Anda di halaman 1dari 8

Rhinosinusitis Akut: Penyebab : Virus (Common Cold) >> gejala kurang dari 10 hari,

Bakteri (minimal 3 gejala), Ingus kental (salah satu hidung), Nyeri berat (kedua hidung),
Demam > 38˚ C, Peningkatan Laju Endap Darah (LED) atau C-reactive Protein (CRP),
Perburukan gejala setelah 5 hari.

I. Pemeriksaan Fisik
Tanda vital:
tekanan darah : 110/70 mmHg nadi : 105 x/min
tingkat pernapasan : 24x/min suhu inti : 39 ⁰C
A. Interpretasi

Hasil
Jenis Pemeriksaan Normal Interpretasi
Pemeriksaan
110/70 <120/80
Tekanan darah Optimal/Normal
mmHg mmHg
Nadi 105 x/menit 60-100 x/menit Tinggi
Tingkat pernapasan 24 x/menit 16-20 x/menit Tinggi
Suhu inti 39 ⁰C 36,5-37,5 ⁰C Tinggi

Berdasarkan JNC 7-2003 (Chobanian AV, et al. Hypertension 2003;42:1206-52)


Berdasarkan AHA 2017

B. Mekanisme abnormal
1. Nadi (Tinggi)
Terdapat pola hubungan antara peningkatan suhu tubuh dengan denyut nadi.
Biasanya, kenaikan suhu 1°C akan menghasilkan peningkatan denyut nadi
10x/menit (1° F, 10 bpm) . Kebanyakan orang merespons peningkatan suhu
dengan peningkatan detak jantung yang sesuai.

2. Tingkat pernapasan (Tinggi)


Inflamasi mukosa hidung > Obstruksi ostium sinus > Gangguan ventilasi dan
drainase & resorpsi oksigen dalam rongga sinus > Suplai oksigen menurun >
Hipoksia > Takipneu

3. Suhu inti (Tinggi)


Ketika kita terserang infeksi, kuman melepaskan pirogen ke peredaran darah
sehingga dapat mencapai hipotalamus dan menyebabkan thermostat meningkat.
Pirogen yang dihasilkan oleh kuman juga dapat dikenali oleh sistem pertahanan
tubuh sehingga sistem pertahanan tubuh menghasilkan pirogen sebagai sinyal
bahwa sedang terjadi pertarungan antara sel-sel darah putih sebagai tentara tubuh
dengan si kuman. Kedua jenis pirogen tersebut bersama aliran darah menuju
hipotalamus dan meningkatkan thermostat.
Infeksi bakteri (pirogen eksogen) di saluran pernafasan > makrofag menyerang
antigen > mengeluarkan mediator inflamasi seperti IL-1, IL-2, TNF-α (pirogen
endogen) > merangsang sel endotel di hypothalamus (di termostat) > melepaskan
as.arakhidonat dibantu enzim fospolipase A2 > memacu sintesis PGE2
(prostaglandin E2) melalui jalur cox (Cyclooxigenase) > meningkatkan set point
di hypothalamus > suhu tubuh naik > demam.

II. Pemeriksaan Laboratorium


Hb : 13gr% WBC : 11.000/mm3
trombosit : 150.000/mm3 CRP : 90 mg/L
A. Interpretasi

Jenis Pemeriksaan Hasil Normal Interpretasi


Pemeriksaan
Hb 13 gr% 13-16 gr% Normal
5.000-
WBC 11.000/mm3 Tinggi
10.000/mm3
150.000-
Trombosit 150.000/mm3 Normal
450.000/mm3
CRP 90 mg/L <5 mg/L Tinggi

B. Mekanisme abnormal
1. WBC
Meningkatnya jumlah sel darah putih di dalam tubuh menandakan bahwa telah
terjadi proses infeksi (terutama oleh bakteri). Tubuh akan berkompensasi dengan
merangsang sistem imun (sel darah putih) sehingga pada kasus infeksi, jumlah sel
darah putih seseorang akan meningkat.

2. CRP
C-reactive protein (CRP) adalah protein yang mengikat fraksi C polisakarida dari
dinding sel pneumokokus. Protein ini adalah protein fase akut klasik yang dapat
disintesis di hati. Protein ini dibentuk akibat proses infeksi, peradangan, luka
bakar dan keganasan. Respon fase akut diikuti dengan peningkatan aktifitas
koagulasi, fibrinolitik, leukositosis, efek sistemik dan perubahan kadar beberapa
jenis protein plasma seperti CRP. Kadar CRP biasanya meningkat 6 – 8 jam
setelah demam dan mencapai puncak 24 –48 jam. Pada orang normal kadar CRP
<5 mg/L dan dapat meningkat 30x dari nilai normal pada respon fase akut.
Pada hello.sehat disebutkan bahwa nilai normal CRP adalah <3 mg/L.
Pada mayoclinic disebutkan bahwa nilai normal CRP berada <10 mg/L.
Pada Asosiasi Kesehatan Brazil menyebutkan nilai normal CRP adalah <5 mg/L.

