Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

 A. Latar Belakang

 Bumi merupakan komunitas dimana mahluk hidup berdiam dan saling berinteraksi
satu sama lainnya. Dan merupakan planet (sampai saat ini) yang memiliki penunjang
kehidupan. Hampir 71% [1]   bagian dari bumi adalah lautan dan 570 juta hektar (5,7
juta  km2 ) luas daratan di dunia, memiliki unsur paling vital bagi kehidupan, didiami sekitar
5-50 juta jenis species flora dan fauna, dan tempat tinggal dari berbagai suku bangsa
manusia yang ada di bumi ini.

                Sumber-sumber lingkungan tersebut memberikan basis kehidupan di bumi ini,


termasuk bagi umat manusia. Nilai-nilai fundamen sosial, etika, kebudayaan dan ekonomi
yang dikembangkan berdasarkan keanekaragaman hayati telah menjadi bagian dari
agama, seni dan literatur sejak awal sejarah manusia. Masalah mulai muncul ketika
disadari sejak beberapa dekade lalu, telah terjadi kerusakan sumber-sumber kehidupan itu
yang umumnya dilakukan oleh manusia. Ketika lingkungan hidup menjadi modal dasar
sebuah pembangunan bagi suatu bangsa, seiring dengan itu pembangunan membawa laju
kerusakan pula bagi sumber-sumber kehidupan. Laju kerusakan hutan mencapai 1,4 juta
hektar per tahunnya [2] , baik oleh pembalakan hutan untuk kepentingan industri kayu,
perluasan perkebunan, pembangunan pemukiman penduduk, maupun kebakaran hutan.
Masalah di atas belum termasuk masalah yang dihadapi di sektor perairan; sungai dan
laut. Pencemaran akibat proses dari akibat aktivitas industri dan penangkapan ikan yang
berlebihan (over fishing), menjadi salah satu penyebab rusaknya habitat air.

                Dengan memperhatikan hal tersebut di atas, telah banyak faktor-faktor


penyebab rusaknya lingkungan hidup di bumi ini, apalagi kemungkinan dapat ditambah
jika ‘perang’ dimasukkan kedalam penyebab rusaknya sumber-sumber kehidupan di bumi
ini. Dapat kita bayangkan bersama, dengan semakin pesatnya kemajuan tehnologi di
bidang persenjataan perang (dengan adanya senjata nuklir, senjata kimia dan juga
biologis) yang tidak hanya akan menimbulkan kerusakan dan kematian di areal terjadinya
perang, akan tetapi juga dampaknya akan dirasakan bagi komunitas disekitar tempat
terjadinya perang dan juga bagi seluruh sumber-sumber kehidupan di bumi, baik
dirasakan dampaknya pada masa sekarang dan masih akan dirasakan juga dampaknya di
masa yang akan datang. Dan ‘perang’ masih dijadikan jalan untuk menyelesaian
perselisihan diantara pihak-pihak negara yang berselisih.

Sejarah manusia hampir tidak pernah bebas daripada peperangan. Mochtar


kusumaatmadja mengatakan [3] , bahwa adalah suatu kenyataan yang menyedihkan bahwa
selama 3400 tahun sejarah yang tertulis, umat manusia hanya mengenal 250 tahun
perdamaian. Melihat dari fakta yang ada tersebut sangat menyedihkan sekali jika
mengetahui betapa manusia tidak dapat dipisahkan dari masa-masa peperangan.

Oppenheim melukiskan perang itu adalah sebagai : [4]  

“War is a contention between two or more States through their Armed Forces, for the
purpose of over powering each other and imposing such condition of peace as the
Victor pleases”.

Dari definisi tesebut, dapat dikatakan bahwa perang merupakan sebuah


perselisihan/konflik yang tujuannya sebagai bentuk saling unjuk kekuatan suatu pihak
(negara) kepada pihak lain dengan menggunakan kekuatan persenjataannya. Sehingga
untuk menunjukkan kekuatannya digunakan sedemikian cara untuk mencapainya,
salahsatunya dengan menggunakan kemajuan teknologi dalam bidang persenjataan perang
tanpa memperhatikan lagi dampak-dampak yang ditimbulkannya, baik dari segi
kemanusiaan maupun lingkungan.

