Anda di halaman 1dari 15

REFERAT

DISLOKASI SENDI TEMPOROMANDIBULAR

Oleh:

Agung Dwi Krisnayana 180070200011072


Mutiara Shafiyyah Shiddiqah 180070200011113
Abidah Safithri 180070200011156
Andi Permana 180070200011157

Pembimbing : dr. Elisabeth Prajanti S., S.P.B.R.E.

LABORATORIUM/SMF ILMU BEDAH


RSUD DR. SAIFUL ANWAR MALANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020

1
LEMBAR PERSETUJUAN

DISLOKASI SENDI TEMPOROMANDIBULAR

Disusun oleh:

Abidah Safithri 180070200011156


Agung Dwi Krisnayana 180070200011072
Andi Permana 180070200011157
Mutiara Shafiyyah Shiddiqah 180070200011113

Disetujui untuk dibacakan pada:


Hari :
Tanggal :

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

dr. Elisabeth Prajanti S, Sp.BP-RE dr. Putra

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dislokasi pada sendi temporomandibular ditemukan 3% dari seluruh dislokasi


pada sendi yang pernah dilaporkan. Dislokasi pada sendi temporomandibula sering
ditemukan dalam praktek kedokteran sehari-hari dan perlu dilakukan tindakan
dengan segera dan cepat karena pasien merasa sangat tidak nyaman walaupun
pada kasus ini jarang disertai dengan keluhan nyeri yang hebat (Ning, 2016).
Dislokasi pada sendi temporomandibula diakibatkan oleh pergerakan
kondilus kearah depan dari eminensia artikulare dan untuk penatalaksanaannya
dapat direposisi secara manual ataupun dengan pembedahan. Komplikasi yang
terjadi bila tidak dilakukan reposisi adalah terjadinya fibro-osseus ankylosis, jejas
pada arteri carotis eksternal dan jejas pada saraf wajah (Ning, 2016).
Oleh karena jumlah kasus Dislokasi Sendi Temporomandibular yang banyak
sekaligus hampir sering ditemui maka perlu dibahas manajemen terapi yang tepat
dalam menangani kasus Dislokasi Sendi Temporomandibular. Terapi dapat
dilakukan dengan medikamentosa maupun pembedahan. Dengan diketahuinya
manajemen terapi yang tepat pada Dislokasi Sendi Temporomandibular diharapkan
dapat dilakukan pencegahan terhadap komplikasi-komplikasi yang bisa ditimbulkan
seperti yang disebutkan di atas.
Bedasarkan latar belakang tersebut, referat ini akan membahas mengenai
cara mendiagnosis dan tatalaksana Hidrocephalus secara komprehensif.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah patofisiologi terjadinya Dislokasi Sendi Temporomandibular?


2. Bagaimanakah tatalaksana Dislokasi Sendi Temporomandibular?
3. Bagaimanakah komplikasi Dislokasi Sendi Temporomandibular?

3
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk memahami patofisiologi terjadinya Dislokasi Sendi
Temporomandibular
2. Untuk memahami tatalaksana Dislokasi Sendi Temporomandibular
3. Untuk memahami komplikasi Dislokasi Sendi Temporomandibular

1.4 Manfaat Penulisan

Penulisan tinjauan pustaka ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan


dan pemahaman dokter muda mengenai Dislokasi Sendi Temporomandibular dalam
hal penegakan diagnosis, pencegahan, dan tatalaksana yang sesuai sehingga dapat
berguna saat berpraktik di masyarakat.
.

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Dislokasi sendi temporomandibular adalah terlepasnya kondilus dari posisi
normal. Fossa glenoid terletak di bagian skuamosa-temporal dasar tengkorak. Hal ini
dapat terjadi secara parsial (subluksasi) atau komplit (luksasi), bilateral atau
unilateral, akut, atau kronis berkepanjangan (Caminiti, 1998).

