Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH ANTI TBC & LEPRA

Diajukan untuk memenuhi Tugas mata kuliah Farmakologi Dasar

Dosen pengampu : Dita Meidinata, M.S.Farm., Apt.

Oleh :

Gian Rohmat ( 18.44238.)

Fitri Andani ( 18.44238.1023)

Intan Nurfitri Ramdiani (18.44238.1011)

AKADEMI FARMASI YAYASAN PENDIDIKAN FARMASI BANDUNG

JURUSAN FARMASI

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat- Nya
kami dapat menyelesaikan tugas. Tak lupa pula kami mengucapkan terima kasih kepada dosen
Mata Kuliah Farmakologi yang telah memberikan tugas ini kepada kami sebagai upaya untuk
menjadikan kami manusia yang berilmu dan berpengetahuan.

Keberhasilan kami dalam menyelesaikan makalah ini tentunya tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak. untuk itu kami menyampaikan terima kasih pada semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan
masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki. Untuk itu kami mengharapkan saran yang
membangun demi kesempurnaan makalah ini sehingga dapat bermanfaat bagi siapapun yang
membacanya.

Bandung, Januari 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuberkulosis (TBC atau TB) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri Micobakterium tuberculosis, yang pada umumnya dimulai dengan membentuk
benjolan-benjolan kecil di paru-paru dan ditularkan lewat organ pernapasan. Kuman TBC
pertama kali di temukan oleh dr.Robert Koch (1982). Bakteri ini merupakan bakteri basil
yang sangat kuat sehingga memerlukan waktu lama untuk mengobatinya. Bakteri ini lebih
sering menginfeksi organ paru-paru dibandingkan bagian lain tubuh manusia. Bagian tubuh
manusia selain paru paru yang dapat terinfeksi Micobakterium tuberculosis ialah ginjal,
tulang dan usus
Konon kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM, dan telah dikenal oleh
peradaban Tiongkok Kuna, Mesir Kuna, dan India. Pada 1995, Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) memperkirakan terdapat dua hingga tiga juta jiwa yang cacat permanen karena
kusta. Walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita dengan masyarakat dirasakan
kurang perlu dan tidak etis beberapa kelompok penderita masih dapat ditemukan diberbagai
belahan dunia, seperti di India dan Vietnam.
Era modern terapi tuberculosis mulai dengan diperkenalkannya streptomisin,

isoniazid, dan asam -aminosalisilat dan sekarang terapi obat multipel. Jumlah kasus

tuberculosis berkurang dan ada harapan untuk eredikasi tuberculosis. Sesungguhnya,


ramalan dibuat bahwa tuberculosis akan hampir punah di Amerika Serikat pada tahun 2002,
tetapi dalam sepuluh tahun terakhir, kasus-kasus tuberculosis telah meningkat secara
bermakna terutama pada penderita-penderita AIDS dan tunawisma. Saat ini, tuberculosis
masih merupakan penyebab kematian yang utama karena karena penyakit infeksi di seluruh
dunia (Nugroho, 2012).
Pada kasus tuberkulosis maupun leprosis, penyebabnya yaitu mycobakteri
(Mycobacterium tuberculosis dan Mycobacterium leprae) tumbuh atau berkembang secara
sangat lambat. Konsekuensinya, terapinya memerlukan waktu yang sangat lama. Untuk
menghindari adanya resistensi sering digunakan kombinasi obat dari dua hingga empat jenis
antibiotika(Nugroho,2012)
Micobakteria yang terutama dapat menimbulkan penyakit pada manusia ada tiga, yaitu
Mycoibacteria tuberculosis penyebab tuberkulosis, Mycoibacteria leprae penyebab lepra, dan
Mycoibacteria atipik penyebab infeksi mikobakteria lainnya. Umumnya antibiotika bekerja lebih
aktif terhadap kuman yang lebih cepat membelah dibandingkan kuman yang lambat membelah.
Sifat lambat membelah yang dimiliki mikobakteria merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan perkembangan penemuan obat antimikobakteria baru jauh lebih sulit dan lambat
dibandingkan antibakteri lain (Gunawan, Sulistia Gan, 2007).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi Tuberculostatik?
2. Bagaimana pengggolongan obat tuberculostatik?
3. Apa definisi Leprastatik?
4. Bagaimana indikasi, dosis, kontra indikasi, mekanisme kerja, farmakokinetik, dan efek
samping obat Tuberculostatik dan Leprastatik?
5. Berikasn contoh obat tuberculostatik dan leprastatik yang beredar di pasaran?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi Tuberculostatik
2. Untuk mengetahui pengggolongan obat tuberculostatik
3. Untuk mengetahui definisi Leprastatik
4. Untuk mengetahui indikasi, dosis, kontra indikasi, mekanisme kerja, farmakokinetik, dan
efek samping obat Tuberculostatik dan Leprastatik
5. Untuk mengetahui contoh obat tuberculostatik dan leprastatik yang beredar di pasaran
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Tuberculostatik
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium Tuberculostatik). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat
juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes, 2011).
Tuberkolosis (TBC) disebabkan oleh bakteri tahan asam Mycobacterium
Tuberculostatik. TBC adalah masalah kesehatan mayor yang lebih mematikan dibandingkan
dengan penyakit menular lainnya. Satu setengah miliyar orang di dunia menderita TBC.
Terdapat 8 juta kasus baru setiap tahun. Di Amerika Serikat, insiden tersebut sempat
mengalami penurunan akan tetapi kembali meningkat tahun 1980-an. Penyakit ini banyak
menyerang orang dengan AIDS di mana sistem kekebalan tubuhnya mengganggu
(Kamienski dan Keogh, 2015).
Mycobacterium Tuberculosis, salah satu mikrobakteri dapat menyebabkan infeksi
gawat paru-paru, tractus genitourinarius, tulang rangka dan meningen. Mikobakteri
diklasifikasi berdasarkan sifat-sifat pewarnaannya. Seperti pengobatan infeksi-infeksi
mikobakterium lainnya. Pengobatan tuberculosis memberikan masalah terapeutik.
Organisme tumbuh secara lambat, dan karena penyakit tersebut mungkin harus diobati
sampai dua tahun, khususnya jika disebabkan oleh organisme yang resisten (Nugroho,
2012).
Berdasarkan tempat atau organ yang diserang oleh kuman, maka tuberkulosis
dibedakan menjadi Tuberkulosis Paru, Tuberkulosis Ekstra Paru (Depkes RI, 2005):
1. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan parenchym paru, tidak
termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB Paru dibagi
dalam:
a. Tuberkulosis Paru BTA Positif.
1. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
2. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menunjukkan
gambaran tuberkulosis aktif.
b. Tuberkulosis Paru BTA Negatif
Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto rontgen dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. TB Paru BTA Negatif Rontgen Positif dibagi
berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat
bila gambaran foto rontgen dada memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas
(misalnya proses "far advanced" atau millier), atau keadaan umum penderita buruk.
2. Tuberkulosis Ekstra Paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain
paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. TB ekstra-paru
dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:
a. TB Ekstra Paru Ringan
Misalnya: TB kelenjar limphe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang
belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
b. TB Ekstra-Paru Berat
Misalnya: meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa duplex,
TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat kelamin

