Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN HEWANI


ACARA I
PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN DAGING

Disusun oleh :
Kelompok 6
Andrea Setiawan (H0917018)
As-salamah Karomatusy Syifa (H0917022)
Hidayatus Solechah (H0917039)
Rafika Andriyati Nur Annisa (H0917068)
Vanessa Gema Elisabeth (H0917084)
Yuvia Audy S (H0917087)

PROGRAM STUDI ILMU TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2019
ACARA I

PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN DAGING

A. TUJUAN
Tujuan praktikum acara I “Pengemasan dan Penyimpanan Daging“
yaitu mahasiswa mampu mempelajari pengaruh pengemasan vakum dan non
vakum pada penyimpanan suhu kamar, refrigator (suhu dingin), dan freezer
(suhu beku) terhadap mutu daging meliputi pH daging, volume cairan, dan
karakteristik sensori (warna dan aroma).

B. TINJAUAN PUSTAKA
Pengemasan disebut juga pembungkusan, pewadahan atau
pengepakan, dan merupakan salah satu cara pengawetan bahan hasil
pertanian, karena pengemasan dapat memperpanjang umur simpan bahan.
Pengemasan adalah wadah atau pembungkus yang dapat membantu
mencegah atau mengurangi terjadinya kerusakan-kerusakan pada bahan yang
dikemas / dibungkusnya. Ruang lingkup bidang pengemasan saat ini juga
sudah semakin luas, dari mulai bahan yang sangat bervariasi hingga model
atau bentuk dan teknologi pengemasan yang semakin canggih dan menarik.
Bahan kemasan yang digunakan bervariasi dari bahan kertas, plastik, gelas,
logam, fiber hingga bahan-bahan yang dilaminasi. Namun demikian
pemakaian bahan-bahan seperti papan kayu, karung goni, kain, kulit kayu ,
daun-daunan dan pelepah dan bahkan sampai barang-barang bekas seperti
koran dan plastik bekas yang tidak etis dan hiegenis juga digunakan sebagai
bahan pengemas produk pangan. Bentuk dan teknologi kemasan juga
bervariasi dari kemasan botol, kaleng, tetrapak, corrugated box, kemasan
vakum, kemasan aseptik, kaleng bertekanan, kemasan tabung hingga kemasan
aktif dan pintar (active and intelligent packaging) yang dapat menyesuaikan
kondisi lingkungan di dalam kemasan dengan kebutuhan produk yang
dikemas (Julianti dan Mimi, 2006).
Pengemasan daging memegang peranan penting dalam mencegah atau
mengurangi kerusakan oleh mikroorganisme serta gangguan fisiko Pengaruh
lain dari kemasan plastik adalah melindungi produk dari perubahan kadar air
karena bahan kemasan dapat menghambat terjadinya penyerapan uap air dari
udara (Loekmanet dkk., 1991). Jenis plastik yang populer digunakan untuk
pengemasan daging yaitu PE (polyethylen) dan PP (polyprophylen) karena
kedua jenis plastik ini selain harganya murah, mudah ditemukan di pasaran,
juga memiliki sifat umumyang hampir sarna. Plastik PE tidak menunjukkan
perubahan pada suhu maksimum 93°C - 121°C dan suhu minimum -46°C -
(-5°C), namun memiliki permeabilitas yang cukup tinggi terhadap gas-gas
organik sehingga masih dapat teroksidasi apabila disimpan dalam jangka
waktu yang lama (Yanti dkk., 2008).
Menurut Wheaton dan Lawson (1985) bahan ketnasan plastik yang
paling banyak digunakan adalah plastik PE karena mempunyai harga relatif
murah, mempunyai komposisi kimia yang baik, resisten terhadap lemak dan
minyak, tidak menimbulkan reaksi kimia terhadap makanan, mempunyai
kekuatan yang baik dan cukup kuat untuk melindungi produk dari perlakuan
kasar. Selama penyimpanan, mempunyai daya serap yang rendah terhadap
uap air, serta tersedia dalam berbagai bentuk.