Gambar 2.1 Anatomi Sendi Temporomandibular

2.2 Epidemiologi
Dislokasi pada 60% kasus disebabkan oleh trauma akibat jatuh, kecelakaan
lalu lintas, kecelakaan rumah tangga, kekerasan, dan penyebab lain seperti
membuka mulut yang berlebihan saat menguap, tertawa, bernyanyi, membuka mulut
berkepanjangan dari prosedur lisan dan THT. Sedangkan 40% kasus dislokasi
diakibatkan membuka mulut secara kuat dari prosedur anestesi, dan endoskopi
(Ozcelik, 2008).
Sebanyak 63 kasus dislokasi akut dirawat dengan reduksi manual tanpa
disertai anestesi sementara dua kasus dirawat dengan disertai pemberian analgesia
intravena dan obat penenang dan sebanyak 14 kasus diberikan tindakan reduksi

5
manual dengan bantuan anestesi umum, tiga kasus dilakukan reduksi dengan
bantuan refleks muntah (Ozcelik, 2008).
2.3 Etiologi dan Patogenesis
Etiologi dislokasi pada 60% kasus disebabkan oleh trauma akibat jatuh,
kecelakaan lalu lintas, kecelakaan rumah tangga, kekerasan, dan penyebab lain
seperti membuka mulut yang berlebihan saat menguap, tertawa, bernyanyi,
membuka mulut berkepanjangan dari prosedur lisan dan THT. Sedangkan 40%
kasus dislokasi diakibatkan membuka mulut secara kuat dari prosedur anestesi, dan
endoskopi. Dari semua kasus yang dikaji, hanya ditemukan empat kasus dislokasi
unilateral. Prognatisme rahang bawah, gigitan silang anterior, dan gigitan terbuka
merupakan gambaran pada kasus dislokasi bilateral. Sementara deviasi mandibula
merupakan pergeseran garis tengah pada sisi yang tidak terlibat dan gigitan silang
pada sisi tersebut merupakan gambaran dominan dalam kasus dislokasi unilateral
(Ozcelik, 2008).
Patofisiologi dislokasi adalah pergerakan proses condylar di depan artikular
dan ketidakmampuan untuk turun kembali ke posisi normalnya. Hal ini bisa parsial
(subluksasi) atau komplit (luksasi), bilateral atau unilateral, akut, dan kronis berulang
atau kronis berulang (Landes, 2005; Caminiti, 1998; dan Vasconcelos, 2009). Yang
paling umum adalah dislokasi anterior. Jenis lain seperti medial, lateral, superior ke
fossa kranial tengah, dan posterior jarang terjadi dan sebagian besar berhubungan
dengan trauma (Hoard, 1998 dan Harstall, 2005).
Mekanisme dislokasi sendi temporomandibular bervariasi tergantung pada
jenis dislokasi seperti dislokasi akut, kronis menahun, dan rekuren kronis.
Mekanisme tersebut sangat berhubungan dengan struktur dan fungsi sendi
temporomandibular yaitu sebagai sistem pengunyahan yang dinamis (Given, 2009).
Kapsul sendi merupakan struktur paling penting yang berperan dalam menstabilisasi
sendi dan diperkuat oleh ligamen lateral. Meskipun demikian pergeseran kondilus
dari fossa glenoid juga sangat dipengaruhi oleh morfologi kondilus, fossa glenoid,
eminensia artikularis, arkus zigomatikus, dan fisura squamotimpani (Wahab, 2008).
Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi jenis dan arah dislokasi. Selain itu,
umur, gigi geligi, penyebab dan lama dislokasi serta fungsi otot pengunyahan secara
signifikan berpengaruh pada mekanisme dan penatalaksanaan dislokasi sendi
temporomandibular.

