Pada tahun 2020 menghasilkan ahli madya keperawatan unggul dalam penguasaan
teknologi keperawatan neurosains
Oleh :
Erviana Yulianti
P3.73.20.1.16.170
DOSEN PEMBIMBING:
Ns. Paula Krisanty, S.Kep., M.A.
A. Latar Belakang
Lansia merupakan seseorang yang telah memasuki usia 60 tahun keatas (Kemenkes RI
2013). Lansia merupakan kelompok umur pada manusia yang telah memasuki tahapan akhir
dari fase kehidupannya. Kelompok yang dikategorikan lansia ini akan terjadi suatu proses
yang disebut Aging Process atau proses penuaan. Usia lanjut sebagai tahap akhir siklus
kehidupan merupakan tahap perkembangan normal yang akan dialami oleh setiap individu
yang mencapai usia lanjut. Hal tersebut merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat
dihindari oleh setiap manusia (Notoatmodjo 2007 dalam Nurmalasari 2016 ). Organisasi
kesehatan dunia (WHO) menggolongkan lansia menjadi 4 yaitu: usia pertengahan (Middle
Age) adalah 45-59 tahun, lanjut usia (Elderly) adalah usia 60-74 tahun, lanjut usia tua (Old)
adalah 75-90 tahun, dan usia sangat tua (Very Old) adalah diatas 90 tahun. (Mubarak 2006
dalam Moulana 2018).
Jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 11,3 juta jiwa
(6,4%) meningkat menjadi 15,3 juta (7,4%) pada tahun 2000. Diperkirakan pada tahun 2010
akan sama dengan jumlah anak balita yaitu sekitar 24 juta jiwa atau 9,77% dari seluruh
jumlah penduduk. Pada tahun 2020 diperkirakan jumlah lansia akan meningkat menjadi 28,8
juta atau 11,34% dari total jumlah penduduk. Dari tahun 2000 sampai 2050, populasi dunia
yang berusia 60 ke atas (lansia) akan menjadi lebih dari tiga kali lipat dari 600 juta menjadi 2
miliar. Sebagian besar peningkatan ini terjadi di negara-negara berkembang, di mana jumlah
orang yang lebih tua akan meningkat dari 400 juta pada tahun 2000 menjadi 1, 7 miliar pada
tahun 2050. (Kemenkes RI. 2013).
Pada usia lanjut, penurunan kondisi biologis, kondisi psikologis maupun perubahan
psikososial, akan berpotensi pada masalah kesehatan baik fisik maupun psikologis yang
berinteraksi satu sama lain. Keadaan tersebut cenderung berpotensi menimbulkan masalah
kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lansia (Listiana, dkk 2013
dalam Annisa 2016). Permasalahan psikososial yang paling banyak terjadi pada lansia seperti
perasaan sedih, anxiety (kecemasan), kesepian, dan depresi (Heningsih, 2014). Kecemasan
yang dialami oleh lansia, antara lain rasa takutnya terhadap kematian, kehilangan keluarga
atau teman karib, kedudukan sosial, pekerjaan, uang, penyakit yang diderta. Hal ini dapat
menimbulkan reaksi yang merugikan (Maramis 2004 dalam Widiyaningsih 2010)
Kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang berkaitan dengan
perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang spesifik.
Ansietas dialami secara subjektif dan dikomunikasikan secara interpersonal. Ansietas berbeda
dengan rasa takut yang merupakan penilaian intelektual terhadap sesuatu yang berbahaya.
Ansietas adalah respon emosional terhadap penilaian tersebut yang penyebabnya tidak
diketahui. Sedangkan rasa takut mempunyai penyebab yang jelas dan dapat dipahami (Stuart,
2006). Menurut Keliat dkk (2011) Kecemasan adalah suatu perasaan was-was seakan sesuatu
yang buruk akan terjadi dan merasa tidak nyaman seakan ada ancaman yang disertai gejala-
gejala fisik seperti jantung berdebar-debar, keringat dingin dan tangan gemetar. Presentase
gangguan mental emosional di Indonesia menunjukkan gejala kecemasan dan depresi pada
usia 55-64 tahun sebesar 6,9%, usia 65-74 tahun sebanyak 9,7% dan pada usia di atas 75
tahun sebesar 13,4% (Riskesdas 2013). Gejala cemas yang dirasakan pada lansia seperti,
perasaan takut, mudah tersinggung, kecewa, gelisah, perasaan kehilangan, sulit tidur
sepanjang malam, sering membayangkan hal-hal yang menakutkan dan rasa panik pada hal
yang ringan, konflik-konflik yang ditekan dan berbagai masalah yang tidak terselesaikan akan
menimbulkan cemas (Maryam dkk, 2008).