C. METODOLOGI
1. Alat
a. Alat vakum
b. Freezer
c. gelas beaker
d. pH indicator universal
e. Pisau
f. Plastik
g. Refrigator
h. Talenan
2. Bahan
a. Daging sapi
b. Air suling
3. Cara Kerja

Daging sapi

Pemotongan menjadi 4 bagian dengan ukuran 4x2x1 cm

Pemberian perlakuan pengemasan suhu kamar, dingin, suhu beku


baik kondisi vakum dan non vakum selama 30 jam

Pengamatan pada jam ke- 0; 6; 24; dan 30 dengan parameter warna,


daya ikat air dan nilai pH

Pengamatan dan penilaian Pembukaan kemasan daging Pengecilan ukuran daging


warna dengan sensoris

Penuangan air daging ke Penuangan 50 ml larutan


dalam gelas ukur buffer ke gelas beaker berisi
daging

Pengukuran air yang keluar


dari daging Penetralan pH meter dengan
aquades

Pengukuran pH daging

Gambar 1.1 Diagram Alir Proses Pengemasan dan Penyimpanan Daging.

D. PEMBAHASAN
Pengemasan merupakan suatu usaha yang bertujuan untuk melindungi
bahan pangan dari penyebab-penyebab kerusakan baik fisik, kimia, biologis
maupun mekanis sehingga dapat sampai ke tangan konsumen dalam keadaan
baik dan menarik.  Bahan kemasan yang digunakan bervariasi dari bahan
kertas, plastik, gelas, logam, fiber, hingga bahan-bahan yang dilaminasi.
Bentuk dan teknologi kemasan juga bervariasi dari kemasan botol, kaleng,
tetrapak, corrugated box, kemasan vakum, kemasan aseptik, kaleng
bertekanan, kemasan tabung hingga kemasan aktif dan pintar (active and
intelligent packaging) yang dapat menyesuaikan kondisi lingkungan di dalam
kemasan dengan kebutuhan produk yang dikemas (Opara, 2013).

Pengemasan daging segar terutama ditujukan untuk mencegah


dehidrasi, mencegah masuknya bau dan rasa asing dari luar kemasan, tetapi
dapat melewatkan oksigen seperlunya ke dalam kemasan sehingga warna
merah cerah dapat dipertahankan selama penjualan, tapi harus diperhatikan
pula bahwa oksigen juga dapat menyebabkan ketengikan lemak yang ada
pada daging. Oleh karena itu selama transportasi daging menggunakan dua
macam bahan pengemas. Pengemas pertama berupa plastik yang memiliki
permeabilitas terhadap oksigen yang tinggi yaitu lebih besar dari 200 ml
oksigen/100 sq.inch/24 jam/atm. Kemudian kemasan pertama ini dikemas
lagi dalam pengemas kedua dan secara bersama-sama dilakukan evakuasi
terhadap kedua pengemas tersebut, ditutup rapat dan dikerutkan dengan
pemanasan. Bila saatnya akan dijajakan, kemasan pertama yang berada di
dalam kemasan kedua dikeluarkan dan dikerutkan dengan pemanasan. Proses
ini mempercepat transfer oksigen ke dalam daging sehingga warna daging
menjadi merah cerah (Yanti dkk., 2008).
Terdapat beberapa teknik pengemasan yang berpedoman pada
langkah-langkah untuk dapat melakukan perlindungan produk pangan daging
dalam kemasan dari kemungkinan perpindahan air antara lain:
1. Mengontrol Hidratasi
a. Mencegah masuknya uap air
Produk kering terutama yang bersifat hidrofilik harus dilindungi
terhadap masuknya uap air. Umumnya produk-produk ini memiliki
ERH yang rendah, sebab itu harus dikemas dalam kontainer yang
mempunyai nilai permeabilitas air rendah untuk mencegah produk
yang berkadar gula tinggi merekat atau produk-produk tepung
menjadi basah sehingga tidak lagi bersifat "mawur" (free flowing).
b. Mencegah keluarnya uap air
Untuk komoditi yang memiliki kadar air tinggi seperti buah, sayur
dan daging, penguapan air dari bahan yang dikemas harus dijaga
supaya tetap segar, tidak mengerak di bagian atasnya. Untuk
mencegah keluarnya uap air dari produk dapat dilakukan dengan
mengatur sirkulasi udara di luar kemasan.
c. Mengontrol uap air
Untuk produk-produk yang dapat berkeringat jika hari panas dan
berkondensasi jika dingin, maka kontrol uap air harus dijaga.
Misalnya untuk produk pangan semi basah (Intermediate Moisture
Food) dikemas dengan jenis pengemas semipermeabel.

