B. Kewajiban
Fungsi Supervisior
Untuk menyelesaikan masalah sebisanya tanpa harus ditangani oleh atasan atau
manager
Berfungsi untuk penghubung antara Staf dan Manager
Berfungsi untuk membantu tugas Staf Bawahan
Berfungsi menampung segala keluhan dari Tamu dan Customer yang disampaikan
melalui Staf untuk disampaikan ke manager
A. Preceptorship
1. Pengertian Preceptorship
Bimbingan klinik adalah segala bentuk tindakan edukatif yang dilaksanakan oleh pembimbing
klinik untuk memberikan pengetahuan nyata secara optimal dan membantu peserta didik agar
mencapai kompetensi yang diharapkan. Tujuan pelaksanaan bimbingan klinik yaitu membantu
peserta didik menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat praktek, memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari dikelas
secara terintegrasi ke situasi nyata, dan mengembangkan potensi peserta didik dalam menampilkan
perilaku atau keterampilan yang bermutu ke situasi nyata dalam praktek. Selain itu, bimbingan klinik
juga bertujuan untuk memberi kesempatan kepada peserta didik mencari pengalaman kerja secara
tim dalam membantu proses kesembuhan klien, memberi pengalaman awal dan memperkenalkan
kepada peserta didik tentang situasi kerja profesional kebidanan, dan membantu peserta didik
mengatasi masalah yang dihadapi di lahan praktek, serta membantu peserta didik dalam mencapai
tujuan praktek klinik.
Menurut Mahen dan Clark (1996), preceptor adalah seorang perawat/bidan yang mengajar,
memberikan bimbingan, dapat menginspirasi rekannya, menjadi tokoh panutan (Role model), serta
mendukung pertumbuhan dan perkembangan individu (trainee) untuk jangka waktu tertentu
dengan tujuan khusus mensosialisasikan trainee pada peran barunya. Tujuan dari model
preceptorship sendiri dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu makro (skala luas) dan mikro
(skala individu).
Secara mikro bertujuan untuk melibatkan pengembangan bidan didalam organisasi. Shamian
dan Inhaber (1985) menyatakan bahwa model preceptorship digunakan sebagai alat ssosialisasi dan
orientasi. Hill dan loweinstein (1992) memandang model preceptorship sebagai salah satu metode
rekrutmen staf. Akses ke pengetahuan organisasi dan praktik klinik tidak dapat di prediksi oleh
bidan baru, sehingga diskusi anatara preceptor dan preceptee diperlukan untuk memberikan praktik
terkini dalam lingkungan klinik dengan harapan preceptee akan memiliki kemampuan yang sama
dengan preceptornya.
2. Keuntungan Preceptorship
a. Perawat Baru
b. Perawat klinik
Preceptorship juga memberikan beberapa manfaat pada perawat klinik, yaitu: dapat meningkatkan
kualitas perawatan pasien, membantu meningkatkan perekrutan dan pengurangan perawat klinik,
dapat mengurangi sakit dan absen karena tidak ada lagi alasan stres dan takut masuk kerja karena
kekurangannya dalam sebuah atau beberapa bidang yang diluar kompetensinya, pengalaman
pemberian pelayanan semakin meningkat setelah masuk dalam preceptorship, dapat meningkatkan
kepuasan staf, peluang mengidentifikasi staf yang membutuhkan dukungan tambahan atau
perubahan peran, mengurangi risiko keluhan dari pasien dan keluarga pasien, kesempatan mencari
bakat pemimpin
yang ada pada dirinya sendiri, praktisi memahami dampak peraturan–peraturan terhadap
pemberian pelayanan dan mengembangkan hasil (outcome) / pendekatan berbasis bukti (evidence
base), mengidentifikasi staf yang memerlukan dukungan
c. Pembimbing Klinik/Preceptor
d. Profesi.
terbuka dan jujur, bertingkah laku dengan integritas, menegakkan reputasi profesi. Meningkatkan
image pelayanan keperawatan kesehatan profesional. Meningatkan dukungan kepada lulusan baru.
Membantu perawat dalam menjaga dan memperoleh kompetensi. Meningkatkan jumlah perawat
dengan jiwa kepemimpinan dan kemampuan mengajar. Meningkatakan retensi keperawatan.
Mengurangi kebutuhan untuk melakukan rekrutmen
3. Tujuan Preceptorship
Preceptorship secara mikro (bagi individu) adalah untuk membenatu proses transisi dari
pembelajar ke praktisioner (mahen dan Clark, 1996) mengurangi dampak syok realita (Kramer, 1947)
dan memfasilitasi bidan untuk berkembang apa yang dihadapi dalam lingkungan barunya (bain,
1996). Fokus pada efisiensi dan efektifitas layanan kebidanan yang berkembang cepat sering kali
mem menimbulkan culture shock tersendiri khususnya bagi bidan baru.
4. Kriteria Preceptorship
Tidak semua bidan senior dan medio dapat memiliki criteria sebagai seorang preceptor. UKCC
(1993) menganjurkanbahwa preceptor adsalah bidan yang memiliki pengalaman minimal 12 tahun
dibidang yang sama atau bidang yang masih berhubungan. Ketrampilan komunikasi dan
kepemimpinan, kemampuan membuat keputusan yang tepat, dan mendukung perkembangan
professional merupakan hal
terpenting (shamian dan Inhaber, 1985). Secara garis besar dapat disimpulkan criteria seorang
preceptor yang berkualitas adalah berpengalaman dan ahli di lingkungan klinik, berjiwa
kepemimpinan, ketrampilan komunikasi yang baik, kemampuan membuat keputusan, mendukung
perkembangan professional, memiliki kemauan untuk mengajar dan mengambil peran dalam
penerapan model preceptorship, tidak mempunyai sikap yang menilai terlalu awal pada rekan kerja
asertif, fleksibilitas untuk berubah, mapu beradaptasi dengan pembelajaran individu.
Faktor kunci dlam pengembangan dan implementasi model preceptorship adalah keterlibatan
staf yang berpengalaman di semua tingkatan, ketersediaan literature untuk mendapatkan
kepahaman praktik yang terbaik, dan penggunaan pengetahuan yang diperoleh untuk dijadikan
panduan dlam praktik. Penggunaan kobinasi dari strategi perubahan dan program pendidikan staf
dapat diimplementasiakn untuk meningkatkan model preceptoship. Komitmen dan dukungan dari
bidang kebidanan merupakan salah satu faktor penting. Hal terakhir untuk menilai keberhasilan
penerapan model preceptorship harus dilakukan melalui audit yang sudah distandarisasi
Isu-isu yang dipertimbangkan dlam memberikan panduan bagi program kemitraan preceptor
dan preceptee adalah sebagai berikut :
a. Mengenalkan program
b. Mengidentifikasi dari tujuan pribadi serta institusi dan tujuan yang dapat diukur
Menurut Cerinus dan Ferguson (1994) bahwa tanggung jawab dari seorang preceptor diantaranya
sebagai berikut :
Secara umum tanggung jawab seorang preceptor dibagi menjadi dua golongan sebagai berikut :
f. Memfasilitasi pengembangan dari apa yang harus dikuasai preceptee melalui model
preceptorship.
B. Mentorship
1. Pengertian Mentorship
Mentorship adalah suatu hubungan antara dua orang yang memberikan kesempatan untuk
berdiskusi yang menghasilkan refleksi, melakukan kegiatan/tugas dan pembelajaran untuk keduanya
yang didasarkan kepada dukungan, kritik membangun, keterbukaan, kepercayaan, penghargaan dan
keinginan untuk belajar dan berbagi (Rolfe-Flett, 2001; Spencer, 1999 dikutip dalam Werdati, 2007).
Mentorship dapat juga diartikan sebagai proses pembelajaran dimana mentor mampu
membuat menti (peserta mentorship) yang tadinya tergantung menjadi mandiri melalui kegiatan
belajar. Kegiatan belajar yang diharapkan terjadi yaitu mengalami sendiri dan menemukan sendiri
fenomena praktek kebidanan dimana hal ini diharapkan dapat membangun kepercayaan diri, harga
diri dan kesadaran diri yang merupakan fundamental dalam penyelesaian masalah (Nurachmach,
2007).
Metode ini telah diaplikasikan sejak lama dalam pendidikan keperawatan dan disiplin ilmu
lainnya dalam kesehatan, khususnya diluar negeri. Bahkan hasil review atas pelaksanaan mentorship
menyatakan bahwa mentorship dapat mengatasi kekurangan tenaga bidan, meningkatkan kepuasan
bidan serta memperbaiki kualitas pelayanan (Block & Korow, 2005). Sejauh ini belum ada catatan
pelaksanaan mentorship dalam sistem pendidikan kebidanan maupun kesehatan di Indonesia.
Metode ini memberikan kesempatan kepada para mentor untuk memantau secara mendetil
perkembangan menti, dimana satu orangmenti digandengkan dengan 1 orang mentor, kemudian
diberikan kesempatan untuk membangun pengetahuan dan keterampilan yang didapatkan melalui
interaksi dengan teman sejawat yang telah memiliki pengalaman sehingga terbangun rasa percaya.
Untuk dapat membuktikan bahwa mentorship ini memang mampu untuk menjawab kekurangan
yang ada dari metode pengajaran klinik sebelumnya serta dapat diaplikasikan pada sistem pelayanan
kebidanan di Indonesia umumnya dan Sumatera Barat umumnya, maka perlu dilakukan sebuah
penelitian yang menerapkan mentorship ini.
Dengan perubahan paradigma dalam pendidikan dan perubahan kondisi kehidupan, konsep
pembelajaran pada pendidikan profesi kebidanan mengintegrasikan segala sumber yang ada
kedalam suatu bentuk sistem pembelajaran yang diharapkan lebih efektif dalam pencapaian
kompetensi, yaitu yang memiliki prinsip dasar belajar aktif dan mandiri. Salah satu metode
pembelajaran yang memenuhi kriteria tersebut adalah mentorship (Nurachmach, 2007).
1) Mentor akan belajar dan melakukan refleksi-perspektif yang luas, mengembangkan pandangan
baru tentan masalah dan mengetahui lebih baik dari kebutuhan / peralatan lain.
2) Kesempatan untuk melangkah diluar rutinitas normal, menjadi lebih objektiv dan untuk belajar
terhadap pertanyaan asumsi sendiri dan mental model
3) Puas dalam memberikan kontribusi positif untuk pengembangan individu dan organisasi
3) Mengembangkan jaringan melintasi spektrum yang luas dari penyedia layanan dalam kondisi
normal.
4) Meningkatkan kapasitas untuk membuat “kemampuan belajar mengaplikasikan” dengan
konteks organisasi .
5) Meningkatkan kemampuan sebagai sumber ide dan praktek dari pandangan organisasi dan di
intergrasikan kedalam dirinya.
c. KERUGIAN MENTORSHIP
2) Memerlukan waktu
(c) Destroyers / rusak: kegagalan yg berulang, menyebabkan terlihat tidak penting, mencari kesalahan
3. Karakteristik Mentorship
Adapun 5 karakteristik mentorship yaitu sifat hubungan yang menguatkan dan memberdayakan,
menawarkan serangkaian fungsi menolong/membantu untuk memfasilitasi pembinaan dan
memberikan dukungan, perannya meliputi keterkaitan antara aspek personal, fungsional dan
hubungan, dan tujuan individu (menti) dan fungsi penolong ditetapkan oleh individu yang terlibat,
serta bisa saling memilih (siapa mentor dan menti) dan diidentifikasi fase hubungannya. Hal ini akan
memberikan kenyamanan bagi mentor maupun menti dalam membangun hubungan dan bagi
pengembangan diri.
Fase hubungan dalam mentoring terdiri dari 4 fase yaitu fase inisiasi, fase perencanaan, fase
pelaksanaan dan fase terminasi. Fase inisiasi berfokus pada mengidentifikasi kesamaan karakteristik
antara individu mentor dan menti, kemampuan atau pengakuan nilai-nilai yang dianut. Hal yang
penting disadari pada fase perencanaan adalah bahwa terhadap keterbatasan-keterbatasan dari
peran mentor dan kemampuan menti. Negosiasi atas pengharapan dilakukan dan klarifikasi
dikemukakan untuk meningkatkan kepuasan pada akhir hubungan mentorship. Pada fase kerja,
fokus utamanya adalah pertumbuhan dan perkembangan dari hubungan dan pencapaian tujuan
dalam mentoring. Kesinambungan hubungan mentoring dipertahankan melalui interaksi mentor dan
menti dan meningkatnya rasa percaya dan kedekatan yang dibangun.
Sejalan dengan perkembangan fase ini, rasa percaya dan berbagi menjadi terbentuk dan menti
menjadi lebih siap untuk memilah bentuk bantuan yang sesuai dengan kebutuhannya. Menti secara
bertahap menjadi lebih mandiri dan hanya kadang-kadang mengharapkan bantuan. Pada perjalanan
selanjutnya, menti dengan segala pemahaman barunya menjadi seorang yang ingin mencoba dan
mengambil resiko yang terus dipantau serta didukung. Pada akhir fase ini, kepercayaan diri menti
terus meningkat.
Pada fase terminasi, menti bekerja dan bertindak atas inisiatif sendiri dan pada posisi ini menti
telah bekerja secara mandiri. Jika proses dirasakan bermanfaat oleh kedua pihak, maka keduanya
dapat mempertahankan hubungan pertemanan. Masalah potensial dalam hubungan mentorship
dapat berupa mentor yang over protektif atau terlalu mengontrol sehingga membekukan kreatifitas
dan inovasimenti. Eksploitasi dapat terjadi jika mentor memiliki tujuan untuk pelayanan pribadi
mentor