. Am J Gastroenterol 1999; 94: 1539-
1545
15