Anda di halaman 1dari 17

BLOK 17 PEMICU 2

“Tidak Bisa Menutup Mulut”

Nama : Revina Angelia


NIM : 180600177
Kelas : A

KELOMPOK 1

FASILITATOR
Dr.Olivia Avriyanti, drg, Sp.BM(K)

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2020
PEMICU 2

1.1 Skenario

Nama pemicu : Tidak bisa menutup mulut

Penyusun : Dr.Olivia Avriyanti Hanafiah, drg., Sp.BM(K),

Prof. Dr. dr. Farhat, Sp.THT- KL(K)

Ricca Chairunnisa, drg. Sp.Pros(K).

Hari/tanggal : Kamis, 5 November 2020

Jam : 07.30 – 09.30 WIB

Kasus :

Seorang laki-laki berusia 62 tahun datang ke RSGM USU dengan keluhan sulit membuka
mulut lebar. Berdasarkan anamnesis, pasien pernah mengalami bunyi sendi di sebelah kanan
tetapi tidak nyeri, sehingga pasien tidak mencari perawatan. Sebulan terakhir bunyi sendi
tidak terdengar lagi tetapi pasien semakin sulit membuka mulut lebar. Pasien memiliki
kebiasaan mengunyah makanan di sisi rahang sebelah kanan. Berdasarkan pemeriksaan
klinis, terlihat banyak kehilangan gigi terutama gigi posterior kiri dan kanan.
1.2 Pertanyaan
1. Jelaskan tahapan pemeriksaan yang harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis
pada kasus di atas!
2. Tentukan diagnosa untuk kasus di atas dan jelaskan alasannya!
3. Tentukan diagnosa banding untuk kasus di atas dan jelaskan alasannya!
4. Jelaskan kemungkinan etiologi dari kasus tersebut!
5. Jelaskan rencana perawatan dari kasus tersebut!
6. Jelaskan terapi pilihan yang dapat dilakukan untuk mengatasi gejala gangguan sendi
rahang pada pasien tersebut!

Pada pemeriksaan klinis didapatkan pembengkakan pada regio distal gigi radiks 24, terdapat
benjolan pada regio vestibulum 24-26, permukaan licin, warna sama dengan jaringan sekitar,
palpasi kenyal, tidak ada keluhan sakit, ukuran sekitar 4 x 5 x 4 cm. Hasil aspirasi biopsi
didapatkan cairan warna merah kehitaman. Berdasarkan pemeriksaan radiografi panoramik di
dapatkan lesi radiolusen yang dibatasi garis radiopak dengan batas tegas pada region 24-26
yang meluas ke arah sinus maksilaris kiri. Tidak di dapatkan resorbsi akar gigi 24.

7. Jelaskan diagnosa dan diagnosa banding dari kasus tersebut!


8. Jelaskan etiologi dan patofisiologi dari diagnosa pada kasus tersebut!
9. Sebutkan rencana perawatan pada kasus tersebut!
10. Jelaskan komplikasi yang mungkin terjadi pada kasus tersebut!

1.3 Jawaban

1. Jelaskan tahapan pemeriksaan yang harus dilakukan untuk menegakkan


diagnosis pada kasus di atas!

Prosedur diagnosis temporomandibular disorder(TMD) adalah,

a. Anamnesis

Klinisi dapat menanyakan pertanyaan-pertanyaan berikut pada pasien untuk


mengidentifikasi gangguan fungsional:

 Apakah kesulitan atau merasa nyeri saat membuka mulut (misalnya saat menguap)
 Apakah merasa rahang seperti melekat satu sama lain, seperti terkunci, atau
seperti macet ?
 Apakah merasa kesulitan atau nyeri saat mengunyah, berbicara, atau
menggerakkan rahang ?
 Apakah sendi rahang mengeluarkan suara berisik ?
 Apakah sering merasa rahang kaku, kencang, atau lelah ?
 Adakah merasa nyeri di dalam atau di sekitar telinga, pada pelipis, atau pipi ?
 Adakah sakit kepala, sakit leher, atau sakit gigi yang berulang ?
 Pernahkah mengalami trauma kepala, leher, atau rahang akhir-akhir ini ?
 Pernahkah mengalami perubahan saat menggigit akhir-akhir ini?
 Pernahkah berobat untuk nyeri wajah atau masalah sendi rahang yang sulit
dijelaskan?

b. Pemeriksaan klinis

Setelah riwayat diperoleh melalui diskusi mendalam dengan pasien, maka dilanjutkan
dengan pemeriksaan klinis melaluipemeriksaan TMJ.

 Inspeksi

Pada saat inspeksi dapat diperhatikan adanya pembengkakan, deformasi, deviasi pada
dagu dan kondisi gigi geligi. Pembengkakan dapat terjadi karena adanya infeksi bakteri atau
inflamasi sendi. Kehilangan gigi, maloklusi, kondisi abnormal yang diakibatkan oleh burixsm
merupakan beberapa kondisi gigi-geligi yang dapat mengawali adanya gangguan sendi
temporomandibular.