Sejak pecahnya Perang Dunia I, banyak senjata baru ditemukan, beberapa


diantaranya mempunyai daya penghancur yang luar biasa. Kemudian selama Perang
Dunia II, proses ini meningkat dengan pembuatan bom, seperti V 1 , roket jarak jauh V 2 ,
sampai pembuatan bom atom, dimana 2 buah yang berhasil diledakkan dalam bulan
Agustus 1945 di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang [5] . Kedua kota tersebut dihancurkan dan
mengakibatkan kecemasan dan kepanikan yang sampai kini belum lenyap.

Suatu persetujuan umum mengenai penggunaan senjata-senjata khusus yang


menimbulkan kontroversi sangat dibutuhkan, dan apabila tidak ada persetujuan demikian,
maka makin bervariasilah senjata-senjata perang yang dapat digunakan dalam perang
sejalan dengan kemajuan teknologi yang ada, yang memiliki dampak makin tidak dapat
kita bayangkan lagi akibatnya. Sebagai contoh jenis-jenis senjata yang telah
dikembangkan yang memiliki dampak sangat luas antara lain :

a.       Bom Napalm, adalah bom bakar yang mengandung jellied gasoline;

b.       Bom Atom, yang dapat kita lihat akibatnya terhadap kota Hiroshima dan Nagasaki
di Jepang;

c.        Senjata Nuklir, Biologi dan Kimia ;

d.       Bom-bom pintar atau juga bom-bom yang dapat dikendalikan dari jarak jauh
melalui satelit, merupakan jenis bom terbaru hasil dari semakin berkembangnya
tehnologi, dan masih banyak lagi jenis persenjataan perang lainnya.

Oleh karena itu, perang (persenjataan perang) merupakan suatu bentuk


pemusnahan lingkungan yang sangat potensial, dengan melihat hasil yang ditimbulkannya
dapat kita yakini bahwa perang memang penghancur lingkungan yang tidak dapat
ditandingi dan dipungkiri. Apalagi penyelesaian perselisihan/sengketa dalam bentuk
perang masih belum dapat dihapuskan di muka bumi ini.

Di lain pihak, dengan semakin berkembangnya bidang hukum lingkungan


internasional dan juga semakin tumbuhnya pemahaman mengenai perlindungan
lingkungan secara global sehingga muncullah suatu konsep baru mengenai pengaturan
internasional mengenai pemanfaatan dan perlindungan lingkungan antara lain, bahwa
lingkungan hidup sebagai warisan bersama umat manusia  (Common Heritage of
Mankind).

  Atas dasar itulah perlu diperhatikan bahwa jika memang perang benar-benar
terjadi di suatu wilayah di dunia, yang menjadi pertanyaan adalah siapakah yang
bertanggung jawab atas dampak yang ditimbulkan pasca perang? Pihak-pihak mana
sajakah  yang wajib merehabilitasi atas kerusakan dan pencemaran lingkungan yang
diakibatkan oleh perang (persenjataan perang)? Apakah Badan Internasional dapat
diminta keikutsertaannya dalam merehabilitasi dampak yang disebabkan perang
(persenjataan perang) terhadap lingkungan dan juga Apakah penerapan sanksi atas pihak-
pihak yang melanggar peraturan-peraturan internasional tersebut dapat diberlakukan?

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka penulis tertarik untuk melakukan
penulisan mengenai dampak yang ditimbulkan oleh perang (persenjataan perang),
pengaturannya menurut Hukum Internasional, sanksi dan tindakan yang harus dilakukan
dalam mencegah dan merehabilitasi kerusakan yang ditimbulkan perang terhadap
lingkungan.

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penulisan

[1]  Hasjim djalal, Perjuangan Indonesia Di Bidang Hukum Laut , Bandung, Bina Cipta,
1978
[2]  Konvensi Keanekaragaman Hayati: Seri Konvensi Internasional Lingkungan , WALHI-
FH Unika Atma Jaya: 1999, hlm. 59.

[3]  Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi Palang Merah tahun 1949 , Binacipta, Bandung,


1968,  hlm. 7.

[4]  Oppenheim-Lauterpacht, International Law , vol. II, Longmans Green & Co, 8 th . Ed.
London, 1960, hlm.202.

