Anda di halaman 1dari 22

Pembuatan Larutan Baku Asam dan Basa Serta

Pembakuannya
Larutan baku asam yang sering digunakan dalam
asidialkalimetri umumnya dibuat dari asam klorida dan asam
sulfat. Kedua asam ini dapat digunakan pada hampir semua titrasi,
akan tetapi asam klorida lebih disukai daripada asam sulfat
terutama untuk senyawa-senyawa yang memberikan endapan
dengan asam sulfat seperti barium hidroksida. Asam sulfat lebih
disukai untuk titrasi yang menggunakan pemanasan karena
kemungkinan terjadinya penguapan pada pemanasan asam klorida
yang dapat menimbulkan bahaya. Asam nitrat selalu tidak
digunakan karena mengandung asam nitrit yang dapat merusak
beberapa indikator.
Untuk larutan baku alkali, umumnya digunakan natrium
hidroksida, kalium hidroksida, dan barium hidroksida. Larutan-
larutan ini mudah menyerap karbon dioksida dan udara, oleh
karena itu konsentrasinya dapat berubah dengan cepat. Dengan
demikian, maka larutan baku alkali dibuat bebas karbonat dan
untuk melindungi itu dan pengaruh karbon dioksida dan udara .
Semua larutan baku alkali harus sering dibakukan ulang.
1. Pembuatan dan pembakuan larutan baku asam klorida.
Asam klorida yang sering digunakan untuk titrasi adalah
HCl dengan konsentrasi 1 N; 0,5 N; dan 0,1 N. Sebelum
membuat larutan baku HCl harus diperhatikan lebih dahulu
berapa persen konsentrasi HCl yang tersedia karena akan
berpengaruh pada perhitungan perubahan (konversi) dari persen
HCl ke normalitas HCl. Contoh perhitungan konversi dari HCl
37% ke normalitas.
HCl merupakan asam monoprotik sehingga dalam hal ini
valensinya satu.
HCl 37% = 37gram/100gram. Diketahui BJ HCl = 1,19gram/ml
dan BM HCl = 36,5 maka:
37gram/100gram x 1,19 x 1000 = 440,3 gram/liter
440,3 / 36,5 =12,06 mol/liter = 12,06 M x valensi = 12,06 N.
Jadi HCl 37% setara dengan 12,06 N.
Kalau mau membuat HCl 0,1 N 1 liter maka memakai
persamaan:
V1N1 = V2N2  a ml x12,06N = 1000 ml x0,1 N
a = 8,3 ml
sehingga caranya membuat HCl 0,1 N sebanyak 1000 ml dari
HCl 37% adalah sebagai berikut: Pipet 8,3 ml HCl 37%
encerkan dengan aquades sampai 1000 ml.
Untuk membuat larutan HCl dengan normalitas tertentu
dapat digunakan rumus di atas (V1N1 = V2N2).
Adapun cara pembakuan larutan HCl 0,1 adalah sebagai
berikut: Lebih kurang 200 mg Na2CO3 anhidrat ditimbang
saksama yang sebelumnya telah dikeringkan dalam oven pada
suhu 2700C selama 1 jam. Larutan dalam 50 mL air. Titrasi
dengan larutan HCl 0,1 N menggunakan indikator jingga metil
hingga warna kuning berubah menjadi merah. Tiap ml HCl 0,1
N setara dengan 52,99 mg Na2CO3.
Asam klorida merupakan baku sekunder sehingga sebelum
digunakan harus dibakukan lebih dahulu dengan baku primer.
HCl dapat dibakukan dengan natrium karbonat (Na2CO3) atau
natrium tetra boraks (Na2B4O7. 10H2O) serta dapat juga secara
gravimetri sebagai AgCl.
Pada pembakuan HCl dengan natrium karbonat
menggunakan indikator metil orange, reaksi yang terjadi
adalah :
Na2CO3 + 2HCl  2NaCl + H2O + CO2
Dari reaksi di atas, valensinya adalah dua sebab 1 mol
Na2CO3 setara dengan 2 mol HCl dan setara dengan 2 gram ion
H+.
Sehingga perhitungan normalitasnya :
mgrek Na2CO3 = mgrek HCl
mgram Na 2 CO 3 x Valensi
N HCl=
BM Na2 CO 3 x ml HCl

