DOSEN :
SISKA DAMAIYANTI, Ners, M.kep
OLEH :
RAHMI RAMADHONA
1912142010151
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah S.W.T, yang mana berkat
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelasaikan makalah ini sesuai
dengan yang diharapkan. Dalam makalah ini kami akan membahas tentang “Kasus
Risiko Bunuh Diri Pada Remaja“ pada mata kuliah Keperawatan Jiwa II. Serta kami
juga berterima kasih kepada ibu Siska Damaiyanti,Ners.M.kep selaku dosen mata
kuliah Keperawatan Jiwa II STIKes YARSI SUMBAR Bukittinggi .
Penyusun
1912142010151
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..........................................................................................
Daftar isi......................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................
A. Latar Belakang.................................................................................
B. Tujuan..............................................................................................
BAB II TEORITIS.....................................................................................
A. Definisi.............................................................................................
B. Jenis-jenis Bunuh Diri......................................................................
C. Tahap-tahap Resiko Bunuh Diri......................................................
D. Tanda dan Gejala.............................................................................
E. Rentang Respon...............................................................................
F. Pohon Masalah.................................................................................
G. Diagnosis Keperawatan....................................................................
H. Mekanisme Koping..........................................................................
Daftar Pustaka
JURNAL (Terlampir)
1912142010151
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari, seorang individu tidak terlepas dari masalah
yang dihadapi yang dapat menimbulkan stres. Stres merupakan gangguan yang
dihadapi seseorang akibat adanya tekanan atau masalah yang muncul pada individu.
Masalah atau tekanan tersebut dapat muncul dari dalam diri maupun dari luar diri
individu. Nilai yang tidak memuaskan, tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkan,
tidak maksimal dalam mengerjakan suatu pekerjaan, tidak dapat bersosialisasi dengan
baik, konflik dengan teman, keluarga, atau rekan kerja, putus cinta, tidak lulus tepat
waktu, dan tuntutan dari keluarga merupakan contoh dari masalah yang dihadapi oleh
individu.
Masalah tersebut membuat individu merasa tertekan secara terus- menerus dan
dapat mengganggu kinerja dari individu itu sendiri. Hal-hal tersebut juga sering
dialami oleh mahasiswa. Mahasiswa banyak mendapatkan tugas dan pekerjaan dari
perkuliahan. Tugas dan pekerjaan tersebut tidak jarang membuat mahasiswa menjadi
tertekan. Selain itu, ekspektasi dari lingkungan dan orangtua yang menginginkan
prestasi, lulus tepat waktu, mendapatkan pekerjaan dengan cepat, dan juga sukses
dalam segala bidang menjadi salah satu faktor tekanan bagi mahasiswa. Hal tersebut
akan semakin parah jika mahasiswa tidak mendapatkan IPK yang memuaskan atau
tidak memenuhi ekspektasi dari orangtua ataupun lingkungan. Oleh karena itu,
tekanan yang dirasakan mahasiswa dari dalam dan luar semakin bertambah. Masalah-
masalah yang dialami tersebut dapat dikatakan sebagai stressor. Stressor merupakan
stimulus yang muncul yang menyebabkan stres pada individu.
juga dapat memprediksi peningkatan ide atau gagasan untuk bunuh diri (Kang, Hyun,
Choi, Kim, Kim, dan Woo, 2014).
Bunuh diri merupakan suatu upaya yang disadari dan bertujuan untuk
mengakhiri kehidupan, individu secara sadar berhasrat dan berupaya melaksanakan
hasratnya untuk mati (Muhith, 2015). Bunuh diri juga dapat disebut sebagai suatu
perbuatan atau tindakan yang disengaja untuk menghancurkan atau membunuh diri
sendiri. Upaya bunuh diri merupakan salah satu cara seseorang berteriak meminta
tolong kepada orang lain. Maka dari itu, seseorang yang melakukan upaya bunuh diri
memiliki perasaan ambigu antara keinginan untuk hidup dan keinginan untuk mati
atau dapat disebut sebagai ambivalensi. Bunuh diri merupakan kematian yang
disebabkan oleh luka, keracunan, atau mati lemas yang memiliki bukti adanya cidera
yang disebabkan oleh dirinya sendiri dan tindakan tersebut dilakukan untuk
membunuh dirinya sendiri (Nolen-Hoeksema, 2014).
