Anda di halaman 1dari 25

SUPERABSORBEN BERBASIS FINE COAL DAN

POLIAKRILAT UNTUK MENDUKUNG REKLAMASI


LAHAN TAMBANG

Usul Penelitian

YUNITA SARI

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
SUPERABSORBEN BERBASIS FINE COAL DAN
POLIAKRILAT UNTUK MENDUKUNG REKLAMASI
LAHAN TAMBANG

YUNITA SARI

Usul Penelitian
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Kimia

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
Judul Skripsi : Superabsorben Berbasis Fine Coal dan Poliakrilat untuk
Mendukung Reklamasi Lahan Tambang
Nama : Yunita Sari
NIM : G44140070

Disetujui oleh

Mohammad Khotib, SSi, MSi Dr Zainal Alim Masúd, DEA


Pembimbing I Pembimbing II
DAFTAR ISI

DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
Waktu dan Tempat 3
TINJAUAN PUSTAKA 3
Reklamasi 3
Polimer Superabsorben (SAP) 4
Fine Coal 5
Peranan SAP dalam Erosi 6
BAHAN DAN METODE 6
Bahan dan Alat 6
Metode 7
DAFTAR PUSTAKA 13
LAMPIRAN 15
DAFTAR TABEL
1 Tata letak tanaman 8

DAFTAR GAMBAR
1 Struktur kimia fine coal 5
2 Tanah diaplikasikan dengan berbagai kondisi 8
3 Tata letak tanaman vetiver pada lereng dengan kemiringan 30 ° 9
4 Tata letak tanaman vetiver pada lereng dengan kemiringan 45 ° dan
jarak antar setrip vetiver 40 cm 10
5 Plot pengamatan erosi dan aliran permukaan 11

DAFTAR LAMPIRAN
1 Diagram alir penelitian 15
2 Jadwal penelitian 16
3 Rincian dana penelitian 16
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Batu bara di Indonesia pada tahun 2016 diproduksi sebesar 434 juta ton yang
memberikan kontribusi besar baik untuk diekspor maupun digunakan di Indonesia
sendiri (Ditjen Minerba 2016). Tingginya produksi batu bara ini didukung oleh
kekayaan alam yang terpendam sehingga bermunculan tambang batu bara dengan
dibukanya lahan untuk tambang batu bara yang akan menimbulkan berbagai
implikasi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Salah satu kegiatan dalam
memanfaatkan sumberdaya alam adalah kegiatan pertambangan bahan galian yang
hingga saat ini merupakan salah satu sektor penyumbang devisa negara yang
terbesar. Meskipun memiliki prospek yang baik tetapi lahan tambang yang telah
digunakan memiliki sisi yang negatif pula. Sistem penambangan batu bara di
Indonesia umumnya adalah sistem tambang terbuka dengan metoda konvensional
yang merupakan kombinasi penggunaan excavator shovel dan truk (Yani 2005).
Sistem ini banyak mengubah bentang lahan dan keseimbangan ekosistem
permukaan tanah, menurunkan produktivitas tanah, dan mutu lingkungan.
Pertambangan batu bara menyebabkan kerusakan besar pada flora, fauna, hidrologi,
dan sifat biologi tanah. Pertambangan secara drastis juga mengubah sifat fisik dan
kimia serta lingkungan biologis tanah. Keadaan ini ditandai oleh kandungan bahan
organik rendah, pH yang rendah, kapasitas pengikat air rendah (low water holding
capacity), salinitas, tekstur kasar, pemadatan tanah, pasokan unsur hara pada
tanaman tidak memadai, dan erosi dipercepat (Mashud dan Manaroinsong 2014).
Setiap perusahaan tambang batu bara mempunyai kewajiban dalam
melaksanakan reklamasi areal bekas tambang dan daerah sekitarnya yang terganggu
akibat aktivitas pertambangan. Areal yang direklamasi dilakukan dengan menata tanah
timbunan (over burden/OB) dan selanjutnya dilakukan penaburan tanah pucuk (topsoil).
Areal tersebut harus segera diberikan lapisan penutup tanah seperti mulsa dan
penanaman vegetasi penutup tanah untuk mengurangi dispersi hujan pada permukaan
tanah. Hasil reklamasi diharapkan mampu memperbaiki lahan yang telah terganggu
sehingga dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya. Untuk
mengetahui hal tersebut maka perlu dilakukan dampak reklamasi lahan bekas tambang
terhadap erosi (Patiung et al. 2011). Erosi adalah proses penggerusan lapis tanah
permukaan yang pada umumnya terjadi akibat air hujan yang jatuh di permukaan
tanah. Hal ini menyebabkan tanah terciprat, lepas dari ikatan remahnya menjadi
butiran halus (splash erosion) (Kusminingrum dan Gunawan 2013).
Penggunaan kompos, pemupukan dengan NPK dan pemberian kapur untuk
memperbaiki kesuburan tanah, penggunaan mulsa vegetatif dan pembuatan teras
bangku atau guludan untuk mengurangi erosi, penanganan air asam tambang (AAT)
dengan kapur atau metoda lahan basah adalah praktik-praktik dalam kegiatan
reklamasi yang sudah biasa dilaksanakan. Namun beberapa kegiatan reklamasi
dapat menghambat pencapaian keberhasilan reklamasi secara maksimal, seperti
landscaping berlebihan yang menyebabkan tanah menjadi sangat padat dan
pengapuran yang membatasi ketersediaan unsur-unsur mikro (Iskandar et al. 2012).
Pemanfaatan superabsorben dengan dosis yang tepat dapat memperbaiki sifat-sifat
tanah dan meningkatkan pertumbuhan tanaman reklamasi.
2