Pembakuan HCl selain dengan natrium karbonat juga dapat


dilakukan dengan menggunakan natrium tetra boraks (Na 2B4O7.
10H2O) serta dapat juga secara gravimetri sebagai AgCl.
Keuntungan penggunakan natrium tetra boraks untuk
membakukan asam klorida ialah mempunyai berat ekivalen
yang besar sehingga kesalahan karena penimbangan menjadi
kecil, mudah cara pemurniannya, tidak higroskopis dan tidak
memerlukan pemanasan sampai berat konstan. Untuk
pembakuan dengan natrium tetra boraks ini digunakan indikator
merah metil.
2. Pembuatan dan pembakuan larutan baku asam sulfat
Untuk pembuatan larutan baku asam sulfat (H2SO4), pembuatan
dan perhitungan konversi dari pesan ke normalitas analog
seperti dalam HCl akan tetapi valensi dari H2SO4 adalah dua
sebab H2SO4 merupakan asam diprotik. Berat jenis H 2SO4
adalah 1,84 gram /ml dengan berat molekul (BM) sebesar
98,07.
Larutan baku asam sulfat 0,1 N dibuat dengan cara
mengencerkan 4,904 gram asam sulfat dengan air secukupnya
hingga diperoleh 1000 ml larutan. Dengan mempertimbangkan
berapa persen asam sulfat yang tersedia dan berat jenisnya
maka dapat diketahui berapa ml asam sulfat yang setara dengan
4,904 gram asam sulfat.
Cara pembakuan larutan baku asam sulfat dilakukan dengan
cara yang sama dengan pembakuan asam klorida.
3. Pembuatan dan pembakuan larutan baku natrium hidroksida.
Pembuatan NaOH 0,1 N dilakukan dengan cara melarutkan
4,001 gram natrium hidroksida dalam air secukupnya hingga
diperoleh larutan baku natrium hidroksida sebanyak 1000 ml.
Di muka telah disebutkan bahwa larutan baku basa harus bebas
karbonat, oleh karena itu Farmakope Indonesia juga memuat
cara pembuatan larutan bebas karbonat sebagai berikut: larutkan
natrium hidroksida Pa dalam air hingga diperoleh larutan 40-60
% b/v, biarkan. Pipet beningan sambil dicegah peresapan
karbon dioksida, encerkan dengan air bebas karbon dioksida Pa
hingga normalitas yang dikehendaki.
Larutan bebas karbonat harus memenuhi syarat berikut : Titrasi
45 ml asam klorida yang mempunyai normalitas yang sama
dengan larutan yang diperiksa menggunakan larutan natrium
hidroksida menggunakan indikator fenolftalein. Pada titik akhir
tambahkan asam hingga warna merah jambu tepat hilang,
didihkan hingga volume sisa 20 ml, selama masih mendidih
tambahkan lagi asam untuk menghilangkan warna merah jambu
hingga pada pendidihan selanjutnya warna merah tidak timbul
lagi; dibutuhkan tidak lebih dari 0,1 ml.
Cara pembakuan natrium hidroksida 0,1 N adalah sebagai
berikut : lebih kurang 400 mg kalium biftalat CO 2H.C6H4.CO2K
(BM = 204,221) ditimbang secara saksama yang sebelumnya
telah dikeringkan, gerus jika perlu, masukkan ke dalam
erlenmeyer. Tambahkan 75 ml air bebas CO2, tutup erlenmeyer
kocok-kocok sampai larut. Titrasi dengan larutan NaOH
menggunakan indikator fenolftalein hingga warna berubah
menjadi merah jambu
Pada pembakuan NaOH dengan kalium biftalat reaksi yang
terjadi adalah :

Dari reaksi di atas dapat diketahui bahwa valensinya satu sebab


1 mol kalium biftalat setara dengan 1 mol NaOH dan setara
dengan 2 gramion OH- sehingga perhitungan normalitasnya
adalah sebagai berikut :
Mgrek kalium biftalat = mgrek NaOH
mg kalium biftalat x Valensi
=ml NaOH x N NaOH
BM kalium biftalat
mgKalium biftalat x Valensi
N NaOH =
BM Kalium biftalat x ml NaOH
Selain larutan baku NaOH dalam larutan air, dalam Farmakope
Indonesia juga disebutkan larutan baku NaOH- etanol. Cara
pembuatan larutan baku NaOH – etanol 0,1 N adalah: Larutan
4,001 gram hidroksida dalam etanol bebas aldehida sampai
1000 ml.
4. Pembuatan dan Pembakuan Larutan Baku Kalium Hidroksida
Cara pembuatan larutan KOH 0,1 N adalah: Larutkan 5,612
gram kalium hidroksida dalam air hingga 1000 ml.
Selain larutan baku KOH dalam larutan air, dalam Farmakope
Indonesia juga disebutkan larutan baku KOH-etanol. Cara
pembuatan larutan baku KOH-etanol 0,1 N adalah: Larutan \
5,612 gram kalium hidroksida dalam 20 ml air dan tambahkan
etanol bebas aldehida sampai 1000 ml.
Cara pembakuan larutan baku KOHini dilakukan sama dengan
pembakuan larutan baku NaOH.

