Laporan Kasus DSS
Laporan Kasus DSS
KASUS
IDENTITAS PASIEN
• Nama : Tn. J
• Umur : 27 tahun
• No. RM : 297634
ANAMNESIS
• Anamnesis dan pemeriksaan dilakukan pada tanggal 28 Mei 2015 di ruang HCU RSUD.
Sekarwangi pukul 14.00 WIB.
Pasien mengeluh demam sejak 4 hari yang lalu. Demam terus menerus sepanjang
hari, namun demam dirasakan paling berat pada malam hari. Demam turun setelah pasien
minum obat penurun panas, namun beberapa jam kemudian demam naik lagi. Demam
tidak sampai menggigil. Keluhan mual juga dirasakan pasien namun tidak sampai
muntah. Mual timbul bila hendak makan. Pasien juga mengeluh pusing. Pusing dirasakan
paling berat pada bagian belakang kepala seperti tertindih benda berat. Terdapat nyeri
pada sendi atau linu-linu terutama sendi kaki namun pasien masih dapat berjalan walupun
terasa lemas Pasien mengeluh nyeri pada bagian ulu hati. Nyeri terutama pada saat
ditekan. Pasien juga mengatakan nafsu makan berkurang sejak pasien demam. Keluhan
muntah berdarah, bintik pada kulit, BAB berwarna hitam dikeluhkan pasien sejak 1 hari
SMRS BAB dengan konsistensi lunak sebanyak 1 kali sehari. Mimisan disangkal pasien.
Pasien tidak merasakan batuk dan pilek. Buang air kecil berwarna kuning dan
frekuensinya berkurang.
– Hipertensi disangkal
Tidak ada keluarga pasien yang mengeluh gejala yang sama seperti pasien. Namun 1
orang teman di tempat kerja juga mengalami demam berdarah dan sedang rawat inap di
rumah sakitRiwayat Pengobatan:
Riwayat Alergi:
Riwayat psikososial:
-
PEMERIKSAAN FISIK
• Kesadaran : Composmentis
• Tanda vital
– Suhu : 37,4°C
– Pernapasan : 20kali/menit
BB : 75 kg, TB : 160 cm
STATUS GENERALISATA
• Dada
– Paru
– Jantung
• Perkusi : Batas jantung atas pada ics III linea parasternal sinistra,
batas kanan jantung pada ICS V parasternal dextra, dan batas kiri jantung
pada ICS V midklavikula sinistra.
• Abdomen
• Perkusi : Timpani
Hematologi
Hematokrit 36 40-45%
Hematologi
Hematokrit 32 40-45%
Hematologi
Hematokrit 21 40-45%
Hematologi
Hematokrit 22 40-45%
Hematologi
IgG -
IgM -
Hematokrit 19 40-45%
Hematologi
Hematokrit 27 40-45%
• Pasien mengeluh febris terus menerus sejak 4 hari yang lalu. Pasien mengeluh nausea,
vomitus berwarna merah 1 kali, pusing, myalgia dan nyeri epigastrium. BAB 1x sehari
berwarna hitam. Buang air kecil berwarna kuning dan oliguria. Mengalami penurunan
kesardaran selama 2 hari.
• Riwayat penyakit teman kerja pasien mengalami demam berdarah dan sedang dirawat di
rumah sakit.
• Pada pemeriksaan umum ditemukan keadaan umum sakit sedang, kesadaran CM,
TD100/60 mmHg, nadi 88 kali/menit, RR 20 kali/menit, dan suhu axilla 37,4 oC.
• Pada pemeriksaan ditemukan adanya ptechie pada fosa kubiti bilateral, nyeri tekan pada
epigastrium.
Diagnosis Kerja
• DSS
Penatalaksanaan
• Planning Diagnostik
• Planning Monitoring
• Pemeriksaan tanda-tanda vital: tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi nafas, dan
suhu axilla tiap 4 jam hingga bebas dari tanda-tanda syok.
• Planning Edukasi
Prognosis
Demam dengue dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi
yang ditandai leukopeni, ruam, limfadenopati, trombositopenia. Pada DBD terjadi perembesan
plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di
rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome/DSS) adalah demam berdarah
dengue yang ditandai oleh renjatan/syok.
Sindroma renjatan dengue (dengue shock syndrome/DSS) masih merupakan penyebab
utama kesakitan dan kematian anak di Asia. DSS ditandai dengan peningkatan permeabilitas
vaskular masif yang menyebabkan terjadinya renjatan hipovolemik . Manajemen DSS
melibatkan resusitasi segera dibentuk dengan cairan parenteral, untuk memulihkan dan
mempertahankan sirkulasi yang memadai selama periode permeabilitas vaskular meningkat.