2. Mengendalikan Suhu
Tingkat suhu tertentu dan fluktuasi suhu sangat mempengaruhi
mutu produk. Sesuai dengan kaidah Arhenius yaitu setiap kenaikan suhu
sebesar 100C terjadi kenaikan kecepatan reaksi sebanyak dua kali.
Pengaruh suhu dapat dihindari dengan memberi isolator (penghambat
panas) pada kemasan. Untuk produk yang peka seperti daging harus
disimpan pada suhu rendah -180C sampai 0,50C guna mencegah
kristalisasi es, pertumbuhan bakteri psikrofilik. Sebaiknya dikemas
dengan foil atau saran (PVDC atau poliviniliden khlorida).

3. Pengaturan Atmosfer
Pengemasan dan Penyimpanan Oksigen menyebabkan oksidasi
terutama pada produk pangan yang mempunyai kandungan lemak dan
vitamin yang peka terhadap oksidasi seperti Vitamin A dan C.
Permeabilitas oksigen dapat terjadi melalui poripori film atau laminat.
Reaksi oksidasi yang dapat menyebabkan perubahan warna seperti pada
daging atau perubahan rasa dan aroma seperti pada minyak atau lemak,
dapat dicegah dengan cara-cara berikut:
a. Pengaturan kadar oksigen
Untuk produk-produk yang peka terhadap oksidasi seperti susu,
minyak dan lemak dapat disimpan dengan mengatur konsentrasi
oksigen sekitar 3 - 5 persen. Ambang batas respirasi bahan segar
memerlukan oksigen 2 persen. Di bawah konsentrasi ini produk akan
rusak.
b. Pengaturan kadar CO2
Beberapa komoditi pertanian dapat disimpan segar dengan mengatur
CO2 5 - 10 persen, kecuali apel, tomat dan jeruk. Pada apel terjadi
reaksi pencokelatan sedangkan pada tomat dan jeruk terjadi
pembusukan.
c. Pengemasan dalam Gass tight packs
Komoditi seperti keju, makanan bayi, sebaiknya dikemas dalam
kemasan hermetis dan vakum, untuk menekan sekecil-kecilnya
kandungan oksigen.

4. Mencegah Penyinaran Ultra Violet


Terdapat beberapa makanan yang peka terhadap sinar matahari
atau ultra violet seperti daging, saus tomat, wortel, susu dan minuman
ringan. Makanan-makan tersebut sebaiknya disimpan di tempat
terlindung (teduh). Perubahan yang terjadi pada daging adalah
pemudaran warna (Suradi, 2005)