Menurut data statistik Kesehatan Dunia pada WHO, Korea Selatan merupakan
Negara yang memiliki angka bunuh diri tertinggi yaitu 36,8%. Di ASEAN, Thailand
merupakan Negara yang memiliki angka bunuh diri cukup tinggi yaitu sebanyak
13,1%. Sebanyak 75% kasus bunuh diri terjadi di Negara-negara yang memiliki
penghasilan rendah dan menengah (Kompas.com, 2016). Bunuh diri dikalangan
remaja Jepang sudah terjadi sebelum dan setelah perang dunia kedua, dan tetap tidak
berubah walaupun sudah ada perubahan dalam sistem pendidikan (Zeng dan Le
Tendre, 1998). Pada Negara Indonesia, tercatat pada tahun 2005 terdapat 30.000
kasus bunuh diri dan pada tahun 2010 terdapat 5.000 orang yang melakukan bunuh
diri setiap tahunnya. Pada tahun 2012, tingkat bunuh diri meningkat menjadi 10.000
1912142010151
Terdapat tiga jenis dari perilaku bunuh diri, yaitu completed suicide, suicide
attempt, dan suicide ideation. Completed suicide merupakan perilaku bunuh diri
dimana individu melakukan tindakan bunuh diri secara fatal sehingga menyebabkan
kematian yang cepat. Suicide attempt adalah perilaku dimana individu melakukan
percobaan bunuh diri, namun tidak berakibat fatal. Individu yang melakukan suicide
attempt masih mengalami keadaan ambivalensi dimana belum ada kejelasan antara
keinginan untuk hidup dan keinginan untuk mati. Suicide ideation atau bisa disebut
dengan ide bunuh diri merupakan ide individu untuk melakukan bunuh diri, namun
hal tersebut hanya sebatas pikiran dan belum dilakukan (Nolen-Hoeksema, 2014).
Stres akademis memiliki korelasi dengan depresi dan ide untuk bunuh diri
(Ang dan Huan, 2006). Menurut Petzel dan Riddle (dalam Wilburn dan Smith, 2005),
prestasi akademis yang buruk dapat menyebabkan seorang individu mengalami stres,
depresi, hingga bunuh diri. Penelitian lain yang dilakukan oleh Juon, Nam, dan
Ensminger (dalam Ang dan Huan, 2006) mengatakan bahwa pelajar di Korea Selatan
memiliki tingkat stres yang tinggi terkait dengan prestasi akademik sehingga
cenderung memiliki pikiran untuk melakukan bunuh diri.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Agolla dan Ongori (2009) menjelaskan
bahwa kinerja akademis yang buruk dan ekspektasi dari teman atau keluarga yang
tinggi merupakan salah satu faktor yang membuat mahasiswa menjadi tertekan hingga
mengalami stres dan depresi. Hal tersebut disebabkan karena individu tidak dapat
mencapai ekspektasi dari keluarga, lingkungan, maupun diri sendiri.
1912142010151
Toero, Nagy, Sawaguchi, Sawaguchi, dan Sotonyi (dalam Ang dan Huan,
2006) mengatakan bahwa terdapat hubungan antara tekanan akademis dengan
perilaku bunuh diri pada remaja dan dewasa awal. Hal tersebut terlihat dari hasil
penelitian yang telah dilakukan bahwa terdapat kasus-kasus bunuh diri yang terjadi
biasanya memuncak selama periode ujian. Selama periode ujian, tingkat stres pada
pelajar atau mahasiswa menjadi lebih meningkat dari pada biasanya.
Pada tahun 2001, studi yang dilakukan oleh American College Health
Association (Hirsch, Conner, dan Duberstein, 2007) mengungkapkan bahwa 9,5%
dari mahasiswa memiliki pikiran serius untuk bunuh diri dan 1,5% dilaporkan
melakukan percobaan bunuh diri. Penelitian lain (Brener, Hassan, Barrios, 1999;
Hirsch, Wolford, LaLonde, Brunk, dan Parker-Morris, 2009; Furr, Westefeld,
McConnell, dan Jenkins, 2001 dalam Hirsch dkk, 2007) mengungkapkan, sekitar 8% -
15% mahasiswa di Amerika Serikat melaporkan bahwa mereka mengambil tindakan
berdasarkan pemikiran mereka tentang bunuh diri. Sebanyak 14,6% mahasiswa di
China diketahui memiliki ide untuk bunuh diri pada tahun terakhir. Hasil penelitian
yang dilakukan oleh Hirsch dkk (2007), sebanyak 46% dari 439 mahasiswa
melaporkan pernah memiliki ide untuk bunuh diri, dimana 124 mahasiswa tersebut
pernah memiliki pikiran untuk bunuh diri pada setahun terakhir.