 Palpasi

Palpasi dapat dilakukan pada area TMJ yaitu di anterior tragus. Palpasi TMJ dan otot
dilakukan untuk mengetahui adanya rasa sakit dan abnormalitas pada saat TMJ dalam kondisi
statis dan kondisi bergerak. Pergerakan kondilus yang asimetri dapat dirasakan saat palpasi
dilakukan ketika pasien di instruksikan untuk membuka dan menutup mulut.

 Aukultasi

Aukultasi stetoskop pada TMJ dapat mendengarkan suara yang tidak normal saat
pembukaan dan penutupan mandibula (cliking, crepitus, popping). Pada pemeriksaan klinis
pasien di instruksikan membuka dan menutup mulutnya secara perlahan untuk mendeteksi
bunyi klik dengan palpai di aera periauricular.
 Range of motion

Pasien di minta untuk membuka mulutnya selebar mungkin. Begitu bunyi klik terdeteksi
dengan palpasi, pembukaan mulut dicatat dengan mengukur jarak antara sisi kiri gigi
insisivus sentral atas dan bawah. Selain itu dilakukan juga pemeriksaan berbagai gerakan
vertical (pembukaan maksimum dengan bantuan yang disertai rasa sakit/tanpa rasa sakit;
pembukaan mulut tanpa bantuan), gerakan ekskursi (gerakan lateral kiri dan kanan), gerakan
protusif dan pemeriksaan median line rahang bawah serta pola pembukaan mulut.

c. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan adalah panoramic, transcranial, CBCT, dan
MRI. Pemeriksaan yang sangat minimal dapat digunakan panoramic untuk melihat angulus
mandibula, tetapi MRI disarankan karena pemeriksaan yang paling akurat diantara
pemeriksaan lainnya larena dapat menunjukan diskus namun kekurangannya harganya cukup
mahal.

(Sumber : Suhartini. Kelainan Pada Temporo Mandibular Joint (TMJ). Stomatognatic (J.K.G
Unej) Vol. 8 No. 2 2011: 78-85.)

2. Tentukan diagnosa untuk kasus di atas dan jelaskan alasannya!

Berdasarkan kasus, dilihat dari anamnesis dan pemeriksaan klinis yaitu,

a. Anamnesis
 Keluhan utama : Sulit membuka mulut lebar
 Riwayat penyakit : Pernah mengalami bunyi sendi di sebelah kanan tetapi tidak
nyeri, sehingga pasien tidak mencari perawatan. Sebulan terakhir bunyi sendi
tidak terdengar lagi tetapi pasien semakin sulit membuka mulut lebar.
 Riwayat lain : Pasien memiliki kebiasaan mengunyah makanan di sisi rahang
sebelah kanan.
b. Pemeriksaan klinis
 Banyak kehilangan gigi terutama gigi posterior kiri dan kanan.

Diagnosa pada kasus menurut klasifikasi American Academy of Orofacial Pain (AAOP)
sebagai Disc displacement without reduction with limiting opening. Diagnosis ini bila
diskus articular secara konsisten tidak berkurang, sehingga membatasi pembukaan. Bukaan
terbatas didefinisikan sebagai <40 mm antara tepi insisivus rahang atas dan rahang bawah
dengan bukaan yang dibantu oleh dokter gigi. Rentang pembukaan terbantu maksimum ini
harus difaktorkan dalam tumpang tindih insisal vertikal pada posisi intercuspal maksimum.
Persentase disc yang bergeser yang berkurang saat dibuka hampir sama dengan persentase
yang tidak berkurang

(Sumber : Young, A. Internal derangements of the temporomandibular joint: A review of the


anatomy, diagnosis, and management. J Indian Prosthodont Soc 2015 Jan-Mar; 15(1): 2–7.)

3. Tentukan diagnosa banding untuk kasus di atas dan jelaskan alasannya!

Diagnosis banding untuk kasus diatas:

 Osteoarthitis

Osteoarthitis disebabkan oleh kerusakan pada tulang rawan dan sendi atau degeneratif
struktur sendi temporomandibular. Kerusakan ini berkembang seiring dengan berjalannya
waktu. Kondisi ini dimulai saat tulang rawan yang merupakan bantalan pelindung tulang
mengalami kerusakan.Kerusakan ini kemudian menyebabkan terjadinya gesekan langsung
antar tulang. Gesekan ini lama kelamaan akan merusak dan menyebabkan peradangan pada
sendi. Pertambahan usia adalah salah satu faktor utama terjadinya kondisi ini.

 Osteoarthrosis

Belum diketahui penyebab pastinya, namun berhubungan dengan disk displacement.


Ini merupakan kelainan sendi degeneratif dimana bentuk dan struktur sendi abnormal yang
bersifat non-inflamatif. Osteoarthrosis diikuti proliferasi tulang.