Color analyzer adalah suatu alat ukur digital yang digunakan untuk
menquantify warna pada benda dalam satuan angka dan untuk menganalisis
dan mengidentifikasi warna yang terdiri dari modul pencahayaan, modul
pengenalan warna, modul pemrosesan data dan modul tampilan. Color
analyzer menggunakan sensor fotodioda, seperti halnya fungsi color matching
retina mata manusia yang bisa mendeteksi tiga nilai warna primer
(Qiaoyi et al., 2014). Prinsip kerja dari color analyzer ini adalah interaksi
antara energi cahaya diffus dengan atom atau molekul dari bahan yang
dianalisis. Color analyzer memiliki ruang pengukuran yang berfungsi untuk
tempat mengukur warna objek dengan diameter tertentu dan ruang
pengolahan data dimana input dari objek yang diamati akan diolah menjadi
sebuah output. ruang pengukuran yang dimiliki masing-masing color analyzer
berbeda-beda tergantung pada diameter objek. Color analyzer menggunakan
lampu xenon sebagai sumber cahayanya yang nantinya akan menembak
permukaan sampel dan akan dipantulkan menuju sensor spektral (Candra
dkk., 2014).
Menurut Syarief dan Hilid (1993), pengemasan dapat dibedakan
menjadi pengemasan vakum dan non vakum. Pengemasan vakum pada
prinsipnya merupakan pengeluaran gas dan uap air dari produk yang dikemas,
sedangkan pengemasan nonvakum adalah tanpa mengeluarkan gas dan uap
air yang terdapat dalam produk. Oleh karena itu, pengemasan vakum
cenderung menekan pertumbuhan bakteri dibandingkan kondisi tidak vakum.
Pengemasan vakum adalah sistem pengemasan hampa udara dimana
tekanannya kurang dari 1 atm dengan cara mengeluarkan O2 dari proses masa
simpan, sehingga memperpanjang umur simpan. Proses pengemasan vakum
ini dilakukan dengan cara memasukkan produk ke dalam kemasan plastik
yang diikuti dengan pengontrolan udara menggunakan mesin pengemas
vakum (Vacum Packager), kemudian ditutup dan disealer. Fungsi
pengemasan vakum adalah meniadakan udara dalam kemasan dimana dengan
ketiadaan udara dalam proses penyimpanan, maka kerusakan akibat oksidasi
dapat dihilangkan sehingga kesegaran produk akan lebih bertahan 3 - 5 kali
lebih lama atau disebut juga dengan memperpanjang umur simpan yang
dikemas daripada produk yang yang disimpan dengan nonvakum (Jay, 1996).
Pengemasan nonvakum adalah pengemasan biasa yang tidak dikontrol udara
yang masuk dalam kemasan tersebut. Dimana prinsipnya tanpa mengeluarkan
gas dan uap air yang terdapat pada produk yang dikemas (Adawiyah dkk,
2016). Klemahan metode masa simpan ini adalah ada kemungkinan sealing
yang kurang sempurna, masih ada celah sehingga udara atau uap air dapat
masuk, karena heat sealer dioperasikan secara manual (Rahmadana, 2013).
Penyimpanan daging pada suhu ruang dapat menyebabkan adanya
interaksi yang nyata terhadap kenaikan susut bbobot daging. Semakin lama
penyimpanan pada suhu ruang, semakin banyak basa yang dihasilkan akibat
semakin meningkatnya aktivitas mikroorganisme yang pada akhirnya
mengakibatkan terjadinya pembusukan. Proses pembusukan akan diikuti
peningkatan pH, dan peningkatan pertumbuhan bakteri (Jay, 1978). Bakteri
akan berkembang dengan membelah diri menjadi dua kali lipat setiap 30
menit sehingga semakin lama daging dipaparkan pada suhu ruang, bakteri
akan terus berkembangbiak pada daging dalam waktu yang relatif cepat. Total
bakteri dapat meningkat mencapai 100 kali lipat atau lebih saat disimpan pada
suhu ruang dalam waktu yang lama (Chye et al., 2004).