Polimer superabsorben (SAP) telah ditetapkan sebagai soil conditioner untuk


mengurangi kehilangan air tanah. Penggunanaan SAP dalam reklamasi lahan
merupakan bahan yang diperlukan karena tanaman dapat tumbuh dan berkembang
dengan cepat. SAP digunakan di lahan tambang untuk membuat cadangan air di
dekat zona rizosfer (akar). Selain itu, meningkatkan kelangsungan hidup tanaman,
mengurangi biaya tenaga kerja, dan memberikan manfaat lainnya (Pritchard
1984).Umumnya, polimer superabsorben terbuat dari polimer sintetik berbasis
poliakrilat atau poliakrilamida (Sunardi et al. 2017). Sang et al. (2011)
menggunakan poliakrilamida anionik (PAM) dan biopolimer buatan (BP) berupa
lignin, pati jagung, akrilamida, dan asam akrilat untuk mengevaluasi erosi tanah,
kualitas air, dan pertumbuhan kubis Cina (Brassica campestris L.). Setiap
perlakuan PAM dan BP diaplikasikan sebanyak 200 kg ha-1 ke tanah pasir liat
dengan kemiringan 36% dengan curah hujan 20 mm h-1. Stabilitas agregat
meningkat sebesar 25.4 dan 27.1% untuk tanah yang telah diberi PAM dan BP yang
masing-masingnya dibandingkan tanpa perlakuan. Nilai tanah tersuspensi dan
kekeruhan secara signifikan berkurang hingga 96.0 dan 99.9% dibandingkan tanpa
perlakuan. Selain itu, penerapan polimer tidak menunjukkan efek negatif atau
toksisitas melalui perkecambahan biji atau pertumbuhan tanaman. Penggunaan
polimer tersebut menjadi cara yang efektif untuk mengurangi masalah erosi tanah.
Polimer superabsorben yang dibuat dari polimer organik mempunyai
kelemahan yaitu kurang stabil terhadap perubahan suhu, keasaman, dan sifat fisik
yang kurang bagus. SAP yang ada saat ini juga mahal dan tidak baik untuk air dan
tanah (Saesario 2012). Modifikasi fine coal dengan poliakrilat menjadi salah satu
alternatif SAP yang murah. Fine coal di lahan tambang merupakan batu bara halus
yang terbentuk akibat proses crushing, grinding, dan pencucian dalam kegiatan
penambangan, distribusi, penyimpanan dan re-claim (AI 2013). Struktur kimia fine
coal memiliki gugus hidrofilik berupa karboksilat, hidroksil, dan karbonil yang
memungkinkan untuk dimodifikasi atau dicangkok dengan monomer seperti asam
akrilat. Oleh karena itu, fine coal berpotensi digunakan sebagai bahan dasar
pembuatan polimer superabsorben (SAP) untuk mencegah erosi, penstabil tanah,
meningkatakan viabilitas tanaman, perkecambahan biji, dan pertumbuhan akar
(Dehkordi 2016).

Tujuan Penelitian

Penelitian ini betujuan menghasilkan superabsorben berbahan dasar fine coal


dan poliakrilat yang berperan dalam mengontrol erosi dan meningkatan
pertumbuhan tanaman di lahan tambang.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat dalam aplikasi SAP yang mampu mengkonversi


lahan tambang menjadi lahan produktif, peningkatan efisiensi pemanfaatan air, dan
memanfaatkan hasil limbah batu bara berupa fine coal.
Waktu dan Tempat

Penelitian ini akan dilakukan dari bulan Januari sampai Mei 2018 di
Laboratorium Terpadu, Institut Pertanian Bogor, dan di PT Adaro Indonesia,
Kalimantan Selatan.