Kasus bunuh diri lain juga terjadi di Bandung, seorang mahasiswa memilih
untuk mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri di kamar kost (diambil dari
news.detik.com, 2018). Mahasiswa tersebut merasa pusing memikirkan masalah
skripsinya, hingga akhirnya memilih untuk bunuh diri. Kasus-kasus bunuh diri yang
terjadi di Indonesia memiliki faktor penyebab yang beragam. Prestasi yang baik tidak
menjamin seseorang tidak akan melakukan upaya untuk bunuh diri. Dukungan atau
tekanan dari orangtua dan lingkungan juga dapat menjadi faktor penyebab seseorang
melakukan tindakan bunuh diri.
Penelitian mengenai bunuh diri lain yaitu dilakukan oleh Fahrudin (2012)
yang melakukan penelitian mengenai fenomena bunuh diri di Gunung Kidul.
Penelitian tersebut menemukan jika kemiskinan dan mitos mengenai pulung gantung
bukan alasan yang kuat untuk menjadi faktor penyebab bunuh diri pada masyarakat di
Gunung Kidul, melainkan perilaku koping yang dipelajari. Individu akan mempelajari
suatu perilaku dari orang lain, dimana pada fenomena bunuh diri di Gunung Kidul
masyarakat mempelajari perilaku jika bunuh diri merupakan salah satu cara pelunasan
hutang ketika individu tidak dapat melunasi hutang tersebut. Penelitian ini
menggunakan pengumpulan data melalui polisi, Rumah Sakit, dan kepala wilayah,
namun tidak ada pengumpulan data pada masyarakat, seperti misalnya dengan cara
wawancara.
Selain itu, tekanan dan ekspektasi yang didapat mahasiswa dari lingkungan,
orangtua, maupun diri sendiri semakin meningkat. Hal tersebut membuat mahasiswa
memiliki stres yang berat dan memungkinkan mahasiswa memiliki ide untuk bunuh
diri. Berdasarkan hal tersebut, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan
pengaruh yang positif serta memberikan pengetahuan mengenai hubungan antara
tekanan akademis dengan ide bunuh diri pada mahasiswa.
1912142010151
B. Tujuan
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Pengertian
Bunuh diri adalah suatu keadaan dimana individu mengalami resiko untuk
menyakiti diri sendiri atau melakukan tindakan yang dapat mengancam nyawa. Dalam
sumber lain dikatakan bahwa bunuh diri sebagai perilaku destruktif terhadap diri
sendiri yang jika tidak dicegah dapat mengarah pada kematian. Perilaku destruktif diri
yang mencakup setiap bentuk aktivitas bunuh diri, niatnya adalah kematian dan
individu menyadari hal ini sebagai sesuatu yang diinginkan. (Stuart dan Sundeen,
1995.
Bunuh diri merupakan tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhiri kehidupan (Wilson dan Kneisl, 1988). Bunuh diri merupakan kedaruratan
psikiatri karena pasien berada dalam keadaan stres yang tinggi dan menggunakan
koping yang maladaptif. Situasi gawat pada bunuh diri adalah saat ide bunuh diri
timbul secara berulang tanpa rencana yang spesifik atau percobaan bunuh diri atau
rencana yang spesifik untuk bunuh diri. Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan dan
keterampilan perawat yang tinggi dalam merawat pasien dengan tingkah laku bunuh
diri, agar pasien tidak melakukan tindakan bunuh diri.
Menurut Stuart dan Sundeen (1995), faktor penyebab bunuh diri adalah
perceraian, pengangguran, dan isolasi sosial. Sementara menurut Tishler (1981)
(dikutip oleh Leahey dan Wright, 1987) melalui penelitiannya menyebutkan bahwa
motivasi remaja melakukan percobaan bunuh diri, yaitu 51% masalah dengan orang
tua, 30% masalah dengan lawan jenis, 30% masalah sekolah, dan 16% masalah
dengan saudara.