Penyimpanan daging pada suhu dingin atau pada suhu refrigerator


(≤ 3˚C) dapat menjaga kualitas daging. Suhu dingin dapat menghambat
penurunan kualitas dan mampu memperpanjang umur simpan daging
(Aberle et al., 2001). Sementara Widati (2008) menyatakan bahwa pada
penyimpanan suhu beku, daging mengakibatkan kemampuan daging dalam
mengikat air dan kadar airnya menurun. Semakin rendah suhu pendinginan
yang diberikan maka akan menghasilkan kristal es yang lebih halus. Hal ini
mengakibatkan daging tidak banyak mengalami kerusakan mekanis. Proses
pembekuan daging sapi dapat menghambat pertumbuhan mikrobia, proses
proteolitik, proses hidrolisis, dan sedikit proses oksidatif. Selain itu,
pendinginan dapat mempermudah transportasi dan mencegah kerugian pelaku
usaha akibat produk yang dikirim rusak ditengah jalan.
Tabel 1.1 Data Pengamatan Warna, Volume Air, dan ph Sampel Pada Jam ke-0, 6, 24, dan 30

Ke Perlakua Temperatu Warna Volume air pH


l n r 0 6 24 30 0 6 24 30 0 6 24 30
+++ 0,0 0,0 0,0
1 Ruang +++ ++ ++ 0 5 5 5 6
+ 2 4 7
+++ +++ 0,0 0,0 0,0 5,
2 Vakum Dingin ++++ +++ 0 5 5 5
+ + 2 4 4 5
+++ +++ 0,0 0,0 0,0
3 Beku +++ ++ 0 6 5 5 5
+ + 1 4 6
+++ 0,0 0,0 0,0 5, 5, 5,
4 Ruang +++ ++ + 0 5,5
+ 4 4 6 5 5 5
Non- +++ +++ 0,0
5 Dingin ++++ +++ 0 0 0 5 5 5 6
vakum + + 3
+++ +++ 0,0 0,0 5,
6 Beku +++ ++++ 0 0 6 5 5
+ + 3 1 5
+++ 0,0 0,0 0,0
7 Ruang +++ ++ ++ 0 5 5 5 5
+ 2 4 4
+++ +++ ++++ 0,0 0,0 0,0 5, 4, 5,
8 Vakum Dingin ++++ 0 5,5
+ + + 6 2 2 5 5 5
+++ +++ 0,0 0,0 0,0 5,2
9 Beku +++ ++ 0 5 5 5
+ + 1 2 2 5
+++ +++ 0,0 0,0 0,0 5, 5,
10 Ruang +++ +++ 0 5 5
+ + 2 4 5 5 5
Non- +++ +++ 0,0
11 Dingin ++++ ++++ 0 0 0 5 5 6 6
vakum + + 1
+++ +++ ++++ ++++ 0,0 5,
12 Beku 0 0 0 5 5 5
+ + + + 1 5
Sumber : Laporan sementara
Keterangan :
+ = Sangat pucat
++ = Pucat
+++ = Agak pucat
++++ = Terang
+++++ = Sangat terang
Pada Tabel 1.1 didapatkan data warna, volume air dan pH daging
dengan dua perlakuaan yaitu vakum dan non vakum setelah penyimpanan
pada suhu ruang, dingin, dan beku, dengan waktu pengamatan pada jam ke-0,
6, 24, dan 30. Pada daging yang diberi perlakuan vakum maupun non vakum
dengan penyimpana pada suhu ruang, dingin, dan vakum rata-rata mengalami
penurunan yang bervariasi. Penurunan warna menjadi sangan pucat terjadi
pada daging yang yang diberi perlakuan non vakum dan disimpan padaa suhu
ruang.
Menurut Jaelani dkk. (2016), warna daging yang baru diiris biasanya
merah ungu gelap. Warna tersebut berubah menjadi terang (merah muda),
bila daging dibiarkan kena oksigen. Mioglobin merupakan pigmen berwarna
merah keunguan yang menentukan warna daging segar, mioglobin dapat
mengalami perubahan bentuk akibat berbagai reaksi kimia. Bila kena udara,
pigmen mioglobin akan teroksidasi menjadi oksimioglobin yang
menghasilkan warna merah terang. Oksidasi lebih lanjut dari oksimioglobin