Pembuatan larutan baku kalium permanganat


Larutan baku kalium permanganat dibuat dengan melarutkan
sejumlah kalium permanganat dan melarutkannya dalam air
secukupnya sesuai dengan normalitas yang dikehendaki. Meskipun
demikian, karena mengingat sifat-sifat kalium permanganat
sebagaimana diuraikan di atas dan kenyataan bahwa kalium
permanganat sulit diperoleh dalam kemurnian yang cukup tinggi maka
faktor-faktor di atas perlu diperhatikan. Caranya antara lain setelah
dilarutkan didiamkan selama 24 jam sehingga reaksi peruraiannya
selesai kemudian disaring melalui asbes untuk menghilangkan semua
mangandioksida yang terjadi karena adanya mangan dioksida
merupakan katalisator terbentuknya mangan dioksida lebih lanjut serta
cepat. Sangat dianjurkan untuk seringkali membakukan larutan kalium
permanganat.

Pembakuan Larutan Baku kalium Permanganat


Cara membakukan larutan baku kalium permanganat adalah:
Lebih kurang 200 mg natrium oksalat yang ditimbang seksama yang
sebelumnya dikeringkan pada suhu 1100C hingga bobot tetap, larutkan
dalam 250 ml air. Tambahkan 7 ml asam sulfat pekat, panaskan pada
suhu kurang lebih 700C dan titrasi perlahan-lahan dengan larutan baku
kalium permanganat hingga terbentuk warna merah jambu mantap
dalam waktu 15 detik. Suhu pada akhir titrasi tidak boleh kurang dari
600C. tiap ml kalium permanganat setara dengan 6,7 mg natrium
oksalat.
Natrium merupakan zat yang sangat baik untuk pembakuan
kalium permanganat karena dapat diperoleh dengan kemurnian yang
sangat tinggi. Penambahan asam sulfat bertujuan supaya konsentrasi
ion hidrogen tetap selama titrasi berlangsung untuk menghindari
terbentuknya mangan dioksida. Untuk mereduksi 1 mol ion
permanganat diperlukan 8 mol ion hidrogen sebagaimana reaksi di
awal.
Pada pembakuan di atas reaksi parohnya dapat ditulis sebagai
berikut:
MnO4 +8H+5e ⇔Mn 2+ +4H 2 O
C 2 O 2− ⇔2CO2 + 2e−
4

untuk memperoleh kesetimbangan maka reaksi pada permanganat


dikalikan dua sedangkan untuk oksalat dikalikan lima, sehingga reaksi
oksidasi reduksinya adalah sebagai berikut:
+ 2+
2MnO − +16H +5C 2 O 2− ⇔2Mn + 8H2 O +10CO 2
4 4

dari persamaan di atas terlihat bahwa 5 mol natrium oksalat


kehilangan 10 elektron pada oksidasi dengan kalium permanganat
dengan demikian berat ekivalen (BE) dari natrium oksalat adalah
separo berat molekulnya (BM/2) atau tiap 1000 ml kalium
permanganat 1 N setara dengan 134/2=67,00 mg. dengan demikian
tiap ml kalium permanganat 0,1 N setara dengan 6,7 mg natrium
oksalat. Misalkan kita tadi menimbang natrium oksalat 200 mg dan
memerlukan volume titran sebanyak 28,36 ml larutan baku kalium
permanganat maka normalitas dari kalium permanganat adalah:
mg Na2 C 2 O4
N KMnO4 = x valensi
mlKMnO4 x BM Na 2 C2 O 4
Pada reaksi pembakuan di atas valensinya adalah 2.
200
N KMnO4= x 2=0,1047 N
28,36 x 134

Penggunaan Larutan Baku Kalium Permanganat


1. Penetapan kadar hidrogen peroksida
larutan baku kalium permanganat antara lain digunakan untuk
menetapkan kadar hidrogen peroksida dengan cara sebagai berikut:
Timbang saksama lebih kurang 1 ml hidrogen peroksida dalam labu
terukur (labu takar) yang telah ditera sebelumnya diencerkan dengan
air secukupnya hingga 100 ml. pada 20,0 ml larutan ini ditambahkan
20 ml asam sulfat 2 N, titrasi dengan kalium permanganat 0,1 N
sampai terbentuk warna pink permanen pertama kali. Tiap ml larutan
kalium permanganat 0,1 N setara dengan 1,701 mg hidrogen
peroksida.
Pada penetapan kadar di atas reaksi yang terjadi adalah sebagai
berikut:
2MnO4- + 6H+ + 5H2O2  2Mn2+ + 5O2 + 8H2O
Karena 5 mol H2O2 setara dengan 10e- maka valensinya adalah 2
sehingga berat ekivalen (BE) sama dengan berat molekul dibagi 2 atau
BE = BM/2.
Untuk titrasi dengan baku kalium permanganat yang encer maka
disarankan untuk menggunakan indikator ferroin.