Bunuh diri adalah setiap aktivitas yang jika tidak dicegah dapat mengarah
pada kematian (Gail w. Stuart, 2007).
Bunuh diri adalah ide, isyarat dan usaha bunuh diri, yang sering menyertai
gangguan depresif dan sering terjadi pada remaja (Harold Kaplan,1997. Dez,
Delicious, 2009)
1912142010151
Dalam proses seseorang melakukan tindakan bunuh diri, terdapat tahapan ide
bunuh diri. Menurut Captain (dalam Dewi dan Hamidah, 2013), ide bunuh diri
merupakan sebuah fase atau proses sebelum terjadinya tindakan bunuh diri, yang
dilalui tanpa melakukan aksi atau tindakan apapun untuk bunuh diri.
suatu gangguan psikologis, akan tetap didasari atau disebabkan oleh gangguan
psikologis, seperti depresi dan gangguan mood.
Menurut Mehrabian dan Weinstein (dalam Nevid dkk, 2003), individu yang
melakukan perilaku bunuh diri biasanya merasa bahwa hidupnya menjenuhkan,
kosong, dan membosankan. Hal tersebut biasanya dipicu oleh suatu peristiwa yang
menyakitkan dan tidak dapat diterima oleh individu. Individu yang memiliki ide
bunuh diri kemungkinan kehilangan harapan, mungkin karena stres yang dialami di
perguruan tinggi, individu merasa seakan mereka tidak berhasil untuk mencapai
tujuan-tujuan pribadi mereka (Hirsch dkk, 2007). Kegagalan dalam bidang
pendidikan, seperti gagal mendapatkan nilai yang diinginkan, atau gagal
mempertahankan nilai yang sudah dicapai juga menjadi faktor dari mahasiswa
memiliki ide atau pikiran untuk bunuh diri.
D. Etiologi
Menurut Fitria, Nita, 2009. Dalam buku Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan
Laporan Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP)
untuk 7 Diagnosis Keperawatan Jiwa Berat bagi Program S - 1 Keperawatan), etiologi
dari resiko bunuh diri adalah :
a. Faktor Predisposisi
1. Diagnosis Psikiatrik
Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan cara
bunuh diri mempunyai riwayat gangguan jiwa. Tiga gangguan jiwa
yang dapat membuat individu berisiko untuk melakukan tindakan
bunuh diri adalah gangguan afektif, penyalahgunaan zat, dan
skizofrenia.
2. Sifat Kepribadian
Tiga tipe kepribadian yang erat hubungannya dengan besarnya resiko
bunuh diri adalah antipati, impulsif, dan depresi.
3. Lingkungan Psikososial
Faktor predisposisi terjadinya perilaku bunuh diri, diantaranya adalah
pengalaman kehilangan, kehilangan dukungan sosial, kejadian-
kejadian negatif dalam hidup, penyakit krinis, perpisahan, atau bahkan
perceraian. Kekuatan dukungan social sangat penting dalam
menciptakan intervensi yang terapeutik, dengan terlebih dahulu
mengetahui penyebab masalah, respons seseorang dalam menghadapi
masalah tersebut, dan lain-lain.
4. Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan factor
penting yang dapat menyebabkan seseorang melakukan tindakan
bunuh diri.
5. Faktor Biokimia
Data menunjukkan bahwa pada klien dengan resiko bunuh diri terjadi
peningkatan zat-zat kimia yang terdapat di dalam otak sepeti serotonin,
adrenalin, dan dopamine. Peningkatan zat tersebut dapat dilihat melalui
ekaman gelombang otak Electro Encephalo Graph (EEG).
b. Faktor Presipitasi
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stress berlebihan yang dialami
oleh individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup yang memalukan.Faktor
lain yang dapat menjadi pencetus adalah melihat atau membaca melalui media
mengenai orang yang melakukan bunuh diri ataupun percobaan bunuh diri. Bagi
individu yang emosinya labil, hal tersebut menjadi sangat rentan.
1912142010151
c. Perilaku Koping
d. Mekanisme Koping
Keterangan :
E. Rentang Respons
Menurut YoseP, Iyus (2009) antara lain :
a. Peningkatan diri.