6
2.4 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari Temporomandibular Joint Dislocation antara lain adalah
kekakuan (stiffness), sakit kepala, sakit kuping, persoalan menggigit (malocclusion),
bunyi-bunyi clicking atau rahang yang terkunci. Perilaku-perilaku dan kondisi-kondisi
yang dapat menjurus ke gangguan sendi rahang (TMJ disorders) meliputi
mengertakan gigi (teeth grinding) dan mengepalkan gigi (bruxism) yang dapat
meningkatkan keausan pada lapisan tulang rawan dari sendi rahang. Pasien-pasien
mungkin tidak sadar atas perilaku ini sampai mereka diberitahu oleh seseorang yang
mengamati pola ini ketika sedang tidur atau oleh klinisi yang mendapatkan tanda-
tanda yang menunjukan kerusakan gigi. Banyak pasien bangun pagi dengan sakit
rahang atau sakit telinga. Selain itu kebiasaan mengunyah permen karet atau
menggigit kuku juga dapat menyebabkan gangguan sendi rahang (TMJ Disorders).
Gejala Dislokasi Sendi Temporomandibula dibagi menjadi dua yakni ke arah
anterior dan posterior. Untuk yang ke arah anterior biasanya mulut terbuka lebar dan
sulit ditutup, penderita tampak cemas atau seringkali tampak panik. Meskipun tidak
selalu namun terasa nyeri pada sendi yang mengalami dislokasi. Terjadi bengkak
atau penonjolan tulang pada sisi yg mengalami dislokasi. Pada kasus bilateral
tampak dagu protrusif. Pada kasus unilateral tampak deviasi mandibula ke arah sisi
normal. Pada pemeriksaan radiologis akan tampak kondilus berada di anterior
eminensia artikularis. Dan pemeriksaan ini ditujukan untuk mendiagnosis banding
dengan fraktur kondilus.
Adapun gejala Dislokasi Sendi Temporomandibula ke arah posterior meliputi
mulut sedikit terbuka dan sulit ditutup atau dibuka lebar, distoklusi pada gigi posterior
dan open bite pada gigi anterior, selalu disertai nyeri hebat terutama jika rahang
digerakkan, bengkak atau penonjolan tulang pada sisi normal, pada kasus bilateral
tampak dagu retrusif, pada kasus unilateral tampak deviasi mandibula ke arah sisi
dislokasi, dan perdarahan dari lubang telinga pada sisi dislokasi. Pemeriksaan
radiologis digunakan untuk membedakannya dengan fraktur mandibula.