2. Penetapan kadar natrium nitrit


Prosedur: Larutkan kurang lebih 500 mg natrium nitrit yang
ditimbang seksama dalam air hingga 100 ml. gunakan larutan ini
untuk menitrasi campuran 50 ml larutan kalium permanganat 0,1 N, 5
ml asam sulfat pekat dan 100 ml air pada suhu 400C hingga warna
hilang. Tiap ml kalium permanganat 0,1 N setara dengan 3,450 mg
NaNO2.
Pada penetapan kadar ini, reaksi yang terjadi adalah sebagai
berikut:
10 NaNO2 +4KMnO4 + 11 H2SO4  10 HNO3 + 4MnSO4 +
2K2SO4 + 5Na2SO4 + 6H2O
Larutan natrium nitrit tidak dapat diasamkan kemudian dititrasi
dengan kalium permanganat karena akan terjadi oksidasi dari
nitrogen. Pada suhu biasa, oksidasi dari nitrit adalah lambat akan
tetapi pada suhu 400C reaksinya cepat. Selama titrasi juga perlu
digojog terus-menerus. Pada oksidasi nitrit menjadi nitrat ini tiap 1
mol nitrit setara dengan 2 elektron sehingga valensinya 2 sesuai
dengan reaksi paro berikut:
NO2- + H2O  NO3- + H+ + 2e-
Berat ekivalen (BE) natrium nitrit setengah dari berat molekulnya
(BMnya). Jadi tiap ml kalium permanganat 0,1 N setara dengan 3,450
mg natrium nitrit.
Larutan baku kalium permanganat dapat digunakan untuk
membakukan natrium nitrit dengan cara sebagai berikut: Masukkan 50
ml larutan baku kalium permanganat 0,1 N ke dalam labu bersumbat
kaca, encerkan dengan 200 ml air. Tambahkan 25 ml asam sulfat
Pekat dan kurang lebih 250 mg natrium nitrit yang ditimbang
seksama, biarkan. Tambahkan 2 gram kalium yodida P dan titrasi
dengan natrium tiosulfat menggunakan indikator kanji (amilum)
Dalam prosedur ini, kelebihan kalium permanganat secara
kuantitatif akan mengoksidasi KI menjadi iodium yang selanjutnya
dititrasi dengan larutan baku natrium tiosulfat.
3. Penetapan kadar besi (II) sulfat
Prosedur: Larutkan kurang lebih 1 gram besi (II) sulfat yang
telah ditimbang seksama dalam 20 ml asam sulfat encer P. titrasi
dengan larutan baku kalium permanganat 0,1 N sampai menghasilkan
warna merah jambu yang tetap. Tiap ml kalium permanganat 0,1 N
setara dengan 27,8 mg FeSO4. 7 H2O.
Pada penetapan kadar di atas, berat ekivalen dari besi (II) sulfat
adalah sama dengan berat molekulnya karena tiap 1 mol besi (II)
sulfat setara dengan 1e-. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:
MnO4- + 8H+ + 5Fe2+  Mn2+ + 4H2O + 5Fe3+
Dalam reaksi di atas dapat diketahui 5Fe2+ ` 5 Fe3+ + 1e- sehingga valensinya adalah satu