Tanda-tanda dan gejala klinis tuberculosis (Depkes RI, 2005) :


1. Pada orang Dewasa
Gejala TB pada orang dewasa umumnya penderita mengalami batuk dan berdahak
terus-menerus selama 3 minggu atau lebih, batuk darah atau pernah batuk darah. Adapun
gejala-gejala lain dari TB pada orang dewasa adalah sesak nafas dan nyeri dada, badan
lemah, nafsu makan dan berat badan menurun, rasa kurang enak badan (malaise),
berkeringat malam, walaupun tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari sebulan.
2. Pada anak-anak
Gejala umum, meliputi :

a. Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas dan tidak naik
dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi yang baik.
b. Demam lama atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifus, malaria atau infeksi
saluran nafas akut) dapat disertai dengan keringat malam.
c. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit, paling sering didaerah leher,
ketiak dan lipatan paha.
d. Gejala dari saluran nafas, misalnya batuka lebih dari 30 hati (setelah disingkirkan
sebab lain dari batuk), tanda cairan di dada dan nyeri dada
e. Gejala dari saluran cerna, misalnya diare berulang yang tidak sembuh dengan
pengobatan diare, benjolan (massa) di abdomen, dan tanda-tanda cairan dalam
abdomen

Cara penularan tuberculosis (Depkes RI, 2014) :


1. Sumber penularan adalah pasien TB BTA (Basil Tahan Asam) positif.
2. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan
dahak.
3. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu
yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari
langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam
keadaan yang gelap dan lembab.
4. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari
parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular
pasien tersebut.
5. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi
percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

2.2 Golongan Obat Tuberculostatik


Obat yang digunakan untuk tuberculosis digolongkan atas dua kelompok yaitu
kelompok obat lini pertama dan obat lini kedua. Kelompok obat lini pertama yaitu isoniazid,
rifampisin, etambutol, streptomisin, dan pirazinamid memperlihatkan efektivitas yang tinggi
dengan toksisitas yang dapat diterima. Sebagian besar pasien dapat disembuhkan dengan
obat-obat ini. Walaupun demikian kadang digunakan obat yang lain yang kurang efektif
karena pertimbangan resistensi atau kontra indikasi pada pasien. Antituberkulosis lini kedua
adalah antibiotik golongan fluorokuinolon (siprofloksasin, ofloksasin, levofloksasin),
sikloserin, etionamid, amikasin, kanamisin, kapreomisin, dan paraaminosalisilat (Gunawan,
Sulistia Gan, 2007).
Obat umumnya dibagi dalam obat-obat primer dan obat-obat sekunder (Tjay dan
Rahardja, 2007):
1. Obat primer
INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol. Obat-obat ini paling efektif dan
paling rendah efek toksisitasnya, tetapi menimbulkan resistensi dengan cepat bila
digunakan sebagai obat tunggal. Maka terapi selalu dilakukan dengan kombinasi dari 3-4
obat. Suku-suku yang sekaligus kebal terhadap dua atau lebih jenis obat sangat jarang
terjadi. Yang paling banyak digunakan adalah kombinasi INH, rifampisin, dan
pirazinamida.
2. Obat sekunder
Streptomisin, klofazimin, fluorkinolon, dan sikloserin. Obat ini memiliki kegiatan
yang lebih lemah dan bersifat lebih toksis, maka hanya digunakan bila terdapat resistensi
atau intoleransi terhadap obat primer, juga terhadap infeksi MAI pada pasien HIV.
Panduan penggunaan yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan TB oleh
pemerintah Indonesia (Depkes RI, 2005):
Kategori 1 2HRZE/4H3R3