2.5 Penegakan Diagnosis Dislokasi Sendi Temporomandibular

7
Dislokasi akut memiliki waktu dua minggu dan itu mudah direduksi oleh manuver
Hipokrates. Setelah dua minggu, kejang dan pemendekan otot temporalis dan otot
masseter terjadi dan pengurangan menjadi sulit dicapai secara manual. Hal ini
menyebabkan dimulainya dislokasi berlarut-larut menjadi kronis. Pemanjangan
artikular eminensia dapat mencegah pergeseran kebelakang dalam posisi normal di
fossa glenoid, dalam hal ini dislokasi kronis berkepanjangan dengan pembentukan
pseudojoint baru dengan berbagai derajat gerakan dan pasien tersebut memiliki
masalah dengan kesulitan dalam menutup mulut (kunci terbuka) dan maloklusi di
mana ada prognatisme mandibula dengan gigitan anterior (Min, 2008).
Dislokasi kronis berulang terjadi pada orang-orang dengan kebiasaan membuka
mulut yang lebar biasanya terjadi secara spontan dan direduksi tergantung pada
tingkat perubahan morfologi sendi temporomandibular dan struktur yang berdekatan.
Ketika artikular eminensia memanjang, dislokasi sulit untuk direduksi. Hal ini terjadi
biasanya pada pasien dengan hipoplasia eminensia, fossa sempit, kapsul longgar,
gangguan kolagen, kondilus kecil, sindrom hipermobilitas, oromandibular dystonias
dan penggunaan obat neuroleptik tampilan polos TMJ terutama pada transcranio-
oblique, kontras CT scan, i-CAT scan dan MRI, tomografi digital linear dan rotasi
polos, artroskopi sendi berguna untuk menilai posisi kepala kondilus dan meniskus
dalam kaitannya dengan fossa glenoid, proses mastoid, piring timpani dan artikular
eminensia. Alat baru termasuk sistem Dolphin yang mengimpor foto wajah 2D
(bungkus wajah) gambar stereografik 3D digunakan untuk meningkatkan simulasi
pengobatan (Akinbami, 2011).
Tanda dan gejala Dislokasi Sensi Temporomandibular sangat umum ditemukan.
Beberapa diantaranya muncul sebagai gejala yang signifikan sehingga pasien
berusaha untuk mencari pengobatan. Namun banyak juga yang tidak memberikan
gejala yang jelas sehingga diabaikan oleh pasien. Oleh karena itu perlu diketahui
pemeriksaan TMJ dengan tepat. Pemeriksaan TMJ dapat dilakukan dengan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (gambaran radiograf). Pemeriksaan
fisik pada TMJ adalah mengukur jarak perpindahan mandibula, palpasi, dan
mendeteksi bunyi sendi (auskultasi TMJ). Pemeriksaan jarak perpindahan
mandibula dilakukan untuk mengetahui apakah ada kesulitan/keterbatasan saat
mandibula digerakkan. Sementara itu, pemeriksaan palpasi dilakukan untuk
mengetahui kesimetrisan pergerakan sendi dan ada atau tidaknya rasa nyeri saat

8
dilakukan palpasi. Sedangkan, pemeriksaan auskultasi bertujuan untuk mengetahui
bunyi sendi yang ditimbulkan akibat adanya kelainan TMJ. Pemeriksaan auskultasi
TMJ dapat menggunakan light digital palpation atau menggunakan stetoskop. Pada
pemeriksaan standar TMJ, klinisi menggunakan stetoskop untuk mendeteksi adanya
bunyi TMJ (Robert, 2003).
Tanda dan gejala Dislokasi Sendi Temporomandibular sangat umum ditemukan.
Beberapa diantaranya muncul sebagai gejala yang signifikan sehingga pasien
berusaha untuk mencari pengobatan. Namun banyak juga yang tidak memberikan
gejala yang jelas sehingga diabaikan oleh pasien.
2.5.1 Anamnesis
Tujuan anamnesis adalah untuk identifikasi pasien dengan tanda dan
gejala subklinis dimana pasien mungkin tidak berhubungan dengan
gangguan yang diderita namun umumnya terkait dengan gangguan
fungsional sistem pengunyahan (contohnya sakit kepala, telinga). Anamnesis
terdiri dari beberapa pertanyaan yang akan membantu orientasi klinisi pada
dislokasi sendi temporomandibular. Beberapa pertanyaan dapat ditanyakan
secara langsung oleh klinisi atau dapat dimasukkan sebagai pelengkap
dalam kuesioner kesehatan umum dan gigi pasien sebelum masuk ke ruang
periksa dokter. Klinisi dapat menanyakan pertanyaan-pertanyaan berikut
pada pasien untuk mengidentifikasi gangguan fungsional (Dipoyono, 2010):
1. Apakah kesulitan atau merasa nyeri saat membuka mulut (misalnya saat
menguap)?
2. Apakah merasa rahang seperti melekat satu sama lain, seperti terkunci,
atau seperti macet?
3. Apakah merasa kesulitan atau nyeri saat mengunyah, berbicara, atau
menggerakkan rahang?
4. Apakah sendi rahang mengeluarkan suara berisik?
5. Apakah sering merasa rahang kaku, kencang, atau lelah?
6. Adakah merasa nyeri di dalam atau di sekitar telinga, pada pelipis, atau
pipi?
7. Adakah sakit kepala, sakit leher, atau sakit gigi yang berulang?
8. Pernahkah mengalami trauma kepala, leher, atau rahang akhir-akhir ini?
9. Pernahkah mengalami perubahan saat menggigit akhir-akhir ini?