[5]  Syahmin A.k., Hukum Internasional Humaniter I , Armico, Bandung, 1985, hlm.23.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kerusakan Akibat Perang

Ban Ki-moon mendorong negara-negara di dunia untuk melindungi lingkungan


dari kerusakan akibat perang. Namun, meskipun dalam kondisi damai tanpa perang,
aktivitas militer tetap memberikan dampak yang cukup besar pada sumber daya
alam.“Lingkungan telah lama menjadi korban yang diam dari perang dan konflik
bersenjata. Mulai dari kontaminasi tanah, kerusakan hutan, penjarahan sumber daya alam
dan kerusakan pada sistem manajemen mengakibatkan lingkungan paling parah
terdampak serta cenderung menyebar.” Demikian dikatakan Sekretaris Jenderal PBB
dalam Peringatan Internasional Hari Pencegahan Eksploitasi Terhadap Lingkungan
Akibat Perang dan Konflik bersenjata.

“Mari mengingat kembali komitmen kita untuk melindungi lingkungan dari


kerusakan akibat perang dan mencegah konflik karena sumber daya alam di masa
mendatang.”
Perang mengubah pandangan kita. Dalam menghadapi ancaman baik nyata atau
tidak, maka suatu tindakan yang dalam kondisi normal dianggap tidak pantas akan tetap
diterima, bahkan menjadi rutinitas. Satu di antara banyak hal yang dikesampingkan
adalah perlindungan terhadap lingkungan, demikian disampaikan Catherine Lutz, seorang
profesor mengenai perang dan dampaknya dari Watson Institute for Internasional Studies.

“Ada anggapan bahwa ini adalah persoalan hidup matinya suatu bangsa, sehingga
Anda tak perlu khawatir pada basa-basi. Kita memiliki pemikiran bahwa manusia terpisah
dengan lingkungannya dan nyawa manusia bisa diselamatkan melalui upaya dan kesiapan
militer, sehingga urusan lingkungan dinomorduakan dan dipikirkan nanti.

B. Dampak Perang Terhadap Lingkungan

Menurut Institut for Economics and Peace, hanya sebelas negara di dunia yang
tidak terlibat dalam konflik, kendati ada klaim bahwa abad ini adalah masa paling damai
dalam sejarah manusia. Meskipun di negara yang relatif damai, pasukan tetap melakukan
kegiatan untuk menjaga keamanan dengan mengkonsumsi sumber daya alam secara cepat
dan bebas dari hukuman. Namun, di masa perang, lingkungan menderita karena
pengabaian, eksploitasi, keputusasaan manusia, dan penyalahgunaan disengaja yang
terjadi secara besar-besaran.

Sepanjang perang gurun pertama, tentara Amerika mengebom Irak dengan misil
seberat 340 ton yang mengandung uranium. Mac Skelton, peneliti dari Johns Hopkins
University, melakukan kerja lapangan di Irak terhadap peningkatan tingkat radiasi kanker
yang berkaitan dengan peluru militer AS dan UK.

Skelton dan peneliti lainnya mengatakan bahwa radiasi dari jenis senjata ini telah
meracuni tanah dan air di Irak menjadi lingkungan yang menyebabkan kanker
(carcinogenic). Pemerintah Inggris mengatakan, tuduhan tersebut tidak berdasar. Tidak
ada penelitian yang komprehensif dilakukan untuk mendukung atau membantah hubungan
antara kanker dan senjata yang mengandung uranium.
Namun, Skelton mengatakan, kerusakan lingkungan di Irak sepanjang perang 24
tahun yang lalu disebabkan karena kerusakan infrastruktur di Irak yang terjadi secara
sistematis. Aktivitas pengeboman sepanjang tahun 1991 memusnahkan fasilitas sosial,
termasuk di dalamnya sistem yang mendukung lingkungan.

“Anda tak pernah melihat kerusakan infrastruktur suatu negara secepat itu.” Kata
Skelton. Air limbah membanjiri jalanan dan sungai, kilang minyak dan jaringan pipa-pipa
rusak menyebabkan oli masuk ke dalam tanah. Sanksi yang diberikan tidak terlalu berarti,
sementara tanah dan kota sudah terlanjur teracuni. Seorang pengamat di Basra pada 2008
mengatakan, “Masyarakat hidup di tengah lumpur dan kotoran manusia, sementara
tingkat penderita kanker pada anak pada angka yang paling tinggi.” Air tanah di kota
mengandung garam yang membuat orang sakit. Di jalanan, lebih banyak sampah daripada
petugas yang membersihkan.