 Mastikatori Mialgia

Mialgia mengacu pada gangguan nyeri otot dan sendi. Ketika gangguan ini
melibatkan otot pengunyahan, sendi temporomandibular (TMJ), atau keduanya, mereka
secara kolektif disebut gangguan temporomandibular (TMD) .Nyeri TMD biasanya dirasakan
di rahang, pelipis, telinga, dan wajah. Tanda yang paling umum termasuk nyeri pada otot atau
TMJ saat palpasi, nyeri atau keterbatasan gerak rahang , gerakan rahang tidak teratur, atau
suara TMJ. Mastikatori mialgia dicirikan sebagai nyeri tumpul yang menetap di atas rahang
dan otot pelipis dengan sesekali merujuk ke struktur lain seperti kepala, leher, telinga, dan
gigi. Gejala juga dapat berupa pembukaan rongga mulut yang terbatas, kelelahan, dan
kekakuan.
 Myositis temporal

Adalah penyakit inflamasi langka pada otot temporal yang berkembang dengan
pembengkakan dan nyeri lokal. Gejala klinis mungkin melibatkan, selain nyeri,
pembengkakan yang cepat membesar dan asimetri pada area yang terkena; trismus yang
meyulitkan pembukaan rongga mulut. dan demam mungkin ada. Dalam tes darah mytosis
temporal lokal mungkin menunjukkan, tanda-tanda peradangan ringan. Histologi
mengungkapkan peradangan dan nekrosi.

 Tendonitis temporal

Mengacu pada peradangan & nyeri pada tendon temporalis saat masuk ke koronoid
proses mandibula (rahang bawah). Kondisi ini mungkin sering terasa seperti sakit kepala
migrain, sehingga dikenal juga sebagai "migrain mimic". Nyeri tekan saat palpasi tendon
temporal adalah karakteristik tendinitis temporal.

(Sumber : Cahyawati T. Ameloblastoma. Jurnal Kedokteran Unram 2018, 7 (1): 19-25.)

4. Jelaskan kemungkinan etiologi dari kasus tersebut!

Etiologi utama dari kasus tersebut adalah mikrotrauma dimana pasien mempunyai
kebiasaan parafungsi, yaitu pasien memiliki kebiasaan mengunyah satu sisi di sebelah kanan.
Selain kebiasaan pasien tersebut, diketahui juga bahwa terjadi kehilangan gigi, terutama pada
gigi posterior kiri dan kanan. Berikut relasi mengenai kebiasaan pasien dengan terjadinya
temporomandibular disorder.

 Hubungan Pengunyahan Satu Sisi dengan TMD

Kebiasaan dengan pengunyahan satu sisi yang dihubungkan dengan TMJ dikaitkan
pada disfungsi biomekanik pengunyahan yang spesifik pada setiap individu, serta juga
dikaitkan dengan kondisi psiko-biologis. Penggunaan salah satu sisi otot pengunyahan secara
berlebihan membuat tanda dan gejala yang dikeluhkan oleh pasien berasal dari gangguan
pada otot pengunyahan. Besar kemungkinan otot pengunyahan mengalami kelebihan beban
fungsional hingga melewati batas toleransi struktural dan menimbulkan gangguan pada sendi
temporomandibula.

Terdapat 2 ciri khas pada kebiasaan mengunyah dengan menggunakan satu sisi, yakni
terdapat peningkatan aktivitas otot masseter dan berkurangnya gerakan TMJ karena masseter
bertanggung jawab atas beban TMJ, terutama di sisi non-kerja. Selain itu, pengurangan
gerakan condylar yang kronis dapat tiba-tiba berubah dan melakukan lintasan yang lebih
besar. Perubahan dalam biomekanik ini dapat menyebabkan kelebihan beban TMJ dan
mengakibatkan kerusakan internal dan ataupun rasa sakit.

 Hubungan Kehilangan Gigi Posterior dengan TMD

Kehilangan gigi posterior di salah satu atau kedua rahang menjadi perhatian, karena
secara signifikan mengurangi efisiensi pada proses mengunyah, dukungan posterior, dan
menciptakan tantangan restoratif. Mayoritas pasien dengan kehilangan gigi posterior yang
tetap tidak dirawat atau dirawat dengan protesa gigi tiruan sebagian lepasan yang kurang
memuaskan menyebabkan kehilangan dukungan jangka panjang yang dapat menyebabkan
pergerakan pada gigi yang tersisa dan perubahan kontak oklusal, sehingga dapat
meningkatkan risiko gangguan temporomandibular (TMD). Hilangnya dukungan posterior
juga dianggap secara signifikan meningkatkan risiko osteoartrosis dan memicu TMD.

Terjadinya kehilangan gigi yang tidak segera digantikan dengan gigi tiruan, dapat
menyebabkan terjadinya perubahan pola oklusi karena terputusnya integritas atau
kesinambungan susunan gigi. Pergeseran atau perubahan inklinasi serta posisi gigi, disertai
ekstrusi karena hilangnya posisi gigi dalam arah berlawanan akan menyebabkan pola oklusi
berubah, dan selanjutnya dapat menyebabkan terjadinya hambatan pada proses pergerakkan
rahang dan pada akhirnya menyebabkan kelainan TMJ seperti pada kasus.