2HRZE/4HR

2HRZE/6HE

Kategori 2 2HRZES/HRZE/5H3R3E3

2HRZES/HRZE/5HRE

Kategori 3 2HRZ/4H3R3

2HRZ/4HR

2HRZ/6HE
Tabel 1. Panduan Pengobatan standar yang direkomendasikan oleh WHO dan IUATLD
Kode huruf tersebut adalah akronim dari nama obat yang dipakai, yakni (Depkes RI,
2005):
H = Isoniazid
R = Rifampisin
Z = Pirazinamid
E = Etambutol
S = Streptomisin
Sedangkan angka yang ada dalam kode menunjukkan waktu atau frekuensi. Angka 2
didepan seperti pada 2HRZE artinya digunakan selama 2 bulan, tiap hari satu kombinasi
tersebut, sedangkan untuk angka dibelakang huruf, seperti pada 4H3R3 artinya dipakai 3
kali seminggu (selama 4 bulan)
a. Kategori 1 (2HRZE/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama 2 bulan. Kemudian
diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR diberikan tiga kali dalam
seminggu selama 4 bulan
Obat ini diberikan untuk:
1. Penderita baru TB Paru BTA positif
2. Penderita baru TB Paru BTA negatif Rontgen Positif yang sakit berat
3. Penderita TB Ekstra Paru berat
Tahap Lama Dosis per hari/kali Jumlah
pengobatan pengobatan Tablet Tablet Tablet Tablet blister

isoniazid rifampisin pirazinamid etambutol harian

@300 mg @450 mg @500 mg @250 mg *)

Tahap intensif
2 bulan 1 1 3 3 56
(dosis harian)

Tahap lanjutan
(dosis 3x 4 bulan 2 1 - - 48
seminggu)

Tabel 2. Panduan OAT kategori 1 dalam paket komblpak untuk penderita dengan berat badan antara 33-50
k
b. Kategori 2
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan yang terdiri dari 2 bulan dengan HRZES
setiap hari. Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan
tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu.
Obat ini diberikan untuk penderita TB paru BTA (+) yang sebelumnya pernah
diobati, yaitu:
1. Penderita kambuh
2. Penderita gagal
3. Penderita dengan pengobatan setelah lalai

Dosis per hari/kali


Tahap Tablet Tablet
Lama Kaplet Tablet Tablet Vial
pengobatan isoniazid etambutol
pengobatan rifampisin pirazinamid etambutol streptomisin
@300 @ 500
@450 mg @500 mg @ 250 mg @ 1,5 gr
mg mg

Tahap
intensif
2 bulan 1 1 3 3 - 0,75 gram
(dosis
harian)

Dilanjutkan 1 bulan 1 1 3 3 - -

Tahap
lanjutan
5 bulan 2 1 - 1 2 -
(dosis 3 x
seminggu)

Tabel 3. Panduan OAT Kategori 2 dalam paket komblpak untuk penderita berat badan 33-50 kg

c. Kategori 3
Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ).
Diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali
seminggu.
Obat ini diberikan untuk:
1. Penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan
2. Penderita TB ekstra paru ringan
Tablet Tablet Tablet Jumlah
Tahap Lama
isoniazid rifampisin pirazinamid blister
pengobatan pengobatan
@300 mg @450 mg @500 mg harian

Tahap intensif
2 bulan 1 1 2 56
(dosis harian)

Tahap lanjutan
(dosis 3x 4 bulan 2 1 - 50
seminggu)
Tabel 4. Panduan OAT Kategori 3 dalam paket komblpak untuk penderita dengan berat badan antara 33-55
kg

2.3 Mekanisme Kerja, Farmakokinetik, dan Efek Samping Obat Tuberculostatik


1. Isoniazid
Isoniazid dari asam isonikotinat, adalah suatu analog sintesis piridoksin. Isoniazid
adalah obat anti tuberculosis yang paling poten, tetapi tidak pernah diberikan sebagai
obat tunggal dalam pengobatan tuberculosis aktif. Penemuannya membuat revolusi
dalam pengobatan tuberculosis Mycek, Mary J., dkk. 2001).
a. Indikasi
Obat ini diindikasikan untuk terapi semua bentuk tuberkulosis aktif,
disebabkan kuman yang peka dan untuk profilaksis orang berisiko tinggi
mendapatkan infeksi. Dapat digunakan tunggal atau bersama-sama dengan
antituberkulosis lain (Depkes RI, 2005).

b. Dosis
Untuk pencegahan, dewasa 300 mg satu kali sehari, anak anak 10 mg per
berat badan sampai 300 mg, satu kali sehari. Untuk pengobatan TB bagi orang
dewasa sesuai dengan petunjuk dokter atau petugas kesehatan lainnya. Umumnya
dipakai bersama dengan obat anti tuberkulosis lainnya. Dalam kombinasi biasa
dipakai 300 mg satu kali sehari, atau 15 mg per kg berat badan sampai dengan 900
mg, kadang kadang 2 kali atau 3 kali seminggu.
Untuk anak dengan dosis 10 - 20 mg per kg berat badan. Atau 20 – 40 mg
per kg berat badan sampai 900 mg, 2 atau 3 kali seminggu (Depkes RI, 2005).
c. Kontra indikasi
Kontra indikasinya adalah riwayat hipersensistifitas atau reaksi adversus,
termasuk demam, artritis, cedera hati, kerusakan hati akut, tiap etiologi (Depkes RI,
2005).
d. Mekanisme Kerja
Isoniazid sering disebut dengan INH, dipercaya bekerja pada enzim yang
berperan untuk penyusunan asam mikoleat ke dalam lapisan luar mikrobakteri suatu
struktur yang unik untuk mikroorganisme yang unik. Asam mikoleat ini penting
untuk sifat tahan asam (acid-fastness) dari mikrobakteri tersebut : sifat tahan asam
ini hilang setelah tercampur dengan isoniazid (Mycek, Mary J., dkk. 2001)
Efek utamanya ialah menghambat biosintesis asam mikolat (mycolic acid)
yang merupakan unsur penting dinding sel mikrobakterium. Isoniazid kadar rendah
mencegah perpanjangan rantai asam lemak yang sangat panjang yang merupakan
bentuk awal molekul asam mikolat. Isoniazid menghilangkan sifat tahan asam dan
menurunkan jumlah lemak yang terekstraksi oleh metanol dari mikrobakterium.
Hanya kuman peka yang menyerap obat ke dalam selnya, dan ambilan ini
merupakan proses aktif (Gunawan, Sulistia Gan, 2007).
e. Spektrum anti bakteri
Untuk basil-basil yang berada dalam fase stationary. Obat isoniazid bersifat
bakteriostatik, tetapi untuk organisme yang sedang membelah diri secara cepat,
isoniazid bersifat bakterisidal. INH efektif terhadap bakteri intraseluler. Isoniazid
khusus untuk pengobatan Mycobacterium tuberculosis (Mycek, Mary J., dkk.
2001).
f. Farmakokinetik
Isoniazid di absorbsi dengan mudah per-oral. Absorbsi terganggu jika
diminum bersama makanan, terutama karbohidrat, atau antasida yang mengandung
aluminium. INH berdifusi ke saluran cairan tubuh, sel-sel tubuh dan bahan kaseosa
(jaringan nekrotik seperti keju) kadarnya dalam cairan kira-kira sama dengan kadar
serum. Jaringan yang terinfeksi cenderung menahan obat tersebut lebih lama.
Obat tersebut mudah menembus sel-sel pejamu dan efektif terhadap basil-
basil yang sedang tumbuh dalam sel. INH mengalami N-asetilasi dan hidrolisis,
yang menghasilkan produk-produk tidak aktif. Asetilasi diatur secara genetika :
trait asetilator cepat bersifat autosomal dominan. Terdapat distribusi bimodal dari
asetilator cepat dan asetilator lambat (Mycek, Mary J., dkk. 2001).
g. Efek samping
Pada dosis normal (200-300 mg) jarang dan ringan (gatal-gatal, ikterus), tetapi
lebih sering terjadi bila dosis melebihi 400 mg. Yang terpenting adalah polineuritis,
yakni radang saraf dengan gejala kejang dengan gangguan pengelihatan (Tjay dan
Rahardja, 2007).
2. Rifampisin
Rifampisin berasal dai jamur Streptomices, mempunyai aktivitas antimikroba
yang lebih luas dari pada isoniazid dan telah ditemukan penggunaannya pada infeksi-
infeksi bakteri. Karena strain-strain yang resisten timbul dengan cepat selama terapi,
rifampisin tidak pernah diberikan sebagai obat tuberculosis aktif (Mycek, Mary J., dkk.
2001).
a. Indikasi
Diindikasikan untuk obat antituberkulosis yang dikombinasikan dengan
antituberkulosis lain untuk terapi awal maupun ulang (Depkes RI, 2005)
b. Dosis
Untuk dewasa dan anak yang beranjak dewasa 600 mg satu kali sehari, atau
600 mg 2 – 3 kali seminggu. Rifampisin harus diberikan bersama dengan obat anti
tuberkulosis lain.
Bayi dan anak anak, dosis diberikan dokter atau tenaga kesehatan lain
berdasarkan atas berat badan yang diberikan satu kali sehari maupun 2-3 kali
seminggu. Biasanya diberikan 7,5 – 15 mg per kg berat badan. Anjuran Ikatan
Dokter Anak Indonesia adalah 75 mg untuk anak < 10 kg, 150 mg untuk 10 – 20 kg,
dan 300 mg untuk 20 -33 kg (Depkes RI, 2005).
c. Mekanisme kerja