C. Indikasi pemeriksaan CRP


Tes ini dilakukan ketika dokter mencurigai peradangan akut atau kronis (misalnya
SLE atau rheumatoid arthritis (RA)) atau infeksi. Ada beberapa yang juga
menggunakan ini sebagai alat skrining jantung (HS-CRP). Namun, studi sedang
dilakukan untuk menentukan validitas pemeriksaan ini untuk tes, seperti yang
ditinggikan dalam begitu banyak kondisi lain (misalnya, diabetes, insomnia, stres,
peradangan). Ada beberapa korelasi antara risiko kardiovaskular dan peningkatan
HS-CRP, tetapi penerapan ini masih kontroversial di antara berbagai kelompok
dokter, dan saat ini sedang menjalani studi lebih. (ncbi)
Tes CRP dapat digunakan untuk menemukan atau memantau kondisi yang
menyebabkan peradangan. Ini termasuk: Infeksi bakteri, seperti sepsis, kondisi parah
dan kadang-kadang mengancam jiwa, Infeksi jamur, Penyakit radang usus, suatu
kelainan yang menyebabkan pembengkakan dan pendarahan di usus, Gangguan
autoimun seperti lupus atau rheumatoid arthritis, Infeksi tulang yang disebut
osteomielitis. (Medlineplus.gov, 2018)
Pasien mungkin memerlukan tes ini jika memiliki gejala infeksi bakteri serius.
Gejalanya meliputi: Demam, Panas dingin, Napas cepat, Detak jantung yang cepat,
Mual dan muntah. Jika telah didiagnosis memiliki infeksi atau memiliki penyakit
kronis, tes ini dapat digunakan untuk memantau perawatan pasien.Tingkat CRP naik
dan turun tergantung pada seberapa banyak peradangan yang ada. Jika kadar CRP
anda turun, itu menandakan terapi untuk peradangan tersebut bekerja.
(Medlineplus.gov, 2018)
Ada banyak cara yang dapat dipakai untuk penentuan CRP. Beberapa cara yang
sering dikerjakan di Indonesia yaitu: (Nehring, 2018)
 Cara presipitasi tabung kapiler
 Cara Aglutinasi Latex
 Uji Imunodifusi Radial
 Uji Imunokromatografik dari CRP (Nycocard)
 High Sensitivity C-Reactif Protein

D. Pemeriksaan penunjang lainnya


Endoskopi Hidung, nasal culture, sinus puncture. tes laboratorium berikut: Sitologi
hidung, Biopsi sinus-sinus, Tes untuk defisiensi imun, fibrosis kistik, atau disfungsi
silia, Pemeriksaan sitologi hidung, Tes untuk imunodefisiensi diindikasikan jika
temuan riwayat menunjukkan infeksi berulang.
1. Transiluminasi
Merupakan pemeriksaan yang sederhana terutama untuk menilai adanya kelainan
pada sinus maksila. Pemeriksaan ini dapat memperkuat diagnosis apabila terdapat
perbedaan hasil transiluminasi antara sinus maksila kiri dan kanan.
2. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah foto sinus paranasal (Water’s,Caldwel
dan lateral), CT scan dan MRI. Foto sinus paranasal cukup informatif pada RSA,
akan tetapi CT scan merupakan pemeriksaan radilogis yang mempunyai nilai
objektif yang tinggi. Indikasi pemeriksaan CT scan adalah untuk evaluasi
penyakit lebih lanjut apabila pengobatan medikamentosa tidak memberi respon
seperti yang diharapkan. Kelainan pada sinus maupun kompleksostiomeatal dapat
terlihat dengan jelas melalui pemeriksaan ini. RS akut umumnya dapat
didiagnosis secara memadai berdasarkan temuan klinis saja, tanpa menggunakan
teknik pencitraan khusus atau penilaian lainnya. Namun, pedoman konsensus
mengenali situasi tertentu di mana penilaian khusus dapat berperan. Menurut
semua pedoman, radiografi polos tidak berguna atau tidak hemat biaya.
Computed tomography tidak direkomendasikan sebagai bagian dari latihan rutin
tetapi disebutkan oleh beberapa pedoman (EP 3 OS dan CPG: AS) sebagai pilihan
pencitraan yang lebih disukai untuk kasus-kasus yang ditandai dengan penyakit
parah, keadaan immunocompromised, atau dugaan komplikasi. Pedoman RI
merekomendasikan CT sebelum operasi dan untuk evaluasi kasus dengan ARS
berulang. JTFPP menegaskan bahwa penilaian radiografi umumnya tidak
diperlukan, tetapi studi pencitraan (CT, bukan radiografi polos) dapat berguna
dalam situasi tertentu untuk mendukung diagnosis atau menetapkan tingkat
keterlibatan mukosa. Pedoman BSACI merekomendasikan penggunaan CT tetapi
tidak menganggapnya sebagai "penyelidikan utama." (Brook, 2018)