Salah satu terapi tindakan keperawatan untuk menurunkan tingkat kecemasan yaitu
dengan mengajarkan klien teknik relaksasi untuk kontrol kecemasan dengan pengalihan
situasi seperti teknik hipnosis diri lima jari (Jenita dkk (2008), Suyatmo (2009) dan Yusuf dkk
(2015), dalam Hastuti dan Arumsari (2015). Pernyataan ini juga didukung bahwa terapi
hipnotis lima jari yang sebelumnya telah dilakukan penelitian oleh Banon dkk (2014),
Evangelista dkk (2016), dan Hastuti dan Arumsari (2015), menunjukkan bahwa hipnosis lima
jari efektif dapat menurunkan ansietas. Terapi hipnosis lima jari merupakan terapi generalis
keperawatan dimana pasien melakukan hipnosis diri sendiri dengan cara pasien memikirkan
pengalaman yang menyenangkan, dengan demikian diharapkan tingkat cemas pasien akan
menurun (Endang dkk 2014). Hipnosis lima jari adalah pemberian perlakuan dalam keadaan
rileks, kemudian memusatkan pikiran pada bayangan atau kenangan yang diciptakan sambil
menyentuhkan lima jari secara berurutan dengan membayangkan kenangan sambil menikmati
(Jenita D.T. Donsu dkk 2008 dalam Hastuti dan Arumsari 2015)
Teknik hipnosis lima jari merupakan suatu bentuk pengalihan situasi self hipnosis yang
dapat menimbulkan efek relaksasi, sehingga akan mengurangi kecemasan, ketegangan, dan
stres dari pikiran seseorang yang dapat berpengaruh pada pernafasan, denyut jantung, denyut
nadi, tekanan darah, mengurangi ketegangan otot, memperkuat ingatan pengeluaran hormone
yang dapat memicu timbulnya kecemasan, dan mengatur hormone yang berkaitan dengan
stres (Hastuti dan Arumsari, 2015).
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian apakah ada
Pengaruh Hipnosis Lima Jari Terhadap Tingkat Kecemasan Pada Lansia yang nantinya bisa
meningkatkan kualitas hidup pada lansia, menurunkan tingkat stres psikologis (kecemasan)
pada lansia, keluarga menjadi sehat jasmani dan rohani.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah Bagimana penerapan hipnosis lima jari berpengaruh terhadap penurunan tingkat cemas
pada lansia?
A. KONSEP KECEMASAN
1. Pengertian
Kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang berkaitan
dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki objek
yang spesifik. Ansietas dialami secara subjektif dan dikomunikasikan secara interpersonal.
Ansietas berbeda dengan rasa takut yang merupakan penilaian intelektual terhadap sesuatu
yang berbahaya. Ansietas adalah respon emosional terhadap penilaian tersebut yang
penyebabnya tidak diketahui. Sedangkan rasa takut mempunyai penyebab yang jelas dan
dapat dipahami (Stuart, 2006).
Ansietas adalah perasaan takut yang tidak jelas dan tidak didukung oleh situasi.
Ketika merasa cemas, individu merasa cemas, individu merasa tidak nyaman atau takut
atau mungkin memiliki firasat akan ditimpa malapetaka padahal ia tidak mengerti
mengapa emosi yang mengancam tersebut terjadi. Tidak ada objek yang dapat
diidentifikasi sebagai stimulus ansietas. Ansietas merupakan alat peringatan internal yang
memberikan tanda bahaya kepada individu (Viedebeck, 2008).
Kecemasan adalah perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang sama disertai
respon autonom (sumber sering kali tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu),
perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya. Hal ini merupakan isyarat
kewaspadaan yang memperingatkan individu akan adanya bahaya dan memampukan
individu untuk bertindak menghadapi ancaman (Nurarif & Kusuma, 2013).
Dari berbagai pengertian kecemasan yang telah dipaparkan di atas dapat
disimpulkan bahwa kecemasan adalah kondisi emosi dengan timbulnya rasa tidak nyaman
pada diri seseorang, dan merupakan pengalaman yang samar-samar disertai dengan
perasaan yang tidak berdaya serta tidak menentu yang disebabkan oleh suatu yang belum
jelas. (Annisa dan Ifdil 2016).
2. Respon Kecemasan
Menurut Nevid (2005) dalam Trisnawati (2013), seseorang yang mengalami kecemasan
akan menampakkan respon sebagai berikut:
a. Respon fisik
Gelisah, gugup, banyak berkeringat, mulut atau kerongkongan terasa kering, sulit
berbicara, sulit bernafas, bernafas pendek, jantung berdetak kencang. Suara yang
bergetar, pusing, merasa lemas, tangan yang dingin, sering buang air kecil, terdapat
gangguan sakit perut atau mual, muka memerah, leher atau punggung terasa kaku,
merasa sensitif atau mudah marah.
b. Respon perilaku
Seseorang yang mengalami kecemasan biasanya akan menunjukkan perilaku
menghindar, perilaku melekat dan dependen, ataupun perilaku terguncang.
c. Respon kognitif
Khawatir tentang sesuatu bukan terhadap hal-hal sepele, perasaan terganggu terhadap
sesuatu yang mengerikan akan terjadi tanpa ada penjelasan yang jelas, sangat
waspada, khawatir akan ditinggal sendiri, sulit berkonsentrasi atau memfokuskan
pikiran, pikiran terasa bercampur aduk atau kebingungan, ketakutan akan
ketidakmampuan menghadapi masalah, berpikir tentang hal-hal yang mengganggu
secara berulang-ulang.