TINJAUAN PUSTAKA

Reklamasi

Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki lahan yang telah


terganggu akibat kegiatan usaha pertambangan sehingga dapat berfungsi dan
berdaya guna sesuai peruntukannya (Lawing 2015). Reklamasi lahan bekas
tambang memerlukan pendekatan dan teknologi yang berbeda tergantung atas sifat
gangguan yang terjadi dan juga peruntukannya (penggunaan setelah proses
reklamasi). Secara teknis usaha reklamasi lahan bekas tambang dimulai dengan
kegiatan recontouring, regrading atau resloping dari lubang-lubang bekas tambang.
Hal ini dilakukan agar diperoleh suatu bentuk wilayah dengan kemiringan lereng
yang stabil. Pembuatan saluran-saluran drainase dan bangunan-bangunan
konservasi disiapkan pada tahap ini. Untuk mencapai tujuan tersebut, lubang
tambang ditutup dengan berbagai material yang dikupas pada saat ekskavasi awal
lubang tambang. Selanjutnya bagian permukaan lahan hasil landscaping ditaburi
atau ditutup kembali dengan “tanah pucuk” (top soil) yang umumnya memiliki sifat
kimia-fisik tidak subur.
Setelah tanah sebagai media tumbuh tanaman disiapkan dengan baik, maka
kegiatan selanjutnya adalah revegetasi, baik dengan tanaman asli lokal, tanaman
kehutanan introduksi, ataupun tanaman lainnya yang dinilai akan bermanfaat untuk
mempercepat dan meningkatkan keberhasilan usaha reklamasi. Untuk menyiasati
kondisi iklim mikro yang belum sesuai, reklamasi biasanya diawali dengan
menanam tanaman-tanaman yang cepat tumbuh yang mampu beradaptasi dengan
cepat, seperti tanaman vetiver (Iskandar et al. 2012). Vetiver yang ada di Indonesia
dikenal sebagai akar wangi (Vetiveria zizanioides) atau usar (Vetiver nigritana)
yang sejenis dengan rumput-rumputan berukuran besar. Rumput ini dimanfaatkan
untuk berbagai keperluan ekologis dan fitoremediasi lahan dan air seperti
rehabilitasi lahan bekas pertambangan, pencegah erosi lereng, penahan aberasi
pantai, stabilisasi tebing, dan lainnya melalui teknologi yang disebut vetiver system.
Sistem tersebut dalah sebuah teknologi sederhana berbiaya murah yang
memanfaatkan tanaman vetiver hidup untuk konservasi tanah dan air serta
perlindungan lingkungan. Sistem ini sangat praktis, tidak mahal, mudah dipelihara,
dan sangat efektif dalam mengontrol erosi dan sedimentasi tanah, konservasi air,
serta stabilisasi dan rehabilitasi lahan. Vetiver juga mudah dikendalikan karena
tidak menghasilkan biji yang dapat menyebar liar seperti alang-alang atau
rerumputan lainnya.
Tanaman ini memiliki akar serabut yang dapat masuk ke dalam tanah hingga
sangat dalam. Akar vetiver diketahui mampu menembus lapisan setebal 15 cm yang
sangat keras misalnya pada bagian lereng-lereng keras dan berbatu, ujung-ujung
4

akar vetiver mampu masuk menembus dan menjadi semacam jangkar yang kuat.
Cara kerja akar ini seperti besi kolom yang masuk menembus ke dalam lapisan
tekstur tanah dan pada saat yang bersamaan, vetiver menahan partikel-partikel
tanah dengan akar serabutnya. Kondisi ini dapat mencegah erosi yang disebabkan
oleh angin dan air (Kusminingrum dan Gunawan 2013).

Polimer Superabsorben (SAP)

Polimer superabsorben adalah bahan yang mampu menyerap ratusan atau


bahkan ribuan kali beratnya dalam cairan yang biasanya berupa air. SAP disebut
sebagai hidrogel karena setelah menyerap air akan membentuk bahan seperti gel.
(Farkish 2013). Semua tanaman membutuhkan air. SAP dapat menyerap dan
menyimpan air dalam bentuk tanaman yang tersedia. Selain itu, SAP juga
memberikan manfaat tambahan karena kemampuannya untuk mempertahankan air
dan nutrisi. Setiap partikel SAP bertindak seperti spons yang sangat efektif
(Pritchard 1984). Ketika polimer superabsorben dimasukkan dalam air atau pelarut
akan terjadi interaksi antara polimer dengan molekul air. Interaksi yang terjadi
adalah hidrasi. Adanya ikatan silang dalam polimer superabsorben menyebabkan
polimer tidak larut dalam air atau pelarut (Swantomo et al. 2008). Setiap partikel
atau molekul dapat dianggap memiliki dua kelompok paralel utama atom.
Kelompok-kelompok ini secara berkala bergabung dengan ikatan silang seperti
anak tangga. Air akan terdifusi oleh polimer superabsorben karena adanya gugus
hidrofilik. Setelah mencapai tahap kesetimbangan, air yang terserap akan terikat
dengan gugus karboksilat membentuk ikatan hidrogen. Pada akhirnya air yang
terserap akan tetap tertahan pada polimer superabsorben sehingga polimer
mengalami pembengkakan (kapasitas maksimum setiap partikel biasanya akan
meluas sampai lebih dari tiga puluh kali volume aslinya). Kapasitas penyerapan
superabsorben dipengaruhi oleh keasaman dan alkalinitas (pH), konduktivitas, dan
variabel lain yang menghambat ekspansi (Pritchard 1984).
SAP pertama yang dikembangkan untuk pertanian, yaitu starch-graft
copolymers yang diperoleh melalui graft polymerization poliakrilonitril pada pati
yang diikuti dengan penyabunan unit akrilonitril, cross-linked polyacrylate, cross-
linked polyacrylamide, dan cross-linked kopolimer acrylamide-acrylate. Hidrogel
yang banyak digunakan belakangan ini, yaitu cross-linked polyacrylamide dan
cross-linked kopolimer acrylamide-acrylate karena mempunyai life span yang
paling lama dibandingkan jenis hidrogel yang lain (1 dan 2). Salah satu bahan baku
yang dapat dipakai untuk pembuatan SAP adalah akrilat yang merupakan bahan
polimer superabsorben yang paling banyak digunakan karena mempunyai daya
afinitas yang paling baik (Swantomo et al. 2008). Polimer superabsorben yang
dibuat dari polimer organik mempunyai kelemahan yaitu kurang stabil terhadap
perubahan suhu, keasaman, dan sifat fisik yang kurang bagus. Kelemahan polimer
organik ini dapat diatasi dengan pembuatan superabsorben yang dimodifikasi
dengan fine coal. Modifikasi ini dapat disintesis melalui tekni pencangkokan penaut
silang menggunakan monomer, inisiator, dan penaut-silang. Akrilat digunakan
sebagai monomer karena stukturnya memiliki ikatan rangkap yang memungkinkan
terjadinya kopolimerisasi pencangkokan. Inisiator yang biasa digunakan adalah
garam persulfat (K+, Na+, NH4+) dan penaut silang yang umum digunakan adalah
5

trimetil propana triakrilat, 1,4-butadienol dimetakrilat, dan N,N-metilena bis-


akrilamida (MBA) (Saesario 2012).