9
10. Pernahkah berobat untuk nyeri wajah atau masalah sendi rahang yang
sulit dijelaskan?
2.5.2 Pemeriksaan Klinis
Setelah riwayat diperoleh melalui diskusi mendalam dengan pasien,
maka dilanjutkan dengan pemeriksaan klinis melalui pemeriksaan TMJ.
Pemeriksaan akan mengidentifikasi berbagai variasi dari sistem mastikasi
yang normal, sehat beserta fungsinya (Dipoyono, 2010).

2.6 Tatalaksana Dislokasi Sendi Temporomandibular


Ada sebuah terapi yang disebut Terapi Oklusal (Occlusal Appliance Therapy)
atau bisa juga disebut “a bite guard, a night guard, an interocclusal appliance” atau
alat orthopedi yakni merupakan alat lepasan yang biasanya dibuat dari akrilik keras
yang dapat dipasang tepat pada pemukaan oklusal dan incisal gigi pada salah satu
lengkung sehingga menciptakan kontak oklusal yang tepat dengan gigi-gigi
antagonisnya. Alat-alat akrilik lepasan yang menutupi gigi ini dipakai untuk
penatalaksanaan dislokasi sendi temporomandibula dengan cara mengubah
hubungan oklusal dan menata kembali distribusi gaya-gaya oklusal (Ramfjord,
1983).
Terapi oklusal terdiri dari banyak model yang telah digunakan untuk perawatan
kelainan-kelainan TMJ. Dua yang paling sering dipakai adalah Stabilization
Appliance (Alat stabilisasi) dan Anterior Positioning Appliance (Alat Reposisi). Alat
stabilisasi kadang-kadang disebut Muscle Relaxation Appliance karena pemakaian
utamanya untuk mereduksi rasa sakit pada otot. Sedangkan Anterior Positioning
Appliance kadang-kadang disebut sebagai Orthopedic Repositioning Appliance
karena tujuannya untuk merubah posisi dari mandibula dalam hubungannya dengan
kranium. Tipe lain dari alat-alat oklusal adalah Anterior Bite Plane, Posterior Bite
Plane, the Pivoting Appliance, dan The Soft or Resilient Appliance. Pemilihan alat
disesuaikan dengan jenis penanganan yang diarahkan terhadap perubahan posisi
mandibular, pola oklusi, atau keduanya (Neill, 1990).
Terapi oklusal dapat dibedakan menjadi dua tipe, yakni reversibel dan
ireversibel. Terapi oklusal reversibel secara temporer mengubah kondisi oklusal
pasien dan paling baik di lakukan dengan alat oklusal yang dipakai untuk