Menurut Gail W. Stuart (2006) dalam Anisa dan Ifdil 2016 kecemasan
dikelompokkan dalam respon perilaku, kognitif, dan afektif,
a. Respon Perilaku
Respon perilaku yang terjadi dalam kecemasan antara lain gelisah, ketegangan fisik,
tremor, reaksi terkejut, bicara cepat, kurang koordinasi, cenderung mengalami cedera,
menarik diri dari hubungan interpersonal, melarikan diri dari masalah, menghindar,
hiperventilasi, sangat waspada.
b. Respon Kognitif
respon kognitif yang terjadi dalam kecemasan antara lain perhatian terganggu,
konsentrasi buruk, pelupa, salah dalam memberikan penilaian, hambatan berpikir,
lapang persepsi menurun, kreativitas menurun, produktivitas menurun, bingung,
sangat waspada, kehilangan objektivitas, takut kehilangan kendali, takut pada
gambaran visual, takut cedera atau kematian, mimpi buruk.
c. Respon Afektif
Respon afektif yang terjadi dalam kecemasan antara lain Mudah terganggu, Tidak
sabar, Gelisah, Tegang, Gugup, Ketakutan, Waspada, Kekhawatiran, Kecemasan, Mati
rasa, Rasa bersalah. Malu.
3. Jenis-jenis Kecemasan
Menurut Freud (dalam Andri dan Dewi 2007) membedakan kecemasan dibagi menjadi
tiga, yaitu:
a. Kecemasan Realitas atau Objektif (Reality or Objective Anxiety)
Suatu kecemasan yang bersumber dari adanya ketakutan terhadap bahaya yang
mengancam di dunia nyata. Kecemasan seperti ini misalnya ketakutan terhadap
kebakaran, angin tornado, gempa bumi, atau binatang buas. Kecemasan ini menuntun
kita untuk berperilaku bagaimana menghadapi bahaya. Tidak jarang ketakutan yang
bersumber pada realitas ini menjadi ekstrim. Seseorang dapat menjadi sangat takut
untuk keluar rumah karena takut terjadi kecelakaan pada dirinya atau takut
menyalakan korek api karena takut terjadi kebakaran.
b. Kecemasan Neurosis (Neurotic Anxiety)
Kecemasan ini mempunyai dasar pada masa kecil, pada konflik antara pemuasan
instingtual dan realitas. Pada masa kecil, terkadang beberapa kali seorang anak
mengalami hukuman dari orang tua akibat pemenuhan kebutuhan id yang implusif
Terutama sekali yang berhubungan dengan pemenuhan insting seksual atau agresif.
Anak biasanya dihukum karena secara berlebihan mengekspresikan impuls seksual
atau agresifnya itu. Kecemasan atau ketakutan untuk itu berkembang karena adanya
harapan untuk memuaskan impuls Id tertentu. Kecemasan neurotik yang muncul
adalah ketakutan akan terkena hukuman karena memperlihatkan perilaku impulsif
yang didominasi oleh Id. Hal yang perlu diperhatikan adalah ketakutan terjadi bukan
karena ketakutan terhadap insting tersebut tapi merupakan ketakutan atas apa yang
akan terjadi bila insting tersebut dipuaskan. Konflik yang terjadi adalah di antara Id
dan Ego yang kita ketahui mempunyai dasar dalam realitas.
c. Kecemasan Moral (Moral Anxiety)
Kecemasan ini merupakan hasil dari konflik antara Id dan superego. Secara dasar
merupakan ketakutan akan suara hati individu sendiri. Ketika individu termotivasi
untuk mengekspresikan impuls instingtual yang berlawanan dengan nilai moral yang
termaksud dalam superego individu itu maka ia akan merasa malu atau bersalah. Pada
kehidupan sehari-hari ia akan menemukan dirinya sebagai “conscience stricken”.
Kecemasan moral menjelaskan bagaimana berkembangnya superego. Biasanya
individu dengan kata hati yang kuat dan puritan akan mengalami konfllik yang lebih
hebat daripada individu yang mempunyai kondisi toleransi moral yang lebih longgar.
