PENDAHULUAN
Bumi merupakan komunitas dimana mahluk hidup berdiam dan saling berinteraksi
satu sama lainnya. Dan merupakan planet (sampai saat ini) yang memiliki penunjang
kehidupan. Hampir 71% [1] bagian dari bumi adalah lautan dan 570 juta hektar (5,7
juta km2 ) luas daratan di dunia, memiliki unsur paling vital bagi kehidupan, didiami sekitar
5-50 juta jenis species flora dan fauna, dan tempat tinggal dari berbagai suku bangsa
manusia yang ada di bumi ini.
“War is a contention between two or more States through their Armed Forces, for the
purpose of over powering each other and imposing such condition of peace as the
Victor pleases”.
b. Bom Atom, yang dapat kita lihat akibatnya terhadap kota Hiroshima dan Nagasaki
di Jepang;
d. Bom-bom pintar atau juga bom-bom yang dapat dikendalikan dari jarak jauh
melalui satelit, merupakan jenis bom terbaru hasil dari semakin berkembangnya
tehnologi, dan masih banyak lagi jenis persenjataan perang lainnya.
Atas dasar itulah perlu diperhatikan bahwa jika memang perang benar-benar
terjadi di suatu wilayah di dunia, yang menjadi pertanyaan adalah siapakah yang
bertanggung jawab atas dampak yang ditimbulkan pasca perang? Pihak-pihak mana
sajakah yang wajib merehabilitasi atas kerusakan dan pencemaran lingkungan yang
diakibatkan oleh perang (persenjataan perang)? Apakah Badan Internasional dapat
diminta keikutsertaannya dalam merehabilitasi dampak yang disebabkan perang
(persenjataan perang) terhadap lingkungan dan juga Apakah penerapan sanksi atas pihak-
pihak yang melanggar peraturan-peraturan internasional tersebut dapat diberlakukan?
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka penulis tertarik untuk melakukan
penulisan mengenai dampak yang ditimbulkan oleh perang (persenjataan perang),
pengaturannya menurut Hukum Internasional, sanksi dan tindakan yang harus dilakukan
dalam mencegah dan merehabilitasi kerusakan yang ditimbulkan perang terhadap
lingkungan.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
[1] Hasjim djalal, Perjuangan Indonesia Di Bidang Hukum Laut , Bandung, Bina Cipta,
1978
[2] Konvensi Keanekaragaman Hayati: Seri Konvensi Internasional Lingkungan , WALHI-
FH Unika Atma Jaya: 1999, hlm. 59.
[4] Oppenheim-Lauterpacht, International Law , vol. II, Longmans Green & Co, 8 th . Ed.
London, 1960, hlm.202.
BAB II
PEMBAHASAN
“Ada anggapan bahwa ini adalah persoalan hidup matinya suatu bangsa, sehingga
Anda tak perlu khawatir pada basa-basi. Kita memiliki pemikiran bahwa manusia terpisah
dengan lingkungannya dan nyawa manusia bisa diselamatkan melalui upaya dan kesiapan
militer, sehingga urusan lingkungan dinomorduakan dan dipikirkan nanti.
Menurut Institut for Economics and Peace, hanya sebelas negara di dunia yang
tidak terlibat dalam konflik, kendati ada klaim bahwa abad ini adalah masa paling damai
dalam sejarah manusia. Meskipun di negara yang relatif damai, pasukan tetap melakukan
kegiatan untuk menjaga keamanan dengan mengkonsumsi sumber daya alam secara cepat
dan bebas dari hukuman. Namun, di masa perang, lingkungan menderita karena
pengabaian, eksploitasi, keputusasaan manusia, dan penyalahgunaan disengaja yang
terjadi secara besar-besaran.
Sepanjang perang gurun pertama, tentara Amerika mengebom Irak dengan misil
seberat 340 ton yang mengandung uranium. Mac Skelton, peneliti dari Johns Hopkins
University, melakukan kerja lapangan di Irak terhadap peningkatan tingkat radiasi kanker
yang berkaitan dengan peluru militer AS dan UK.
Skelton dan peneliti lainnya mengatakan bahwa radiasi dari jenis senjata ini telah
meracuni tanah dan air di Irak menjadi lingkungan yang menyebabkan kanker
(carcinogenic). Pemerintah Inggris mengatakan, tuduhan tersebut tidak berdasar. Tidak
ada penelitian yang komprehensif dilakukan untuk mendukung atau membantah hubungan
antara kanker dan senjata yang mengandung uranium.
Namun, Skelton mengatakan, kerusakan lingkungan di Irak sepanjang perang 24
tahun yang lalu disebabkan karena kerusakan infrastruktur di Irak yang terjadi secara
sistematis. Aktivitas pengeboman sepanjang tahun 1991 memusnahkan fasilitas sosial,
termasuk di dalamnya sistem yang mendukung lingkungan.
“Anda tak pernah melihat kerusakan infrastruktur suatu negara secepat itu.” Kata
Skelton. Air limbah membanjiri jalanan dan sungai, kilang minyak dan jaringan pipa-pipa
rusak menyebabkan oli masuk ke dalam tanah. Sanksi yang diberikan tidak terlalu berarti,
sementara tanah dan kota sudah terlanjur teracuni. Seorang pengamat di Basra pada 2008
mengatakan, “Masyarakat hidup di tengah lumpur dan kotoran manusia, sementara
tingkat penderita kanker pada anak pada angka yang paling tinggi.” Air tanah di kota
mengandung garam yang membuat orang sakit. Di jalanan, lebih banyak sampah daripada
petugas yang membersihkan.
Lutz mengatakan, 630 sumur terbakar seiring dengan mundurnya tentara Irak dari
Kuwait pada 1991, memperlihatkan ‘ecocide’ (kerusakan lingkungan) sebagai hasil dari
perang. “Namun, jenis kerusakan ini adalah puncak dari gunung es,” kata Lutz. Dalam
dunia militer, linkungan tidak diperhitungkan, bahkan di luar daripada perang yang
terjadi.
Hal itu sebelum terjadinya perang. Jejak karbon yang dihasilkan oleh pasukan
modern sangatlah besar. Satu laporan menyatakan bahwa militer AS, dengan tank dan
kendaraan perang Bradley menggunakan 190,8 milyar liter minyak setiap bulan sepanjang
invasi di Irak. Diperkirakan dua pertiga dari minyak ini digunakan untuk mengirimkan
lebih banyak bahan bakar kepada kendaraan perang di garis depan peperangan.
Di setiap perang, pengungsi yang ada tidak didukung oleh infrastruktur yang
memadai. Mereka kemudian berpaling pada lingkungan untuk memenuhi kebutuhan
dasarnya.
Virunga menjadi totem sebuah masalah di benua yang bopeng-bopeng oleh perang.
Taman tersebut menjadi rumah bagi spesies langka gorilla gunung dan simpanse, gajah,
serta mega fauna lain yang karismatik. Ian Redmon, konsultan margasatwa untuk Born
Free mengatakan ketidakteraturan dan keputusasaan perang menyebabkan perlindungan
untuk habitat margasatwa yang berharga seperti Virunga menguap.
“Perang sangat buruk dampaknya bagi margasatwa seperti juga bagi manusia.
Lahan konservasi menderita karena penjaga sibuk melarikan diri dari peperangan, bahkan
bisa jadi mereka diserang oleh pasukan pemberontak yang iri pada kendaraan mereka,
radio, dan senjata. Lebih lanjut lagi, pasukan pemberontak sering mencari makanan
dengan hewan liar dan membiayai pasukannya dengan gading, kayu, arang, dan mineral
dari wilayah yang terlindungi.”
Arus kendaraan militer yang tinggi di wilayah ini berarti sepanjang dan setelah
perang terjadi pelanggaran batas yang meningkat secara dramatis. Hanya dalam waktu
dua bulan pada 2006, pemberontak Mai-Mai di Kongo membantai hampir semua populasi
kudanil di dua sungai dalam Taman Nasional Virunga, dan mengubah ekosistem di sana
selamanya.
Di Afganistan, margasatwa dan habitat telah menghilang. Selama tiga puluh tahun
terakhir, perang telah menhilangkan pohon dari negara ini, termasuk hutan kacang
pistachio yang merupakan tumbuhan asli di sana. The Cost of War Project mengatakan,
pembalakan liar oleh panglima perang yang diback-up oleh AS serta pemanfaatan kayu
oleh pengungsi menyebabkan lebih dari sepertiga hutan di Afganistan lenyap pada 1990-
2007. Kekeringan, penggundulan dan hilangnya spesies menjadi hasilnya. Jumlah burung
yang bermigrasi dan melintasi Afganistan turun sekitar 85%.
“Kendati suatu negara tidak wajib mengatur aktivitas militer sepanjang konflik
bersenjata, kebanyakan negara tersebut saat ini memiliki peraturan mengenai lingkungan
yang mengikat. Hal tersebut tidak kita temui 10 tahun yang lalu.” Dia mengatakan,
perubahan ini mengarah pada ‘segala sesuatu dari amunisi bebas timah sampai
pembersihan setelah operasi’.
Namun, kerangka hukum dan kepekaan mendalam tidak akan mencapai mereka
yang terlibat perang saudara di Afrika, Syria, atau tempat lain. Orang-orang yang putus
asa akan terus melanjutkan hidupnya dengan mengorbankan semua hal di sekitar kita.
Perlindungan lingkungan hidup dalam konflik bersenjata tidak cukup apabila hanya
dilakukan dengan hukum humaniter internasional saja karena hukum lingkungan
internasional-lah yang dapat memahami lingkungan hidup yang sebenar-benarnya.
Prinsip-prinsip dasar perlindungan, pendekatan, norma, dan mekanisme perlindungan
lingkungan hanya dapat ditemukan di hukum lingkungan internasional. Sehingga dapat
memperkuat hukum humaniter internasional dalam mencegah lingkungan hidup agar tidak
menjadi korban konflik bersenjata. Dengan hukum lingkungan internasional perlindungan
lingkungan hidup dalam konflik bersenjata, dapat diterapkan lebih spesifik karena hukum
lingkungan internasional yang mengetahui kerusakan lingkungan secara lebih spesifik.
A. Kesimpulan