10
menciptakan perubahan posisi mandibula dan pola oklusi. Posisi mandibula dan
pola oklusi akan bergantung pada penyebab kelainan. Ketika dilakukan penanganan
aktivitas parafungsional, maka alat oklusal akan menjadikan posisi mandibula dan
oklusi dalam hubungan yang optimum sesuai dengan kriteria. Maka ketika alat itu
dikenakan, pola kontak oklusal dibuat sesuai dengan hubungan kondile-diskus-fossa
pasien. Dengan demikian alat oklusal memberikan stabilitas ortopedik. Tipe alat ini
telah digunakan untuk menurunkan berbagai gejala dislokasi sendi
temporomandibular dan menurunkan aktivitas parafungsional. Dalam hal ini
stabilitas ortopedik dipertahankan hanya ketika alat itu dikenakan, sehingga dengan
demikian ini dianggap penanganan reversibel. Ketika alat dilepas maka kondisi akan
kembali seperti sebelumnya (Suhartini, 2011).
Terapi oklusal ireversibel adalah penanganan yang mengubah secara permanen
kondisi oklusal, posisi mandibula atau keduanya. Contohnya adalah menggertakan
selektif dari gigi dan prosedur restoratif yang memodifikasi kondisi oklusal. Contoh
lain adalah penanganan ortodontik dan prosedur bedah yang bertujuan mengubah
oklusi, posisi mandibular, atau keduanya. Alat yang dirancang unuk mengubah
pertumbuhan atau reposisi permanen mandibula juga dipandang sebagai terapi
oklusal ireversibel (Suhartini, 2011).
Penanganan Dislokasi Sendi Temporomandibular harus mempertimbangkan
kompleksitas Dislokasi Sendi Temporomandibular. Khususnya ketika berhadapan
dengan hiperaktivitas otot, maka mustahil untuk menangani sebab utama. Dengan
demikian terapi reversibel selalu diindikasikan sebagai penanganan awal untuk
pasien dengan Dislokasi Sendi Temporomandibular. Keberhasilan atau kegagalan
dari penanganan ini bisa membantu menentukan kebutuhan untuk terapi oklusal
ireversibel lanjut. Ketika seorang pasien merespon dengan berhasil pada terapi
oklusal reversibel, hal ini mengindikasikan bahwa terapi oklusal ireversibel dapat
berguna (Okeson, 1998).

2.7 Komplikasi Dislokasi Sendi Temporomandibular


Komplikasi yang dapat terjadi pada dislokasi Sendi Temporomandibular seperti
fibro-osseus ankylosis, jejas pada arteri carotis eksternal dan jejas pada saraf wajah
(Ning, 2016).

11
BAB 3
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

Dislokasi sendi temporomandibular adalah suatu keadaan dimana terjadi


pergeseran kondilus ke anterior eminensia artikularis dan terfiksasi karena spasme
otot-otot pengunyahan, biasanya disebabkan oleh pembukaan mulut yang
berlebihan seperti menguap, tertawa, anestesi umum, ekstraksi gigi, muntah, atau
kejang juga dapat terjadi setelah prosedur endoskopik.
Dislokasi anterior dapat terjadi secara unilateral maupun bilateral dan
dibedakan menjadi akut, kronik rekuren ataupun kronik. Penatalaksanaan dislokasi
sendi temporomandibular umumnya dapat dilakukan dengan reposisi secara manual
dengan atau tanpa bantuan obat anastesi ataupun muscle relaxant.

3.2 Saran

Kami menyarankan agar dokter muda bisa melakukan tatalaksana dislokasi


Sendi Temporomandibular dengan reposisi secara manual mengingat cukup sering
kasus dislokasi Sendi Temporomandibular terjadi.

12
DAFTAR PUSTAKA

Akinbami BO. Evaluation of the mechanism and principles of management


oftemporomandibular joint dislocation. Systematic review of literature and a
proposed new classification of temporomandibular joint dislocation. Hade face
Med 2011; 7:10
Caminiti MF, Weinberg S. Chronic mandibular dislocation: The role of non-surgical
and surgical treatment. J Can Dent Assoc. 1998; 64:484–91.
Candirli C, Yuce S, Cavus UY, Akin K, Cakir B. Autologous blood injection to the
temporomandibular joint: magnetic resonance imaging findings. Imaging Sci
Dent 2012:42:13-8
Celic, Robert; Jerolimov, Vjekoslav; Zlataric, Dubravka Knezovic dan Klaic, Boris.
Measurement of Mandibular Movements in Patients with Temporomandibular
Disorders and in Asymptomatic Subjects. Original scientific paper. Coll
Antropol. 2003: (27 Suppl 2).
Charles Mc Neill, 1990, Craniomandibular Disorders Guidelines for Evaluation,
Diagnosis, and Management. Quintessence Publising Co, Inc, Chicago
Dipoyono, HM. Gambaran Umum Problema TMJ. Seminar All About TMJ. 2010. FKG
UGM. Yogyakarta
Given O. Management of cronic recurrent temporomandibular joint dislocations;
arestrospective study. J craniomaxillofac Surg 2009; 37:24-9
Harstall R, Gratz KW, Zwahlen RA. Mandibular condyle dislocation into the middle
cranial fossa: A case report and review of literature. J Trauma. 2005;59 :1495–
503.
Hoard MA, Tadje JP, Gampper TJ, Edlich RF. Traumatic chronic TMJ dislocation:
Report of an unusual case and discussion of management. J Craniomaxillofac
Trauma. 1998; 4:44–7