Rifampisin menghambat transkripsi dengan cara berinteraksi dengan -subunit

RNA polimerase bakterial tergantung DNA, sehingga mengahambat sintesis RNA


dengan menekan langkah permulaan. Obat tersebut spesifik untuk prokariot (Mycek,
Mary J., dkk. 2001).
d. Spektrum antimikroba
Rifampisin bersifat bakterisidal terhadap mikobakterium intraseluler dan
ektraseluler, termasuk Mycobacterium teberculosis, mikobakteri atipik dan
Mycobacterium leprae. Rifampisin efektif terhadap banyak organisme Gram (+) dan
gram (-) dan sering digunakan secara profilaksis untuk anggota rumah tangga yang
terpapar dengan meningitis yang disebabkan oleh meningokokus atau Haemophylus
influenzae (Mycek, Mary J., dkk. 2001).
e. Farmakokinetik
Absorbsi cukup setelah pemberian oral. Distribusi rifampisin terjadi keseluruh
organ tubuh. Kadar yang cukup dicapai dalam serebrospinalis bahkan walaupun tidak
ada. Radang obat tersebut diambil oleh hati dan mengalami siklus enterohepatik.
Rifampisin sendiri dapat menginduksi oksidase fungi campuran dalam hati,
menyebabkan pemendekan waktu-paruh. Eliminasi melalui empedu ke dalam tinja
dan melalui urine sebagai metabolit dan obat induk. Urine dan fases serta sekresi
lainnya mempunyai warna merah-oranye (Mycek, Mary J., dkk. 2001).
f. Efek samping
Efek samping adalah suatu masalah ringan dengan rifampisin, tetapi dapat
meliputi mual, muntah, ruam dan demam. Obat tersebut harus digunakan secara hati-
hati pada penderita dengan kegagalan hati sebab ikterus yang terjadi pada penderita
penyakit hati kronik, peminum alkohol, atau pada pemula (Mycek, Mary J., dkk.
2001).
3. Pirazinamid
Pirazinamid adalah suatu obat antituberkulosis sintetik peroral yang efektif dan
bersifat bakterisidal yang digunakan bersama-sama dengan isoniazid dan rifamisin.
Pirazinamid bersifat bakterisidal terhadap organisme yang aktif membelah diri.
Pirizinamid harus dihidrolisis secara enzimatik menjadi asam pirazinoat yang merupakan
bentuk aktif dari pirazinamid. Pirazinamid aktif terhadap basil tuberculosis dalam
lingkungan asam lisosme dan dalam makrofag (Mycek, Mary J., dkk. 2001).
a. Indikasi
Digunakan untuk terapi tuberkulosis dalam kombinasi dengan anti tuberkulosis
lain (Depkes RI, 2005).
b. Dosis
Dewasa dan anak sebanyak 15 – 30 mg per kg berat badan, satu kali sehari.
Atau 50 – 70 mg per kg berat badan 2 – 3 kali seminggu. Obat ini dipakai bersamaan
dengan obat anti tuberkulosis lainnya (Depkes RI, 2005).
c. Kontra indikasi
Terhadap gangguan fungsi hati parah, porfiria, hipersensitivitas (Depkes RI,
2005).
d. Mekanisme kerja
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan
suasana asam. Mekanisme kerja, berdasarkan pengubahannya menjadi asam
pyrazinamidase yang berasal dari basil tuberkulosa (Depkes RI, 2005).
e. Farmakokinetik
Pirazinamid cepat terserap dari saluran cerna. Kadar plasma puncak dalam
darah lebih kurang 2 jam, kemudian menurun. Waktu paro kira-kira 9 jam.
Dimetabolisme di hati. Diekskresikan lambat dalam kemih, 30% dikeluarkan sebagai
metabolit dan 4% tak berubah dalam 24 jam (Depkes RI, 2005).
f. Efek samping
Hepatotoksisitas, termasuk demam anoreksia, hepatomegali, ikterus, gagal hati,
mual, muntah, artralgia, anemia sideroblastik, urtikaria (Depkes RI, 2005)
4. Etambutol
Etambutol bersifat bakteriostatik dan spesifik untuk sebagian besar strain
Mycobacterium tuberculosis dan Mycobacterium kansasii. Resistensi bukanlah
merupakan masalah yang serius jika obat diberikan bersamaan dengan obat-obat anti
tuberculosis lainya. Etambutol dapat digunakan dalam kombinasi dengan pirazinamid,
isoniazid, rifampisin untuk mengobati tuberculosis (Mycek, Mary J., dkk. 2001).
a. Indikasi
Etambutol digunakan sebagai terapi kombinasi tuberkulosis dengan obat lain,
sesuai regimen pengobatan jika diduga ada resistensi. Jika risiko resistensi rendah,
obat ni dapat ditinggalkan. Obat ini tidak dianjurkan untuk anak-anak usia kurang 6
tahun, neuritis optik, gangguan visual (Depkes RI, 2005).
b. Dosis
Untuk dewasa dan anak berumur diatas 13 tahun, 15 -25 mg mg per kg berat
badan, satu kali sehari. Untuk pengobatan awal diberikan 15 mg / kg berat badan,
dan pengobatan lanjutan 25 mg per kg berat badan. Kadang kadang dokter juga
memberikan 50 mg per kg berat badan sampai total 2,5 gram dua kali seminggu.
Obat ini harus diberikan bersama dengan obat anti tuberkulosis lainnya. Tidak
diberikan untuk anak dibawah 13 tahun dan bayi (Depkes RI, 2005).
c. Kontra indikasi
Hipersensitivitas terhadap etambutol seperti neuritis optik (Depkes RI, 2005).
d. Mekanisme kerja
Bersifat bakteriostatik, dengan menekan pertumbuhan kuman TB yang telah
resisten terhadap Isoniazid dan streptomisin. Mekanisme kerja, berdasarkan
penghambatan sintesa RNA pada kuman yang sedang membelah, juga
menghindarkan terbentuknya mycolic acid pada dinding sel (Depkes RI, 2005).
e. Farmakokinetik
Pada pemberian oral, etambutol didistribusikan dengan baik ke seluruh tubuh.
Penetrasi ke susunan saraf pusat cukup untuk terapi pada meningitis tuberculosis.
Obat induk dan metabolitnya di ekskresi oleh filtrasi glomeruli dan sekresi tubuli
(Mycek, Mary J., dkk. 2001).
Obat ini diserap dari saluran cerna. Kadar plasma puncak 2-4 jam; ketersediaan
hayati 77+ 8%. Lebih kurang 40% terikat protein plasma. Diekskresikan terutama
dalam kemih. Hanya 10% berubah menjadi metabolit tak aktif. Klearaesi 8,6% + 0,8
% ml/menit/kg BB dan waktu paro eliminasi 3.1 + 0,4 jam. Tidak penetrasi meninge
secara utuh, tetapi dapat dideteksi dalam cairan serebrospina pada penderita dengan
meningetis tuberkulosa (Depkes RI, 2005).
f. Efek samping
Efek samping yang paling penting adalah neuritis optikus yang menyebabkan
berkurangnya ketajaman pengelihatan dan hilangnya kemampuan untuk
membedakan warna antar merah dan hijau. Ketajaman pengelihatan harus diperiksa
secara bekala. Penghentian obat menghasilkan perbaikan gejala-gejala toksik. Selain
itu, ekskresi asam urat berkurang oleh etambutol, sehingga dapat menyebabkan
kekambuhan penyakit (Mycek, Mary J., dkk. 2001).
Efek samping yang muncul antara lain gangguan penglihatan dengan
penurunan visual, buta warna dan penyempitan lapangan pandang. Gangguan awal
penglihatan bersifat subjektif bila hal ini terjadi maka etambutol harus segera
dihentikan. Bila segera dihentikan, biasanya fungsi penglihatan akan pulih. Reaksi
adversus berupa sakit kepala, disorientasi, mual, muntah dan sakit perut (Depkes RI,
2005).
5. Streptomisin
a. Indikasi
Sebagai kombinasi pada pengobatan TB bersama isoniazid, Rifampisin, dan
pirazinamid, atau untuk penderita yang dikontra indikasi dengan 2 atau lebih obat
kombinasi tersebut (Depkes RI, 2005).
b. Dosis
Obat ini hanya digunakan melalui suntikan intra muskular, setelah dilakukan
uji sensitifitas. Dosis yang direkomendasikan untuk dewasa adalah 15 mg per kg
berat badan maksimum 1 gram setiap hari, atau 25 – 30 mg per kg berat badan,
maksimum 1,5 gram 2 – 3 kali seminggu. Untuk anak 20 – 40 mg per kg berat badan
maksimum 1 gram satu kali sehari, atau 25 – 30 mg per kg berat badan 2 – 3 kali
seminggu. Jumlah total pengobatan tidak lebih dari 120 gram (Depkes RI, 2005).
c. Kontra indikasi
Hipersensitifitas terhadap streptomisin sulfat atau aminoglikosida lainnya
(Depkes RI, 2005).
d. Mekanisme kerja
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang sedang membelah.
Mekanisme kerja berdasarkan penghambatan sintesa protein kuman dengan jalan
pengikatan pada RNA ribosomal (Depkes RI, 2005).
e. Farmakokinetik
Absorpsi dan nasib Streptomisn adalah kadar plasma dicapai sesudah suntikan
im 1 – 2 jam, sebanyak 5 – 20 mcg/ml pada dosis tunggal 500 mg, dan 25 – 50
mcg/ml pada dosis 1. Didistribusikan kedalam jaringan tubuh dan cairan otak, dan
akan dieliminasi dengan waktu paruh 2 – 3 jam kalau ginjal normal, namun 110 jam
jika ada gangguan ginjal (Depkes RI, 2005).
f. Efek samping
Efek samping akan meningkat setelah dosis kumulatif 100 g, yang hanya boleh
dilampaui dalam keadaan yang sangat khusus (Depkes RI, 2005).