Fine Coal

Fine coal di lahan tambang merupakan batu bara halus yang terbentuk akibat
proses crushing, grinding, dan pencucian dalam kegiatan penambangan, distribusi,
penyimpanan, dan re-claim (AI 2013). Fine coal dan batu bara yang sangat halus
(sludge) berukuran <200 mesh (<74 μm) bahkan berukuran submikron, umumnya
terdapat sebagai sisa proses pencucian batu bara di lokasi penambangan yang
banyak terbuang mengalir ke kolam penampung limbah atau ke sungai yang sangat
mengotori lingkungan atau badan sungai (Rodliyah dan Ardha 2008).
Indonesia sebagai salah satu dari lima negara penghasil batu bara terbesar di
dunia memiliki potensi fine coal yang jumlahnya akan terus bertambah seiring
dengan meningkatnya kapasitas produksi batu bara. Fine coal memiliki kandungan
batu bara yang cukup tinggi dengan nilai kalori 4562-5965 kkal/kg dan kadar abu
13.06-16.48%, sementara fixed carbon 37.33-56.64 % dan kadar air 44.91-45.72%
(AI 2013). Kadar abu yang tinggi tersebut didominasi oleh mineral silika dan
alumina sebagai komponen utama mineral pada batu bara karena kandungan batu
baranya yang cukup tinggi (Irwandi 2016). Struktur kimia fine coal (Gambar 1)
memiliki gugus hidrofilik berupa karboksilat (-COOH), hidroksil (-OH), dan
karbonil (-CO) yang memungkinkan untuk dimodifikasi atau dicangkok dengan
monomer seperti asam akrilat.

Gambar 1 Struktur kimia fine coal (Sumber: chemicals-technology.com)


Peranan SAP dalam Erosi

Erosi adalah proses penggerusan lapis tanah permukaan yang pada umumnya
terjadi akibat air hujan yang jatuh di permukaan tanah. Hal ini menyebabkan tanah
terciprat, lepas dari ikatan remahnya menjadi butiran halus (splash erosion).
Menurut penyebabnya atau media pengangkutannya dikenal dua jenis erosi, yaitu
erosi angin dan erosi air. Pada dasarnya dapat disimpulkan bahwa erosi terjadi
akibat interaksi kerja antara faktor-faktor iklim, topografi, vegetasi, dan manusia
terhadap tanah. Erosi tanah tergantung dari beberapa faktor yaitu karakteristik hujan,
kemiringan lereng, tanaman penutup dan kemampuan tanah untuk menyerap dan
melepas air ke dalam lapisan tanah dangkal. Dampak dari erosi tanah dapat
diklasifikasikan dalam dua kategori, yaitu menurunnya produktifitas lahan seiring
dengan kehilangan lapisan tanah bagian atas yang subur dan terjadi sedimentasi di
sungai yang menyebabkan kerusakan saluran dan berkurangnya kapasitas
tampungan (Kusminingrum dan Gunawan 2013).
Permasalahan ini memerlukan penanggulangan lainnya berupa polimer
superabsorben (SAP) telah ditetapkan sebagai soil conditioner untuk mengurangi
kehilangan air tanah. Penggunanaan SAP dalam reklamasi lahan merupakan bahan
yang diperlukan karena tanaman dapat tumbuh dan terbentuk dengan cepat. SAP
dikategorikan sebagai gel hidrofilik (hidrogel) yang memiliki jaringan rantai
polimer di mana air merupakan medium dispersi. SAP dapat menyerap dan
menyimpan sejumlah besar air atau larutan berair yang relatif besar dibandingkan
dengan ukuran dan berat aslinya tetapi tidak larut dalam air karena terdapat struktur
3 dimensi pada jaringan polimernya (Farkish 2013). SAP digunakan di lahan
tambang untuk membuat cadangan air di dekat zona rizosfer (akar). Selain itu,
meningkatkan kelangsungan hidup tanaman, mengurangi biaya tenaga kerja, dan
memberikan manfaat lainnya (Pritchard 1984). Dengan demikian, penerapan SAP
ke tanah dapat meningkatkan kapasitas dalam menahan air, efisiensi dalam
pemanfaatan nutrisi, dan mengurangi kehilangan air yang berguna dalam
pencegahan erosi (Dehkordi 2016).

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Alat-alat yang digunakan adalah spektrofotometer FTIR, mikroskop elektron


pemayaran (SEM), alat TG-DTA (Thermal Gravimetric - Differential Thermal
Analysis), spektrofotometri UV-VIS, alat-alat kaca, pengaduk magnet, kertas saring,
kantong teh, termometer, mantel pemanas, pengaduk magnet, neraca analitik, saringan
80 dan 100 mesh, oven, kayu, meteran, botol sampel air, plastik sampel, selang air,
bak penampung, drum, bor Belgi, dan ring sampel, peralatan laboratorium untuk
menetapkan karakteristik fisik, kima tanah, peralatan pengukur erosi dan aliran
permukaan yaitu petak erosi dan penampung air aliran permukaan dan tanah yang
tererosi. Bahan-bahan yang digunakan antara lain fine coal dari PT Adaro Indonesia,
tanaman vetiver, kayu, akuades, gas N2, H2O2, akrilat, amonium persulfat (APS), N,N-
metilena-bis-akrilamida (MBA), metanol, etanol 95%, aseton, NaOH, dan HCl.
7

Metode

Metode penelitian ini diringkas dalam diagram alir pada Lampiran 1.