(Sumber : TMJ Disc Displacement without Reduction Management: A Systematic Review.


Journal of dental research 2014; 93(7).)

5. Jelaskan rencana perawatan dari kasus tersebut!

Rencana perawatan pasien adalah,

Pasien diberikan edukasi (dental health education) tentang pengenalan struktur dan
sistem mekanis dari temporomandibular joint (TMJ) itu sendiri. Kemudian pasien diberitahu
untuk pemeriksaan segera jika terdapat bunyi sendi atau “clicking”, pada kondisi pasien yang
defleksi pada sisi kanan sehingga membuat pasien mengunyah hanya pada 1 sisi saja (sisi
kiri) dan pasien sulit membuka mulut lebar. Pasien diberi tahu tentang perawatan dan terapi
yang dapat pasien jalanin. Pasien dilakukan Mandibular manipulation untuk recaptured
kembali disk yang berpindah (displaced). 
Mandibular manipulation adalah teknik umum untuk manipulasi mandibula dengan
menarik kondilus dari sisi yang terkena ke bawah dan ke depan untuk menemukan kondilus
pada cakram yang terlah berpindah ke depan. Mandibular manipulation sangat disarankan
untuk pasien dengan gejala closed lock. Recapturing disc tidak dapat dicapai hanya dengan
mandibula manipulation yang dilakukan oleh dokter professional, tetapi juga dengan reposisi
aktif dari disk yang dilakukan oleh pasien. Beberapa gerakan yang dapat dilakukan pasien
antara lain gerakan lateral dengan pergerakkan dari posisi oklusal sentral menuju sisi yang
tidak terpengaruh, mulut terbuka lebar dan akhirnya menutup mulut ke posisi lateral
sebelumnya. Protocol dapat diulang beberapa kali selama satu kali kunjungan. Menurut Pihut
et al, membuka closed lock dapat dicapai pada 71,8% pasien yang melakukan latihan dalam
mengembalikan secara aktif. Setelah mandibula manipulation berhasil, disarankan pasien
dilengkapi dengan anterior repositioning splint untuk menghilangkan gejala akustik di TMJ. 

Pasien mengikuti splint therapy, ada 3 jenis occlusal appliances yang digunakan untuk
terapi disc displacement without reduction salah satunya anterior repositioning splint
bertujuan untuk membangun kembali hubungan kondilus-disc secara fisiologis akan tetapi
kestabilan pada disc recapturing bergantung pada kisaran perpindahan disc dan tahap
hubungan internal dalam TMJ.

Pasien disarankan untuk terapi latihan, metode terapi fisik pada kasus disc
displacement without reduction adalah terapi latihan, dengan pergerakkan mandibula secara
aktif dan pasif. Latihan aktif bertujuan untuk memperbaiki jalur pembukaan mulut. Protokol
Mandibular Condylar Movement Exercise (MCME) oleh Yoshida H et al. dapat dilakukan
dirumah atau dengan dokter di klinik. 

 Langkah pertama, terdiri dari gerakan aktif, yang diulang selama 10 menit,
gerakan lateral kea rah kanan dan kiri, tonjolan dan bukaan mulut lebar
 Langkah kedua, terdiri latihan pasif membuka mulut dengan mendorong secara
bersamaan dengan ibu jari pada gigi anterior atas dan jari telunjuk pada gigi
anterior bawah. Hal ini menurut penilitan dapat dilakukan dengan stretching
exercise seperti buka mulut dan latihan pergerakkan lateral 5 kali per hari selama
5 menit. Setelah 6 bulan latihan, evaluasi hasil terapi dan latihan. 

Pasien diberi medikamen untuk penatalaksanaan pada disc displacement without


reduction adalah non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAID) dengan efek analgesik dan
anti-inlfamasi. Shiffman et al merekomendasikan ibuprofen (800 mg) 3 kali sehari selama 6
minggu. Medikamen lain seperti Sodium Diklofenac (25 mg) 3 kali sehari selama 8 minggu.

(Sumber : Tarigan, T. Chairunnisa, R. Mandibular Repositioning Splint: A Functional And


Esthetic Consideration For Disc Displacement With Reduction And Myofascial Pain
Management. J Syiah Kuala Dent Soc, 2019, 4 (2):19-25.)

6. Jelaskan terapi pilihan yang dapat dilakukan untuk mengatasi gejala gangguan
sendi rahang pada pasien tersebut!

Terapi pilihan yang dapat digunakan pada kasus adalah,

 Manipulasi Mandibula

Tujuan dari manipulasi mandibula adalah untuk menangkap kembali diskus yang
pindah. Teknik umum untuk manipulasi mandibula adalah menarik gaya dari sisi yang
terkena ke bawah dan ke depan untuk menemukan kondilus pada diskus anterior. Biasanya
ibu jari operator ditempatkan pada permukaan oklusal molar bawah di sisi yang terkena dan
sisa jari menutupi permukaan luar mandibula. Tangan operator lain ditempatkan di area
temporal untuk menstabilkan kepala pasien. Menurut Foster et al. manipulasi mandibula ini
harus diterapkan pada semua pasien dengan gejala closed-lock. Sulit untuk memprediksi efek
terapeutik dari metode ini karena tidak bergantung pada durasi penguncian, melainkan pada
tahap perubahan internal. Kurita dkk. melaporkan bahwa dalam 9% kasus, disk yang terkunci
tertutup dapat dikurangi dengan teknik manipulasi. Jika prosedur dilakukan dengan anestesi
umum dengan adanya relaksan otot, persentase hasil yang sukses meningkat hingga 42%. 