K. Oksidasi-reduksi dengan Iodium


Iodium merupakan oksidator yang relatif lemah dibanding
dengan kalium kromat, senyawa serium (IV), brom, dan kalium
bikromat.
I2 + 2e  2 I- E0 = 0,535 V
Walaupun demikian, iodium masih mampu mengoksidasi secara
sempurna senyawa-senyawa yang bersifat reduktor kuat seperti SnCl 2,
H2SO4, H2S, Na2S2O3 dan lain-lainnya, sedangkan dengan reduktor
lemah seperti senyawa-senyawa arsen, antimon trivalent dan besi (II)
sianida dapat berlangsung sempurna jika larutan netral atau sedikit
asam. Dalam keadaan seperti ini maka potensial oksidasi dari reduktor
menjadi minimal sedangkan kekuatan mereduksinya menjadi
maksimal.
Karena potensial oksidasinya rendah, maka justru sistem ini lebih
menguntungkan karena ia dapat mereduksi oksidator-oksidator kuat,
sehingga iodida dapat mereduksi oksidator tersebut dan kemudian
dibebaskan iodium. Iodium yang dibebaskan ini kemudian dapat
dititrasi dengan larutan baku natrium tiosulfat.
Dari kenyataan di atas, maka penggunaan metode titrasi dengan
iodium-iodida sering dibagi menjadi 2 bagian yaitu:
1. Iodimetri merupakan titrasi langsung dengan menggunakan baku
iodium (I2) dan digunakan untuk analisis kuantitatif senyawa-
senyawa yang mempunyai potensial oksidasi lebih kecil dari pada
sistem iodium-iodida sebagaimana persamaan di atas atau dengan
kata lain digunakan untuk senyawa-senyawa yang bersifat reduktor
yang cukup kuat seperti, tiosulfat, arsenit, sulfida, sulfit, , timah
(II), dan ferosianida. Daya mereduksi dari berbagai macam zat ini
tergantung pada konsentrasi ion hidrogen, dan hanya dengan
penyesuaian pH dengan tepat yang dapat menghasilkan reaksi
dengan iodium secara kuantitatif.
2. Iodometri merupakan titrasi tidak langsung dan digunakan untuk
menetapkan senyawa-senyawa yang mempunyai potensial oksidasi
lebih besar dari sistem iodium-iodida atau senyawa-senyawa yang
bersifat oksidator seperti CuSO4.5H2O. Pada iodometri, sampel
yang bersifat oksidator direduksi dengan kalium iodida berlebih
dan akan menghasilkan iodium yang selanjutnya dititrasi dengan
larutan baku tiosulfat. Banyaknya volume tiosulfat yang digunakan
sebagai titran setara dengan iod yang dihasilkan dan setara dengan
banyaknya sampel.
Pada metode iodimetri dan iodometri larutan harus dijaga supaya
pH larutan lebih kecil dari 8 karena dalam larutan alkali iodium
bereaksi dengan hidroksida (OH-) menghasilkan ion hipoiodit yang
pada akhirnya menghasilkan ion iodat menurut reaksi:
I2 + OH  HI + IO-
3 IO  IO3- + 2 I-
Sehingga apabila ini terjadi maka potensial oksidasinya lebih besar
daripada iodium akibatnya akan mengoksidasi tiosulfat (S 2O32-) yang
tidak hanya menghasilkan tetrationat (S4O62-) tapi juga menghasilkan
sulfat (SO42-) sehingga menyulitkan perhitungan stoikiometri (reaksi
berjalan tidak kuantitatif). Oleh karena itu, pada metode iodometri
tidak pernah dilakukan dalam larutan basa kuat.

Indikator
Warna larutan iodium 0,1 N dalam larutan air-iodida adalah
kuning sampai coklat tua. Satu tetes larutan iodium 0,1 N
menimbulkan warna kuning pucat yang terlihat pada 100 ml air
sehingga iod dapat bertindak sebagai indikatornya sendiri, artinya
pada saat titik akhir titrasi ditandai dengan munculnya sedikit warna
kekuningan pada larutan.
Indikator yang sering digunakan adalah kanji atau amilum. Kanji
dengan adanya iod akan memberikankompleks berwarna biru kuat
yang akan terlihat apabila konsentrasi iodium 2x10-5M dan konsentrasi
iodida lebih besar dari 2x10-4 M. kepekaan warna berkurang dengan
kenaikan suhu larutan dan adanya pelarut-pelarut organik.
Kanji merupakan keunggulan harganya murah sedangkan
kelemahannya kanji tidak dapat larut dalam air dingin sehingga dalam
proses pembuatannya harus dibantu dengan pemanasan. Penambahan
indikator kanji sebaiknya dilakukan pada saat mendekati titik akhir
titrasi karena iod dengan kanji membentuk kompleks yang berwarna
biru yang tidak larut dalam air dingin sehingga dikhawatirkan
mengganggu penetapan titik akhir titrasi. Karena adanya kelemahan
ini, dianjurkan pemakaian kanji natrium glukonat yang mana indikator
ini tidak higroskopis; cepat larut dan stabil dalam penyimpanan; tidak
membentuk kompleks yang tidak larut dengan iodium sehingga boleh
ditambahkan pada awal titrasi dan titik akhir jelas; reprodusibel dan
tidak tiba-tiba. Sayangnya indikator ini harganya mahal.
Iodium juga memberikan warna ungu atau lembayung pada
penambahan pelarut organik seperti karbon tetraklorida (CCL 4) atau
kloroform sehingga pada iodimetri biasanya digunakan pelarut
organik tersebut sebagai indikator. Penggunaan indikator pelarut
organik ini sangat penting terutama jika larutannya sangat asam
sehingga kanji terhidrolisa, titrasinya berjalan sangat lambat dan
larutannya sangat encer.
Kerugian pemakaian pelarut organik sebagai indikator antara lain
pada saat titrasi harus digunakan labu bertutup gelas, selama titrasi
harus digojog kuat-kuat untuk menyari iodium dari air dan kadang-
kadang harus ditunggu pemisahannya.

