PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
a. Untuk mengetahui cara analisis kadar abu bahan pangan dan hasil
pertanian.
b. Untuk mengukur kadar abu bahan pangandan hasil pertanian dengan
metode pengabuan kering.
BAB 2. BAHAN DAN PROSEDUR ANALISA
2.1 Bahan
2.1.1 Bahan Pangan yang Digunakan
a. Tahu
Tahu adalah salah satu jenis makanan yang dibuat dari bahan pokok
kedelai dengan jalan memekatkan protein kedelai dan mencetaknya melalui proses
pengendapan protein dengan atau tanpa penambahan unsur-unsur lain yang
diijinkan, sehingga dihasilkan produk tahu berbentuk kotak, kenyal dalam
keadaan basah. Biasanya tahu diproduksi dalam jumlah banyak, akan tetapi dalam
penjualan tersebut belum tentu habis dibeli konsumen. Salah satu upaya yang
dilakukan oleh produsen untuk menghindari kerugian akibat kerusakan tekstur
tahu antara lain berjamur, berlendir, sehingga menimbulkan bentuk, warna, rasa
dan bau berubah adalah dengan menambahkan pengawet, hal ini dilakukan untuk
mendapatkan masa simpan tahu menjadi lebih panjang dan tidak menutup
kemungkinan menambahkan zat kimia boraks sebagai pengawet, karena boraks
harganya murah dan boraks berfungsi sebagai pengenyal (Winarno F.G, 1994).
Tahu adalah suatu produk makanan berupa padatan lunak yang dibuat
melalui proses pengolahan kedelai (Glycine sp.) dengan cara pengendapan
proteinnya, dengan atau tidak ditambah bahan lain yang diizinkan (Badan
Standarisasi Nasional, 1998). Syarat mutu tahu diatur dalam SNI 01-3142-1998
dan Standar Industri Indonesia No. 0270-1990 yang dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Syarat Mutu Tahu menurut SNI 01-3142-1998 dan SII No. 0270-1990
Kriteria uji Satuan Persyaratan
Keadaan :
1.1 Bau Normal
1.2 Rasa Normal
1.3 Warna Putih normal atau kuning normal
1.4 Penampakan Normal, tidak berlendir dan tidak
berjamur
Abu %b/b Maks. 1.0
Protein %b/b Min. 9.0
Lemak %b/b Min. 0.5
Serat kasar %b/b Maks. 0.1
BTP %b/b Sesuai SNI. 0222-M dan Peraturan Men
Kes. No. 722/Men.Kes/Per/IX/88
Cemaran logam :
7.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks. 2.0
7.2 Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 30.0
7.3 Seng (Zn) mg/kg Maks. 40.0
7.4 Timah (Sn) mg/kg Maks. 40.0 / 250.0
7.5 Arsen (As) mg/kg Maks. 1.0
Cemaran Mikrobia :
8.1 Escherichia Coli APM/g Maks. 10
8.2 Salmonella /25g Negative
8.3 Angka Lempeng Koloni/g Maks. 1.0 x 106
Total
Sumber : SII (1990); Badan Standarisasi Nasional (1998)
b. Tepung Kedelai
Tepung kedelai sering dikenal sebagai soy flour dan grit. Bahan tersebut
biasanya mengandung 40-50% protein. Tepung kedelai terbuat dari kedelai yang
diolah dan digiling atau ditumbuk menjadi bentuk tepung. Penggunaan panas
dalam pengolahan diperlukan untuk peningkatan nilai gizi, daya tahan simpan dan
meningkatkan rasa (Herman, 1985). Komposisi kimia tepung kedelai dapat dilihat
pada tabel.
Tabel Komposisi kimia tepung kedelai dalam 100 gram.
Komposisi Kandungan
Air % 4.87
Protein % 34.39
N terlarut % 4.60
N amino % 0.05
Lemak % 25.53
Gula reduksi % 0.12
Abu % 3.72
Nilai cerna protein 75,49
Sumber : Widodo (2001)
Mustakas et al., (1967), memperkenalkan proses pembuatan tepung
kedelai skala rumahan yaitu biji kedelai direndam dalam air kemudian direbus
dalam air sampai matang. Setelah itu, kedelai dikeringkan dengan sinar matahari.
Jika kedelai kering dilanjutkan pengupasan kulit ari. Proses terakhir digiling
hingga didapatkan tepung kedelai. Proses pemanasan berupa perebusan bertujuan
untuk menginaktifkan beberapa enzim, di samping untuk menghilangkan bau
lungu (beany flavor). Bergantung pada penggunaanya, pemanasan dengan uap
pada tahap tertentu dapat diatur sehingga menghasilkan tepung atau bubuk kedelai
bebas minyak yang mempunyai nilai NSI (Nitrogen Solubility Index) berbeda.
Nilai NSI menunjukkan persentase total nitrogen Kjehdahl yang terekstrak dengan
air. Beberapa contoh penggunaan tepung kedelai dengan NSI berbeda misalnya
tepung kedelai dengan NSI 50-60 digunakan untuk campuran pembuatan roti,
cake, donat dan makaroni, sedangkan tepung kedelai dengan NSI 25-35
digunakan untuk minuman, pancake, waffle dan makanan sapihan
(Winarno,1993).
2.1.2 Bahan Kimia yang digunakan
Dalam analisis ini tidak ada bahan kimia yang digunakan.
Dihancurkan Dihancurkan
Pada praktikum ini bahan yang digunakan yaitu tahu dan tepung kedelai.
Sebelum mengalami proses pengabuan, bahan-bahan tersebut harus mengalami
proses pengecilan ukuran atau penghancuran bahan. Pengecilan ukuran atau
penghancuran bahan ini dilakukan agar pengabuan yang akan dilakukan dapat
terjadi dengan maksimal. Setelah mengalami proses pengecilan ukuran atau
penghancuran, sampel yang memiliki kadar air lebih dari 30% seperti tahu akan
mengalami pengovenan terlebih dahulu pada suhu 100°C selama 24 jam. Hal ini
dilakukan untuk mengurangi kadar air pada sampel dan memudahkan dalam
proses pengabuan.
2.3 Prosedur Analisa
Eksikator 15 menit
Kurs ditimbang
Kurs+sampel ditimbang
Eksikator 15 menit
Penimbangan (I)
Eksikator 15 menit
Penimbangan (II)
Pada praktikum kadar abu ini, sebelum melakukan pengabuan dilakukan
preparasi alat yang akan digunakan. Alat yang akan digunakan berupa kurs akan
dioven dengan suhu 100°C selama 24 jam. Hal ini dilakukan agar kurs yang akan
dipakai pada saat proses pengovenan benar-benar kering. Kurs yang telah dioven
ditimbang menggunakan neraca analitik untuk mengetahui berat kurs tersebut.
Kurs yang ditimbang ditambahkan sampel sebanyak 2 gram. Disiapkan sampel
sebanyak delapan sampel. Kurs yang sudah berisi sampel diabukan dengan cara
dimasukkan ke dalam tanur selama lima jam. Satu jam pertama dengan tanur
berskala 30-40 dan empat jam selanjutnya dengan tanur berskala 60-70. Skala
tanur yang bertahap ini dilakukan agar panas yang dihasilkan tidak merusak
sampel, sehingga sampel yang akan mengalami pengabuan tidak akan terganggu.
Setelah mengalami pengabuan selama lima jam, sampel akan dibiarkan di dalam
tanur selama 24 jam. Hal ini dilakukan agar panas tanur tidak akan keluar dan ().
Sampel yang telah didiamkan di dalam tanur selama 24 jam dioven selama 20
menit pada suhu 100°C. hal ini dilakukan untuk memaksimalkan sampel tetap
dalam keadaan kering. Sampel yang telah dioven selama 20 menit dimasukkan ke
dalam eksikator selama 15 menit agar kelembapannya turun dan tidak
mempengaruhi berat sampel pada saat penimbangan. Sampel yang telah
dieksikator selama 15 menit ditimbang untuk mengetahui berat kurs dan cawan
setelah mengalami pengabuan (I). Kurs dan sampel yang telah ditimbang dioven
lagi selama 20 menit pada suhu 100°C. Hal ini dilakukan untuk memaksimalkan
penguapan air dan memastikan berat sampel dan kurs sudah stabil. Sampel yang
telah dioven selama 20 menit dimasukkan ke dalam eksikator selama 15 menit
agar kelembapannya turun dan tidak mempengaruhi berat sampel pada saat
penimbangan. Sampel yang telah dieksikator selama 15 menit ditimbang untuk
mengetahui berat kurs dan cawan setelah mengalami pengovenan (II). Data yang
dihasilkan akan digunakan untuk menghitung kadar air, rata-rata, SD, dan RSD.
BAB 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
2. TepungKedelai
2. Tepung Kedelai
RATA-RATA
3.5000 3.1626 3.2547
3.0000
2.5000 2.0535
2.0000
1.5000
1.0000
0.5000 0.2875
0.0000
TAHU TEPUNG KEDELAI
RATA-RATA BB RATA-RATA BK
4.1 Kesimpulan
1. Analisis kadar abu pada bahan pangan hasil pertanian dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu pengabuan cara kering dan pengabuan cara basah.
2. Metode pengabuan cara kering dilakukan dengan melakukan pengovenan
terlebih dahulu terhadap sampel yang akan diuji untuk menghilangkan
kandungan air yang ada pada bahan pangan. Penentuan kadar abu cara
kering mempunyai prinsip yaitu mengoksidasi semua zat organik pada suhu
tinggi, yakni sekitar 500-600 oC dan kemudian melakukan penimbangan zat
yang tertinggal setelah proses pembakaran tersebut
4.2 Saran
1. Pada saat menjelaskan teori lebih jelas agar praktikan lebih paham
2. Selesai meggunakan alat laboratorium, segera dicuci dan kembalaik ke
tempat semula.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Andarwulan, N., Kusnandar, F. dan Herawati, D. 2011. Analisis Pangan. Jakarta:
Dian Rakyat.
Apriantono A, Fardian D. 1989. Analisa Pangan. Bogor: Departemen Pendidikan
dan kebudayaan, Dirjen Pendidikan Tinggi PAU Pangan dan Gizi IPB
Herman. 1985. Pengolahan Kedelai Menjadi Berbagai Bahan Makanan dalam
Kedelai. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi.
Irawati. 2008. MODUL PENGUJIAN MUTU 1. Diploma IV PDPPTK VEDCA.
Cianjur
Khopkar. 2003. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta : UI – Press.
Muchtadi,T.R. 1989. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. PAU Pangan dan
Gizi, IPB Bogor
Sandra Goodman., (1991). Vitamin C : The Master Nutrient. Dalam : Muhilal dan
Komari., (1995). Ester-C. Vitamin C Generasi III. Cetakan ketiga. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, Halaman 96-97
Sedioetama, A.D. 2000. Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa dan Profesi. Jilid 1. Jakarta:
Dian Rakyat.
Standar Nasional Indonesia. 1998. Tahu . Jakarta: Badan Standarisasi Nasional
Sudarmadji S, Bambang H, Suhardi. 2007. Analisis Bahan Makanan
danPertanian. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.
Sudarmadji, I. B. 2003. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian (Edisi ke 2 ed.,
Vol. III). Yogyakarta, DIY, Indonesia: Liberty Yogyakarta.
Widodo, S. 2001. Pengaruh Suhu dan Lama Perkecambahan Biji Kedelai (Glycine
max) terhadap Mutu Kimia dan Nutrisi Tepung yang Dihasilkan. Skripsi.
Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang.
Winarno FG. 1994. Bahan Tambahan untuk Makanan dan Kontaminan. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan
Winarno, F.G., 1993. Pangan, Gizi, Teknologi dan Konsumen. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.