akan menghasilkan pigmen metmioglobin yang berwarna cokelat. Timbulnya
warna coklat menandakan bahwa daging terlalu lama terkena udara bebas,
sehingga menjadi rusak.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Jaelani dkk. (2016), semakin
lama penyimpanan maka daging akan berubah menjadi merah pucat
warnanya, hal ini disebabkan oleh terjadinya perubahan oksidasi mioglobin
menjadi metmioglobin sehingga semakin lama teroksidasi maka semakin
pucat warnanya. Perubahan warna daging dapat juga dihubungkan dengan
kontaminasi bakteri aerobik pada fase logaritmik dari pertumbuhan
mengakibatkan pembentukan metmioglobin, menghasilkan pengaruh
terhadap perubahan warna. Peningkatan jumlah bakteri aerobik
mengakibatkan permukaan daging berubah warnanya dari merah
oksimioglobin menjadi coklat metmioglobin dan kemudian keunguan
myoglobin tereduksi.
Daging sapi yang dikemas dalam kemasan vakum akan memiliki
warna merah keunguan. Penyebabnya adalah ketiadaan oksigen di dalam
kemasan vakum. Jika daging dikeluarkan dari kemasan vakum dan kontak
dengan udara, maka warna permukaan daging akan menjadi merah terang
karena terjadinya oksigenasi mioglobin menjadi oksimioglobin. Permukaan
daging yang mengalami kontak dengan udara dalam jangka waktu yang lama,
akan berwarna coklat, karena oksimioglobin teroksidasi menjadi
metmioglobin. (Lawrie, 2003).
Kemudian diperoleh volume air daging setelah penyimpanan pada
suhu ruang, dingin, dan beku, dengan waktu pengamatan pada jam ke-0, 6,
24, dan 30 yaitu didapatkan nilai volume akhir air terbesar terdapat pada
sampel daging yang disimpan pada suhu ruang baik itu pada perlakuan vakum
maupun non vakum. Terbentuknya cairan tersebut berhubungan dengan daya
ikat air dalam daging itu sendiri. Nilai daya ikat air daging ditunjukkan oleh
banyaknya cairan daging yang keluar (drip). Selama penyimpanan akan
terjadi degradasi kolagen dari protein yang menyusun ikatan silang diantara
serat daging, selanjutnya dinyatakan bahwa komponen utama yang berfungsi
menahan air daging adalah protein. Perubahan struktur protein dalam daging
seiring dengan lama waktu penyimpanan dapat melemahkan kemampuan
daging untuk mengikat cairannya (Aberle et al., 2001).
Kadar air daging pada suhu beku lebih rendah dari pada perlakuan
yang lainnya. Hal ini karena kecepatan pembekuan menentukan ukuran
kristal es yang terbentuk yang pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas
produk, pada pembekuan akan cepat terbentuk kristal es yang lembut dan jika
penurunan suhu pembekuan sangat cepat akan terbentuk kristal es ultra
mikroskopik (sangat lembut), kristal yang terbentuk akan mempengaruhi
jumlah cairan yang keluar pada saat daging dicairkan kembali (drip).
Sehingga akan mempengaruhi jumlah cairan dalam daging (Widati, 2008).