Seperti kecemasan neurosis, kecemasan moral juga mempunyai dasar dalam
kehidupan nyata. Anak-anak akan dihukum bila melanggar aturan yang ditetapkan
orang tua mereka. Orang dewasa juga akan mendapatkan hukuman jika melanggar
norma yang ada di masyarakat. Rasa malu dan perasaan bersalah menyertai kecemasan
moral. Dapat dikatakan bahwa yang menyebabkan kecemasan adalah kata hati
individu itu sendiri. Freud mengatakan bahwa superego dapat memberikan balasan
yang setimpal karena pelanggaran terhadap aturan moral.
Andri & Dewi, Y. (2007). Teori Kecemasan Berdasarkan Psikoanalisis Klasik dan Berbagai
Mekanisme Pertahanan Terhadap Kecemasan. Jakarta: Majelis Kedokteran Indonesia.
Diaskes dari http://www.researchgate.net/2102277782/Anxiety-Theory-Based-On-Classic-
Psychoanalitic-and-Types-of-Defense-Mechanism-To-Anxiety.pdf tanggal 5 februari 2019
Annisa, D., & Ifdil. (2016). Konsep Kecemasan (Anxiety) Pada Pada Lanjut Usia (Lansia).
Jurnal Konselor Universitas Padang, 5(2), 93-99. Diakses dari
ejournal.unp.ac.id/index.php/konselor/article/download/6480/5041 tanggal 1 februari 2019
Banon, E., ernawati, D., Noorkasiani. (2014) Efektivitas Terapi Hipnotis Lima Jari Untuk
Menurunkan Tingkat Ansietas Pasien Hipertensi. JKep. Vol. 2 No. 3 November 2014, hlm
24-33. Diakses dari https://studylibid.com/doc/996693/efektivitas-terapi-hipnotis-lima-jari-
untuk tanggal 30 Januari 2019
Chintia, B. (2018). Pengaruh Relaksasi Otot Progresif Terhadap Penurunan Kecemasan Pada
Mahasiswa Menjelang Ujian Osce. Thesis, tidak diterbitkan, Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Malang. Diakses dari http://eprints.umm.ac.id/41472/ tanggal
7 februari 2019
Hastuti, R. Yuli & Arumsari, A (2015) Pengaruh Terapi Hipnosis Lima Jari Untuk Menyrynkan
Kecemasan Pada Mahasiswa yang Sedang Menyusun Skripsi di Stikes Muhammadiyah
Klaten. Diakses dari ejournal.stikesmukla.ac.id/index.php/motor/article/viewFile/227/223
tanggal 2 februari 2019
Heningsih. (2014). Gambaran Tingkat Ansietas Pada Lansia di Panti Werdha Dharma Bhakti
Kasih Surakarta. Diakses dari digilib.stikeskusumahusada.ac.id/download.php?id=668
tanggal 1 februari 2019
Jenita. (2008). Five Fingers on the Effect of Hynosis Anxiety Reduction In Breast Cancer
Patient. Diakses dari http://poltekkesjogja.ne/jurnal/2014/11/17/five-fingers-on-he-effect-
of-hypnosis-anxiety-reduction-in-breast-cancer-patients/ tanggal 8 februari 2019
Kemenkes RI. (2013). Gambaran Kesehatan Lanjut Usia di Indonesia. Buletin. Jendela: Jakarta.
Keliat, B.A, dkk. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas: CMHN (Basic Course).
Jakarta: EGC.
Maryam, R. Siti dkk. (2008). Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: Salemba
Medika.
Moulana, A. (2018). Penerapan Prosedur Terapi Hipnosis Lima Jari Pada Lansia Dengan
Gangguan Kecemasan. Bekasi: Poltekkes Kemenkes Jakarta 3
Nurarif H. Amin & Kusuma Hardi. (2013) Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & NANDA (North American Nursing Diagnosis Association) NIC-NOC.
Medication Publishing .
Nurmalasari, A. (2016). Bentuk Dukungan Keluarga Terhadap Sikap Lansia Dalam Menjaga
Kesehatan Mentalnya (Studi Kualitatif Terhadap Lansia Wanita di Posyandu Harapan
dan Jember Permai I di Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember. Diakses dari
http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/71840 tanggal 30 Januari 2019
Stuart, G.W. (2006). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 5. Jakarta: EGC.
Widiyaningsih. (2010). Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kecemasan Pada Lanjut Usia
di Panti Werdha Dharma Bhakti Kota Surakarta. Skripsi, tidak diterbitkan, Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Muhamadiyah Surakarta. Diakses dari
http://eprints.ums.ac.id/7918/1/J210050021.pdf tanggal 31 Januari 2019
Zainul, Zen. (2007). Hidup Sehat dengan Olah Lahir, Fikir, & zikir. Jakarta: Qultummedia.
Diakses dari http://eprints.stainkudus.ac.id tanggal 7 februari 2019