3. Endoskopi Nasal
Dibandingkan dengan pemeriksaan hidung anterior, endoskopi hidung
menyediakan cara yang lebih baik untuk memeriksa daerah meatus tengah dan
ceruk sphenoethmoidal untuk kehadiran purulensi terkait dengan ARS. Namun,
ini tidak tersedia untuk sebagian besar dokter perawatan primer. Selain dari
BSACI, pedoman ini dalam perjanjian bahwa endoskopi hidung tidak penting
untuk diagnosis ARS. Dokumen RI menyatakan bahwa endoskopi hidung
mungkin diindikasikan untuk mengevaluasi kasus-kasus yang refrakter terhadap
pengobatan empiris, pasien dengan penyakit unilateral tanpa deviasi septum, dan
pasien dengan gejala berat yang melumpuhkan. Pedoman JTFPP menyarankan
mempertimbangkan endoskopi hidung selama pemeriksaan awal atau dalam
kasus kegagalan pengobatan. (Brook, 2018)

4. Nasal Culture
Kultur hidung umumnya tidak direkomendasikan untuk pemeriksaan rutin ARS
tanpa komplikasi (JTFPP, CPG: AS, BSACI). Namun, EP OS pedoman
menganggapnya sebagai pilihan dalam hal kegagalan pengobatan atau
komplikasi. Pedoman RI menegaskan bahwa kultur endoskopi yang diperoleh
dengan benar dapat berguna untuk mengidentifikasi organisme penyebab dalam
bentuk RS tertentu. (Meltzer dan Hamilos, 2018)

5. Sinus Puncture
Meskipun jarang diindikasikan untuk perawatan pasien rutin, sinus puncture
adalah metodologi yang dianggap sebagai standar kriteria untuk mengkonfirmasi
bakteri patogen dalam sinus maksila (EP 3 OS, JTFPP, CPG: AS, RI). Dengan
demikian, sinus puncture memiliki penerapan yang paling dalam pengaturan uji
klinis. Namun, JTFPP menyebutkan situasi klinis tertentu yang mungkin
memerlukan sinus puncture untuk mendapatkan kultur diagnostik; misalnya,
mungkin berguna dalam episode akut yang refrakter terhadap pengobatan atau
untuk identifikasi organisme penyebab yang cepat dan akurat pada pasien yang
mengalami imunosupresi. (Meltzer dan Hamilos, 2018)
Daftar Pustaka

Aryal, Sagar. 2018. CRP Test Principle Uses Procedure and Result Interpretation.
https://microbiologyinfo.com/c-reactive-protein-crp-test-principle-uses-procedure-and-
result-interpretation/.

Brook, Itzhak. 2018. Acute Sinusitis. Medscape. Available from:


https://emedicine.medscape.com/article/232670-overview. Diakses tanggal 2 April
2019.

Clyne B, Olsaker JS. The C-reactive protein. J Emerg Med. 1999;17:1019-25.

Darooghegi Mofrad M, Milajerdi A, Koohdani F, Surkan PJ, Azadbakht L. Garlic


Supplementation Reduces Circulating C-reactive Protein, Tumor Necrosis Factor, and
Interleukin-6 in Adults: A Systematic Review and Meta-analysis of Randomized
Controlled Trials. J. Nutr. 2019 Apr 01;149(4):605-618. [PubMed]

Dick AG, Magill N, White TCH, Kokkinakis M, Norman-Taylor F. C-reactive protein: what
to expect after bony hip surgery for nonambulatory children and adolescents with
cerebral palsy. J Pediatr Orthop B. 2019 Jul;28(4):309-313.

Eschborn S, Weitkamp JH. Procalcitonin versus C-reactive protein: review of kinetics and
performance for diagnosis of neonatal sepsis. J Perinatol. 2019 Jul;39(7):893-
903. [PubMed]

Fonseca LAM, Sumita NM, Duarte NJC, Lichtenstein A, Duarte AJS. C-reactive protein:
clinical applications and proposals for a rational use ☆. Rev Assoc Med Bras [Internet].
2013;59(1):85–92. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/S2255-4823(13)70434-X

Gabay C, Kushner I. Acute-phase proteins and other systemic responses to inflammation N


Engl J Med. 1999;340:448-54.

Ho KM. An update on C-reactive protein for intensivists. Anaesth Intensive Care.


2009;37:234-41. 6.

Meltzer EO, Hamilos DL. 2011. Rhinosinusitis diagnosis and management for the clinician: a
synopsis of recent consensus guidelines. Mayo Clin Proc. Soepardi ES, Iskandar N.

Anda mungkin juga menyukai