Preparasi Fine Coal


Preparasi fine coal dioksidasi dengan hidrogen peroksida (H2O2). Fine coal
ditambahkan dengan H2O2 5% menggunakan nisbah 1:10 yang dimasukkan ke
dalam gelas kimia. Kemudian campuran ditambahkan NaOH hingga pH 10.
Campuran disaring dan diambil residunya lalu dikeringkan pada suhu ruang. Fine
coal kering digiling dan dihaluskan sampai ukuran partikel 100 mesh

Preparasi SAP (Mas’ud et al. 2013)


Fine coal ditimbang sebesar 25 gram dan dimasukkan ke dalam labu leher
tiga yang dilengkapi dengan kondensor, aliran gas nitrogen, termometer, dan
pengaduk. Air suling ditambahkan ke fine coal hingga terbentuk slurry. Slurry
dipanaskan sampai suhu 95 °C sementara labu tersebut dibersihkan dengan gas
nitrogen. Suhu dijaga pada suhu 95 °C selama 30 menit dan kemudian diturunkan
menjadi 60 °C sampai 65 °C. Kemudian amonium persulfat ditambahkan sebanyak
0.8325 gram dan campuran diaduk selama 15 menit. Akrilat dan MBA ditambahkan
masing-masing sebanyak 75 gram dan 0.0825 gram ke labu dan suhu secara
bertahap dinaikkan menjadi 70 °C dan dijaga konstan selama 3 jam hingga
terbentuk gel. Gel kemudian diendapkan dengan metanol dan etanol. Campuran
direfluks dengan aseton selama 1 jam. Padatan yang diperoleh, dikeringkan pada
suhu 60 °C hingga mencapai bobot konstan. Produk kering digiling dan dihaluskan
sampai ukuran partikel 80 sampai 100 mesh.

Saponifikasi SAP (Mas’ud et al. 2013)


Sebanyak 40 g SAP dimasukkan ke dalam labu bulat yang berisi 100 mL
NaOH 1 M dan 100 mL air distilasi kemudian dipanaskan pada suhu 90 °C selama
2 jam. Setelah 2 jam, kopolimer dinetralkan dengan HCl 1 M, diendapkan secara
cepat dengan metanol dan etanol. Kopolimer yang disaponifikasi dikeringkan pada
suhu 60 °C dan dihaluskan sampai ukuran partikel 80 sampai 100 mesh.

Karakterisasi SAP
SAP sebelum dan setelah saponifikasi masing-masing disiapkan untuk diukur
daya serap air, kinetika swelling, spektrofotometer FTIR, mikroskop elektron
pemayaran (SEM), dan TG-DTA (Thermal Gravimetric - Differential Thermal
Analysis).

Uji Daya Serap Air (Mas’ud et al. 2013). Sebanyak 0.1 g SAP tanpa dan
dengan saponifikasi masing-masing direndam di dalam 200 mL air distilasi pada
suhu kamar selama 24 jam untuk mencapai kesetimbangan pengembangan. Sampel
yang telah mengembang kemudian dipisahkan dari air yang tidak terserap dengan
cara disaring menggunakan saringan 100 mesh dan ditimbang. Daya serap air
ditentukan dengan persamaan sebagai berikut:

(M2 − M1)
Q=
M1
8

Keterangan :
Q = daya serap air
M1 = bobot SAP kering (sebelum direndam) (g)
M2 = bobot setelah SAP mengembang (g)

Kinetika Swelling (Mas’ud et al. 2013). SAP sebanyak 1.0000 ± 0.0001 g


dengan ukuran partikel 100 mesh dimasukkan ke dalam kantong teh yang telah
ditimbang dan direndam dalam 800 mL air suling dengan interval waktu berturut-
turut 5, 10, 20, 30, 60, 90 menit, 24 jam. Penyerapan air SAP sebagai fungsi waktu
rendam ditentukan seperti pada uji daya serap air

Uji Kinerja SAP Terhadap Kontrol Erosi dan Tanaman


Lereng dibersihkan dari sampah dan tumbuhan liar pada. Pematokan sesuai
dengan kontur tanah dan pengukuran untuk pembuatan lubang tanam (Tabel 2). Uji
kinerja SAP dilakukan dengan beberapa kondisi pada tanah yang berada pada
lereng dan kemiringan yang sama, yaitu tanpa pemberian SAP dan tanaman vetiver
(kontrol), tanaman vetiver tanpa SAP, SAP 200 kg ha-1 tanpa tanaman vetiver, SAP
300 kg ha-1 tanpa tanaman vetiver, SAP 200 kg ha-1 dan tanaman vetiver, serta SAP
300 kg ha-1 dan tanaman vetiver (Gambar 2).
Panjang lereng

SAP 200 SAP 300


kg ha-1 kg ha-1
tanaman SAP 200 SAP 300
kontrol + +
vetiver kg ha-1 kg ha-1
tanaman tanaman
vetiver vetiver