Seseorang dapat meningkatkan proteksi atau pertahanan diri secara wajar
terhadap situasional yang membutuhkan pertahanan diri. Sebagai contoh
seseorang mempertahankan diri dari pendapatnya yang berbeda mengenai
loyalitas terhadap pimpinan ditempat kerjanya.
b. Beresiko destruktif.
Seseorang memiliki kecenderungan atau beresiko mengalami perilaku
destruktif atau menyalahkan diri sendiri terhadap situasi yang seharusnya
dapat mempertahankan diri, seperti seseorang merasa patah semangat
bekerja ketika dirinya dianggap tidak loyal terhadap pimpinan padahal
sudah melakukan pekerjaan secara optimal.
c. Destruktif diri tidak langsung.
Seseorang telah mengambil sikap yang kurang tepat (maladaptif) terhadap
situasi yang membutuhkan dirinya untuk mempertahankan diri. Misalnya,
karena pandangan pimpinan terhadap kerjanya yang tidak loyal, maka
seorang karyawan menjadi tidak masuk kantor atau bekerja seenaknya dan
tidak optimal.
d. Pencederaan diri.
1912142010151
Perilaku bunuh diri menurut (Stuart dan Sundeen, 1995. Dikutip Fitria, Nita,
2009) dibagi menjadi tiga kategori yang sebagai berikut :
H. Pohon Masalah
I. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis Keperawatan yang mungkin muncul pada prilaku percobaan bunuh
diri:
1. Resiko bunuh diri.
2. Harga diri rendah
3. Koping yang tak efektif.
J. Mekanisme Koping
Klien dengan penyakit kronis, nyeri atau penyakit yang mengancam
kehidupan dapat melakukan perilaku destruktif diri. Seringkali klien secara sadar
1912142010151
memilih bunuh diri. Menurut Stuart (2006) dalam Yollanda, Amadea (2018)
mengungkapkan bahwa mekanisme pertahan ego yang berhubungan dengan
perilaku destruktif diri tidak langsung adalah penyangkalan, rasionalisasi,
intelektualisasi dan regresi.
1912142010151
BAB III
KASUS
BAB IV
PEMBAHASAN DAN JURNAL
A. Jurnal Asuhan Keperawatan Pada Pasien Depresi Dan Resiko Bunuh Diri
Berbagai masalah dan problematika hidup semua orang pasti
mengalaminya. Kehidupan yang penuh dengan tekanan dan stres pada saat ini
sedang banyak dialami seiring dengan kejadian bencana alam terjadi dimana -
mana.Hal ini dapat memicu seseorang terkena depresi. Perlu diketahui depresi
bukan hanya terjadi pada orang dewasa atau orang tua, melainkan depresi juga
terjadi pada remaja. Apabila depresi ini tidak segera untuk diatasi maka
keberlanjutannya akan terus dialami oleh remaja tersebut hingga dia dewasa.
Karena Usia remaja merupakan masa usia pertumbuhan seseorang yang paling
menetukan (Saepudin, 2018).
Namun yang lebih membahayakan adalah munculnya inisiatif melakukan
tindakan yang diluar dugaan yaitu bunuh diri. Sedang Hinton menjelaskan bahwa
meskipun depresi yang diderita tidak terlalu parah, tetapi resiko bunuh diri tetap
ada (Hinton, 1989).
Depresi dapat diartikan sebagai suatu gangguan mental ditandai dengan
adanya perasaan sedih, putus asa, kehilangan semangat, merasa bersalah, lambat
dalam berpikir, menurunnya motivasi untuk melakukan aktivitas, dll. Pendertia
depresi cenderung di derita oleh para remaja dan orang tua, sebab mereka lebih
cenderung memperhatikan citra tubuhnya, rentan mengalami peristiwa-peristiwa
yang penuh dengan tekanan dan stres dan sulit untuk menyesuaikan diri dan
berinteraksi dengan orang lain.
Hinton menjelaskan masa remaja adalah masa dimana ia sedang
mengalami masa perubahan hormonal, perubahan tingkat hubungan sosial
sehingga remaja lebih cenderung berbeda dalam mempersepsikan orang tua
(Hinton, 1989). Akibat dari depresi banyak hal yang dirugikan karenanya antara
lain terganggunya fungsi pekerjaan, fungsi sosial, merasakan kesulitan
berkonsentrasi, ketidakberdayaan terhadap suatu hal yang dipelajari, bahkan
hingga tindakan bunuh diri yang menyebabkan kematian. Remaja yang
mengalami depresi dia hanya bisa mengurung diri dikamarnya. Hilang konsentrasi
1912142010151
dan percaya diri, semangat hidup yang terus menurun sampai dengan dia tidak lagi
mau bicara dan komunikasi dengan orang lain.