Perhatian khusus diperlukan untuk mencoba untuk menghindari overload cairan dengan segala
komplikasinya
Angka kematian SRD sepuluh kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan penderita
DBD tanpa renjatan, dan renjatan dapat terjadi karena keterlambatan penderita DBD
mendapatkan pertolongan /pengobatan penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya
kewaspadaan terhadap tanda-tanda renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan yang tidak
adekuat.
Studi epidemiologi di Asia Tenggara menunjukkan bahwa SRD banyak terjadi selama
infeksi sekunder, yaitu oleh serotipe virus yang berbeda daripada virus penyebab infeksi primer.
Penampakan klinis infeksi virus dengue sekunder lebih berat dibandingkan dengan infeksi
primer. Di beberapa kepustakaan tertera bahwa infeksi primer hanya menyebabkan suatu
keadaan yang disebut febrile self limiting disease, sedangkan infeksi sekunder dapat
menimbulkan komplikasi yang berat. Oleh karena itu sangat perlu membedakan infeksi dengue
primer atau sekunder untuk prognosis SRD yang lebih baik dan tidak hanya sekedar
menemukan hasil positif atau negatif.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sindrom renjatan dengue (Dengue Shock Syndrome) adalah demam berdarah dengue
yang ditandai oleh renjatan/syok. (Suhendro,2006)
Sindroma renjatan dengue (Dengue Shock Syndrome, DSS) adalah penderita DHF yang
lebih berat ditambah dengan adanya tanda-tanda renjatan: (1) denyut nadi lemah dan cepat; (2)
tekanan nadi lemah (< 20 mmHg); (3) hipotensi bila dibandingkan nilai normal pada usia
tersebut; (4) gelisah, kulit berkeringat dan dingin.
Sindrom Renjatan Dengue (SRD) atau dengue shock syndrome (DSS) adalah
manifestasi renjatan yang terjadi pada penderita DBD derajat III dan IV (World Health
Organisation, 1997).
2.2 Epidemiologi
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat dan Karibia.
Indonesia merupakan wilayah endemik dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. Epidemi
dengue atau dengue like epidemik dilaporkan sepanjang abad 19 dan awal abad ke-20 di
Amerika, Eropa Selatan, Afrika Utara, Mediterania Timur, Asia dan Australia dan beberapa
pulau di Samudra Hindia, Pasifik Selatan dan Tengah dan Karibia. Demam dengue dan demam
berdarah dengue meningkat insiden dan distribusinya lebih dari 40 tahun yang lalu, dan pada
tahun 1996, 2500 hingga 3000 juta orang yang tinggal pada daerah ini beresiko terserang virus
dengue.
Setiap tahunnya diperkirakan ada lebih dari 20 juta kasus infeksi yang mengakibatkan
sekitar 24.000 kematian. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk
(1989 hingga 1995) dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per
100.000 penduduk pada tahun 1989, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga
mencapai 2% pada tahun 1999.( WHO, 2000).
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutama A.
aegyepti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi
lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi
air jernih (bak mandi, kaleng bekas dan tempat penampungan air lainnya).
Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus dengue yaitu:
1).Vektor : perkembang biakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor di lingkungan,
transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain; 2). Penjamu : terdapatnya penderita di
lingkungan / keluarga, mobilisasi dan paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin;
3).Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi, dan kepadatan penduduk.
2.3 Etiologi
Famili Flaviviridae terdiri dari sekitar 70 virus berdiameter 40-60 nm yang memiliki
genom RNA untai tunggal dan sense positif. Selubung virus mengandung dua glikoprotein.
Protein prekursor dalam jumlah besar dihasilkan dari mRNA genom panjang selama replikasi
virus, dibelah oleh protease virus dan pejamu untuk membentuk semua protein virus. Flavivirus
bereplikasi di dalam sitoplasma dan penyusunan partikel terjadi di dalam vesikel intraseluler
(Jawetz, 2008).
Ada empat serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Serotipe DEN-3
merupakan jenis yang sering dihubungkan dengan kasus-kasus yang parah. Infeksi oleh salah
satu serotipe akan menimbulkan kekebalan terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak
untuk serotipe yang lain. Keempat jenis virus tersebut terdapat di Indonesia. Di daerah endemik
DBD, seseorang dapat terkena infeksi semua serotipe virus pada waktu yang bersamaan
(Widoyono, 2008).