Pengambilan kembali diskus dapat dicapai tidak hanya dengan manipulasi mandibula
yang dilakukan oleh operator profesional, tetapi juga dengan reposisi aktif disk yang
dilakukan oleh pasien. Menurut Pihut et al. membuka lock disk TMJ dapat dicapai pada
71,8% pasien yang melakukan latihan menangkap kembali secara aktif. Setelah berhasil
membuka penguncian, disarankan agar pasien diberikan splin reposisi anterior untuk
menghilangkan gejala akustik di TMJ.

 Terapi Latihan

Salah satu metode terapi fisik dalam kasus perpindahan anterior diskus tanpa reduksi
adalah terapi olahraga, termasuk gerakan aktif dan pasif dari mandibula. Latihan aktif
digunakan untuk memperbaiki jalur pembukaan mulut. Latihan pasif meningkatkan
jangkauan pembukaan mulut. Menurut Nicolakis et al, terapi olahraga mengurangi nyeri pada
80% kasus dan meningkatkan rentang gerak pada 75% pasien dengan closed-lock. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa terapi olahraga secara signifikan lebih efektif daripada tanpa
dilakukan terapi.

Protokol Latihan Gerakan Mandibular Condylar (Mandibular Condylar Movement


Exercise/ MCME) diperkenalkan oleh Yoshida H et al. tampaknya mudah dilakukan setiap
hari dalam praktik klinis dan sebagai latihan rumahan bagi pasien. Latihan MCME harus
diulang 8 kali sehari. Bagian pertama dari latihan ini terdiri dari gerakan aktif, yang diulangi
selama 10 menit, berupa gerakan lateral ke kanan dan kiri, tonjolan dan mulut terbuka lebar.
Bagian kedua dari MCME adalah latihan pasif dengan membuka mulut dan mendorong ibu
jari secara bersamaan ke gigi anterior atas dan jari telunjuk ke gigi anterior bawah.
Dilaporkan bahwa algoritma terapi latihan ini secara signifikan meningkatkan jangkauan
pembukaan mulut pada kasus closed-lock. Meskipun demikian, tonjolan dan gerakan lateral
membaik setelah melakukan MCME. Selain itu, dinyatakan bahwa efektivitas terapi itu
tergantung pada usia dan durasi penguncian.

Latihan peregangan serupa dilakukan juga dengan pasien closed-lock melakukan


latihan membuka rahang manual sebanyak 4 kali sehari selama 8 minggu terapi. Set tunggal
terdiri dari 3 siklus peregangan, setiap siklus berlangsung selama 30 detik. Efek dari terapi
latihan ini pada jarak buka-mulut secara signifikan lebih baik daripada penggunaan splin
oklusal. Alasan untuk peningkatan rentang gerak adalah karena peregangan dari perlekatan
diskus posterior yang mengarah ke lokasi diskus anterior lebih banyak.

 Terapi Splin

Kehadiran alat oklusal menyebabkan pengurangan stres pada sendi


temporomandibular akibat perubahan posisi mandibula dan penurunan aktivitas otot. Ada 3
jenis peralatan oklusal yang biasa digunakan dalam terapi displaced with reduction:
stabilisasi, distraksi, dan splin reposisi anterior.

Splin stabilisasi sedikit meningkatkan dimensi oklusal vertikal. Kontak oklusal


terdapat secara bilateral pada permukaan datar splin. Splin stabilisasi menyebabkan
pengurangan gejala closed-lock tertutup secara signifikan. Splin distraksi memberikan
pelepasan tekanan artikular yang lebih besar. Kontak oklusal sebagian besar terletak di
bagian posterior splin. Schmitter dkk. melaporkan bahwa splin stabilisasi tampaknya lebih
efektif daripada splin distraksi dalam terapi closed-lock. Hasil dari terapi splin dicapai bukan
dengan memperbaiki posisi diskus, tetapi sangat terkait dengan decoupling dasar mekanisme
refleks neuromuskuler dan pengurangan stres TMJ.

Waktu yang disarankan untuk penggunaan splin, apa pun jenis splin, adalah siang dan
malam, tidak termasuk waktu makan dan menyikat gigi. Namun, beberapa peneliti
merekomendasikan memakai splin stabilisasi untuk pasien closed-lock hanya selama istirahat
malam. Tujuan dari bidai reposisi anterior adalah untuk membangun kembali hubungan disk
kondilus fisiologis. Namun, kestabilan pengambilan disk bergantung pada kisaran
perpindahan disk dan tahapan hubungan internal di TMJ. Dalam kasus disk oklusal protrusif
kunci tertutup yang persisten tidak menyebabkan diskus ditangkap kembali, tetapi memiliki
efek pereda nyeri.