Reaksi antara Iodium dengan Tiosulfat


Reaksi yang paling penting dalam iodometri adalah reaksi antara
iodium dengan tiosulfat yang mana tiosulfat dioksidasi oleh iodium
menjadi tetrationat menurut reaksi:
2S2O32- + I2  2 I- + S4O62-
Zat-zat pengoksidasi lain yang lebih kuat seperti brom, klor dan
serium (IV) akan mengoksidasi tiosulfat dalam jumlah yang berbeda-
beda tergantung dari kondisi percobaannya. Oleh karena itu, zat-zat
tersebut baik sekali jika penetapan kadarnya dilakukan dengan
menambah iodida berlebihan sebelum ditambah tiosulfat. Hipoiodit
merupakan oksidator yang lebih kuat daripada iodium dan
mengoksidasi tiosulfat menjadi sulfat. Hal ini dapat kita ketahui jika
dalam larutan iodium dalam suasana larutan basa akan timbul
hipoiodit yang cukup menurut reaksi:
4I 2 +8OH− →4H 2 O+4IO− + 4I−


S2 O 2− +4OI +2OH− →2SO −
2− + 4I + H 2 O
3 4
S 2 O 2− +4I 2 +10OH− →2SO 2−+ 8I− +5H 2 O
3 4

Dengan naiknya ion hidroksil, maka jumlah tiosulfat yang teroksidasi


juga bertambah. Jika suasana sangat alkalis, reaksinya berlangsung
kuantitatif dan hasil reaksinya adalah iodat.
Terjadinya reaksi samping yakni terbentuknya sulfat dari
tiosulfat ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:
a. Konsentrasi ion hidroksil
b. Konsentrasi iodium dan iodida
c. Suhu
d. Adanya zat-zat lain
Titrasi iodium dengan tiosulfat tidak dapat dilakukan dalam suasana
alkalis dan pH yang diperbolehkan tergantung dari konsentrasi
iodium. Supaya terjadi oksidasi yang kuantitatif dari tiosulfat menjadi
tetrationat oleh iodium maka pH harus kurang dari 7,6 untuk titrasi
dengan iodium 0,1 N maka pH nya harus kurang dari 6,5 dan kurang
dari 5 jika konsentrasi iodium 0,001 N. sedangkan untuk iodium yang
sangat encer sekali maka suasananya harus asam sekali.
Penting untuk diingat jika larutan iodium dititrasi dengan
tiosulfat yang diawetkan dengan zat-zat yang bersifat basa seperti
karbonat, bikarbonat, fosfat atau boraks maka larutannya akan
menjadi alkalis dan hal ini dapat menjadi sumber kesalahan. Untuk itu
maka sebaiknya diberi dapar sehingga pH nya dapat dijaga sesuai
dengan yang dikehendaki. Jika memang dikehendaki titrasinya
dilakukan dalam suasana alkalis, maka yang dipakai adalah larutan
baku arsenit. Untuk melakukan ini, maka larutannya dinetralkan
dengan kelebihan karbonat akan tetapi dianjurkan dalam memakai
dinatrium fosfat saja karena dengan bikarbonat akan ada kemungkinan
hilangnya iodium karena ikut dengan terlepasnya karbondioksida.

Stabilitas Larutan Baku Natrium Tiosulfat


Larutan baku tiosulfat jika disimpan lama-lama akan berubah
titernya. Beberapa hal yang menyebabkannya sangat kompleks dan
saling bertentangan akan tetapi beberapa faktor yang dapat
menyebabkan terurainya larutan tiosulfat dapat disebutkan sebagai
berikut:
1. Keasaman
Larutan tiosulfat dalam suasana alkali atau netral relatif stabil,
tidak dikenal adanya asam tiosulfat atau hidrogen tiosulfat. Proses
peruraiannya sangat rumit, tetapi fakta yang dapat dikemukakan
adalah jika konsentrasi ion hidrogen lebih besar dari 2,5 x 10 -5
maka terbentuk ion hidrogen sulfit yang sangat tidak stabil dan
terurai menurut reaksi:
HS2O3-  HSO3- + S
Kemudian secara perlahan-lahan akan terurai lagi dan terbentuk
pentationat menurut reaksi:
6H+ + 6S2O32-  2S5O62- + 3H2O
Jika dengan HCl pekat maka yang terjadi adalah hidrogen sulfida
dan hidrogen polisulfida dan tidak terbentuk ditionat atau sulfat,
sedangkan dengan HCl yang kurang pekat terutama jika ada
katalisator arsen trioksida maka akan terbentuk pentationat.
Larutan tiosulfat paling stabil pada pH antara 9-10. pemberian
natrium karbonat pada pembuatan larutan baku natrium tiosulfat,
akan tetapi hal ini akan mengakibatkan terjadinya reaksi samping
pada saat titrasi larutan iodium yang netral. Di samping itu pada
larutan yang sangat alkalis maka kemungkinan terjadi reaksi
sebagai berikut:
3Na2S2O3 + 6NaOH  2Na2S + 4Na2SO3 + 3H2O
larutan tiosulfat dalam air diuraikan oleh asam karbonat menurut
reaksi:
H2O + CO2  H2CO3
Na2S2O3 + H2CO3  NaHCO3 + NaHSO3 + S

2. Oksidasi oleh udara


Tiosulfat secara perlahan-lahan akan dioksidasi oleh udara.
Reaksinya terjadi dalam 2 tingkat:
Na2S2O3 + H2CO3  Na2SO3 + S
1
Na 2 SO 3 + O2 → Na2 SO 4
2
1
Na 2 S 2 O 3 + O2 → Na 2 SO4 + S
2

sulfur yang terjadi selama peruraian reaksinya diperkirakan


berjalan sebagai berikut:
Na2 S2O3 +H 2 O→Na2 SO4 +H 2 S¿ 1
Na2 S2 O3 + O2 →Na2 SO4 +S
1 2
H 2 S + O2 →H 2 O+S¿
2
Sebagai alasan terbentuknya tetrationat atau terjadi sulfit sebagai
reaksi antara, karena tembaga mengkatalisis peruraian ini dengan
kuat sekali seperti diketahui bahwa tembaga dengan kuat
mengkatalisis oksidasi dari sulfit oleh udara menurut reaksi:

2Cu2+ +2S2 O 2−→2Cu+ +S4 O 2− ¿


3 6 1
O2−+2H+ →H2 O ¿¿¿2Cu2++2S2 O 2+ O2 2H+ →2Cu+ +S4 O 2−+H2 O
1 3 2 6
2Cu+ + O2 →2Cu2+ +O2− ¿
2
Dari kenyataan di atas, maka dianjurkan pembuatan larutan baku
tiosulfat dengan air yang didestilasi dengan alat gelas dan sejauh
mungkin bebas dari tembaga. Dari penelitian Kilpatrick
diketemukan bahwa larutan tiosulfat yang dibuat dengan air suling
biasa terurai sebanyak 20% setelah 200 hari.

3. Mikroorganisme
Dari beberapa percobaan ternyata bahwa sumber utama peruraian
larutan baku tiosulfat adalah disebabkan adanya mikroorganisme
dalam larutan tersebut. Ternyata ada mikroorganisme dalam udara
yang menggunakan sulfur dengan cara mengambil sulfur dari
tiosulfat menjadi sulfit yang oleh udara langsung dioksida menjadi
sulfat. Ada beberapa bakteri dalam udara yang bersifat demikian.
Proses metabolisme dari bakteri itu mungkin melalui reaksi sebagai
berikut:
Na2 S 2 O 3 +H 2 O→Na2 S 4 O 6 +2 NaOH, dan
Na2 S 2 O 3 →NaSO3 +S
Na2 SO 3 +O→NaSO 4 dan
S +3 O+H 2 O→ H 2 SO4
Oleh karena itu larutan tiosulfat yang dibuat steril akan stabil sekali
dan hanya kalau terjadi kontaminasi bakteri belerang maka akan
terurai perlahan-lahan.
Pembuatan dan Pembakuan Larutan Iodium 0,1 N
Pembuatan larutan baku iodium 0,1 N dilakukan dengan cara:
Larutkan 12,7 gram iodium dalam 100 ml larutan air yang
mengandung 36 gram kalium iodida dalam labu bertutup, tambah 3
tetes asam klorida, tambahkan air hingga 1000 ml.
Iodium sukar larut dalam air (0,035 gram/liter) maka dilarutkan
dalam larutan KI yang mana iodium mudah larut di dalamnya dengan
membentuk ion kompleks menurut reaksi:
I2 + I-  I3-
Karena iodium mudah menyublim, maka wadah harus selalu tertutup
selama titrasi berlangsung dan ujung buret tidak boleh menggunakan
karet.
Adapun cara pembakuannya dilakukan dengan cara sebagai
berikut: Timbang kurang lebih 150 mg arsen trioksid secara saksama
dan larutkan dalam 20 ml NaOH 1 N bila perlu dengan pemanasan,
encerkan dengan 40 ml air dan tambah dengan 2 tetes metil orange
dan ikuti dengan penambahan HCl encer sampai warna kuning
berubah menjadi pink. Tambahkan 2 gram NaHCO3, 20 ml air dan 3
ml larutan kanji. Titrasi dengan baku iodium perlahan-lahan hingga
timbul warna biru tetap.
Arsen trioksid sukar larut dalam air akan tetapi mudah larut
dalam larutan natrium hidroksida (NaOH) dengan membentuk natrium
arsenit menurut reaksi:
As2O3 + 6 NaOH  2Na3AsO3 + 3H2O
Jika iodium ditambahkan pada larutan alkali maka iodium akan
bereaksi dengan NaOH membentuk natrium hipoiodit atau senyawa-
senyawa serupa yang mana tidak ada bereaksi secara cepat dengan
natrium arsenit.
2NaOH + I2  NaIO + NaI + H2O
Kelebihan natrium hidroksida dinetralkan dengan HCl menggunakan
metil orange sebagai indikator. Penambahan NaHCO3 untuk
menetralkan asam iodida (HI) yang terbentuk yang sama asam iodida
ini menyebabkan reaksi berjalan bolak-balik (reversibel). Natrium
bikarbonat akan menghilangkan asam iodida secepat asam iodida
terbentuk sehingga reaksi berjalan ke kanan secara sempurna. Reaksi
secara lengkap pada pembakuaniodium dengan arsen trioksid sebagai
berikut:

As2O3 + 6 NaOH  2Na3AsO3 + 3H2O


Na3AsO3 + I2 + 2NaHCO3  Na3AsO4 + 2NaI + 2 CO2 + H2O
Pada reaksi di atas dapat diketahui bahwa valensinya adalah
empat. Karena 1 mol As2O3 setara dengan 2 mol Na3AsO3, sedangkan
1 mol Na3AsO3 setara dengan 1 mol I2 akibatnya 1 mol As2O3 setara
dengan 2 mol I2 sehingga perhitungan normalitas dari iodium:
mgrek iodium = mgrek arsen trioksid
ml I2 x N I2 = mmol As2O3 x valensi
mg As2 O3 x Valensi
N I2=
BM As2 O3 x mlI 2

Pembuatan dan Pembakuan Natrium Tiosulfat


Larutan standar yang sering digunakan dalam iodometri adalah
natrium tiosulfat yang lazimnya tersedia sebagai pentahidrat
(Na2S2O3.5H2O). Larutan tiosulfat tidak stabil dalam jangka waktu
yang lama. Bakteri yang memakan belerang dapat masuk ke dalam
larutan dan proses metaboliknya akan mengakibatkan pembentukan
SO32-, SO42- dan belerang koloidal. Belerang ini akan mengakibatkan
kekeruhan dan apabila terjadi kekeruhan maka larutan tiosulfat
tersebut harus dibuang.
Larutan baku tiosulfat 0,1 N dibuat dengan cara sebagai berikut:
Larutkan kira-kira 25 gram natrium tiosulfat pentahidrat dan 200 mg
natrium karbonat dalam air yang telah didihkan sampai 1000 ml.
Adapun cara pembakuannya dilakukan dengan cara sebagai
berikut: Timbang kurang lebih 150 mg kalium iodat yang sudah
dikeringkan pada suhu 1200C secara seksama, larutkan dalam 25 ml
air yang telah didihkan. Tambahkan 2 gram kalium iodida yang bebas
iodat dan 5 ml HCl pekat dalam erlenmeyer bertutup. Iodium yang
dibebaskan dititrasi dengan natrium tiosulfat yang akan dibakukan
sambil terus dikocok. Bila larutan menjadi kuning pucat tambah 100
ml air dan 3 ml larutan kanji. Titrasi dilanjutkan sampai warna biru
tepat menjadi hilang (tidak berwarna).
Pada pembakuan di atas reaksi yang terjadi adalah sebagai
berikut:
KIO3 + 5KI + 6 HCl  3I2 + 6KCl + 3H2O
I2 + 2 Na2S2O3  2 NaI + Na2S4O6
Pada reaksi di atas valensinya adalah 6 karena 1 mol KIO 3 setara
dengan 3 mol I2, sedangkan 1 mol I2 setara dengan 2e, sehingga 1 mol
KIO3 setara dengan 6e akibatnya BE KIO3 sama dengan BM/6.
Perhitungan normalitas dari natrium tiosulfat:
Mgrek natrium tiosulfat = mgrek kalium iodat
Ml Na2S2O3 x N Na2S2O3 = mmol KIO3x valensi
mg KIO3 x Valensi
N Na2 S2 O3 =
BM KIO3 x ml Na2 S2 O 3

Anda mungkin juga menyukai