13
Landes CA, Lipphardt R. Prospective evaluation of a pragmatic treatment rationale:
Open reduction and internal fixation of displaced and dislocated condyle and
condylar head fractures and closed reduction of non-displaced, non-dislocated
fractures. Part I: Condyle and sub condylar fractures. Int J Oral Maxillofac Surg.
2005;34 :859–70
Lorenzo D, Alexandra AP, Gallois C, Faisy C. Bilateral temporomandibular joint
dislocation after upper gastrointestinal endoscopy in an intensive care unit
patient: a rare complication. Endoscopy J 2014; 46:01:38-42
Min B-H, Lee H, Jeong JS et al. Comparison of a novel teeth-protecting mouthpiece
with a traditional device in preventing endoscopy-related complications
involving teeth or temporomandibular joint: a multicenter randomized trial.
Endoscopy 2008; 40: 472-477
Nijhawan S, Nepalia S. Dislocation of temporomandibular joint after upper
gastrointestinal endoscopy. Trop Gastroenterol 1994; 15: 232
Ning, NA; Endang S; Fathurachman. 2016. Penatalaksanaan dislokasi sendi
temporomandibula anterior bilateral. Bandung: Studi Kasus Departemen Bedah
Ortopedi, Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjaran, RSUP Dr.Hasan
Sadikin, Bandung MKGK. Desember 2016; 2(3): 120-125 ISSN: 2460-0059
(online)
Okeson J.P, Management of Temporomandibular Disorders and Occlusion, 1998,
Toronto: C.V. Mosby Company.
Ozcelik TB,Pektas ZO. Management of chronic temporomandibular joint dislocation
with a mandibular guidance prosthesis: a clinical report: J Prosthet Dent 2008;
99:95-100
Ramfjord, S et al. Occlusion, Thirth Edition. 1983.Canada : I. Goldthorme Avenne
Saleh. 2005. Penanganan Temporomandibular Disorder Non Bedah. Yogyakarta:
PSPDG FKIK Univeristas Muhammadiyah Yogyakarta
Sang LK, MulupiE, Akama MK, Muriithi JM, Macigo FG, Chindia ML.
Temporomandibular dislocation in Nairobi. East Afr Med J 2010; 87:32-7
Schawrtz AJ. Dislocation of mandible: A case report.AANAJ 2000;68:507-13
Septadina. 2015. Prinsip Penatalaksanaan Dislokasi Sendi Temporomandibular.
Palembang: MKS, Th. 47, No. 1, Januari 2015 Anatomi FK Unsri Palembang.

14
Suhartini. 2011. Kelainan pada Temporo mandibular Joint (TMJ). Jember: Biomedik
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember
Vasconcelos BC, Porto GG. Treatment of chronic mandibular dislocations: A
comparison between eminectomy and mini plates. J Oral Maxillofac Surg.
2009; 67:2599–604.
Wahab NU, Warraich RA. Treatment of TMJ recurrent dislocation through
eminectomy:a study. Pakistan Oral Dent J 2008; 28:25-8
Zubarik R, Eisen G, Mastropietro C et al. Prospective analysis of complications 30
days after outpatient upper endoscopy. Am J Gastroenterol 1999; 94: 1539-
1545

15

Anda mungkin juga menyukai