2.4 Patogenesis
Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis
berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue. Respon imum
yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah : a). Respon humoral berupa
pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus, sitolosis yang dimediasi
komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibody. Antibodi terhadap virus dengue berperan
dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody
dependent enhancement (ADE) ; b). Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8)
berperan dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan
memproduksi interfon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6
dan IL-10; c). Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi
antibody. Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi
sitokin oleh makrofag; d). Selin itu aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan
terbentuknya C3a dan C5a.
Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary hetrologous infection yang
menyatakan DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue dengan tipe yang berbeda.
Re-infeksi menyebabkan reaksi anamnestik antibodi sehingga mengakibatkan konsentrasi
kompleks imun yang tinggi.
Kurane dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan peneliti lain;
menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang me-fagositosis
kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga virus bereplikasi di makrofag. Terjadinya
infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T helper dan T sitotoksik sehingga
diproduksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit
sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-α, IL-6, PAF (platelet activating
factor), IL-6 dan histamin yang mengakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadi
kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi oleh kompleks virus-
antibodi yang juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma.
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme: 1). Supresi sumsum tulang,
dan 2). Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran sumsum tulang pada fase
awal infeksi (< 5 hari) menunjukkan keadaan hiposeluler dan supresi megakariosit. Setelah
keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses hematopoiesis termasuk
megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru
menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai
mekanisme komponen terhadap trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan
fragmen C3g, terdapatnya antibodi VD, konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan
sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan
ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulin dan PF4 yang merupakan petanda degranulasi.
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang menyebabkan
disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya koagulopati konsumtif pada
demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi koagulasi pada demam berdarah dengue
terjadi melalui jalur aktivasi jalur ekstrinsik (tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga berperan
melalui aktivasi faktor XIa nemun tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein C1 –inhibitor).
Virus akan masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti kemudian
akan bereaksi dengan antibodi dan terbentuklah kompleks virus-antibodi. Di dalam sirkulasi
akan mengaktivasi sistem komplemen. Akibat aktivasi C3 dan C5 akan dilepas C3a dan C5a, dua
peptida yang berguna untuk melepaskan histamin dan merupakan mediator kuat sebagai faktor
untuk meningkatnya permeabilitas dinding pembuluh darah dan menghilangkan plasma melalui
endotel dinding itu.
Infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik, atau dapat berupa demam yang tidak
khas, demam dengue, demam berdarah dengue atau sindrom renjatan dengue (SRD).
Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh fase kritis
selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai resiko
untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan tidak adekuat. Pada saat tersebut penderita
dapat mengalami hipovolemi hingga lebih dari 30 % dan dapat berlangsung selama 24-48 jam.
Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan menapis pasien tersangka demam dengue
adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit dan hapusan darah
tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru.
Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture) ataupun deteksi
antigen virus RNA dengue dengan RT-PCR (Reverse Transcriptase Polymerase Chain
Reaction), namun karena teknik yang lebih rumit, saat ini tes seorologis yang mendeteksi adanya
antibodi spesifik terhadap dengue berupa antibodi total, IgM maupun IgG.
Leukosit : dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis relatif (< 45%
dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah total leukosit
yang pada fase syok akan meningkat.
Trombosit : umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3 – 8
Hematokrit : kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan hematokrit ≥ 20%
dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam.
Hemostasis : dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibronogen, D-Dimer, atau FDP pada keadaan
yang dicurigai perdarahan atau kelainan pembekuan darah.
Protein / albumin : dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.
SGOT/ SGPT (serum alanin aminotransferase) : dapat meningkat
Ureum, Kreatinin : bila didapatkan gangguan fungsi ginjal
Elektrolit : sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.
Golongan darah dan cross match (uji cocok serasi) : bila akan diberikan transfusi darah atau
komponen darah.
Imunoserologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue.
o IgM : terdeteksi mulai hari ke 3 – 5, meningkat sampai minggu ke-3,
menghilang setelah 60 – 90 hari.
o IgG : pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada
infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke-2.
Radiologis
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi apabila
terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua hemitoraks.
Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur pada
sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan
USG.
2.7 Diagnosis
Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4 – 6 hari (rentang 3 – 14 hari), timbul gejala
prodormal yang tidak khas seperti : nyeri kepala, nyeri tulang belakang, dan perasaan lelah.
Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila hal dibawah ini dipenuhi :
Seluruh kriteria di atas untuk DBD disertai kegagalan sirkulasi dengan manifestasi klinis seperti
DBD, disertai kegagalan sirkulasi (syok).
Gejala syok :
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah terapi suportif.
Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 1%.
Pemeliharaan voulume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan
kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Minum banyak (rehidrasi
oral) : 1,5 – 2 ltr / 24 jam. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan (dapat
disebabkan karena muntah terus, intake tidak terjamin, atau Ht ↑ progresif) maka diberikan suplemen
cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna. Untuk
menurunkan gejala demam juga dapat digunakan antipiretik, seperti Paracetamol dan kompres dingin.
Jika nilai trombosit terus mengalami penurunan, dapat dilakukan transfusi darah; trombosit, plasma,
whole fresh blood.
Bila kita berhadapan dengan sindroma renjatan dengue (SRD) maka hal pertama yang harus
diingat adalah bahwa renjatan harus segera di atasi oleh karena itu penggantian cairan
intravaskular yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian sindroma syok dengue
sepuluh kali lipat di bandingkan dengan penderita DBD tanpa renjatan, dan renjatan dapat
terjadi karena keterlambatan penderita DBD mendapatkan pertolongan/pengobatan,
penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda
renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat.
Pada kasus SRD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain resusitasi
cairan, penderita juga di berikan O2 2-4 liter/menit. Pemeriksaan-pemeriksaan yang harus
dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostasis, analisa gas darah,
kadar natrium, kalium dan klorida serta ureun kreatinin.
Pada fase awal, cairan kristaloid di guyur sebanyak 10-20 ml kgBB/jam dan di evaluasi
setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (di tandai dengan tekanan sistolik 100 mmHg
dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 kali per menit dengan
volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat serta diuresis 0.5-1 ml
kgBB/jam jumlah cairan dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit
keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 5ml kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 jam
kemudian keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam
setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup
maka pemberian cairan infus harus dihentikan (karena jika di reabsorbsi cairan plasma yang
mengalami ekstravasasi telah terjadi, di tandai dengan turunnya hematokrit, cairan infus terus
diberikan maka keadaan hipervolemi, edema paru atau gagal jantung dapat terjadi).
2.9 Komplikasi
Perdarahan merupakan salah satu komplikasi yang dapat terjadi pada Demam Berdarah Dengue
(DBD). Perdarahan lebih banyak terjadi pada penderita yang mengalami syok (Sindrom Syok
Dengue/DSS), sebanyak 28% dari semua kasus DBD, 57% penderita DBD yang dengan perdarahan
mengalami kematian.
2.10 Prognosis
Prognosis didasarkan pada kesuksesan dalam terapi dan penatalaksanaan yang dilakukan.
Terapi yang tepat dan cepat akan memberikan hasil yang optimal. Penatalaksanaan yang
terlambat akan menyebabkan komplikasi dan penatalaksanaan yang tidak tepat dan adekuat akan
memperburuk keadaan.
Pada DBD/SSD mortalitasnya cukup tinggi.
DBD derajat III dan IV merupakan derajat sindrom syok dengue dimana pasien jatuh ke
dalam keadaan syok dengan atau tanpa penurunan kesadaran. Prognosis sesuai penatalaksanaan
yang diberikan Dubia at bonam.
2.11 Pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk diwaktu pagi sampai sore,
karena nyamuk aedes aktif di siang hari (bukan malam hari). Misalnya hindarkan berada di
lokasi dengan jumlah nyamuk dominan di siang hari, terutama di daerah dengan penderita DBD.
Beberapa cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD melalui metode pengontrolan
atau pengendalian vektornya adalah :
3.1 Kesimpulan
Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome/DSS) adalah demam berdarah dengue
yang ditandai oleh renjatan/syok. Manajemen SRD melibatkan resusitasi segera dibentuk dengan
cairan parenteral, untuk memulihkan dan mempertahankan sirkulasi yang memadai selama
periode permeabilitas vaskular meningkat. Perhatian khusus diperlukan untuk mencoba untuk
menghindari overload cairan dengan segala komplikasinya
3.2 Saran
Perlunya pemahaman lebih dalam mengenai patogenesis, diagnosis, dan penatalaksanaan Demam
berdarah dengue secara tepat dan adekuat agar tidak berlanjut menjadi dan meminimalisir terjadinya
Sindrom renjatan dengue.