(Sumber : Suhartini. Kelainan Pada Temporo Mandibular Joint (TMJ). Stomatognatic (J.K.G
Unej) Vol. 8 No. 2 2011: 78-85.)

7. Jelaskan diagnosa dan diagnosa banding dari kasus tersebut!

Berdasarkan kasus, didapatkan

a. Pemeriksaan klinis
 Pembengkakan pada regio distal gigi radiks 24,
 terdapat benjolan pada regio vestibulum 24-26,
 permukaan licin,
 warna sama dengan jaringan sekitar,
 palpasi kenyal,
 tidak ada keluhan sakit, ukuran sekitar 4 x 5 x 4 cm.
b. Pemeriksaan penunjang
 Hasil aspirasi biopsi didapatkan cairan warna merah kehitaman.
 Berdasarkan pemeriksaan radiografi panoramik di dapatkan lesi radiolusen yang
dibatasi garis radiopak dengan batas tegas pada region 24-26 yang meluas ke arah
sinus maksilaris kiri.

Maka diagnosis pada kasus diatas adalah ameloblastoma. Ameloblastoma adalah suatu
neoplasma epitelial jinak dan berkisar 10% dari keseluruhan tumor odontogenik. Neoplasma
ini berasal dari sel pembentuk enamel dari epitel odontogenik yang gagal mengalami regresi
selama perkembangan embrional. Gambaran klinis ameloblastomas yaitu tumbuh perlahan,
dan gejalanya terjadi di tahap awal.

Gejalanya adanya pembengkakan pipi, asimetris pada wajah, dalam kebanyakan kasus,
pasien dengan ameloblastoma tidak mengalami nyeri, paresthesia, fistula, pembentukan
ulkus, atau gigi mengalami mobilitas. Tumor membesar, palpasi, adanya sensasi tulang yang
keras atau krepitasi seperti tulang menipis. Jika lesi menghancurkan tulang, pembengkakan
mungkin terasa keras atau berfluktuasi. Seiring pertumbuhannya, tumor ini dapat
menyebabkan ekspansi tulang dan kadang-kadang erosi pada lempeng kortikal yang
berdekatan dengan invasi dari jaringan lunak yang berdekatan.

Ameloblastoma secara radiograf biasanya radiolusen, unilokuler atau multilokuler adanya


septa, honeycomb,soap-bubble, pola raket tenis terjadi ekspansi pelat kortikal dan resorbsi
akar. Ameloblastoma pada kasus hanya terdapat radiolusen tanpa disertai gambaran
honeycomb atau soap-bubble dan tidak adanya resorbsi akar seperti gambaran ameloblastoma
pada umumnya.

Diagnosa banding ameloblastoma adalah kista dentigerous unilokuler yang terletak di


sekitar mahkota gigi tidak erupsi sering tidak bisa dibedakan. Penampilan dari septa tulang
internal merupakan identifikasi untuk ameloblastoma, tetapi lesi lain juga memiliki septa
internal seperti odontogenic keratocyst, giant cell granuloma, odontogenic myxoma, and
ossifying fibroma.

Odontogenic keratocyst berisi septa lengkung, tetapi biasanya keratocyst cenderung


tumbuh di sepanjang tulang tanpa tanda ekspansi, yang merupakan karakteristik
ameloblastoma. Giant cell granuloma terjadi pada kelompok usia yang lebih muda dan
memiliki lebih banyak granular atau septa halus yang tidak jelas.

Odontogenic myxoma memiliki septa yang tampak serupa namun, biasanya ada satu atau
dua tipis tajam, septa lurus, yang merupakan karakteristik dari myxoma. myxomas tidak
terlalu luas seperti ameloblastoma dan cenderung tumbuh di sepanjang tulang. Septa pada
ossifying fibroma biasanya lebar, granular, dan tidak jelas, dan sering ada yang kecil, pola
trabekula tidak beraturan

Sumber : Feranasari A dkk. Fitur radiografis ameloblastoma pada CBCT dan panoramic.
Jurnal Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran. April 2020;32(1):47-51; Mulia V. Sitologi
Tumor Odontogenik: Ameloblastoma. Cakradonya Dent J 2015; 7(2):807-68.)
8. Jelaskan etiologi dan patofisiologi dari diagnosa pada kasus tersebut!

Etiologi ameloblastoma seperti halnya penyebab neoplasma yang lain pada umumnya
belum diketahui dengan jelas. Namun beberapa ahli beranggapan bahwa beberapa faktor
kausatif yang dianggap sebagai penyebab terjadinya gangguan histodifferensiasi pada
ameloblastoma meliputi; faktor iritatif non spesifik seperti tindakan ekstraksi, karies, trauma,
infeksi, inflamasi, atau erupsi gigi; kelainan defisit nutrisi dan patogenesis viral.

Konsep patogenesis ameloblastoma pada tingkat molekuler terdiri dari beberapa bagian,
diantaranya proliferasi siklus sel, apoptosis, gen penekan tumor dan molekul-molekul
persinyalan lainnya. CD10 merupakan salah satu petanda permukaan sel yang secara aktif
berperan dalam pengaturan mekanisme fisiologikal dan aktivitas biologis didukung melalui
aktivitas enzimatik ekstraseluler dan jalur pensinyalan intraseluler. CD10 berperan
mengendalikan pertumbuhan dan diferensiasi sel normal dengan mengatur akses peptida ke
reseptor permukaan sel. Hilang atau menurunnya ekspresi CD10 dapat menunjukkan
ketidakmampuan sel untuk menginaktivasi substrat peptida menghasilkan proliferasi yang
tidak beraturan. CD10 akan berinteraksi PTEN (Phosphatase and TENsin homolog) yang
akan menghentikan kerja PI3K (phosphatidylinositol 3-kinase) sehingga akan menginaktivasi
AKT.

AKT berperan penting dalam proses terjadinya tumor dengan meningkatkan faktor
antiapoptosis. Aktivasi AKT mengakibatkan peningkatan progresi siklus sel dengan
menghambat kerja protein penghambat siklin/cyclin-dependent kinase yaitu protein p27 dan
p21. AKT juga memfosforilasi onkoprotein Mdm2 (Murine double minute 2), terjadi
degradasi p53 sehingga level seluler p53 menurun, melindungi sel dari apoptosis sehingga
pertahanan hidup sel akan meningkat.

(Sumber : Nivia M, S K Padmakumar, Mohan U, Andrews A. Pathogenesis of


Ameloblastoma -A Review. Journal of Dental and Medical Sciences 2020;19(1).)

9. Sebutkan rencana perawatan pada kasus tersebut!

Rencana perawatan ameloblastoma ini harus dieksisi dan harus meliputi neoplasma
sampai jaringan sehat yang berada di bawah tumor. Hasilnya kemudian dirujuk untuk
dilakukan pemeriksaan mikroskopis dan biopsi, hal ini akan menentukan terapi yang
selanjutnya dilakukan. Setelah eksisi, harus dilanjutkan dengan elektrodesikasi atau dengan
dirawat lukanya dengan larutan Karnoy.
Terapi bedah ameloblastoma dapat dibagi menjadi tiga tahap:

a. Reseksi Tumor

Pada pasien ini pilihan terapi adalah hemimaksilektomi. Akses ke maksila biasnya
diperoleh dengan insisi Weber Fergusson. Pemisahan bibir melalui philtrum rim dan
pengangkatan pipi dengan insisi paranasal dan infraorbital menyediakan eksposure yang luas
dari wajah dan aspek lateral dari maksila dan dari ethmoid. Setelah diperoleh eksposure yang
cukup, dilakukan pemotongan jaringan lunak dan ekstraksi gigi yang diperlukan. Kemudian
dilakukan pemotongan dengan oscillating saw dari lateral dinding maksila ke infraorbital rim
kemudian menuju kavitas nasal melalui fossa lakrimalis. Dari kavitas nasal dipotong menuju
alveolar ridge. Setelah itu, dilakukan pemotongan pada palatum keras. Kemudian
pemotongan lateral dinding nasal yang menghubungkan lakrimal dipotong ke nasofaring
dengan mengunakan chisel dan gunting Mayo dan kemudian dilakukan pemotongan
posterior. Pembuangan spesimen dan packing kavitas maksilektomi yang tepat diperlukan
untuk mengkontrol pendarahan. Setelah hemostasis terjadi, manajemen maksilektomi yang
tepat dapat membantu ahli prostodonsia untuk merehabilitasi pasien. Semua bagian tulang
yang tajam dihaluskan. Prosesus koronoid harus diangkat, karena dekat dengan margin lateral
defek yang akan menyebabkan penutup protesa lepas ketika mulut dibuka. Flap yang ada
pada mukosa dikembalikan menutupi margin medial tulang. Skin graft kemudian dijahit ke
tepi luka, lebih baik hanya lembaran tunggal. Permukaan dibawah flap pipi, tulang, otot
periorbita dan bahkan dura semuanya ditutup. Graft dipertahankan dengan packing iodoform
gauze yang diisi benzoin tincture. Packing yang cukup digunakan untuk mengisi kembali
kontur pipi. Obturator bedah yang sudah dibuat oleh ahli prostodonsi direline dengan soft
denture reliner sehingga dapat mendukung packing dan menutup defek.Flap pipi kemudian
dikembalikan dan menutup lapisan.

b. Rekonstruksi

Pemasangan protesa palatal secara imidiate telah menjadi perawatan standard setelah
dilakukan maksilektomi. Cacat bedah dapat memberikan efek samping terhadap kesehatan
fungsional dan psikologis pasien. Tujuan dari rekonstruksi adalah untuk mengembalikan
fungsi bicara, fungsi pencernaan, menyediakan dukungan terhadap bibir dan pipi dan
membangun kembali proyeksi midfacial. Pasien yang menjalani reseksi maksila akan
direhabilitasi dalam tiga fase masng-masing fase memerlukan protesa obturator yang akan
mendukung kesembuhan pasien. Ketiga obturator protesa ini adalah obturator bedah,
obturator interim, dan obturator definitif.