Bak
penampung

Gambar 2 Tanah diaplikasikan dengan berbagai kondisi

Penanaman rumput vetiver (KPU 2009). Jarak antar setrip rumput vetiver
(jarak vertikal) dan jarak antar tunas rumput pada barisan (jarak horizontal)
mengacu pada Tabel 2. Penanaman dilakukan dengan cara ditanam pada tengah-
tengah lubang dengan kondisi telah dibuka polybag-nya dan ditimbun dengan tanah
bekas galian hingga mencapai leher akar, kemudian tanah tersebut dipadatkan.
9
Tabel 1 Tata letak tanaman
Kemiringan lereng
Tata letak < 30 º 30 º sampai 45 º >45 º sampai 60 º
tanaman Nilai erodibilitas tanaha
K ≤ 0.20 K > 0.20 K ≤ 0.20 K > 0.20 K ≤ 0.20 K > 0.20
Jarak antar
setrip 80-
80-160 80 40-80 40
rumput vetiver 120
(cm) tidak
Jarak antar disarankanb
tunas 10-
15-20 15-20 10-15 10-15
rumput pada 15
barisan (cm)
aNilai erodibilitas tanah merupakan suatu nilai yang menunjukkan mudah tidaknya suatu tanah ter erosi yang
mengacu pada kelas kepekaan tanah terhadap erosi (erodibilitas tanah = K) berdasarkan USDA – SCS (1973)
dalam Dangler dan El Swaify (1976).
bNilai K > 0.20 dan curah hujan tinggi, tidak disarankan ditanami vetiver secara mandiri (perlu dikombinasikan

dengan cara mekanis).

Gambar 3 Tata letak tanaman vetiver pada lereng dengan kemiringan 30 °


10

Gambar 4 Tata letak tanaman vetiver pada lereng dengan kemiringan 45 ° dan
jarak antar setrip vetiver 40 cm

Erosi dan Aliran Permukaan (Patiung 2012). Plot erosi dibuat dengan
ukuran yang disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Bagian atas dan samping
petak dibatasi plastik dengan lebar 30 cm. Sebagian plastik (15-20 cm) ditanam
secara vertikal ke dalam tanah. Bagian bawah lereng pada setiap plot dipasang bak
penampung. Bak penampung ini berfungsi untuk menampung tanah yang tererosi
dan aliran permukaan yang keluar dari plot. Bagian atas bak penampungan dibuat
lubang sebanyak 5-7 buah (sesuai intensitas curah hujan) untuk mengalirkan aliran
permukaan yang berlebihan. Lubang pada bagian tengah disambungkan dengan
pipa paralon ke drum untuk menampung air dan sedimen. Pengamatan dilakukan
terhadap erosi dan aliran permukaan yang ditampung dalam bak erosi ditakar untuk
mengetahui volume dan banyaknya sedimen. Tanah yang tererosi tertampung di
bak dianalisis dengan metoda gravimetri. Selanjutnya sampel erosi yang diambil
dari bak erosi lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 103 oC selama 2 × 24 jam
(berat konstan) dan ditimbang berat kering tanah yang tererosi per satuan luas per
satuan hari kejadian hujan.
11

Gambar 5 Plot pengamatan erosi dan aliran permukaan (Patiung 2012)

Total aliran permukaan untuk setiap kejadian hujan dihitung dengan persamaan :
Rp = Rg + (Rc × Lp)

Aliran permukaan per satuan luas (ha) dihitung sebagai berikut:


10000 m2
Ro = × Rp
luas plot m2

Keterangan: Rp = aliran permukaan plot (liter)


Rg = volume yang masuk bak penampung (liter)
Rc = volume yang masuk ke drum (liter)
Lp = banyaknya lubang pembuang
Ro = aliran permukaan (liter/ha)

Nilai koefisien aliran permukaan dihitung dengan persamaan :


Rt
Kr =
CH

Keterangan: Kr = koefisien aliran permukaan


Rt = total volume aliran permukaan (mm)
CH = jumlah curah hujan (mm)

Total erosi dihitung dengan persamaan sebagai berikut:


Ep = Pt + Sg × [Vg + (Rc × Lp)]

Erosi dalam satu ha dihitung dengan rumus


10000 m2
E= × Ep (g)
luas plot m2
12

Keterangan: Ep = erosi plot (g/plot)


Sg = kadar erosi dalam sampel bak penampung (g/liter)
Vg = volume aliran permukaan yang masuk bak penampung (liter)
Rc = volume aliran permukaan yang masuk ke drum (liter)
Sc = kadar erosi dalam sampel drum (g/liter)
Lp = banyaknya lubang pembuang
E = erosi (g/ha)

Sampel erosi diambil pada setiap hari kejadian hujan selama 10 minggu
setelah perlakuan. Pengambilan sampel pada bak penampung dan drum dilakukan
secara proporsional. Sampel yang diambil terlebih dahulu dilakukan pengadukan
sehingga suspensi dan aliran permukaan menjadi homogen. Sampel erosi yang
diperoleh kemudian dikeringkan dalam oven dan selanjutnya ditimbang untuk
mengetahui besarnya erosi per plot. Pengambilan sebagian sampel aliran
permukaan (sedimen dan air) dilakukan saat hujan berlangsung (sebelum masuk
dalam bak penampungan) dengan menggunakan botol sampel ukuran 200 ml.