Pada nilai pH daging yang didapat cenderung konstan dan beberapa


naik untuk sampel dalam suhu ruang dan suhu dingin. Hal ini menunjukan
bahwa pH daging tidak berbeda disebabkan karena glikogen tidak mengalami
perombakan. Diduga selama penyimpanan enzim yang mengkatalisis reaksi
glikosis anerobik penghasil asam laktat berlangsung lambat
(Jaelani dkk., 2016). Menurut Widati (2008), bahwa daging di simpan pada
suhu beku (-180C) selama 1 bulan dengan menggunakan bahan Kemasan
Tidak Berpengaruh Terhadap Ph Daging.
Banyak masalah yang terjadi di masyarakat terkait dengan kerusakan
daging yang disebabkan oleh cara pengemasan dan penyimpanan yang kurang
tepat. Komposisi kimia dan kelembaban daging sangat ideal untuk
berlangsungnya proses kehidupan bakteri dan jamur. Hal ini menyebabkan
daging tidak dapat bertahan lama bila disimpan pada suhu kamar.
Mikroorganisme kontaminan yang banyak hidup pada daging sapi adalah
bakteri dan jamur. Kedua mikroorganisme tersebut sangat potensial merusak.
Daging mengandung sekitar 75% air, atau berkisar antara 65-85%. Air
merupakan konstituen utama cairan ekstraseluler. Di dalam air banyak
senyawa kimia yang terlarut maupun yang tersuspensi. Air merupakan
medium transportasi diantara serat daging sehingga kadar air berperan
penting pada kehidupan mikroorganisme (Soeparno, 1994).
Faktor penyebab pertumbuhan mikroorganisme tersebut dapat
dihambat dengan preservasi atau pengawetan. Preservasi dapat mengamankan
daging dari kerusakan atau pembusukan akibat mikroorganisme. Metode
preservasi pada daging yang paling banyak digunakan adalah dengan
pengaturan suhu penyimpanan, antara lain dengan pendinginan dan
pembekuan. Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mengawetkan
daging adalah dengan menyimpannya di freezer pada lemari pendingin.
Namun, kesadaran masyarakat untuk menyimpan daging di  freezer juga
masih rendah. Kebanyakan dari masyarakat, terutama para pedagang, masih
menyimpan daging di suhu refrigerator. Selain pendinginan, pengemasan
juga merupakan salah satu metode preservasi atau pengawetan. Selain itu
kemasan yang digunakan untuk penyimpanan ini sangat berpengaruh
terhadap kualitas daging sapi (Suluh, 2019).
Kemasan plastik banyak digunakan dengan pertimbangan bahan
tersebut mudah dibentuk sesuai dengan keinginan, tidak bersifat korosif
(mudah berkarat), tidak memerlukan penanganan khusus. Dalam dunia
perdagangan dikenal ada plastik khusus untuk mengemas bahan pangan (food
grade) dan plastik untukmengemas bahan bukan pangan (non-food grade).
Oleh karena itu bila akan memilih plastik untuk mengemas bahan dan produk
pangan terutama daging maka harus dipilih yang  food grade. Daging sapi
yang mengalami warna menjadi kecoklatan yang disebabkan oleh oksidasi
mioglobin. Hal tersebut dapat dicegah dengan melakukan pengemasan vakum
dan penyimpanan dengan pembekuan atau pada suhu freezer. Kenampakan
daging sapi yang lembek dan sedkit berlendir juga disebabkan karena cara
pengemasan dan penyimpnan yang kurang tepat yang mana dapat dicegah
dengan pengemasan vakum dan pembekuan (Suluh, 2019).

E. KESIMPULAN
Berdasarkan praktikum Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Acara
I “Pengemasan dan Penyimpanan Daging” dapat disimpulkan bahwa daging
sapi yang dikemas dalam kemasan vakum akan memiliki warna merah
keunguan. Penyebabnya adalah ketiadaan oksigen di dalam kemasan vakum.
Sedangkan daging yang dikemas secara non-vakum dan yang dikeluarkan
dari kemasan vakum dan kontak dengan udara, maka warna permukaan
daging akan menjadi merah terang karena terjadinya oksigenasi mioglobin
menjadi oksimioglobin. Pada hasil nilai volume air, kadaar air tertinggi
berada pada daging yang disimpan pada suhu ruang. Sedangkan nilai pH
daging cenderung konstan karena glikogen tidak mengalami perombakan.
DAFTAR PUSTAKA

Aberle, E. D., J. C. Foerrest, D. E. Gerrard. E. D. Mills, H. B. Hendrik, M. D.


Judge and R. A. Merkel. 2001. Principles of Meat Science Fourth
Edition. Kendall/Hunt Publisher Company. United State of America.
Adawiyah, Rabiatul., Sri Widyastuti., dan Wiharyani Werdiningsih. 2016.
Pengaruh Pengemasan Vakum Terhadap Kualitas Mikrobiologis Ayam
Bakar Asap Selama Penyimpanan. Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan.
2(2): 152-157
Candra, Fitria Nurika., Putut Har Riyadi., dan Ima Wijayanti. 2014. Pemanfaatan
Karagenan (Euchema cottoni) sebagai Emulsifier Terhadap Kestabilan
Bakso Ikan Nila (Oreochromis nilotichus) pada Penyimpanan Suhu
Dingin. Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan. 3(1): 167-
176.
Jaelani, Achmad., Siti Dharmawati., Bahrin Noor. 2016. Pengaruh Lama
Penyimpanan Daging Itik Alabiodalam Refrigerator Terhadap Kualitas
Mikrobiologi, pH dan Organoleptik. ZIRAA’AH, 41(1):145-155.
Jay, J.M. 1978. Modern Food Microbiology, Second Ed. Wayne State University,
D. Van Nastrand Co. New York.
Jay. 1996. Modern Food Microbiology 44th Edition. D Nastrand Co. New York.
Julianti, Elisa., Mimi Nurminah. 2006. Teknologi Pengemasan. Universitas
Sumatra Utara Press. Medan.
Lawrie, R A. 2003. Ilmu Daging. Cetakan V. Penerjemah Aminuddin Parakkasi.
UI Press. Jakarta.
Loekman S, Maamoen A, Ridwan 5, Suparmi, Edison. 1991. Pengaruh
Pengemasan terhadap Mutu Ikan Baung (Macrones sp) Asap. Jurnal
Penelitian, Pusat Penelitian Universitas Riau.
Opara, Umezuruike Linus dan Asanda Mditshwa. A review on the role of
packaging in securing food system: Adding value to food products
and reducing losses and waste. African Journal of Agricultural Research.
8(22):2621-2630
Qiaoyi, Li., Xiong Yanling., Yan Wenlong., Han Junsheng., and Lian Huang.
2014. Study on Color Analyzer based on Multiplexing og TCS3200
Color Sensor and Microcontroller. International Journal of Hybrid
Information Technology. 7(5): 167-174.
Rahmadana. 2013. Analisa Masa Simpan Rendang ikan dalam kemasan Vakum
selsma penyimpanan suhu Ruang dan Dingin. Skripsi Fakultas
Pertanian. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Fakultas Peternakan Universitas
Gadjah Mada.Yogyakarta.
Suluh, Debora Gaudensiana. 2019. Studi Perkembangan Kuman Pada Daging Se’i
Yang Dikemas Divakum dan Dikemas Tanpa Divakum. The Journal of
Environmental Health Research. 3(1):167- 174
Suradi. 2005. Fasilitas Penanganan Pengemasan Olahan Ternak. UNPAD
PRESS. Jawa Barat.
Syarief, R., dan Hilid H. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. IPB. Bogor.
Wheaton FW and Lawson TB. 1985. Processing Aquatic Food Product. John
Wiley and Sons. New York.
Widati, A. S. 2008. Pengaruh lama pelayuan, temperature pembekuan terhadap
kualitas kimia daging beku. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak.
3(2):1-11.
Yanti, Hafri., Hidayati dan Elfawati. 2008. Kualitas Daging Sapi dengan Kemasan
Plastik PE (Polyethylen) dan Plastik PP (Polypropylen) di Pasar Arengka
Kota Pekanbaru. Jurnal Petemakan. 5(1): 22 – 27.

Anda mungkin juga menyukai