Remaja ini jadi pesimis memandang hidupnya, seakan hilang harapan,
tidak ada yang bisa memahami dirinya, dan sebagainya. Prevalensi kejadian
depresi cukup tinggi hampir lebih dari 350 juta penduduk
dunia mengalami depresi dan merupakan penyakit dengan peringkat ke-4 di dunia
menurut WHO. Di Indoneisa prevalensi gangguan mental emosional pada
penduduk berusia ≥ 15 tahun berdasarkan RISKESDAS 2018 adalah 9,8%, terjadi
kenaikan 3,8 % dari tahun 2013, sebelumnya adalah 6%. Sedangkan prevalensi
gangguan depresi penduduk di atas 15 tahun mencapai 6,1%, dan hanya 9%
penderita depresi yang minum obat/menjalani pengobatan medis. Kejadian depresi
lebih sering pada wanita (10-25%) dibanding pada pria (5-12%). Kejadian depresi
juga lebih tinggi pada usia produktif dibanding pada usia anak remaja maupun
lanjut usia (kemenkes, 2018).
Dari kasus diatas dapat disimpulkan bahwa klien mengalami depresi dan
melakukan tindakan bunuh diri. Resiko bunuh diri merupakan beresiko terhadap
cedera yang ditimbulkan sendiri dan mengancam jiwa (Wilkinson & Ahern, 2012)
didukung dengan data–data subjektif maupun objektif. Data subjektif dari kasus
diatas tidak dapat diambil kesimpulan cuma biasanya seseorang sering
mengatakan ingin mengakhiri hidupnya, merasa tidak berharga dan tidak berguna.
Sedangkan data objektif yang menunjang adalah adanya riwayat pasien pernah
berobat kesalahsatu rumah sakit jiwa yang klien mengalami depresi.
Depresi adalah salah satu gangguan mental dan siapapun dapat
mengalaminya. Depresi dapat disebabkan oleh adanya kekerasan emosional, fisik,
minder, bullying. Dampak dari depresi ini diantaranya adalah bunuh diri,
menyakiti diri sendiri. Dalam DSM–IV-GTR dijelaskan bahwa depresi mayor
dapat ditetapkan bila sekurangnya dalam waktu dua minggu ditemukan sedikitnya
lima dari gejala dan merupakan satu perubahan fungsi dari sebelumnya. Diantara
gejala yang dimaksud diantaranya adalah mood tertekan atau hilangnya
kesenangan, berkurangnya berat badan atau bertambah secara signifikan tanpa diet
sebanyak 5% dalam sebulan, insomnia atau hypersomnia, lelah, perasaan tidak
berharga, menurunnya konsentrasi,, pikiran tenatng kematian yang berulang.
1912142010151
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagai seorang perawat kita dituntut agar bisa menjadi orang yang dapat
dipercaya oleh pasien baik itu dalam hal pencegahan maupun dalam penanganan
percobaan bunuh diri. Dengan teknik membina hubungan saling percaya maka
1912142010151
kita dapat mengkaji lebih dalam factor pencetus risiko bunuh diri dan mencegah
hal itu dapat terjadi.
B. Saran
1. Bagi orang tua agar dapat memberikan contoh yang baik kepada anak
remajanya dan memberikan wadah dalam masa perkembangannya serta
memberikan perlindungan.
2. Bagi remaja agar dapat menjadi pelajaran bahwa hidup tidak untuk hari ini
saja, kenali diri, cari jati diri yang baik, dan jangan memendam emosi
secara berlebihan, carilah orang yang dapat dipercaya untuk
meredakannya.
3. Bagi perawat agar dapat lebih memahami lagi bagaiman cara untuk
membina hubungan saling percaya dengan pasien atau keluarga.
1912142010151
DAFTAR PUSTAKA
Yusuf, Ah, Rizky Fitryasari PK dan Hanik Endang Nihayati. (2015). Buku Ajar
Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika