Kusuma
Kasus ini terjadi sekitar tahun 2004. Mulyana W Kusuma sebagai seorang
anggota KPU diduga menyuap anggota BPK yang saat itu akan melakukan
audit keuangan berkaitan dengan pengadaan logistic pemilu. Logistic untuk
pemilu yang dimaksud yaitu kotak suara, surat suara, amplop suara, tinta,
dan teknologi informasi. Setelah dilakukan pemeriksaan, badan dan BPK
meminta dilakukan penyempurnaan laporan. Setelah dilakukan
penyempurnaan laporan, BPK sepakat bahwa laporan tersebut lebih baik
daripada sebelumnya, kecuali untuk teknologi informasi. Untuk itu, maka
disepakati bahwa laporan akan diperiksa kembali satu bulan setelahnya.
Setelah lewat satu bulan, ternyata laporan tersebut belum selesai dan
disepakati pemberian waktu tambahan. Di saat inilah terdengar kabar
penangkapan Mulyana W Kusuma. Mulyana ditangkap karena dituduh hendak
melakukan penyuapan kepada anggota tim auditor BPK, yakni Salman
Khairiansyah. Dalam penangkapan tersebut, tim intelijen KPK bekerjasama
dengan auditor BPK. Menurut versi Khairiansyah ia bekerja sama dengan
KPK memerangkap upaya penyuapan oleh saudara Mulyana dengan
menggunakan alat perekam gambar pada dua kali pertemuan mereka.
Penangkapan ini menimbulkan pro dan kontra. Salah satu pihak berpendapat
auditor yang bersangkutan, yakni Salman telah berjasa mengungkap kasus
ini, sedangkan pihak lain berpendapat bahwa Salman tidak seharusnya
melakukan perbuatan tersebut karena hal tersebut telah melanggar kode
etik akuntan.
3.2 Etika
Apa yang harus dilakukan auditor BPK adalah bahwa dengan standar teknik
dan prosedur pemeriksaan, auditor BPK harus bisa secara cermat, objektif,
dan benar mengungkapkan bagaimana aliran dana tersebut masuk ke KPU
dan bagaimana dana tersebut dikeluarkan atau dibelanjakan. Dengan teknik
dan prosedur yang juga telah diatur dalam profesi akuntan, pasti akan
terungkap hal-hal negatif, termasuk dugaan korupsi kalau memang terjadi.
Tampak sekali bahwa auditor BPK tidak percaya terhadap kemampuan
profesionalnya, sehingga dia menganggap untuk mengungkap kebenaran bisa
dilakukan segala macam cara, termasuk cara-cara tidak etis, sekaligus tidak
moralis sebagaimana telah terjadi, yaitu dengan jebakan.
Sama saja dengan auditor BPK, tindakan KPU merupakan tindakan tidak etis
dan juga tidak moralis. Secara alami (natural) dan normatif, pihak penerima
kerja (agen) akan dengan senang hati untuk diaudit (diperiksa) untuk
meyakinkan pada pihak pemberi kerja (principal), dalam hal ini adalah rakyat
Indonesia yang direpresentasikan oleh pemerintah Indonesia, DPR, dan KPK.
Amanat dalam bentuk dana yang diberikan oleh pricipal akan dan telah
digunakan, dibelanjakan, dan dikelola dengan mendasarkan pada nilai-nilai
kebenaran, etis, dan moralis.
Dengan melakukan imbalan sejumlah uang dalam pertemuannya dengan
auditor BPK, maka ada indikasi kuat KPU telah bertindak tidak etis, tidak
benar, dan tidak moralis yang ujungnya adalah dugaan korupsi.
Secara periodik, pihak pemberi kerja seharusnya minta informasi, baik dari
penerima kerja maupun dari pihak auditor. Dari uraian ini, kita bisa jawab
bahwa baik pemerintah (diwakili Menteri Keuangan) dan DPR tidak
menjalankan fungsinya sebagai pemberi kerja. Sekilas tindakan ini
mengesankan tindakan yang tidak etis. Andaikan proses pemberian kerja
yang diikuti dengan aliran uang ke KPU kemudian ada aliran uang keluar dari
KPU (belanja) dimonitor dengan benar, transparan dan akuntabel, tindakan
kecurangan, termasuk kemungkinan korupsi yang bisa jadi dilakukan
penerima kerja (KPU), bisa dicegah dengan optimal.
Butuh Waktu