Karakterisasi Tanah. Karakterisasi tanah dilakukan pada lahan tanah dan


tanah yang tererosi sebelum perlakuan dan setalah 3 hari diberi perlakuan. Kajian
dampak reklamasi dilakukan terhadap lahan tanah, berupa sifat tanah (sifat fisik dan
kimia) dan dilakukan analisis mikroskop elektron pemayaran (SEM). Pada tanah
yang tererosi dikarakterisasi berupa bobot isi serta dilakukan analisis mikroskop
elektron pemayaran (SEM) dan spektrofotometer UV-VIS.

Sifat fisik tanah


Bobot isi (Patiung 2012). Pengambilan sampel tanah utuh
dilakukan dengan menggunakan ring sampel dengan meratakan dan membersihkan
lapisan atas tanah yang akan diambil. Ring dimasukkan ke dalam tanah secara
perlahan agar tanah tidak rusak dengan cara menekan permukaan tabung. Tanah
digali pada sekeliling tabung/ring untuk memudahkan pengambilan tabung yang
berisi tanah utuh. Tanah diiris pada kedua sisi tabung dengan pisau/cutter secara
hati-hati kemudian tabung ditutup pada kedua sisinya dan diberi label/kode sampel.
Tekstur tanah (Kusmana et al. 2013). Analisis tekstur tanah
dilakukan terhadap sebanyak satu sampel dari setiap plot. Sampel tanah diambil
dengan menggunakan bor Belgi pada ke dalaman yang diinginkan, sampel
komposit tanah diambil sebanyak 1 kg.

Sifat kimia tanah (Patiung 2012). Pengambilan sampel tanah tidak


utuh secara komposit dilakukan untuk menganalisis sifat kimia tanah yaitu pH, C-
organik, N-total, P-total, dan KTK. Tanah digali sampai pada kedalaman yang
diinginkan kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik yang sudah disiapkan
dan beri nomor dan label serta diikat dan simpan untuk selanjutnya dianalisis di
laboratorium.

Karakterisasi air. Karakterisasi air yang terbawa erosi dilakukan setalah 3


hari diberi perlakuan. Kemudian dilakukan analisis spektrofotometer UV-VIS.
Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Vetiver (Priherdityo et al. 2016;
Suyono 2016). Peubah vegetatif yang diamati tinggi tanaman (cm), jumlah daun
(helai), jumlah anakan (unit), dan tinggi anakan (cm). Pengukuran dilakukan pada
awal penanaman dan 1 minggu sekali selama 10 minggu setelah perlakuan (MSP).

Pertambahan tinggi (cm). Pengukuran tinggi dilakukan dengan


melakukan penandaan pada batang yang menjadi titik awal pengukuran. Hal ini
dilakukan agar meningkatkan konsistensi dalam pengukuran tinggi. Pertambahan
tinggi bibit diukur dengan menggunakan rumus:
Pertambahan tinggi (Δ𝑡) = t1 – t2 (cm)

Keterangan: t1 = Pengukuran awal


t2 = Pengukuran akhir

Jumlah daun (helai). Pengamatan dilakukan dengan menghitung


jumlah daun yang sudah teruka secara sempurna

Jumlah anakan (unit). Pengamatan dilakukan dengan menghitung


jumlah anakan yang muncul.

Tinggi anakan (cm). Pengamatan dilakukan dengan menghitung tinggi


awal penanaman di persemaian dan tinggi akhir pengamatan.

DAFTAR PUSTAKA

[AI] Adaro Indonesia. 2010. Laporan Kegiatan Penelitian Karakterisasi dan


Utilisasi Fine Coal Sebagai Briket serta Optimasi Pengolahan Limbah Fine
Coal Di Settling Pond PT Adaro Indonesia. Tanjung (ID): AI.
Dehkordi DK. 2016. The effects of superabsorbent polymers on soils and plants.
Pertanika J. Trop. Agric. Sci. 39(3): 267 – 298.
[Ditjen Minerba] Direktorat Jendral Mineral dan Batu Bara. 2016. Laporan Kinerja
Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan
Sumberdaya Mineral Republik Indonesia. Jakarta (ID): Ditjen Minerba.
Farkish A. 2013. SAP based rapid dewatering of oil sands mature fine tailings
[thesis]. Ottawa (CA): University of Ottawa.
Irwandi D. 2016. Carbon foam berbahan dasar fine coal sebagai kandidat insulator
termal [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Iskandar, Suwardi, Suryaningtyas DT. 2012. Reklamasi Lahan-Lahan Bekas
Tambang: Beberapa Permasalahan Terkait Sifat-sifat Tanah dan Solusinya.
Bogor (ID): Pusat Studi Reklamasi Tambang LPPM – IPB.
[KPU] Kementerian Pekerja Umum. 2009. Penanaman Rumput Vetiver untuk
Pengendalian Erosi Permukaan dan Pencegahan Longsoran Dangkal Pada
Lereng Jalan. Bandung (ID): KPU.
14