2.4 Keamanan Pada Ibu Hamil dan Menyusui

Obat anti tuberkulosis lini pertama seperti rifampisin, isoniazid, etambutol dan
pirazinamid tergolong dalam kategori C berdasarkan Food and Drug
Administration(FDA). Rifampisin, etambutol, dan pirazinamid dapat melewati air susu
ibu namun dengan jumlah minimal (0,5-6%) sehingga efek pada bayi minimal atau
hampir tidak ada. Isoniazid dapat terkandung dalam air susu ibu lebih tinggi (6,4-25%),
memiliki efek samping neurotoksik dan berpotensi mengganggu metabolisme asam
nukleat serta hepatotoksisitas pada ibu, namun tetap aman untuk bayi yang disusui.

Ibu menyusui dengan tuberkulosis paru aktif yang sedang dalam terapi isoniazid
harus diberikan suplemen piridoksin dengan dosis 14-25 mg/hari serta diperiksakan
secara berkala untuk mendeteksi neuritis perifer dan fungsi hepar untuk memantau efek
hepatotoksisitas yang mungkin timbul.Rifampisin aman diberikan kepada ibu yang
sedang menyusui, namun konsumsi rifampisin bersamaan dengan kontrasepsi hormonal
akan menurunkan efektivitas dari kontrasepsi hormonal tersebut sehingga ibu menyusui,
jika mendapat terapi tuberkulosis paru terutama rifampisin, sebaiknya menggunakan
pilihan kontrasepsi selain hormonal.
Obat anti tuberkulosis lini kedua sebagian besar masuk ke golongan D dalam
kategori FDA terutama golongan aminoglikosida seperti streptomisin, kanamisin, dan
amikasin. Streptomisin tidak boleh diberikan pada ibu hamil karena melewati sawar
plasenta dan menimbulkan efek teratogenik pada fetus, namun dapat diberikan pada ibu
menyusui karena tidak menyebabkan risiko ototoksisitas pada bayi yang menyusui dari
ibu yang menerima streptomisin karena diabsorbsi sangat sedikit di usus. Obat lainnya
seperti siklosferin dan golongan fluorokuinolon (levofloksasin, moxifloksasin) masih
minim terhadap efek samping pada ibu menyusui, sehingga pemberiannya harus dengan
perhatian dan pengawasan yang lebih ketat.

2.5 Definisi Leprostatik


Lepra atau kusta (bahasa sansekerta) adalah suatu penyakit infeksi kronis yang
merusak terutama jaringan saraf dan kulit. Penyebabnya Mycobacterium leprae ditemukan
oleh dokter Norwegia Hansen, maka lepra juga disebut penyakit hansen. Basil lepra mirip
sifatnya dengan basil TBC, yakni sangat ulet karena mengandung banyak lilin (wax) yang
sukar ditembus obat, tahan-asam dan pertumbuhannya sangat lambat sekali (Tjay dan
Rahardja, 2007).
Lepra (penyakit Hansen) disebabkan Mycobacterium leprae. Basil-basil dari lesi kulit
atau sekret hidung seseorang penderita lepra masuk ke individu yang peka melalui kulit atau
saluran napas. WHO menganjurkan regimen tiga macam obat yaitu dapson, slofamizin, dan
rifampisin selama 6 sampai 24 bulan (Nugroho, 2012).
Penyakit lepra di Indonesia cukup banyak dan memerlukan perhatian yang serius.
Antilepra golongan sulfon, rifampisin, klofazimin, amitiozon dan obat-obat lain serta
pengobatan lepra. WHO menganjurkan pnggunaan kombinasi 3 obat sekaligus yaitu dapson,
rifampisin dan klofamizin untuk pemberantasan global penyakit lepra (Gunawan, Sulistia
Gan, 2007).
Lazimnya kusta dibagi dalam 3 bentuk klinis dengan sifat-sifat khusus, yakni (Tjay
dan Rahardja, 2007):
a. Lepra Tuberkuloid (LT) jugadisebut lepra paucibacillair adalah bentuk terlokalisasi
dengan 1-5 luka. Bentuk ini paling sering terjadi, tidak bersifat menulardan agak mudah
disembuhkan.
b. Lepra Lepromateus (LL) juga disebut lepra multibacillair adalah bentuk tersebar yang
bersifat sangat menular, lebih sukar dan lebih lama disembuhkan.
c. Lepra Borderline (LB) adalah kombinasi Lepra tuberkuloid dan Lepra lepromateus.
Reaksi lepra adalah reaksi imunologi serius terhadap Mycobacterium leprae
yangterjadi selama pengobatan. Reaksi lepra dibagi menjadi dua tipe, yaitu (Tjay dan
Rahardja, 2007):
a. Tipe I, menimbulkan exacerbasi mendadak dari luka-luka kulit dan saraf yang meradang
dan membengkak.
b. Tipe II, terjadi hanya pada Lepra lepromateus sebagai reaksi imun humoral terhadap
antigen basil lepra.
2.6 EPIDEMOLOGI
Maslah Epidemologi masih belum terpecahkan. Cara penularannya saja belum
diketahui dengan pasti, hanya berdasrkan anggapan yang klasik ialah melalui kontak
langsung antar kulit yang lama dan erat. Penyebaran penyakit kusta dari suatu benua,negeri
dan tempat; ke benua, negeri dan tempat lain sampai tersebar ke seluruh dunia disebabkan
oleh perpindahan orang-orang yang telah terkena penyakit tersebut.

Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman mencapai permukaan kulit melalui Folikel
rambut, kelenjar keringat,dan air susu ibu jarang didapat. Dalam urin Sputum dapat banyak
mengandung M Leprae yang berasal dari Traktus Respiratorius atas. Tempat imlantasi tidak
selalu menjadi tempat lesi pertama. Dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan
daripada orang dewasa.

2.7 GEJALA KLINIS

Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada gambaran klinis, Bakterioskopis,


Hispatologis, diantara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang terpenting yang paling
sederhana, hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit 15-30 menit, sedang
Hispatologis memerlukan 3-7 hari. Kalau masih memungkinkan, baiknya juga dilakukan tes
Lepromim (mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, yang hasilnya baru diketahui setelah
3-4 minggu tidak cukup hanya sampai diagnosis kusta saja, tetapi perlu ditentukan tipenya,
sebab penting untuk terapinya.

Setelah basil M.Leprae masuk kedalam tubuh, bergantung pada kerentanan orang
tersebut, kalau tidak rentan tidak akan sakit dan sebaliknya jika rentan setelah masa tunasnya
dilampaui akan timbul gejala penyakitnya. Untuk selanjutnya tipe apa yang akan terjadi pada
derita C.M.I (Cellmediated Immunity) penderita terhadap M.Leprae yang Intraseluler Obligat
itu, kalau C.M.I tinggi kearah Lepromatosa, agar proses selanjunya lebih jelas.

Kusta terkenal sebagai penyakit yang paling ditakuti karena Deformitar atau cacat
tubuh orang awampun dengan mudah dapat menduga kearah penyakit kusta. Yang penting
bagi kita sebagai dokter dan ahli kesehatan lainnya, bahkan barang kali para ahli kecantikan,
adalah dapat mendiagnosis, setidaknya menduga kearah penyakit kusta terutama bagi
kelainan kulit yang masih berupa Makula yang Hipopigmentasi, hiperpigmentasi, dan
Eritematosa. Kelainan kulit yang tanpa komplikasi pada penyakit kusta dapat hanya
berbentuk Makula saja, Infiltrat saja, atau keduanya. Harus berhati-hati dan buatlah diagnosis
banding dengan banyak pennyakit kulit lainnya yang hampir menyerupainya. Sebab penyakit
kusta ini mendapat julukan The Greatest Immitator pada ilmu penyakit kulit. Penyakit kulit
lain yang harus diperhatikan sebagai diagnosis banding antara lain adalah : Dermatofitosis,
Tinea, versikolor, Pitiriasisrosea, Pitiriasisalba, dermatitis seboroika, Granuloma Anulare,
Xantomatosis, Skleroderma, Leukomia Kutis, Tuberkolosis Kutis Verukosa, dan BirthMark.

2.8 PENULARAN

Melalui kontak dengan air, tanah atau tannaman yang telah dikotori oleh air seni hewan
penderita leptospirosis. Bakteri masuk melalui selaput lendir (mukosa) mata, hidung, kulit yang
lecet.masa inkubasi selama 4-19 hari

Penularan pada umumnya terjadi dalam bentuk Lepra Leptomatrus, pada usia kanak-
kanak melalui infeksi tetes disaluran pernafasan (batuk, bersin, ingus) dan terutama melalui
kontak yang erat dan lama.

2.9 Pengobatan

1. Lepra tipe PB
Jenis dan obat untuk orang dewasa
Pengobatan bulanan : Hari pertama (diminum didepan petugas)
a. 2 kapsul Rifampisin 300 mg (600 mg)
b. 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg)
Pengobatan hari ke 2-28 (dibawa pulang)
a. 1 tablet dapson (DDS 100 mg) 1 Blister untuk 1 bulan
Lama pengobatan : 6 Blister diminum selama 6-9 bulan
2. Lepra tipe MB
Jenis dan dosis untuk orang dewasa :
Pengobatan Bulanan : Hari pertama (Dosis diminum di depan petugas)
a. 2 kapsul Rifampisin 300 mg (600 mg)
b. 3 kapsul Lampren 100 mg (300 mg)
c. 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg)
Pengobatan Bulanan : Hari ke 2-28
a. 1 tablet Lampren 50 mg
b. 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg) 1 blister untuk 1 bulan
Lama Pengobatan : 12 Blister diminum selama 12-18 bulan

