By Dewita at 10:36:00 AM Bali
I Gusti Ngurah Made Agung yang lahir di Denpasar, Bali, 5 April 1876 – meninggal di
Badung, Bali, 22 September 1906 pada umur 30 tahun adalah seorang pejuang
menentang pemerintahan Hindia Belanda di Bali yang diangkat sebagai Pahlawan
Nasional Indonesia oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 5 November 2015. I
Gusti Ngurah Made Agung atau lebih dikenal dengan Raja Badung VII adalah raja
yang turun langsung melawan penjajah hingga akhirnya gugur di medan perang.
Beliau seorang Raja Badung yang berani dan pantang menyerah membela
kebenaran, keadilan dan negara. Dia bersama dengan masyarakat Bali berjuang
habis-habisan melawan penjajah Belanda dalam perang Puputan Badung selama
1902-1906.
I Gusti Ngurah Made Agung lahir di Puri Agung Denpasar, 5 April 1876. Dia
merupakan Putra I Gusti Gede Ngurah Pemecutan atau Ida Tjokorda Gde Ngurah
Pemecutan yang merupakan Raja Badung V. Tahun 1906, Pemerintah Hindia
Belanda membentuk pasukan besar, setelah penjajah tidak berhasil mengembargo
kerajaan Badung Bali secara ekonomi. Dan melakukan invasi militer sehingga I
Gusti Made Agung atau dikenal sebagai Raja Badung VII memilih untuk berperang
melawan pasukan Belanda tersebut hingga gugur di medan pertempuran pada
tahun1906. Dan, pertempuran ini kemudian dikenal dengan nama Puputan Badung.
Perang ini menelan 7000 korban jiwa.
Gelar Pahlawan Nasional - I Gusti Ngurah Made Agung gugur dalam Perang
Puputan Badung melawan pasukan Belanda, tanggal 22 September 1906 dan
mendapat gelar kehormatan Ida Betara Tjokorda Mantuk Ring Rana yang artinya
raja yang gugur di medan perang. Kepahlawanan I Gusti Ngurah Made Agung telah
menginspirasi dan memotivasi dalam melaksanakan tugas pemerintahan dan
pembangunan di Kota Denpasar. Apa yang telah oleh I Gusti Ngurah Made Agung
telah memberikan dorongan semangat dan patriotisme untuk mengisi
pembangunan.
I Gusti Ngurah Made Agung diberi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko
Widodo berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 116/TK/2015 yang
ditandangani 4 November 2015. Gelar tersebut diberikan pula kepada empat tokoh
lainnya yakni: Alm Bernard Wilhem Lapian (Sulawesi Utara), Alm Mas Isman (Jawa
Timur), Alm Komjen (Pol) Moehammad Jasin (Jawa Timur),dan Alm Ki Bagus
Hadikusumo dari Yogyakarta.
“Tidak bisa menguasai negeri orang lain hanya dengan sehelai kertas saja tapi
harus diselesaikan diatas ujung keris. Selama saya hidup kerajaan ini tidak akan
pernah mengakui kedaulatan Belanda”. Seperti itulah kutipan perkataan I Gusti Ketut
Jelantik yang marah besar dengan tuntutan pihak Belanda.
Tak habis akal, pihak Belanda terus mencoba mencari cela untuk melawan I Gusti
Ketut Jelantik, salah satunya dengan memanfaatkan Raja Klungkung. Dalam
pertemuan yang berlangsung pada tanggal 12 Mei 1845 ini Belanda menuntut agar
Buleleng mengganti rugi kapal dan menghapuskan hak “tawan karang” yakni
merampas perahu yang terdampar di kawasan Buleleng. I Gusti Ketut Jelantik pun
naik pitam, bahkan beliau menghunuskan sebilah keris pada kertas perjanjian.
Beliau menantang Belanda untuk menyerang den Bukit atau Bali Utara.
Patih I Gusti Ketut Jelantik adalah seseorang yang ahli strategi perang dan menjadi
sosok yang disegani oleh raja-raja lain karena sikapnya yang teguh pendirian. Hal ini
ditunjukkan ketika mempertahankan desa Jagaraga patih I Gusti Ketut Jelantik terus
memperkuat pasukannya dan mendapat bantuan dari kerajaan lain seeperti
klungkung, Karang Asem, Badung dan Mengwi.
Pada tanggal 6 sampai 8 Juni 1848 pihak Belanda melakukan serangan kedua
dengan mendaratkan pasukanya di sangsit. Pihak Bali dipimpin oleh I Gusti Ketut
Jelantik dengan mengerahkan pasukan benteng Jagaraga yang merupakan benteng
terkuat dibandingkan dengan 4 benteng lainnya. Sedangkan pihak belanda dipimpin
oleh Jendral Van Der Wijck. Tetapi pihak Belanda gagal menembus benteng yang
dipimpin oleh I gusti Ketut Jelantik dan hanya mampu merebut satu benteng saja
yakni benteng sebelah timur sansit yang berada dekat Bungkulan.
Atas keberanian sikap dan mental perjuangan yang ditunjukkan oleh I gusti Ketut
Jelantik tentu tidak ada kata ragu untuk kita memberikan gelar Pahlawan Nasional.
Pada tanggal 19 Agustus 1993 Pemerintah RI memberikan Gelar Pahlawan nasional
pada Patih Jelantik berdasarkan SK Presiden RI No. 077/TK/Tahun 1993.