Lutz mengatakan, 630 sumur terbakar seiring dengan mundurnya tentara Irak dari
Kuwait pada 1991, memperlihatkan ‘ecocide’ (kerusakan lingkungan) sebagai hasil dari
perang. “Namun, jenis kerusakan ini adalah puncak dari gunung es,” kata Lutz. Dalam
dunia militer, linkungan tidak diperhitungkan, bahkan di luar daripada perang yang
terjadi.

Biaya yang dikeluarkan untuk militer guna mengantisipasi ancaman terjadinya


perang menjadi beban yang teramat berat bagi sumber daya alam.

Departemen Pertahanan AS adalah konsumen terbesar bahan bakar fosil. Penelitian


pada tahun 2007 menunjukkan, militer menggunakan 20,9 trilyun liter bahan bakar setiap
tahunnya. Jumlah ini sama dengan emisi karbon dioksida yang dihasilkan oleh negara
sebesar Denmark.

Hal itu sebelum terjadinya perang. Jejak karbon yang dihasilkan oleh pasukan
modern sangatlah besar. Satu laporan menyatakan bahwa militer AS, dengan tank dan
kendaraan perang Bradley menggunakan 190,8 milyar liter minyak setiap bulan sepanjang
invasi di Irak. Diperkirakan dua pertiga dari minyak ini digunakan untuk mengirimkan
lebih banyak bahan bakar kepada kendaraan perang di garis depan peperangan.

Di setiap perang, pengungsi yang ada tidak didukung oleh infrastruktur yang
memadai. Mereka kemudian berpaling pada lingkungan untuk memenuhi kebutuhan
dasarnya.

Sepanjang perang saudara di Rwanda, hampir 750 juta orang tinggal di


pengungsian di pinggir taman nasional Virunga. Menurut Worldwatch Institute sekitar
1000 ton kayu ditebang dari Taman Nasional setiap hari selama dua tahun untuk
membangun permukiman, kayu bakar untuk memasak dan bahan dasar arang untuk dijual.
Pada saat konflik berakhir, 105 km persegi hutan rusak dan 35 km persegi di antaranya
menjadi lahan kosong.

Manakala pengungsi dari Rwanda bermigrasi ke Zaire (sekarang Republik Demokratik


Congo), mereka memicu perang saudara yang lain. Virunga kini dilingkupi oleh konflik.
Pada tahun 1994, Unesco memutuskan taman tersebut sebagai warisan dunia yang
terancam karena konflik.

Virunga menjadi totem sebuah masalah di benua yang bopeng-bopeng oleh perang.
Taman tersebut menjadi rumah bagi spesies langka gorilla gunung dan simpanse, gajah,
serta mega fauna lain yang karismatik. Ian Redmon, konsultan margasatwa untuk Born
Free mengatakan ketidakteraturan dan keputusasaan perang menyebabkan perlindungan
untuk habitat margasatwa yang berharga seperti Virunga menguap.

“Perang sangat buruk dampaknya bagi margasatwa seperti juga bagi manusia.
Lahan konservasi menderita karena penjaga sibuk melarikan diri dari peperangan, bahkan
bisa jadi mereka diserang oleh pasukan pemberontak yang iri pada kendaraan mereka,
radio, dan senjata. Lebih lanjut lagi, pasukan pemberontak sering mencari makanan
dengan hewan liar dan membiayai pasukannya dengan gading, kayu, arang, dan mineral
dari wilayah yang terlindungi.”
Arus kendaraan militer yang tinggi di wilayah ini berarti sepanjang dan setelah
perang terjadi pelanggaran batas yang meningkat secara dramatis. Hanya dalam waktu
dua bulan pada 2006, pemberontak Mai-Mai di Kongo membantai hampir semua populasi
kudanil di dua sungai dalam Taman Nasional Virunga, dan mengubah ekosistem di sana
selamanya.

Di Afganistan, margasatwa dan habitat telah menghilang. Selama tiga puluh tahun
terakhir, perang telah menhilangkan pohon dari negara ini, termasuk hutan kacang
pistachio yang merupakan tumbuhan asli di sana. The Cost of War Project mengatakan,
pembalakan liar oleh panglima perang yang diback-up oleh AS serta pemanfaatan kayu
oleh pengungsi menyebabkan lebih dari sepertiga hutan di Afganistan lenyap pada 1990-
2007. Kekeringan, penggundulan dan hilangnya spesies menjadi hasilnya. Jumlah burung
yang bermigrasi dan melintasi Afganistan turun sekitar 85%.

Contoh-contoh tersebut di atas dapat digolongkan pada pelanggaran hukum


internasional. Konvensi Jenewa memberikan batasan untuk perang yang menyebabkan
kerusakan lingkungan meluas, dalam jangka panjang dan parah. Marie Jacobsson,
reporter khusus untuk Komisi Hukum PBB yang bertanggung jawab untuk penilaian
sejauh mana kerangka hukum dapat melindungi lingkungan dari konflik bersenjata
mengatakan, “Perlindungan hukum internasional masih belum sempurna.”

Menurut Program Lingkungan PBB, selama lebih dari 60 tahun, sekurang-


kurangnya 40% dari konflik internal berhubungan dengan eksploitasi sumber daya alam.
Jacobsson menunjukkan bukti bahwa militer mulai menerima bahwa perusakan
lingkungan menyebabkan masalah pada keamanan dalam jangka panjang. Penelitian
beliau menunjukkan bahwa tindakan militer telah diambil oleh berbagai pasukan di
seluruh dunia.

“Kendati suatu negara tidak wajib mengatur aktivitas militer sepanjang konflik
bersenjata, kebanyakan negara tersebut saat ini memiliki peraturan mengenai lingkungan
yang mengikat. Hal tersebut tidak kita temui 10 tahun yang lalu.” Dia mengatakan,
perubahan ini mengarah pada ‘segala sesuatu dari amunisi bebas timah sampai
pembersihan setelah operasi’.

Hukum dan peraturan praktis barangkali bisa memperbaiki kerusakan karena


perang yang melibatkan tentara dalam jumlah banyak. Sejumlah besar dampak (dan
barangkali yang bisa diterima) dapat meredam peningkatan tentara di dunia pada masa
yang relatif damai ini.

Namun, kerangka hukum dan kepekaan mendalam tidak akan mencapai mereka
yang terlibat perang saudara di Afrika, Syria, atau tempat lain. Orang-orang yang putus
asa akan terus melanjutkan hidupnya dengan mengorbankan semua hal di sekitar kita.

C. Upaya Perlindungan terhadap Kerusakan Lingkungan akibat Perang

Perlindungan lingkungan hidup dalam konflik bersenjata tidak cukup apabila hanya
dilakukan dengan hukum humaniter internasional saja karena hukum lingkungan
internasional-lah yang dapat memahami lingkungan hidup yang sebenar-benarnya.
Prinsip-prinsip dasar perlindungan, pendekatan, norma, dan mekanisme perlindungan
lingkungan hanya dapat ditemukan di hukum lingkungan internasional. Sehingga dapat
memperkuat hukum humaniter internasional dalam mencegah lingkungan hidup agar tidak
menjadi korban konflik bersenjata. Dengan hukum lingkungan internasional perlindungan
lingkungan hidup dalam konflik bersenjata, dapat diterapkan lebih spesifik karena hukum
lingkungan internasional yang mengetahui kerusakan lingkungan secara lebih spesifik.

Tentu hal tersebut terjadi karena hukum humaniter internasional hanya


memahami senjata dan metode yang dapat merusak lingkungan tetapi tidak paham
kerusakan lingkungan tertentu. Tema perlindungan lingkungan dalam konflik bersenjata
ini dapat memberikan kesempatan bagi kedua cabang hukum tersebut, untuk memperluas
pengaturan mereka ke wilayah pengaturan yang lain. Hukum humaniter internasional yang
tadinya hanya memberi perhatian pada konflik bersenjata, cobalah untuk memberi
perhatian pada kerusakan lingkungan, begitu juga sebaliknya hukum lingkungan
internasional.
Kepedulian terhadap lingkungan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan,
misalnya hukum. Hukum dituntut agar bisa berpihak pada pelestarian lingkungan dan
meng-cover aktivitas perlindungan lingkungan. Sejak lahirnya Deklarasi Stockholm
1972, tuntutan untuk menghijaukan hukumsemakin kuat. Konsekuensinya, hukum
lingkungan melakukan ekspansi ke ranah bidang yang lain, khususnya bidang hukum
yang lainnya. Para regulator instrumen hukum bidang yang lainnya, seperti hukum
pertambangan, hukum laut, hukum udara dan ruang angkasa, dan hukum hak asasi
manusia juga harus mempertimbangkan lingkungan hidup, baik efek kegiatan (dalam
bidang tertentu) terhadap lingkungan maupun efek kerusakan lingkungan terhadap
kegiatan tersebut. Proses integrasi hukum lingkungan ke bidang yang lainnya ini juga
merambah ke aktivitas bersenjata terutama yang dilakukan saat konflik, sebagai upaya
melindungi lingkungan dalam situasi konflik bersenjata.