2.10 Dosis, Mekanisme Kerja dan Efek Samping Obat Leprostatik

1. Dapson
Diaminodifenilsulfon, DDS, suatu inhibitor folat sintese Daya kerja
leprostatisnya kuat berdasarkan persaingan substrat dengan PABA serta inhibisi enzim
folat sintetase. bersifat bakteriostatik yaitu menghalangi atau menghambat pertumbuhan
kuman Mycobacterium Leprae.
Penggunaan selalu dalam kombinasi dengan obat-obat lain karena monoterpi
dengan cepat menimbulkan resisten.
a. Indikasi
Dapson adalah obat untuk mengobati kusta atau lepra dan kelainan kulit tertentu
(dermatitis herpetiformis).
Obat ini juga dapat digunakan untuk mengobati atau mencegah pneumocystis
pneumonia, toksoplasmosis, dan untuk mengobati kelainan kulit akibat gangguan system
kekebalan tubuh tertentu.
b. Kontraindikasi
Berhati-hati sebelum menggunakan dapson bagi yang memiliki penyait jantung,
penyakit paru, anemia. Untuk ibu hamil dan menyusui disarankan berkonsultasi kepada
dokter sebelum mengkonsumsi dan menggunakan obat ini
c. Dosis
untuk dewasa 100 mg/ hari dan untuk anak-anak 1-2 mg/kg BB / hari.
d. Mekanisme Kerja
Dapson mempunyai aksi menghambat pembentukan asam folat pada
Mycobacterium leprae karena struktur kimianya mirip dengan PABA (Nugroho, 2012)

e. Efek samping
Sakit kepala, mual, muntah, sukar tidur, dan tachycardia. Pada dosis lebih tinggi
dapat terjadi kelainan darah.
2. Klofazimin
Obat ini memiliki khasiat leprostatik yang sama kuatnya dengan dapson. sifat
bakteriostatiknya menghambat pertumbuhan kuman Mycobacterium Leprae dan anti
reaksi (menekan reaksi).

Setelah pengobatan beberapa bulan sebagian basil di dalam mukosa dan kulit
dimusnahkan, kecuali di tempat-tempat yang sulit, misalnya saraf dan otot-otot polos
yang memerlukan waktu lebih lama. Sama dengan waktu yang diperlukan dapson untuk
mengeluarkan seluruh kuman mati dari jaringan. Klofazimin juga berkhasiat anti radang
dan mencegah terjadinya benjol-benjol pada bentuk –L.

a. Indikasi
Digunakan sebagai terapi lini pertama untuk penyakit kusta atau lepra. Jenis
multibasiler yang dikombinasikan dengan obat dapson dan ripamficin. Selain itu juga
digunakan sebagai terapi dari reaksi kusta tipe 2, terapi lini kedua dari tuberculosis serta
penanganan TB MDR
b. Dosis
50 mg/hari atau selang sehari, atau 3 x 100 mg setiap minggu.
c. Efek samping
Efek samping terpenting berupa pewarnaan merah yang reversibel dari kemih,
keringat, air mata dan selaput mata, ludah dan tinja. Gangguan lambung dan usus
biasanya terjadi sesudah 6 bulan. Lebih serius adalah pengendapan kristal pada
dinding usus dan cairan mata (Tjay dan Rahardja, 2007).

3. Rifampisin
Antibiotik ini merupakan obat satu-satunya yang bekerja leprosid terhadap
basil lepra. Kerjanya lebih cepat dan efektif daripada dapson. sifatnya mematikan kuman
Mycobacterium Leprae (bakterisid). Rifampisin merupakan obat kombinasi dengan DDS
(Duamino Diphenyl Suffone) dengan dosis 10 mg / Kg BB, diberikan setiap hari atau
setiap bulan. Rifampisin tidak boleh diberikan secara monotheraphy karena dapat
memperbesar terjadinya resistensi, efek sampingnya yaitu kerusakan pada hati dan ginjal.
Dalam waktu 3-4 minggu bentuk – L yang ganas sudah menjadi tidak bersifat menular
lagi.
a. Efek samping
kemih berwarna merah muda
b. Interaksi obat
akibat induksi enzim, rifampisin dapat mengurangi efekestrogen (pil anti
hamil), fenitonin,siklosporin dan turunan kumarin.
c. Indikasi
Untuk pengobatan lepra, digunakan dalam kombinasi dengan senyawa
leprotik lain.
d. Kontra indikasi
Penderita yang hipersensitif terhadap obat ini, Penderita jaundice, porfiria.
e. Dosis
Dosis yang dianjurkan adalah 10 mg/kg BB.
1.Penggunaan bersama PAS akan menghambatabsorbsi, sehingga harus ada
selang waktu 8 -12 jam.
2.Rifampicin mengganggu efektivitas absorbstolbutamid, ketoconazole.

2.11 KEMANAN PADA IBU HAMIL DAN MENYUSUI

Tidak ada penelitian yang memadai mengenai risiko penggunaan obat-obat ini pada ibu
hamil atau menyusui.Obat ini (dapson, clofazimine, rifampicin ) termasuk ke dalam risiko
kehamilan kategori  C menurut US Food and Drugs Administration (FDA).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium Tuberculostatik). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi
dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
2. Lepra atau kusta (bahasa sansekerta) adalah suatu penyakit infeksi kronis yang merusak
terutama jaringan saraf dan kulit. Penyebabnya Mycobacterium leprae.

3.2 Saran
Saran yang paling tepat untuk mencegah penyakit tuberkulosis dan lepra adalah
meningkatkan daya tahan tubuh dengan makanan bergizi, serta penderita dituntut untuk
minum obat secara benar sesuai yang dianjurkan oleh dokter serta teratur untuk
memeriksakan diri ke klinik/puskesmas.

Anda mungkin juga menyukai