 Obturator Bedah

Rehabilitasi prostodontik dimulai dengan obturator bedah yang mana dimasukkan pada
waktu bedah untuk membantu mempertahankan packing, mencegah kontaminasi oral dari
luka bedah dan skin graft dan memungkinkan pasien untuk berbicara dan menelan selama
periode postoperasi inisial.21 Protesa ini akan digunakan kira-kira 5 sampai 10 hari. 11

 Obturator Interim

Obturator bedah akan dikonversi menjadi obturator interim dengan penambahan bahan-
bahan lining untuk adaptasi terhadap defek. Protesa interim ini secara periodik akan
direadaptasi dan direline kembali untuk menyesuaikan terhadap perubahan dimensional
selama proses penyembuhan jaringan defek. Proses ini akan meningkatkan kenyamanan dan
fungsional pasien.21 Tujuan dari obturator ini adalah mengembalikan fungsi bicara dengan
mengembalikan kontur palatal. Protesa ini akan digunakan sekitar dua sampai enam bulan. 11

 Obturator Defenitif

Obturator defenitif akan dibuat ketika penyembuhan jaringan dan kontraksi telah selesai.
Pembuatan protesa defenitif sebelum kontur jaringan stabil memerlukan penyesuaian
termasuk perubahan posisi gigi atau penyesuaian terhadap bagian perifer protesa.

c. Rehabilitasi

Mengingat sifat ameloblastoma yang cenderung rekuren walaupun sudah dilakukan


enblok reseksi, kemungkinan rekurensi tetap bisa terjadi (10%). Oleh karena itu penderita
dianjurkan untuk kontrol setiap 3 bulan selama 5 tahun. Bila ditemukan adanya rekurensi
dapat segera dilakukan operasi ulang. Beberapa studi menunjukkan tingkat rekurensi
ameloblastoma adalah 50% - 90% paska kuretase dan 15% setelah blok reseksi. Oleh karena
itu para ahli bedah menyatakan bahwa pembuangan ameloblastoma setidaknya 1 cm lebihnya
dari batas tumor pada radiograf. Rekurensi memakanwaktu bertahun-tahun setelah
pembedahan pertamasebelum akhirnya bermanifestasi klinis.

(Sumber : M Luthfianto. Penatalaksanaan Kasus Ameloblastoma Unikistik dan Multikistik.


Insisiva Dental Journal: Majalah Kedokteran Gigi Insisiva, 8 (1), Mei 2019.)
10. Jelaskan komplikasi yang mungkin terjadi pada kasus tersebut!

Caldwell, Separsky, dan Luccbesi (1970) serta Shatkin dan Hoffmeister (1965)
berpendapat bahwa ameloblastoma bisa berujung pada kematian karena ekstensi lokal atau
komplikasi seperti infeksi dan malnutrisi.

Beberapa peneliti seperti Simmons; Vorzimer dan Perla; Schweitzer dan Barnfield; dan Lee
et al melaporkan adanya metastasis ke paru-paru dan nodus limfe disekitar tumor.

Metastasis dapat terjadi dalam waktu 1-30 tahun dan hampir di sepertiga kasus,
metastasis tidak timbul sampai 10 tahun setelah perawatan tumor primer. Ameloblastoma
dapat bermetastasis ke paru-paru melalui aspirasi sel tumor pada saat tindakan bedah,
khususnya pada kasus yang membutuhkan operasi yang multipel karena rekurensi. Eversole
(1992) melaporkan bahwa kurang dari 1% ameloblastoma yang berpenampilan jinak
bermetastasis ke tempat yang jauh. Tumor yang bermetastasis biasanya memiliki tipe
histopatologis berupa sel granular. Menurut Fonseca (2000), terdapat laporan bahwa
ameloblastoma secara agresif dapat menginvasi jaringan regional dan sekitarnya seperti dapat
bermetastasis ke sistem bronchopulmonary, nodus limfa, dan organ lain. Deposit metastasis
juga dapat terjadi ke beberapa tempat seperti tengkorak, kranial, vertebra lumbal, dan ilium.

Menurut Regezi (2003) komplikasi lain yang terjadi akibat ameloblastoma yaitu
destruksi dan deformitas tulang rahang, serta terjadinya rekurensi. Transformasi
ameloblastoma dari sifatnya yang jinak menjadi ganas juga merupakan salah satu komplikasi
menurut Soamers (1993).

(Sumber : Eriza dkk. Ametoblastoma: Hemimandibulektomi Dan Rekonstruksi Mandibula


Dengan Free Vascularized Fibular Graft. FKUI 2010.)

Anda mungkin juga menyukai