Kusmana C, Setiadi Y, Al-Anshary MAL. 2013. Studi pertumbuhan tanaman hasil


revegetasi di lahan tambang batubara PT. Arutmin Indonesia Site Batulicin
Kalimantan Selatan. Jurnal Silvikultur Tropika. 4(3): 160-165.
Kusminingrum N, Gunawan G. 2013. Penanganan Erosi Lereng Galian dan
Timbunan Jalan dengan Rumput Vetiver. Bandung (ID): Puslitbang.
Lawing YH. 2015. Kajian pemanfaatan lahan bekas tambang dalam upaya
reklamasi berdasarkan kaidah good mining practice pada PT. Anugrah Bara
Kaltim Kabupaten Kutai Kartanegara Propinsi Kalimantan Timur. Jurnal
Geologi Pertambangan. 2: 41-49.
Mashud N dan Manaroinsong E. 2014. Pemanfaatan lahan bekas tambang batu bara
untuk pengembangan sagu. B. Palma. 15(1): 56-63.
Mas’ud ZA, Khotib M, Farid M, Nur A, Amroni1 M. 2013. Superabsorbent derived
from cassava waste pulp. International Journal Of Recycling of Organic
Waste in Agriculture. 2(8): 1-8.
Patiung O, Sinukaban N, Tarigan SD, Darusman D. 2011. Pengaruh umur reklamasi
lahan bekas tambang batubara terhadap fungsi hidrologis. J. Hidrolitan. 2(2)
: 60-73.
Patiung O. 2012. Kajian dampak reklamasi lahan tambang batubara terhadap
komponen fungsi hidrologis dan ekologis das serta manfaat bagi masyarakat
[disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Priherdityo E, Susanto S, Chadirin Y. 2016. Pengaturan intensitas larutan hara
terhadap pertumbuhan tanaman akar wangi (Vetiveria zizanioides L.) yang
dibudidayakan secara aeroponik. Bul. Agrohorti. 4 (1): 104-112.
Pritchard JF. 1984. Superabsorbents, A New "Tool" For Mine Reclamation An
Introduction To A Valuable Technology. Bradenton (US): Industrial Services
International, Inc.
Rodliyah I, Ardha N. 2008. Aglomerasi minyak-batu bara untuk perolehan batu
bara halus. Jurnal Teknologi Mineral dan Batu bara. 4(12): 11-19.
Saesario MI. 2012. Sintesis polimer superabsorben onggok tapioka-akrilamida:
pengaruh konsentrasi monomer dan inisiator [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Sang SL, Scott XC, Yoon YC, Yong SO. 2013. Commercial versus synthesized
polymers for soil erosion control and growth of Chinese cabbage.
SpringerPlus. 2(534): 1-10.
Sunardi, Irwan A, Latifah A, Istikowati WT, Haris A. 2017. Kajian pengaruh
jumlah agen pengikat silang terhadap karakteristik superabsorben asam
akrilat tercangkok selulosa dari alang-alang (Imperata cylindrica). Sains dan
Terapan Kimia. 11(1): 15–23.
Suyono AP. 2016. Respon pertumbuhan Vetiveria zizanioides (L) Nash. dengan
perlakuan bionature, media tanam dan pangkas akar di PT Cibaliung
Sumberdaya [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Swantomo D, Megasari K, Saptaaji R. 2008. Pembuatan komposit polimer
superabsorben dengan mesin berkas elektron. JFN. 2(2): 143-156.
Yani M. 2005. Reklamasi Lahan Bekas Pertambangan Dengan Penanaman Jarak
Pagar (Jatropha curcas Linn). Bogor (ID): Pusat Penelitian Surfaktan dan
Bioenergi LPPM-IPB.
LAMPIRAN

Lampiran 1 Diagram alir


16

Lampiran 2 Jadwal penelitian

Kegiatan Desember Januari Februari Maret April Mei


Studi literatur
Preparasi fine
coal
Preparasi SAP
Saponifikasi
SAP
Karakterisasi
SAP
Erosi
Karakterisasi
tanah & air
Pertumbuhan
tanaman
Pembuatan
laporan
Seminar

Lampiran 3 Rincian dana penelitian


No Bahan Jumlah Harga/Satuan (Rp) Total (Rp)
1 Asam akrilat 20 kg 121.500/kg 2.430.000
2 Amonium persulfat 3 kg 35.230/kg 105.690
3 N,N-metilena-bis-akrilamida 500 gram 538.750/kg 269.375
4 Metanol 9 liter 35.650/liter 320.850
5 Etanol 95% 9 liter 35.230/liter 317.070
6 Aseton 9 liter 33.876/liter 304.884
7 NaOH 500 gram 34.390/kg 17.195
8 HCl 25 liter 15.149/liter 378.725
9 H2O2 12 liter 35.230/liter 422.760
10 Gas N2 1 buah 921.000/buah 921.000
11 Akuades 43 liter 16.000/liter 688.000
12 Saringan mesh 2 buah 450.000/buah 900.000
13 Reaktor sintesis (sewa) 1 buah 1.000.000/buah 1.000.000
14 Drum 6 buah 195.000/buah 1.170.000
15 Selang air 7 meter 10.000/meter 70.000
16 Meteran 1 buah 40.000/buah 40.000
17 Botol sampel 72 buah 11.000/buah 792.000
18 Plastik sampel 1 pak 210.000/pak 220.000
19 Bor Belgi 1 buah 950.000/buah 950.000
17

Lanjutan Lampiran 3
20 Ring sampel 1 box 916.000/box 916.000
21 Analisis FTIR 10 sampel 300.000/sampel 3.000.000
22 Analisis SEM 34 sampel 450.000/sampel 15.300.000
23 Analisis TG-DTA 10 sampel 400.000/sampel 4.000.000
24 Analisis Spektrofotometri 24 sampel 100.000/sampel 2.400.000
UV-VIS
Total 36.933.549

Anda mungkin juga menyukai