Proses menghijaukan hukum humaniter internasional telah dilakukan,


terlihat dari adanya ketentuan hukum humaniter internasional yang membubuhkan kata
environment pada pengaturan- pengaturannya dan ketentuan lain yang secara tidak
langsung dapat memberi perlindungan terhadap lingkungan. Upaya mengintegrasikan
hukum lingkungan internasional dengan hukum humaniter internasional terlihat
begitu signifikan pada tahun 1980-an hingga 1990-an. Dan beberapa dari ketentuan
tersebut telah diterapkan, misalnya dalam kasus pencemaran tumpahan minyak Perang
Teluk pada tahun 1991. Setahun setelah terjadinya pencemaran tumpahan minyak di Teluk
Persia, terselenggara The United Nations Conference on Environment and Development di
Rio de Janeiro, Brazil yang berlangsung pada 4 hingga 12 Juni 1992, yang menghasilkan
Rio Declaration on Environment and Development. Konsep Pembangunan Berkelanjutan
(Sustainable Development) yang dilahirkan melalui Deklarasi Rio memiliki lima prinsip,
yaitu intergenerational equity, intragenerational equity, polluter pays principle,
Internalisation of Environmental Cost,dan Ecological Interindependence/Biodiversity
Protection. Mengingat kembali bahwa Sustainable Development merupakan komitmen
untuk melalukan pembangunan yang seimbang dan adil untuk generasi mendatang, agar
generasi mendatang juga dapat menikmati kesejahteraan seperti yang kita rasakan
sekarang, dalam hal ini adalah kesejahteraan yang kita dapatkan dari lingkungan.

Itulah prinsip intergenerational equity yang terkandung dalam konsep


Sustainable Development. Prinsip ke 25 Deklarasi Rio 1992 memuat makna prinsip
intergenerational equity. Prinsip ke 25 menyatakan bahwa perdamaian, pembangunan, dan
perlindungan lingkungan merupakan hal yang saling bergantung dan tidak dapat
dipisahkan. Artinya, agar pembangunan berjalan dengan lancar dan tercapainya suatu
tujuan perlu adanya perlindungan lingkungan dan situasi damai. Situasi yang damai dapat
berperan dalam melindungi lingkungan karena apabila konflik maka lingkungan juga yang
akan menjadi korbannya. Perubahan iklim memberi pekerjaan tambahan terhadap bidang
kemanusiaan. Sehingga ketiga elemen tadi (perdamaian, pembangunan, dan perlindungan
lingkungan) dapat diibaratkan sebagai mata rantai, ada satu elemen yang terlepas maka
elemen lainnya tidak dapat berjalan.

Lahirnya konsep Sustainable Development melalui Deklarasi Rio 1992,yang


bersamaan dengan munculnya efek pencemaran lingkungan akibat pembakaran kilang
minyak pada Perang Teluk sebenarnya memberikan keuntungan, terutama bagi
kalangan ilmuwan. Prinsip-prinsip dalam Deklarasi Rio dapat langsung digunakan
untuk mencari solusi terhadap pencemaran Perang Teluk tersebut. Berbagai penelitian
terus dilakukan untuk merancang hukum lingkungan internasional yang semakin kuat
namun juga mudah law enforcement- nya. Hubungan antara hukum lingkungan
internasional dengan hukum humaniter internasional merupakan hubungan horizontal
antar dua cabang hukum internasional.

Selamaini pembahasan perlindungan lingkungan dalam konflik bersenjata


dilakukan terpisah antara hukum lingkungan internasional dengan hukum humaniter
internasional. Akan lebih efektif apabila pembahasan perlindungan lingkungan dalam
konflik bersenjata dilakukan secara bersamaan. Sehingga kekosongan dan kelemahan
di masing-masing sektor dapat saling dilengkapi dan saling menguatkan.
BAB III.
PENUTUP

A. Kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai