Anda di halaman 1dari 47

Situ Cisanti

Saguling

Bendungan Cirata.

Bendung Walahar

muara sungai Citarum

Isu-Informasi terkait Alam, Manusia,


Lingkungan, Infrastruktur D.A.S. & D.I.
CITARUM
1
Yang dimaksud dengan DAS (Daerah Aliran Sungai)

2
DAS terbagi menjadi Sub DAS.

catatan : cara penomoran yang tertera di 3 gambar ini tidak sama dengan cara penomoran yang dipakai dalam dokumen
ini – gambar masih perlu diperbaiki

3
Skematik Catchment Area sungai orde 1

Skematik Catchment Area sungai orde 2 Skematik Catchment Area sungai orde 3

4
Sungai Citarum berawal dari mata air yang terletak di Gunung Wayang (kabupaten
Bandung) yang mengalir dari selatan ke arah utara sepanjang 269 km hingga akhirnya
bermuara di Laut Jawa di Muara Gembong dengan melewati Kabupaten Bandung,
Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten
Karawang serta Kabupaten Bekasi.

5
6
7
1 Kaitan antara “kehidupan” dengan “tekanan terhadap
lingkungan”
Dari pengamatan dan pengkajian yang telah dilakukan sangatlah jelas bahwa akar
permasalahan DAS Citarum (pencemaran dan kerusakan alam-lingkungan) adalah :
“tangan-tangan” manusia (sikap, tindakan, ulah, peri laku manusia).

Pencemaran dan Kerusakan alam-lingkungan dalam DAS diantaranya berciri :

• ada pergerakan dari sumber masalah ke lokasi masalah yang mengikuti/melewati


alur aliran air permukaan , sebagai contoh misalnya :

1. perjalanan sampah dari tumpukan sampah di darat sampai ke tumpukan sampah di sungai
salah satu bentuk pergerakannya mengikuti/melalui alur aliran air,
2. sedimentasi , sumber penyebabnya ada di lokasi sebelah hulunya (cq. misalnya : erosi
akibat lahan/hutan gundul/digunduli) , lokasi terjadinya sedimen di hilirnya , pergerakan
sedimen dari hulu ke hilir mengikuti/melalui alur aliran air,
3. waduk saguling menjadi "cubluk" raksasa dan TPA (tempat pembuangan akhir) sampah
raksasan dan "terpaksa”) , yang berasal dari “berbagai buangan kehidupan masyarakat” di
Kabupaten Bandung, Kota Bandung , Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Cimahi yang
berpindah ke waduk Saguling dalam pergerakan yang mengikuti/melalui alur aliran air

• ada pergerakan dari sumber masalah ke lokasi masalah mengikuti/melewati alur


pergerakan manusia

• Ada karakteristik unik terkait Pencemaran dan Kerusakan alam-lingkungan dalam


DAS (Daerah Aliran Sungai) sbb. :

1. Yang punya salah/dosa (yang menjadi penyebab pencemaran dan kerusakan)


mungkin mendekati 80 atau 90 % tidak menyadari kalau dia itu berbuat salah/dosa.
2. Persentasinya amat minim , bahkan hampir tidak ada "yang punya dosa itu"
"beberes" dalam urusan sampah, sedimentasi , pencemaran, kerusakan, banjir dst
......

8
2 tahun 1978 sungai di jawa sudah dinyatakan sakit.

3 Dampak Perubahan Global pada Sumber Daya Air.

9
10
PERUBAHAN GLOBAL : pertumbuhan populasi / pertambahan penduduk, perubahan iklim,
urbanisasi, ekspansi infrastruktur, migrasi, konversi lahan dan pencemaran.

Sumber daya air adalah sumber daya berupa air yang diperlukan/bermanfaat atau potensial
bermanfaat bagi hidup - kehidupan. Kegunaan air meliputi penggunaan di bidang pertanian,
industri, rumah tangga, rekreasi, dan aktivitas lingkungan.

Sumber daya air merupakan sumber daya vital kehidupan - kelangsungan kesinambungan
kesejahteraan kehidupan mahluk hidup.

Air diperlukan untuk hidup , merupakan sumber daya pokok untuk kesehatan manusia,
kemakmuran dan kesejahteraan.

Pada air dalam siklus hidrologi terkandung kekayaan nilai-nilai sosial, ekonomi, dan
lingkungan, serta essential (diperlukan sekali) untuk terwujudnya kemakmuran dan
kesejahteraan hidup dan kehidupan serta kesinambungan keberlangsungannya.

Laju pertambahan penduduk yang tidak pernah terjadi sebelumnya, perubahan iklim,
pesatnya urbanisasi, ekspansi infrastruktur, migrasi, konversi lahan dan polusi
(pencemaran) telah memiskinkan / merusak fungsi essential air untuk terwujudnya
kemakmuran dan kesejahteraan hidup dan kehidupan serta kesinambungan
keberlangsungannya.

Kepadatan populasi penduduk dan pemakaian sumber daya per kapita telah meningkat pesat
secara dramatis sejak seabad lalu. Daerah aliran sungai, akuifer (lapisan air tanah dalam) dan
ekosistem terkait telah mengalami perubahan signifikan sedemikian rupa sehingga
memengaruhi vitalitas, kualitas, dan ketersediaan sumber daya.

Pertumbuhan populasi yang eksponensial (semakin lebih cepat) ini – merupakan pendorong
utama konsumsi energi dan perubahan iklim antropogenik (tidak alami, timbul karena ada pengaruh atau
campur tangan manusia atau aktifitas manusia) - juga merupakan pendorong utama di balik perubahan
hidrologi dengan segala dampak yang diakibatkannya.

Pesatnya pertumbuhan perkotaan semakin menyulitkan penyediaan “layanan-dasar”


penyediaan air bersih dan sanitasi / kesehatan lingkungan.

Pada pertengahan 1990-an, sekitar 40 persen populasi dunia menderita kekurangan air.
Diperkirakan, dalam waktu kurang dari 25 tahun, dua pertiga populasi dunia akan tinggal di
negara-negara “sulit-air”.

Lebih dari setengah populasi dunia bergantung pada air tawar yang umumnya berlimpah di
daerah pegunungan.

Daerah-daerah ini berada di bawah tekanan dari deforestasi, pertanian dan pariwisata, yang
potensial menjadikan kebutuhan air menjadi tidak dapat terpenuhi.

Kualitas dan kuantitas air tawar di sungai, danau, air tanah, kelembaban tanah, dan es berada
di bawah tekanan di seluruh dunia. Polusi air adalah masalah global yang serius yang
berdampak pada kesehatan sistem air tawar dan manusia yang hidup dan kehidupannya
bertumpu mengandalkan ketersediaan air.

Banyak sungai besar tidak lagi secara konsisten mencapai samudera; ratusan meter penurunan
sumber-air-tanah-fosil sekarang menjadi masalah di beberapa akuifer terbesar dan paling
produktif di dunia; dan polusi/pencemaran telah secara dramatis berdampak buruk pada banyak
habitat perairan.

Pemicu Utama Perubahan Global.

11
Perubahan Global tidaklah hanya sekedar perubahan iklim. Pemicu Utama PERUBAHAN
GLOBAL adalah : pertambahan populasi penduduk, perubahan iklim, urbanisasi, ekspansi
infrastruktur, migrasi, konversi lahan dan polusi/pencemaran.

Urbanisasi merubah areal dekat alur-alur sungai dan area dataran rendah pantai. Intensifikasi
pertanian berkontribusi pada penggundulan hutan dan penggurunan (menyebabkan lahan
gundul).

Meningkatnya pemakaian air terkait dengan pertanian dan urbanisasi berakibat pada
perubahan infrastruktur tampungan air, laju pemakaian air tanah yang semakin meningkat serta
perubahan jaringan-jaringan alur pengaliran air. Gabungan semua perubahan ini, komulatif,
berdampak buruk pada kualitas air.

Perubahan Iklim meningkatkan ketidakpastian masa depan ketersedian air dan keragaman
sumber-sumber air bersih. Pengendalian dampak banjir dan kekeringan semakin harus dan
semakin sering perlu dilakukan dibanding masa-masa sebelumnya.

Perubahan global (pertumbuhan populasi / pertambahan penduduk, perubahan iklim,


urbanisasi, ekspansi infrastruktur, migrasi, konversi lahan dan pencemaran), yang pemicu
utamanya adalah eksistensi keberadaan manusia dengan keadaannya yang seperti saat ini ,
akan kronis dan progresif menipiskan dan mencemari cadangan-cadangan air permukaan dan
air tanah.

Konsekuensi komulatif perubahan global diantaranya :

• penipisan aquifer (lapisan persediaan air bawah tanah),


• pencemaran air,
• “stress akibat air”,
• berbagai dampak cuaca/iklim ekstrim,
• pelemahan ketahanan pangan,
• semakin sulitnya memperoleh air minum (air bersih) yang aman,
• kerentanan sosial-ekonomi dan ekologis.

12
4 “Raksasa” itu sedang terkapar.
https://nasional.kompas.com/read/2011/05/06/02333517/.Raksasa.Itu.Sedang.Terkapar?page=all
Kompas.com - 06/05/2011, 02:33 WIB

Ribuan kilometer jaringan irigasi Jatiluhur mengalirkan ”kehidupan” selama hampir


setengah abad. Dibangun untuk melipatgandakan produksi pangan, keberadaannya kini
bak raksasa yang rapuh. Kemunduran terus terjadi seolah berpacu dengan perbaikan yang
tak henti.

Proyek pengairan Jatiluhur dibangun seiring dengan pembangunan waduk serbaguna Ir H


Djuanda pada kurun 1957-1967. Guna mendongkrak produksi beras, proyek ini menyasar
123.000 hektar lahan nonpertanian, tadah hujan, dan irigasi setengah teknis untuk diubah
menjadi irigasi teknis, menggenapi 117.000 hektar sawah irigasi teknis yang telah ada
sebelumnya.

Dengan perubahan status tersebut, produktivitas lahan ditargetkan meningkat dari 1,5 ton
beras per hektar menjadi 2,6 ton beras per hektar. Ketika itu produksi dari 240.000 hektar
lahan pertanian ditargetkan meningkat dari 325.215 ton menjadi 624.000 ton per tahun.

Dengan panjang saluran induk (primer) sekitar 280 kilometer, 3.000 kilometer saluran
sekunder, 16 bendung, dan sekitar 4.000 pintu pembagi, jaringan irigasi Jatiluhur tak
ubahnya pohon raksasa dengan batang, dahan, dan ranting yang rimbun. Luas lahan yang
diairi mencapai 240.000 hektar, tersebar di utara Jawa Barat, antara lain Bekasi,
Karawang, Subang, dan sebagian Indramayu.

13
Waduk Ir H Djuanda atau Waduk Jatiluhur membendung Sungai Citarum di Kabupaten
Purwakarta menjadi pemasok utama irigasi Jatiluhur. Di beberapa titik, jaringan ini
mendapat pasokan tambahan dari sumber setempat, seperti Sungai Cibeet, Cikarang, dan
Kali Bekasi di saluran induk Tarum Barat, juga Sungai Cijengkol dan Ciasem di Tarum
Timur.

Dari sisi luas lahan yang diairi, daerah irigasi Jatiluhur tergolong raksasa, dua kali lebih
luas dari daerah irigasi Batutegi di Lampung (90.000 hektar), empat kali lebih besar dari
Waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah (59.645 hektar), serta sepuluh kali Waduk Gajah
Mungkur (23.600 hektar).

Keberadaan daerah irigasi Jatiluhur juga menopang Jabar sebagai lumbung padi nasional.
Dalam sepuluh tahun terakhir, mengacu data Badan Pusat Statistik, rata-rata produksi padi
Jabar tertinggi dibandingkan provinsi sentra padi di Indonesia lainnya. Tahun 2009,
produksi padi Jabar sebesar 11,3 juta ton gabah kering giling (GKG) atau 17,5 persen dari
total produksi nasional yang 64,3 juta ton GKG. Produktivitasnya juga tinggi, yakni 5,8 ton
GKG per hektar, lebih tinggi dari rata-rata nasional (tahun 2009) 4,9 ton GKG per hektar.

Alih fungsi

Akan tetapi, sebagai lumbung padi nasional, Jabar menghadapi persoalan pelik terkait
penyediaan lahan. Pemerintah daerah menghadapi dilema antara mempertahankan lahan
pertanian sebagai sarana produksi utama dan menyediakan lahan untuk menopang
perkembangan industri dan kebutuhan perumahan bagi warganya.

Dengan penduduk 43,021 juta jiwa (hasil sensus penduduk 2010), Jabar adalah provinsi
dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia. Permintaan tanah untuk perumahan terus
bertambah seiring bertumbuhnya penduduk serta perkembangan sektor industri.

Letak geografis yang berdekatan dengan ibu kota negara, Jakarta, sekaligus sebagai
kawasan pengembangan industri, kebutuhan tanah di Jabar diprediksi bakal berlipat
ganda. Alih fungsi lahan pertanian pun terus terjadi. Di Karawang, misalnya, alih fungsi
selama 17 tahun hingga 2006 mencapai 2.502 hektar atau rata-rata 147 hektar per tahun.

Padahal, dengan sumbangan 10,7 persen dari total 10,1 juta ton GKG tahun 2008,
Karawang adalah penyumbang terbesar produksi padi Jabar. Alih fungsi juga berlangsung
di Subang, Indramayu, dan Cirebon yang menjadi penyumbang utama padi Jabar, yang
mencapai 3,7 juta ton GKG atau 37 persen.

Konversi lahan pertanian dikhawatirkan kian gencar terjadi di wilayah utara seiring rencana
pembangunan Jalan Tol Cikampek-Palimanan sepanjang 116 kilometer yang melintasi
Purwakarta, Subang, Indramayu, Majalengka, dan Cirebon.

Pemerintah berkomitmen melindungi lahan pertanian dengan mengamankan sawah-sawah


irigasi di sekitar jalan tol, namun konversi lahan diperkirakan sulit diatasi. Pengalaman
selama ini, pembangunan jalan selalu diikuti dengan rentetan permintaan lahan untuk
membangun fasilitas penunjang, seperti perumahan, jasa, dan industri.

Jalan Tol Cikampek-Palimanan belum juga dibangun, tetapi pabrik-pabrik baru telah berdiri
di bekas kebun, sawah, atau permukiman di sekitar jalur yang akan dilalui tol dalam tiga
tahun terakhir. Ini bisa dilihat di daerah Cipeundeuy, Purwadadi, Kalijati, dan Dawuan di
Kabupaten Subang.

Mutu air

Selain alih fungsi, lahan pertanian di daerah irigasi Jatiluhur menghadapi persoalan terkait
dengan penurunan mutu lingkungan. Seperti kawasan lain di daerah aliran sungai (DAS)
Citarum, jaringan irigasi di hilir Citarum menghadapi persoalan sedimentasi dan
14
pencemaran.

Tingginya kandungan endapan membuat saluran-saluran irigasi kian cepat dangkal.


Limbah rumah tangga juga mengalir meski relatif lebih terkendali dibandingkan
pencemaran di sungai atau saluran pembuang.

Iwan (37), petani di daerah hilir irigasi di Desa Tanjung Mekar, Kecamatan Pakisjaya,
Kabupaten Karawang, merasakan betul bagaimana fungsi pengairan melemah. Lahan
seluas 0,3 hektar miliknya semakin sulit digarap hingga tiga kali setahun karena air sering
tidak sampai ke petak sawahnya.

Penyerobotan, kebocoran akibat kerusakan infrastruktur, dan pendangkalan saluran irigasi


turut menjadi pemicunya. ”Ada sekitar 40 hektar sawah di desa ini yang rentan kekeringan
saat musim kemarau.

Meski beririgasi teknis, sawah jarang bisa diolah 2-3 kali setahun karena air sering tidak
sampai ke petak sawah,” ujarnya. Sejumlah tanaman air juga tumbuh subur di saluran
irigasi hingga menghambat aliran air, seperti eceng gondok (Eichornia crassipes),
ganggang air (Hydrilla verticilata), dan apung-apung (Salvinia molesta).

Beberapa tanaman yang menjadi indikator perairan dangkal itu mudah tumbuh, terutama di
hilir saluran irigasi. Air irigasi pertanian juga ”dirongrong” oleh pencemaran. Meski dinilai
memenuhi ambang baku air untuk pertanian, beberapa temuan di sejumlah titik aliran
Citarum terbilang mencemaskan.

Hasil pemantauan Perum Jasa Tirta II di Sungai Citarum daerah Sapan, Dayeuhkolot,
Margahayu, dan Nanjung pada Desember 2010, misalnya, menemukan parameter
hidrogen sulfida (HS), seng (Zn), dan besi (Fe) yang melebihi baku mutu.

Pemantauan PT Pembangkitan Jawa Bali terhadap air Citarum yang masuk ke Waduk
Cirata, selama triwulan I hingga IV tahun 2009 menguatkan, air tidak memenuhi baku mutu
untuk air minum dan perikanan, antara lain karena kandungan HS, amonia (NH), oksigen
terlarut (DO), Zn, kuprum/tembaga (Cu), timbal (Pb), dan kadmium (Cd) yang melebihi
ambang.

Pengendalian tanaman air, pembuangan limbah, pengerukan sedimentasi, dan perbaikan


infrastruktur irigasi terus dilakukan. Akan tetapi, sebagai ”turunan” Citarum, jaringan irigasi
Jatiluhur di bagian hilir Citarum akan turut menanggung beban penurunan mutu lingkungan
di hulu dan sepanjang DAS. Maka, jadilah jaringan ini sebagai ”raksasa” yang
rapuh.(Mukhamad Kurniawan)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul ""Raksasa" Itu Sedang Terkapar",
https://nasional.kompas.com/read/2011/05/06/02333517/.Raksasa.Itu.Sedang.Terkapar?page=all.

5 Situ Cisanti.
Situ Cisanti adalah danau buatan yang menampung air dari 7 mata air utama Sungai Citarum. Yakni
mata air Pangsiraman, Cikolebere, Cikawadukan, Cikahuripan, Cisadana, Cihaniwung, dan
Cisanti.[1] terletak di Tarumajaya, Kertasari, Bandung dengan luas kurang lebih sekitar 5 hektar dan
berada di lahan seluas 7 hektar di kawasan perhutani, kaki Gunung Wayang, dengan ketinggian
1.500–3.000 dpl.[2] Kedalaman situ ini sampai sekarang masih belum ada yang tahu persis berapa
meter kedalamannya.[2]

15
Gambar 11-1 Titik Awal Segmen 1 – titik elevasi tertinggi catchment area danau Cisanti.

Gambar 11-2 Situ Cisanti.

16
6 3 Waduk di Sungai Citarum
http://www.tataruangindonesia.com/fullpost/bendungan/1334995926/3-waduk-di-sungai-
citarum.html
Dirilis oleh admin pada Sabtu, 21 Apr 2012
Telah dibaca 489 kali
Sungai Citarum

Air adalah suatu benda yang mutlak dibutuhkan oleh mahluk hidup. Salah satu sumber air di dunia
adalah sungai. Sejarah peradaban manusia dimulai dari lembah sungai. Dalam kehidupan, hubungan
antara manusia dengan sungai tidak dapat dipisahkan sepanjang masa. Oleh karena ini potensinya
perlu dikembangkan dan dilestarikan. Banyak segi kehidupan yang tergantung pada sungai,
sebaliknya keganasan sungai dapat mendatangkan penderitaan bagi manusia. Untuk itu perlu sebuah
program penegmbangan pengendalian sungai terpadu serta menyeluruh dari bagian paling hulu
sampai muara, agar diperoleh manfaat air sungai yang sebesar-besarnya. Dari sini diharapkan dapat
memenuhi kebutuhan kita sekarang dengan tanpa merugikan generasi mendatang.

DAS Citarum mempunyai peranan penting dalam mendukung aktivitas ekonomi di Propinsi
JawaBarat dan DKI Jakarta. Selain menjadi sumber pemenuhan kebutuhan air untuk sektor irigasi,
industri dan air bersih, DAS Citarum juga memberikan kontribusi yang cukup besar dalam
menghasilkan energi listrik.

Sungai Citarum dengan tiga bendungan (DAM) telah menjadi tulang punggung produksi energi
listrik untuk memenuhi kebutuhan penduduk Jawa dan Bali. Peranan dan potensi pemanfaataan yang
cukup besar dari DAS Citarum tersebut belum didukung oleh upaya-upaya yang optimal untuk
menjaga keberlanjutan pasokan air di masa yang akan datang.

Terjadinya kerusakan lingkungan, terutama di daerah hulu sungai Citarum, telah menyebabkan
terjadinya penurunan kuantitas pasokan air. Padahal DAS Citarum merupakan satu wilayah sungai
yang paling tereksploitasi di Propinsi Jawa Barat.

Beban berat yang harus ditanggung oleh DAS Citarum ini disebabkan oleh tingginya pertumbuhan
ekonomi dan pesatnya perkembangan penduduk di wilayah yang dilaluinya. Kedua faktor ini
menyebabkan beban permintaan air Citarum oleh sektor-sektor pengguna mengalami peningkatan
yang cukup signifikan dari tahun ketahun.

Jawa Barat yang memiliki 3 (tiga) Bendungan besar di DAS Citarum (Saguling, Cirata dan Jatiluhur)
perlu memperhitungkan serta memberikan pengamanan ekstra ketat terhadap umur ketiga bendungan
tersebut. Hal tersebut harus dilakukan mengingat kondisi ketiga bendungan tersebut pada saat
sekarang ini masuk dalam kondisi memprihatinkan.

Sebagai contohnya di bendungan Saguling yang masuk ke Wilayah Kabupaten Bandung Barat,
17
adalah merupakan sebuah bendungan yang menjadi filter awal Daerah Aliran Sungai Citarum bagi
kedua bendungan yang lainnya (Cirata dan Jatiluhur).

Waduk Jatiluhur

Lokasi : Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta


Luas Area : 83 km2
Daya Tampung : 3,5 Ms
Sumber Air : Sungai Citarum
Pengelola : PERUM JASA TIRTA II
Penggunaan Air Irigasi : 5,5 milar Ms/tahun
Luas Air Irigasi : 242.000 hektare
Penggunaan Baku Air Minum : 671,7 juta ms/tahun
Penggunaan Air Perikanan : 315,4 juta ms/tahun
Pembangunan : 1957 – 1967

Waduk yang dibangun selama sepuluh tahun ini, juga mempunyai nama lain yakni Waduk
Ir.H.Djuanda, merupakan waduk terbesar di Indonesia yang mampu menampung hingga 3.500 juta
m3 air. Fungsi utama waduk yang sumber airnya dari Sungai Citarum ini adalah sebagai PLTA.
Namun, digunakan pula sebagai sarana wisata dan budidaya ikan. Berdasarkan pengukuran yang
dilakukan pada tahun 2000, sedimentasi di waduk mencapai 500 juta m3, namun endapan ini masiih
rasional karena tampungan di waduk ini mencapai 900 juta m3, laju endapan waduk jatiluhur
tergolong sangat rendah hanya 1 mili per tahun.

Waduk Cirata

Lokasi : Kecamatan Manis, Kabupaten Bandung Barat


Luas Area : 6.200 hektare
Daya Tampung : 2,156 Ms
Kedalaman : 106 m
Sumber Air : Sungai Citarum

Sejarah Waduk

Waduk dibangun sekitar tahun 1982 sampai dengan 1987memiliki kapasitas 2.165 m 3 dan dikelilingi
oleh perbukitan. Berdasarkan penelitian air waduk yang dilakukan antara 1980 - 1985 mengalami
pencemaran berat (eutrofik). Menurut penelitian tahun 1996 - tahun 2000, waduk ini mengalami
sedimentasi di DAS Citarum Tengah. Hingga tahun 2000 endapan di Waduk Cirata sudah mencapai
62,5 juta m3. Sedangkan batas ekstrim yang dirancang di waduk tersebut volumenya 79,3 juta m3.
Semakin cepatnya laju sedimentasi di waduk ini akibat dari penggundulan hutan di Daerah Aliran
Sungai (DAS) Citarum.

Waduk Saguling

Lokasi : Kabupaten Bandung Barat


Luas Area : 53 Km2
Daya Tampung : 609 juta m3
Kedalaman : 92 m
Sumber Air : Sungai Citarum

Sejarah Waduk

Waduk Saguling didirikan sejak Februari 1985, yang berfungsi untuk membendung aliran Sungai
Citarum. Awalnya Saguling hanya direncanakan sebagai penghasil listrik, tapi kemudian juga
digunakan untuk pariwisata. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tahun 1980 – 1995 kualitas
air sudah banyak menurun yang diakibatkan oleh pencemaran organic yang dihasilkan dari limbah
industri, penduduk, pertanian dan perikanan. Hingga tahun 2008 sedimentasi di Waduk Saguling
18
mencapai 84 juta m3. Laju sedimentasi di Waduk Saguling kini diperkirakan sekitar 4,2 juta m3 per
tahun atau 4.819.664 ton per tahun. Sedimentasi akan menurunkan fungsi bendungan dan
memperpendek usia operasi PLTA. Limbah industri dan domestic yang terbawa oleh aliran air
Sungai Citarum juga memperburuk kondisi endapan waduk.

7 Waduk Saguling.
Waduk Saguling adalah waduk buatan yang terletak di Kabupaten Bandung Barat,
Provinsi Jawa Barat pada ketinggian 643 m di atas permukaan laut. Waduk ini merupakan
salah satu dari tiga waduk yang membendung aliran Sungai Citarum yang merupakan
sungai terbesar di Jawa Barat. Wikipedia
Tinggi: 99 m, Dibuka: 1987, Daerah tadah hujan: 452 km², Provinsi: Jawa Barat , Area:
53 km2 (20 mi²), Konstruksi dimulai: 1983

Gambar 11-1 Bendungan & Waduk Saguling – titik akhir segmen 1 dan awal segmen 2.

Gambar 11-2 Bendungan Saguling.

8 Waduk Cirata
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Cirata merupakan PLTA terbesar di Asia Tenggara. PLTA
ini memiliki konstruksi power house di bawah tanah dengan kapasitas 8x126 Megawatt (MW)
sehingga total kapasitas terpasang 1.008 Megawatt (MW) dengan produksi energi listrik rata-rata
1.428 Giga Watthour (GWh) pertahun.
Kapasitas 1008 MW tersebut terdiri dari Cirata I yang memiliki empat unit masing-masing operasi
dengan daya terpasang 126 MW yang mulai dioperasikan tahun 1988 dengan daya terpasang 504
MW, selain itu Cirata II juga dengan empat unit masing-masing 126 MW, yang mulai dioperasikan
sejak tahun 1997 dengan daya terpasang 504 MW. Cirata I dan II mampu memproduksi energi listrik
rata-rata 1.428 GWh pertahun yang kemudian dislaurkan melalui jaringan transmisi tegangan ekstra
tinggi 500 kV ke sistem interkoneksi Jawa-Madura-Bali (Jamali).

19
Guna menghasilkan energi listrik sebesar 1.428 Gwh, dioperasikan delapan buah turbin dengan
kapasitas masing-masing 129.000 KW dengan putaran 187,5 RPM. Adapun tinggi air jatuh efektif
untuk memutar turbin 112,5 meter dengan debit air maksimum 135 m3 perdetik.
PLTA Cirata dibangun dengan komposisi bangunan power house empat lantai di bawah tanah yang
menpengoperasiannya dikendalikan dari ruang control switchyard berjarak sekitar 2 kilometer (km)
dari mesin-mesin pembangkit yang terletak di power house.
PLTA tersebut merupakan pembangkit yang dioperasikan oleh anak perusahaan PT Perusahaan
Listrik Negara (PLN persero) yaitu PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) yang disalurkan melalui
saluran transmisi tenaga listrik 500 kilo volt (KV) ke sistem Jawa Bali yang diatur oleh dispatcher
PLN Pusat Pengatur Beban (P3B).Kontribusi utama Cirata terhadap sistem Jawa Bali yaitu memikul
beban puncak dan beroperasi pada pukul 17.00-22.00, dengan moda operasi LFC (Load Frequency
Control), dimana memiliki fasilitas line charging bila sistem Jawa Bali mengalami Black Out dan Start
up operasi/ sinkron ke jaringan 500 KV yang relatif cepat yaitu kurang lebih lima menit.
PLTA Cirata terletak di daerah aliran sungai (DAS) Citarum di Desa Tegal Waru, Kecamatan Plered,
Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Sedangkaln luas Waduk Cirata, dari ujung selatan kecamatan
Cipeundeuy kabupaten Bandung barat, dan terbendung di desa Ciroyom, kecamatan Cipeundeuy
kabupaten Bandung barat, yang berbatasan langsung dengan maniis kabupaten Purwakarta. Latar
belakang pendirian PLTA ini, dengan letak sungai Citarum yang subur, bergunung-gunung dan
dianugerahi curah hujan yang tinggi. Pembangunan proyek PLTA Cirata merupakan salah satu cara
pemanfaatan potensi tenaga air di Sungai Citarum yang letaknya di wilayah kabupaten Bandung,
kurang lebih 60 km sebelah barat laut kota Bandung atau 100 km dari Jakarta melalui jalan
Purwakarta

Gambar 11-1 Akhir Segmen 2 – Awal Segmen 3 – Bendungan & Waduk Cirata.

Gambar 11-2 Bendungan Cirata.

20
9 Waduk Jatiluhur.
Waduk Jatiluhur adalah sebuah waduk yang terletak di Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten
Purwakarta, Provinsi Jawa Barat (±9 km dari pusat Kota Purwakarta). Waduk yang dinamakan
oleh pemerintah Waduk Ir. H. Juanda ini merupakan waduk terbesar di Indonesia. Bendungan
Waduk Jatiluhur mulai dibangun sejak tahun 1957 oleh kontraktor asal Prancis Compagnie
française d'entreprise, dengan potensi air yang tersedia sebesar 12,9 miliar m3 / tahun dan
merupakan waduk serbaguna pertama di Indonesia. Waduk Jatiluhur dapat dikunjungi melalui
Jalan Tol Purbaleunyi (Purwakarta-Bandung-Cileunyi), keluar di Gerbang Tol Jatiluhur.
Waduk Jatiluhur dibangun dengan membendung Sungai Citarum dengan luas daerah aliran
sungai seluas 4.500 km2. Bendungan ini dibangun mulai tahun 1957 dengan peletakan batu
pertama oleh Presiden RI pertama Ir Soekarno dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 26
Agustus 1967. Pembangunan bendungan Waduk Jatiluhur menelan dana US$ 230 juta. Nama
bendungan waduk dinamakan Ir. H. Juanda karena untuk mengenang jasanya dalam
memperjuangkan pembiayaan pembangunan Bendungan Jatiluhur. Ia yang merupakan
Perdana Menteri RI terakhir dan memimpin kabinet Karya (1957 – 1959) bersama-sama
dengan Ir. Sedijatmo dengan gigih memperjuangkan terwujudnya proyek Jatiluhur di
Pemerintah Indonesia dan forum internasional. Genangan yang terjadi akibat pembangunan
Bendungan Waduk Jatiluhur menenggelamkan 14 Desa dengan penduduk berjumlah 5.002
orang. Penduduk tersebut kemudian sebagian dipindahkan ke daerah sekitar bendungan dan
sebagian lainnya pindah ke Kabupaten Karawang. Sebagian besar penduduk waktu itu bekerja
sebagai petani[1].
Di dalam Waduk Jatiluhur, terpasang 6 unit turbin dengan daya terpasang 187 MW dengan produksi
tenaga listrik rata-rata 1.000 juta kwh setiap tahun, dikelola oleh Perum Jasa Tirta II. Selain dari itu
Waduk Jatiluhur memiliki fungsi penyediaan air irigasi untuk 242.000 ha sawah (dua kali tanam
setahun), air baku air minum, budi daya perikanan dan pengendali banjir yang dikelola oleh Perum
Jasa Trita II.
Selain berfungsi sebagai PLTA dengan sistem limpasan terbesar di dunia, kawasan Jatiluhur
memiliki banyak fasilitas rekreasi yang memadai, seperi hotel dan bungalow, bar dan restaurant,
lapangan tenis, bilyard, perkemahan, kolam renang dengan water slide, ruang pertemuan, sarana
rekreasi dan olahraga air, playground dan fasilitas lainnya. Sarana olahraga dan rekreasi air
misalnya mendayung, selancar angin, kapal pesiar, ski air, boating dan lainnya.
Di perairan Danau Jatiluhur ini juga terdapat budidaya ikan keramba jaring apung, yang menjadi
daya tarik tersendiri. Di waktu siang atau dalam keheningan malam kita dapat memancing penuh
ketenangan sambil menikmati ikan bakar. Dikawasan ini pula kita dapat melihat Stasiun Satelit Bumi
yang dikelola oleh PT. Indosat Tbk. (±7 km dari pusat Kota Purwakarta), sebagai alat komunikasi
internasional. Jenis layanan yang disediakan antara lain international toll free service (ITFS), Indosat
Calling Card (ICC), international direct dan lainnya.
Sekilas Tentang Bendungan Jatiluhur
• Peletakan batu pertama pembangunan oleh Presiden Soekarno.
• Mulai dibangun tahun 1957 dan selesai tahun 1967, berdasarkan pada tulisan Prof.
Dr. Ir. W.J Blommestein (1948), kemudian dikaji ulang oleh Ir. Van Schravendijk dan
Ir. Abdoelah Angudi.
• Perencanaan dan Pengawasan oleh Coyne et Bellier, Perancis, Pelaksanaan oleh
Compagnie Francaise d’Enterprise, Paris – Perancis.
• Diresmikan 26 Agustus 1967 oleh Presiden Soeharto.

MANFAAT
• Penyediaan air untuk irigasi seluas 242.000 ha.
• Menyediakan air baku DKI.
• Pembangkitan listrik kapasitas 187,5 MW.
• Pengendalian banjir di Karawang dan sekitarnya.
• Perikanan darat.
• Pengembangan pariwisata dan olahraga air

21
Gambar 11-1 Akhir Segmen 3 – Awal Segmen 4 – Bendung & Waduk Juanda (Jatiluhur).

Gambar 11-2 Bendungan & Waduk Juanda (Jatiluhur)

22
10 Bendung Curug.
Disamping PLTA Ir. H. Djuanda, PJT II juga mengoperasikan dan memelihara PLTA Mini
Hydo yang bertempat di Curug-Klari-Karawang, sehingga lebih dikenal dengan nama PLTA
Mini Hydo Curug.

PLTA Mini Hydro Curug dibangun pada tahun 2000 dengan kapasitas daya terpasang
sebesar 2 x 3.2 Mega Watt dan mulai dioperasikan pada tahun 2002 untuk memenuhi
kebutuhan listrik di Pompa Tarum Barat dan Tarum Timur guna menaikan level air baku
agar dapat disalurkan ke wilayah irigasi dan sekitarnya serta untuk memenuhi
kebutuhan listrik di Bendung Curug, area Perkantoran dan Perumahan disekitar
Bendung.

Gambar 11-1 Akhir Segmen 4 – Awal Segmen 5 – Bendung Curug.

Gambar 11-2 Bendung Curug.

23
11 Bendung Walahar
Bendung Walahar merupakan bendungan yang terletak di Walahar, Klari, Karawang, Jawa
Barat. Bendungan ini merupakan salah satu bangunan peninggalan masa penjajahan Belanda
yang masih ada dan kokoh berdiri di Karawang.
Lokasi Bendung Walahar : 6°22'59.5" Selatan 107°21'40.0" Timur.

Bendungan Walahar digunakan untuk mengatur debit air sungai Ci Tarum serta mengairi
sawah-sawah yang berada di Kabupaten Karawang seluas 87.396 hektare.[1] Bendungan
Walahar membentuk waduk seluas ±15 hektare.[2]
Proyek pembangunan Bendungan Walahar ini dimulai pada tahun 1923 oleh Belanda dengan
pengawasan seorang ahli perairan dari Belanda bernama C. Swaan Koopman. Bendungan Walahar
mulai dipakai pada tanggal 30 November 1925.[3] Bendungan ini dibangun melintang pada aliran
Sungai Ci Tarum sehingga membendung sungai tersebut seluas ± 50 meter. Bangunan bendungan
terdiri dari 3 bagian, yaitu bagian bawah, yang merupakan pintu penahan air yang berjumlah 5 pintu;
bagian kedua merupakan jembatan seluas 3 meter, yang menghubungkan Klari dan Anggadita; dan
bagian ketiga merupakan ruang mesin untuk mengatur sistem bendungan.
Pintu bendungan Walahar pernah direnovasi pada tahun 1989 dan direhabilitasi pada tahun 2009
Bendungan Walahar berfungsi sebagai pengatur debit air sungai Ci Tarum serta mengairi areal
persawahan seluas 87.396 hektare yang berada di Kabupaten Karawang. Selain itu,
bendungan dipakai untuk menahan air bagi penduduk di Karawang bagian utara ketika musim
hujan tiba. Bendungan ini digunakan pula sebagai sarana rekreasi, lokasi memancing, serta
lokasi wisata.[1][2]

Gambar 11-1 Akhir segmen 5 – Awal Segmen 6 – Bendung Walahar.

Gambar 11-2 Bendung Walahar.


24
Gambar 11-3 Akhir Segmen 6 – Laut Jawa.

Gambar 11-4 Muara Sungai Citarum.

12 Kondisi Masyarakat dan Pemerintah.


Berbagai pendapat sehubungan dengan kondisi (sikap/perilaku) Pemerintah – Masyarakat
yang ada terkait dengan permasalahan DAS Citarum antara lain sbb. :

1. masyarakat dan pemerintah cenderung terlena oleh potensi menguntungkan dari


sungai Citarum, dan tanpa disadari memperbesar potensi kerugian dari sungai tersebut
(Mohammad Fadhil Imansyah, Studi Umum Permasalahan dan Solusi DAS Citarum
serta Analisis Kebijakan Pemerintah),

2. pesatnya perkembangan manusia di muka bumi tidak diimbangi dengan kelestarian


lingkungan hidup. Perilaku manusia yang hanya memikirkan dirinya sendiri dan
keuntungan sesaat menjadikan pola hidup manusia tidak mempedulikan kelestarian
alam sekitarnya (Mohammad Fadhil Imansyah, Studi Umum Permasalahan dan Solusi
DAS Citarum serta Analisis Kebijakan Pemerintah),

3. perilaku yang abai terhadap kelestarian lingkungan inilah yang merupakan sumber
utama terjadinya ketidakseimbangan jumlah air di muka bumi, yang pada akhirnya
berdampak pada manusia itu sendiri (Mohammad Fadhil Imansyah, Studi Umum
Permasalahan dan Solusi DAS Citarum serta Analisis Kebijakan Pemerintah).

4. kebijakan pemerintah untuk menangani permasalahan di bagian hulu sungai Citarum


sering menjadikan masyarakat sebagai objek bukan sebagai subjek, atau bahkan tidak
mendukung masyarakat sama sekali dan lebih mementingkan kepentingan bisnis
semata (Mohammad Fadhil Imansyah, Studi Umum Permasalahan dan Solusi DAS
Citarum serta Analisis Kebijakan Pemerintah)

25
5. perilaku manusia yang menjadi sumber proses/mekanisme atas terjadinya kejadian
dengan permasalahan yang berkembang menjadi sangat kompleks (karena merupakan
amplifikasi kombinasi dari peningkatan resiko banjir, penurunan kualitas air,
peningkatan sampah, peningkatan sedimentasi, peningkatan resiko kekeringan,
peningkatan tanah longsor dan penurunan muka tanah) (Prof. Muhammad Syahril Badri
Kusuma, Forum Guru Besar Institut Teknologi Bandung – Strategi Pengelolaan
Terpadu Penyelesaian Permasalahan Daerah Aliran Sungai Citarum).

6. Pada dasarnya, keterpurukan kondisi Sungai Citarum pada saat ini, terjadi karena
kegagalan sistemik pengambilan keputusan dalam penyelesaian permasalahan yang
ada. Kegagalan sistemik terjadi pada berbagai aspek yang satu sama lain terkait yang
dalam hal ini, penyelesaiannya harus dimulai dari wilayah Citarum Hulu. (Prof.
Muhammad Syahril Badri Kusuma, Forum Guru Besar Institut Teknologi Bandung –
Strategi Pengelolaan Terpadu Penyelesaian Permasalahan Daerah Aliran Sungai
Citarum)

7. Krisis Pengelolaan Lingkungan oleh Pemerintah (Mohammad Fadhil Imansyah, Studi


Umum Permasalahan dan Solusi DAS Citarum serta Analisis Kebijakan Pemerintah) :
• Pendekatan sektoral dalam pengelolaan lingkungan pada kenyataannya masih
dominan, dan yang demikian ini akan bermuara pada fragmentasi dan tidak
terkoordinasinya pengembangan dan pengelolaan sumber daya.
• Pengelolaan Lingkungan biasanya terpusat pada institusi dengan pendekatan ”top-
down”, dimana legitimasi dan ke-efektif-an-nya semakin hari semakin
dipertanyakan.

8. Program serupa seperti CITARUM HARUM, sejak bertahun silam telah banyak
dilakukan , namun, sejauh ini , belum dapat menanggulangi Kerusakan dan
Pencemaran Lingkungan Hidup yang ada dan, bahkan terkesan kuat, berkembang
semakin parah.

9. program serupa seperti Citarum Harum seperti dimaksud dalam butir


KEGAGALAN/KE-TIDAK-BERHASIL-AN–nya telah terjadi berulang kali bertahun
tahun, menghabiskan sekian banyak sumber dana , waktu , tenaga dan juga
meninggalkan UTANG NEGARA yang diyakini sampai saat ini belum terbayar lunas.

10. KONSEP PECEGAHAN dan PENANGGULANGAN KERUSAKAN yang terjadi di


DAS Citarum, serta KONSEP PEMULIHAN KONDISI DAS Citarum , sejauh yang
difahami dan diketahui, sudahlah sangat lengkap bahkan lebih dari lengkap dan ada
dijumpai yang berulang dilakukan sehingga terjadi duplikasi, triplikasi , dst .. dst ...

11. KONSEP- KONSEP yang telah lengkap bahkan lebih dari lengkap seperti dimaksud
diatas, setelah sekian tahun berlalu, masih juga belum teraplikasi atau ter-konversi
menjadi sejumlah TINDAK LANJUT yang tepat dan memadai untuk dapat
tertanggulanginya berbagai permasalahan.

12. Walau telah banyak yang dilakukan, baik oleh fihak Pemerintah maupun non-
Pemerintah, Dari waktu ke waktu Pemerintah dan Masyarakat belum saja dapat
berkerja sama dan bersinergi “sehingga mencapai tingkat yang memadai” untuk dapat
teraplikasinya KONSEP-KONSEP yang telah lengkap bahkan lebih dari lengkap.
Baru saja berhasil sampai tingkat wacana, studi , dan kajian, kemudian belum dapat
teraplikasi dengan baik, tekanan terhadap DAS Citarum telah lebih cepat berlari, lebih
tidak dapat diimbangi lagi oleh Daya Dukung Lingkungan.

26
13. Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup DAS Citarum pun semakin meningkat
dan cenderung semakin lebih meningkat sebagai akibat dari :
• khususnya di wilayah bagian hulu , yang mencakup Kabupaten Bandung, Kota
Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung Barat, serta sebagian kecil
Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut, begitu menarik , untuk dikunjungi dan
bermukim.
• begitu menariknya wilayah disebut diatas, dengan cepat memicu terjadi
pertambahan penduduk serta menjadikan wilayah ini menjadi sesak padat
penduduk sebagai akibat dari urbanisasi dan perpindahan penduduk dari luar DAS
Citarum.
• Wilayah yang menjadi sesak padat penduduk, kemudian semakin lebih sesak dan
lebih padat lagi.

13 Harapan punya “computerized data base system” yang


kembali sirna.

Atas dasar berbagai informasi tentang DSS (Decision Support Systems) for Integrated
Water Resources Management in The Citarum River Basin, seperti diantaranya :

• ADB Technical Assistance Consultant’s Report, project no. 37049-024, Februari


2012,
• PMO News Report tentang DSS FOR IWRM OF THE CITARUM RIVER BASIN yang
memberitakan bahwa :

27
• TERMS OF REFERENCE FOR DECISION SUPPORT SYSTEM FOR THE
CITARUM RIVER BASIN, yang tertulis dalam : “Program Administration
Memorandum (PAM) - Supplementary Appendixes – ADB Project Number:
37049, Multitranche Financing Facility (MFF) Number 0027, Loans: 2500 - INO
OCR (Registration Number: 10788801), 2501 - INO ADF (Registration Number:
10789501), Technical Assistance 7189 – INO, Global Environment Facility
Grant, 2 September 2009”

Diperoleh kesimpulan sementara (hipotesa) bahwa , saat ini, data dan informasi terbaik
yang tersimpan dalam media penyimpanan elektronik (komputer) terdapat dalam sistem
komputer yang dikembangkan oleh konsultan DSS FOR IWRM OF THE CITARUM RIVER BASIN
, dimana pengembangan sistem ini telah dimulai kurang lebih dalam bulan Agustus 2010 –
dan tahap pertama kerja konsultan telah berakhir kurang lebih pada awal tahun 2013.

Menurut informasi yang diperoleh : server DSS for IWRM of the Citarum River Basin
tersimpan di kantor Balai Besar Wilaya Sungai Citarum.

Paling tidak , sampai bulan Januari, server DSS ini dapat di akses isinya, walaupun untuk
penulis dirasakan masih kurang “user friendly”.

Namun, sayang sekali, sejak beberapa bulan yang lalu , server DSS ini tidak dapat lagi di
akses.

Menurut informasi yang diperoleh, server DSS yang berlokasi di kantor BWWS Citarum ini
tidak lagi di-ON-kan, dan belum ada personil yang bertugas mengoperasikan dan
mengembangkan lebih lanjut. Bila memang demikian, kemudian tidak ada tindak lanjut
dari yang berkewenangan, sungguh sangat disayangkan , bahwa sistem komputer DSS
FOR IWRM OF THE CITARUM RIVER BASIN yang telah dikembangkan oleh konsultan K-Water
selama lebih dari 2 tahun ( + 2 ½ tahun), yang pada saat awal insiasinya digembar-
gemborkan “sangat menjanjikan kemanfaatannya” , akan menjadi terbuang percuma dan
sia-sia.

14 Permasalahan Citarum
Dari pengamatan dan pengkajian yang telah dilakukan sangatlah jelas bahwa akar
permasalahan DAS Citarum adalah : “tangan-tangan” manusia (sikap, tindakan, ulah,
peri laku manusia).

Sumberdaya yang berada dalam tekanan: Sumber Daya Air Alami Citarum
(yang masih bersih dan segar) dihadapkan pada tekanan yang terus meningkat.
Pertambahan penduduk, peningkatan kegiatan ekonomi dan perbaikan standar hidup
bermuara pada meningkatnya kompetisi untuk dan konflik atas sumber daya air alami.
Kombinasi dari ketidak adilan sosial, marginalisasi ekonomi dan belum memadainya
program-program pengentasan kemiskinan juga memaksa masyarakat yang hidup dalam
kemiskinan untuk mengexploitasi sumberdaya lahan dan hutan melampaui batas
keseimbangan dan kelestarian lingkungan, yang sering kali berdampak negatif pada
sumber daya air. Tidak memadainya program pengendalian jumlah penduduk pada
akhirnya akan bermuara pada memburuknya kondisi sumber daya air.

Tekanan ketidak cukupan air. Jumlah penduduk terus semakin meningkat ---
dengan laju pertumbuhan yang sifatnya cenderung tidak lagi linier tapi exponensial ---- data
dan informasi yang diperolah menyiratkan bahwa sebagian populasi populasi yang
bermukim di WS Citarum telah dihadapkan pada “ medium to high water stress. Populasi
penduduk yang masih terus meningkat tentu saja akan berakibat pada semakin banyak
populasi penduduk yang dihadapkan pada “ water stress “ dengan tingkat “stress” yang
lebih dari sebelumnya.

28
Dampak Pencemaran. Pencemaran air melekat terkait dengan berbagai kegiatan
manusia. Selain fungsinya memenuhi kebutuhan dasar kehidupan dan berbagai proses
industri, air juga berperan sebagai baskom dan pengalir untuk buangan domestik,
pertanian dan industri yang menyebabkan pencemaran. Memburuknya kualitas air yang
diakibatkan pencemaran berpengaruh terhadap kemanfaatan air di hilir, dapat merupakan
ancaman terhadap kesehatan dan merusak fungsi-fungsi sistem makhluk hidup aquatik
sehingga menurunkan efektifitas ketersediaan dan meningkatkan kondisi kompetisi
(perebutan) untuk memperolah air dalam kualitas yang memadai.

Krisis Pengelolaan Air. Permasalahan yang diuraikan diatas diperburuk


kondisinya dengan berbagai kelemahan yang masih saja terjadi dalam pengelolaan
sumber daya air. Pendekatan sektoral dalam pengelolaan sumber daya air pada
kenyataannya masih dominan, dan yang demikian ini akan bermuara pada fragmentasi dan
tidak terkoordinasinya pengembangan dan pengelolaan sumber daya. Disamping itu,
pengelolaan sumber daya air biasanya terpusat pada institusi dengan pendekatan”top-
down”, dimana legitimasi dan ke-efektif-an-nya semakin hari semakin dipertanyakan.
Jadi, keseluruhan permasalahan yang ada adalah sebagai akibat dari ke-tidak-efisien-an
pengelolaan dan meningkatnya persaingan untuk memperoleh sumber daya yang terbatas.

Berkurangnya daerah konservasi lahan, padatnya permukiman penduduk, pencemaran


sungai oleh limbah domestik dan industri, dan lainnya menyebabkan bencana seperti
banjir, kekeringan, dan longsor (Mohammad Fadhil Imansyah, Studi Umum Permasalahan dan Solusi DAS
Citarum serta Analisis Kebijakan Pemerintah),

Permasalahan berkembang menjadi sangat kompleks karena merupakan amplifikasi


kombinasi dari peningkatan resiko banjir, penurunan kualitas air, peningkatan sampah,
peningkatan sedimentasi, peningkatan resiko kekeringan, peningkatan tanah longsor dan
penurunan muka tanah, yang sumber proses/mekanisme kejadiannya tidak hanya dari
fenomena alam tapi juga dari perilaku manusia (Prof. Muhammad Syahril Badri Kusuma, Forum Guru
Besar Institut Teknologi Bandung – Strategi Pengelolaan Terpadu Penyelesaian Permasalahan Daerah Aliran Sungai
Citarum).

Permasalahan yang dihadapi di DAS Citarum adalah banjir, sampah, rendahnya kualitas
air, water scarcity, sedimentasi, land subsidence dan rendahnya kualitas hidup manusia
(Prof. Muhammad Syahril Badri Kusuma, Forum Guru Besar Institut Teknologi Bandung – Strategi Pengelolaan Terpadu
Penyelesaian Permasalahan Daerah Aliran Sungai Citarum).

Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup DAS Citarum yang semakin meningkat
dengan kecenderungan semakin lebih meningkat merupakan “TEKANAN” terhadap
Lingkungan Hidup DAS Citarum.

Daya Dukung Lingkungan Hidup DAS Citarum, di kebanyakan bagiannya telah tidak lagi
mampu mengimbangi berbagai tekanan yang ada serta kemudian berkembang menjadi
lebih berat tertekan.

Daya Dukung Lingkungan Hidup DAS Citarum di kebanyakan bagiannya, yang telah
berkembang menjadi tidak lagi mampu mengimbangi tekanan yang ada, telah berakibat
pada :
• PERUBAHAN KEADAAN
Perubahan Keadaan dari yang semula merupakan bentuk perkenan dan anugrah-Nya,
yang begitu luar biasanya memberikan berbagai bentuk kesejahteraan kepada
masyarakat yang bermukim dan yang berkunjung , khususnya yang bermukim di dan berkunjung ke
wilayah bagian hulu , yang mencakup Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung Barat,
serta sebagian kecil Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut
• TELAH BERUBAH menjadi tidak lagi demikian adanya.
(PENYEBAB TERJADINYA PERUBAHAN ini, diyakini, sangat mendekati 100 %, akibat ulah UMAT MANUSIA, baik

29
yang bermukim di wilayah DAS Citarum maupun yang tidak bermukim di wilayah DAS Citarum).

Akumulasi dampak Pencemaran dan Kerusakan wilayah bagian hulu Citarum berakumulasi
di ruas utama sungai Citarum kurang lebih yang membentang dari lokasi sekitar
Baleendah/Dayeuhkolot sampai lokasi dimana Bendungan Saguling berada.
ctt. : Yang dimaksud wilayah bagian hulu DAS Citarum adalah kelompok beberapa sub DAS yang terletak di hulu Bendungan
Saguling meliputi Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung Barat, serta sebagian kecil
Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut Waduk Saguling merupakan CUBLUK RAKSASA dimana
sampah , limbah domestik, limbah B3 serta berbagai bentuk material cair dan padat lainnya
“yang merusak” terkumpul dan berakumulasi (kiriman dari masyarakat yang bermukim di Kabupaten
Bandung, Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung Barat, serta sebagian kecil Kabupaten Sumedang dan
Kabupaten Garut).

Sampah , limbah domestik, limbah B3 serta berbagai bentuk material cair dan padat “yang
merusak” yang terkumpul dan berakumulasi di CUBLUK RAKSASA Waduk Saguling
seperti diungkapkan diatas diyakini , diantaranya akan berdampak sbb. :
• secara signifikan memperpendek “live-time” (waktu hidup)–nya bendungan & waduk
Saguling yang salah satu dampak diantaranya adalah : lenyapnya sebagian besar
pasok daya listrik untuk Jawa dan Bali,
• “sudden death phonomenon” (kematian ikan mendadak) pada saat terjadi riak air
cukup besar pada musim hujan lebat – secara signifikan sangat merugikan pengusaha
budi daya ikan sistem keramba apung.

Waduk Cirata dan Waduk Juanda (Jatiluhur) juga merupakan CUBLUK RAKSASA
dimana sampah , limbah domestik, limbah B3 serta berbagai bentuk material cair dan
padat lainnya “yang merusak” terkumpul dan berakumulasi (kiriman dari masyarakat yang bermukim di
Kabupaten Purwakarta , dan sebagian Kabupaten Cianjur).

Bendungan & Waduk Cirata Waduk Juanda (Jatiluhur) juga terancam signifikan
terperpendek “live-time” (waktu hidup)–nya namun dalam tingkat laju yang tidak separah
yang terjadi di Bendungan & Waduk Saguling.

Pencemaran dan Kerusakan serupa seperti yang terjadi di DTA-DTA yang berlokasi di hulu
Saguling juga terjadi di DTA-DTA yang air-nya bermuara di ruas utama Citarum yang
menjadi jalur lintasan air dari Bendungan Saguling.

Pencemaran dan kerusakan yang terjadi di DTA-DTA yang ada di DAS Citarum akan
berdampak serius antara lain sbb. :
• secara signifikan memperpendek “live-time” (waktu hidup)–nya waduk Saguling, Cirata
dan Juanda (Jatiluhur) yang salah satu dampak diantaranya adalah : lenyapnya
sebagian besar pasok daya listrik untuk Jawa dan Bali,
• “sudden death phonomenon” (kematian ikan mendadak) pada saat terjadi riak air
cukup besar pada musim hujan lebat – yang akan secara signifikan sangat merugikan
pengusaha budi daya ikan sistem keramba apung,
• sangat terganggunya kuantitas, kualitas dan kesinambungan pasok air irigasi bagi
lahan sawah seluas 240 000 ha,
• sangat terganggunya kuantitas, kualitas dan kesinambungan pasok air baku untuk
memenuhi 80 % kebutuhan air bersih DKI Jakarta.

15 kondisi kebersihan sungai .

30
Semua info yang diperoleh (ATLAS RCMU, 6 Cis, dokumen-dokumen Citarum Roadmap)
menyatakan bahwa kondisi sungai Citarum saat ini (sangatlah) tidak bersih, bahkan di
beberapa situs internet, Sungai Citarum telah disebut sebagai “the dirtiest river in the
world” (sungai terkotor di dunia).
Volume sampah yang dibuang ke sungai sudah terlampau banyak dan banyak diantaranya
non-degradable.
Selain akibat sampah, fenomena air sungai Citarum kotor terlihat pada saat “air besar” , air
sungai menjadi berwarna coklat akibat banyaknya lapisan tanah yang ter-gerus/ter-erosi
oleh aliran air.
Mengacu pada beberapa info yang diperoleh, sungai Citarum juga menjadi kotor (menjadi
tidak jernih lagi) akibat limbah industri dan kotoran sapi (yang jumlahnya terlampau
banyak) yang dibuang ke badan air (sungai).
Berbagai Isu pengotoran sungai Citarum yang disajikan oleh konsultan RCMU dalam
ATLAS(referensi no. 1) menyiratkan hal-hal sbb. :

• tidak tersedianya sistem pengolahan limbah dan sampah domestik yang memadai
menjadikan sungai Citarum sebagai tempat pembuangan limbah dan sampah,
• banyaknya sampah yang dibuang langsung ke sungai dan timbunan sampah yang tidak
terangkut ke pembuangan akhir mengindikasikan sudah sangat mendesaknya untuk
segera dilakukan upaya peningkatan pengelolaan persampahan di Wilayah Sungai
Citarum,
• kontributor utama pengotoran sungai Citarum hulu (bagian wilayah sungai di sebelah
hulu waduk Saguling) adalah penduduk di kota Bandung, kota Cimahi, kabupaten
Bandung, dan kabupaten Bandung Barat – kapasitas pengelolaan sampah di ke 4
kota/kabupaten ini amatlah jauh dari memadai,
• perkiraan sampah tidak tertangani di beberapa lokasi padat penduduk , kota Bandung
46 %, kabupaten Bandung + =2500 m3/hari , kota Cimahi + =1181 m3/hari , kabupaten
Karawang 120 m3/hari, kota Bekasi 2991 m3/hari, kabupaten Subang 55 % belum
dapat dilayani (ATLAS). Kondisi sampah tidak tertangani ini yang disebutkan ini
sangat terkait erat dengan kondisi “kotor-nya sampah” di sungai Citarum

16 Kondisi Sungai Cikapundung.


Informasi lebih lengkap diungkapkan dalam :
• Sejuta Asa untuk Cikapundung, Laporan Foto, Cita Citarum 2012, www.citarum.org
• Lebih dekat dengan sungai Cikapundung, Laporan Foto, Cita Citarum ,
www.citarum.org

sungai Cikapundung – Bandung, pemukiman sangat padat dan di bantaran sungai [2]

31
sungai Cikapundung – Bandung, pemukiman sangat padat dan di bantaran sungai [2]

sungai Cikapundung – Bandung, pemukiman sangat padat dan di bantaran sungai [2]

sungai Cikapundung – Bandung [2]

32
dilema kotoran sapi [2]

17 Isu terkait kesehatan sungai dan kesehatan sungai

Info-info yang diperoleh banyak menyiratkan hal-hal yang tidak-menyehatkan yang


berlangsung di sungai Citarum, seperti misalnya :

• di beberapa lokasi, air sungai citarum telah meyebabkan gatal-gatal dan penyakit kulit,
• ada beberapa species ikan yang dulu ada di sungai Citarum kini telah lenyap (punah),
• walaupun usaha perikanan di tiga waduk di sungai Citarum telah menghasilkan produk
ikan air tawar yang signifikan, fenomena kematian ikan masal di waduk akibat
teracuninya ikan oleh bahan-bahan beracun (toxic materials) telah beberapa kali terjadi,
• air sungai citarum juga telah terkontaminasi logam berat (kontaminan yang
membahayakan kesehatan), ikan-ikan yang dibesarkan di air sungai Citarum ( di 3
waduk – budi daya jaring apung) , teoritis ( sejauh ini belum ditemukan laporan
penelitian mengenai ini) akan tercemari logam berat yang membahayakan kesehatan
tubuh manusia yang mengkonsumsi ikan-ikan yang terkontaminasi tersebut.
• kandungan E-coli dalam air sungai telah jauh melewati ambang batas baku mutu yang
ditetapkan ...... dll.
• ....ini menyebabkan tingginya angka penyakit yang diakibatkan oleh buruknya kualitas
air di kalangan penduduk, terutama perempuan dan anak-anak, akibat mengkonsumsi
air yang tidak layak pakai dan menggunakan sanitasi yang minim dan tidak memadai.

Proyek 6 Ci , sehubungan dengan yang di-katagorikan-nya sebagai “kesehatan sungai


Citarum”, dalam salah satu laporannya, Initial State of the Basin Report for the Citarum
River menulis hal-hal yang terjemahannya kurang lebih seperti berikut dibawah ini [3]:

• Erosi yang parah terjadi di 31,6 % wilayah sungai Citarum ( ≥ 180 ton /ha.tahun ),
kemudian 26.437 ha merupakan lahan sangat kritis, 115.988 ha lahan kritis, 273.880 ha
agak kritis dan 468.255 ha potensial kritis,
• semakin meluasnya “gangguan” akibat permukiman dan pemanfaatan lahan non-
pertanian di bantaran banjir,
33
• proteksi alur dan tepi sungai yang tidak/belum memadai, diantaranya “gangguan”
sepanjang alur dan tepi sungai serta waduk,
• praktek pertanian yang merusak lahan,
• erosi pantai dan muara, hanya tersisa sedikit hutan bakau, hampir seluruh areal yang
dahulunya hutan bakau ( > 90 % ) , yang sifatnya melindungi tepi pantai , telah
dikonversi menjadi kolam ikan air payau (tambak).

Limbah domestik, limbah industri, limbah pertanian, limbah perikanan, limbah peternakan
dan sampah yang dibuang/terbuang ke sungai Citarum jumlahnya telah terlampau banyak
jumlahnya sehingga :

• melampaui ambang batas kemampuan “self purifying capacity” Sungai Citarum.


• air sungai yang semula jernih menjadi tidak jernih lagi,
• yang semula mandi di sungai tidak berdampak apapun , kini menjadikan gatal-gatal dan
terserang penyakit kulit,
• air sungai yang semula dapat langsung dipakai untuk kebutuhan air rumah tangga , kini
tidak lagi demikian.

18 Isu pencemaran air sungai Citarum.

Terkait dengan pencemaran air sungai Citarum, ATLAS,Task B1-6: Initial State of the
Basin Report for the Citarum River,dan data BPLHD Jabarmenyebutkan/menyiratkan
hal-hal sbb. :

18.1 isu pencemaran oleh limbah kotoran sapi :


• Situ Cisanti, salah satu mata air di hulu sungai Citarum , setidaknya 82,4 ton kotoran
sapi setiap harinya mencemari sungai Citarum,
• peternakan sapi, tersebar di Kecamatan Pangalengan, Kertasari dan Arjasari dengan
populasi jumlah ternak lebih dari 27.000 ekor sapi, berdasarkan data, setiap hari seekor
sapi rata-rata menghasilkan 15 kg kotoran, sesuai data tersebut, jumlah kotoran sapi
yang masuk ke hulu Citarum ditaksir sekitar 405 ton per hari,

18.2 isu pencemaran oleh limbah industri :


• industri tekstil di daerah Majalaya Kabupaten Bandung , berkontribusi besar terhadap
pencemaran berat yang terjadi di sungai Citarum, dari 600 industri tekstil yang ada
hanya 10 % saja yang mengoperasikan IPAL standar, diperkirakan 280 ton limbah
industri tekstil di buang ke sungai setiap harinya,
• pabrik tekstil dan industri garmen, disamping sebagai sumber pencemaran organik,
yang lebih parah lagi , juga sebagai sumber pencemaran logam berat , pestisida ,
detergen dan zat pewarna,
• tahun 2004, di daerah cekungan Bandung yang dilewati oleh sungai Citarum terdapat
400 industri besar yang membuang limbahnya ke sungai tanpa IPAL yang memadai,
meskipun jumlah limbah industri yang dibuang secara kuantitas lebih sedikit
dibandingkan dengan limbah rumah tangga, limbah industri mengandung bahan
beracun berbahaya (B3),
• hasil penelitian, akibat pencemaran, ikan-ikan yang dihasilkan di waduk Cirata
terkontaminasi oleh logam berat,
• zona industri Kabupaten Purwakarta seluas 3000 ha, masih membuang limbah cair ke
sungai Citarum membuat sungai Citarum semakin tercemar,
• limbah padat dan cair dari rumah tangga dan kegiatan industri dari Kawasan industri
yang berkembang pesat di Kabupaten Karawang dan Kabupaten Bekasi ikut
berkontribusi menambah air sungai Citarum semakin tercemar,

34
18.3 isu pencemaran oleh limbah pertanian/perikanan :
• air hujan yang mengalir dari lahan pertanian di kawasan hulu sungai Citarum,
membawa sisa-sisa (kelebihan) pupuk (nitrogen dan fosfor) yang tidak terserap oleh
tanaman dan tertampung di Waduk Saguling. Tercatat sebanyak 33.350 ton nitrogen
dan 4.370 ton fosfor masuk ke waduk,
• pemberian pakan berlebih pada budidaya keramba ikan juga telah menyebabkan
pencemaran air di waduk saguling, Cirata dan jatiluhur, sekitar 10 ton pakan ikan yang
ditebar setiap harinya tidak semuanya terkonsumsi oleh ikan, sisa pakan tersebut
mengendap di dasar waduk dan berubah menjadi zat sulfur yang berbahaya bagi ikan,
ketika arus bawah air naik dan membawa kotoran ke permukaan akn berakibat pada
matinya ikan,
• Waduk Cirata, 1990, endapan pakan ikan yang tidak terkonsumsi telah 3 meter
tebalnya, jumlah keramba atau jala apung yang diijinkan seharusnya maximum 1 %
dari luas permukaan waduk Cirata (+12.000 petak jaring apung), namun kenyataannya,
saat ini terdapat hingga 50.000 petak jaring apung, banyaknya perkakas jaring apung
yang tak terpakai seperti styrofoam, drum baja, dan bambu juga berkontribusi
menyebabkan permasalahan limbah padat di waduk Cirata,
• budidaya ikan yang tidak terkontrol menambah beban pencemaran air di waduk
Jatiluhur, jumlah keramba apung pada tahun 2008 sudah mencapai lebih dari 14.000
unit dari 5.000 unit yang diijinkan, kadar COD berkisar antara 6,9 – 172 mg/l (ambang
baas COD 10 mg/l),

18.4 isu pencemaran oleh limbah domestik :


• tahun 2004, cekungan Bandung sudah dihuni oleh sekitar 7.000.000 jiwa yang
sebagian besar membuang limbah cairnya ke sungai,
• masih banyak penduduk yang membuang hajat di Sungai Citarum,
• perilaku buang air besar langsung ke Kanal Tarum Barat menyebabkan kualitas air
sangat rendah dan tercemar oleh limbah rumah tangga,

18.5 pemantauan dan analisis kualitas air :


• pemantauan kualitas air yang dilakukan oleh BPLHD provinsi Jawa Barat, tahun 2009,
2010 dan 2011, di beberapa lokasi di alur sungai Citarum, dari hulu sampai ke hilir,
menghasilkan kesimpulan bahwa : status kualitas air ,di semua titik lokasi pengamatan,
di semua tahun pengamatan, seluruhnya ber-katagori “cemar berat”,
• air di waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur telah tercemari logam berat,
• sungai Citarum telah tercemar berat oleh limbah kegiatan manusia (limbah domestik
dan limbah industri), sekitar 14 juta jiwa bermukim di wilayah sungai ini, juga 2000
pabrik dimana 500 diantaranya berlokasi di bagian hulu sungai Citarum sekitar
Bandung,
• kaji ulang kondisi pencemaran lingkungan (Djuangsih 1993) menengaskan tingkat
pencemaran yang telah terjadi di wilayah sungai Citarum sbb. :
o organoclorines dan senyawa-senyawa yang telah dilarang/ditarik dari peredaran
seperti DDT, lindane , dieldrin dan endrin ditemukan dalam air dan ikan, pengujian
kualitas air tahun 1990 menemukan kandungan DDT = 14.4 μg/l DDT ( 7 kali lipat
kandungan maksimum yang diizinkan (PP 82/2001, ambang batas maksimum
kandungan DDT =2 µg/l),
o beban pencemaran harian detergent dan phenol di sungai Citarum pada tahun
1987 masing-masing 2,19 ton/hari dan 21 kg/hari,
o jenis industri utama yang terindentifikasi di wilayah sungai Citarum : tekstil,
penyamakan, makanan dan electroplating, industri-industri jenis ini potensial
menghasilkan bahan pencemar Cd, Cu, Pb, Ni, Zn, Cr, Fe, Mn, dan Hg (air raksa),
dalam studi saat itu, pada sample sedimen, air dan ikan yang di analisis terindikasi
kandungan “air raksa” dengan konsentrasi berkisar antara 1,1 – 7,4 μg/l (ambang

35
batas maximum kandungan air raksa = 1.0 μg/l – baku mutu kualitas air kelas 1
PP 82/2001),
• kontaminasi kandungan bahan kimia yang berasal dari pupuk dan insektisida ke dalam
tubuh manusia seperti kasus yang dilaporkan Ekespedisi_Citarum_Wanadri_2009-2010
”sampel darah yang diambil dari anak anak dari beberapa desa dikecamatan Kertasari,
menunjukan adanya kandungan bahan kimia yang berasal daripupuk dan insektisida
dengan kadar tertentu”,
• Dari 10 ton pakan ikan yang ditebar setiap harinya, tidak semuanya terkonsumsi oleh
ikan. Sisa pakan tersebut mengendap di dasar waduk dan berubah menjadi zat sulfur
yang berbahaya bagi mahluk hidup.
• Waduk Cirata. Pada tahun 1990 endapan pakan yang tidak terkonsumsi oleh ikan
telah mencapai ketinggian 3 meter.
• Hasil penelitian, ikan-ikan yang dihasilkan di waduk Cirata terkontaminasi oleh logam
berat akibat tercemarnya air waduk Cirata.

19 Kondisi Penutup Lahan dan Penggunaan Lahan.

From Table 7 and Figure 29 it is apparent that of the total ‘deforestation’ in the Citarum
basin (109,000 ha) from 2001-2008, just under 20,000 ha occurred in areas managed by
the Forestry Department. Most (77%) of this loss of forest in areas managed by DepHut
occurred in the Production Forests, of which in 2001 only 56% was forested, and this
percentage declined to 42% by 2008. Protection forests (Hutan Lindung) fared only slightly
better, with a declining in forest cover from 57% to 53%, while Conservation areas (Hutan
Suaka Alam) did significantly better, although forest cover in these areas also declined,
from 91% to 86% from 2001-2008 [3].

sumber [3].

Changes in Land Use / Land Cover in the Citarum basin lie at the basis of various issues in
the basin. A recent study by Lufiandi (2011), who assessed land use in the upper Citarum
for 1994-2009, found that residential areas had increased by 35% (about 5,000 ha) while
industrial areas had increased by more than 100% (about 1,000 ha). At the same time rice
fields increased by more than 7,000 ha and bush and pasture land by more than 7,000 ha,
while forest decreased by 40% (about 20,000 ha) during the same period. The pattern of
land use change in the Upper Citarum basin is that forest is converted for agriculture land
or pasture and bush, then converted into urban area (residential and industrial) and rice
paddies [3]

sumber [3].
36
20 Longsor dan Lahan Kritis.

Owing to the steep slopes, erosiveness of the soils and degree of clearing/conversion for
agriculture and other land use, almost one third (31.4%) of the Citarum basin in subject to
severe and very severe erosion (defined as > 180 t / ha / yr; see DHV et al., 2011, and
Figure 33 below). A total of 26,437 ha is classified as very critical (in terms of erosion),
115,988 ha is critical, 273,880 ha is somewhat critical and 468,255 ha is potential critical.
Among others this affects water quality (e.g. high TSS), lowers soil fertility and increases
the incidence of landslides [3]

Kertasari merupakan salah satu kawasan utama hulu sungai Citarum yang saat ini dalam
kondisi kritis. Pembukaan kawasan hutan secara ilegal dan perubahan pola tanam yang
tidak sesuai dengan kawasan yang mempunyai topografi berbukit menyebabkan
meningkatnya resiko akan bencana longsor dan erosi. Mayoritas petani di Kertasari
memilih tanaman sayur sebagai komoditas utama. Selain waktu panennya yang cepat,
secara ekonomis tanaman ini lebih menguntungkan. Namun secara ekologis tanaman
sayuran, selain berumur pendek, tanaman ini mempunyai akar serabut yang tidak mampu
menyerap air dan menahan tanah terutama tanah dengan kemiringan lebih dari 30 %.
Secara keseluruhan luas areal perkebunan sayur meningkat dari 6000 ha (1992) menjadi
37000 ha (2001) [4].

Bencana tanah longsor dan erosi menjadi permasalahan lingkungan, dampak dari
menurunnya kondisi lahan di kawasan Citarum hulu. Guguran tanah yang terbawa air
pada akhirnya terbawa masuk ke dalam badan sungai kemudian akan menyebabkan
sedimentasi dan meningkatkan resiko bencana banjir [4].

Lahan Kritis di Pacet (Kabupaten Bandung). Area hutan di kawasan hulu Citarum telah
mengalami penurunan sebesar 45 % , dari seluas 35.000 ha di tahun 1992 menjadi tinggal
19.000 ha di tahun 2001. Kebanyakan hutan yang tertinggal dalam kondisi kritis. Lebih
dari 31.4 % Wilayah Sungai Citarum merupakan kawasan dengan tingkat erosi yang berat
hingga sangat berat (>180 ton/ha/tahun). Namun, petani di kawasan ini masih tetap
memilih bercocok tanam sayuran. Akibatnya , tanah longsor kerap terjadi di kawasan ini,
terutama daerah yang mempunyai kemiringan sampai dengan 50 % [4].

Lahan Kritis di DAS Citarum Hulu diperkirakan seluas kurang lebih 46.543 Ha atau sekitar
20 % dari luas Cekungan Bandung (234.088 Ha). Lahan kritis tersebar di DAS Ciminyak,
Cihaur, Cikapundung, Citarik, Cirasea, Ciwidey dan DAS Cisangkuy. Luas lahan di
kawasan hulu Citarum yang perlu direhabilitasi seluas 22.326,12 Ha [4].

Untuk wilayah WS Citarum terdapat luas lahan kritis dan sangat kritis di dalam kawasan
hutan seluas 38.718,62 Ha dan di luar kawasan hutan seluas 168.465,94Ha (berdasar
perhitungan peta lahan kritis dari BPDAS Citarum-Ciliwung) [1].

37
Berdasar data tahun 2008 Lahan kritis di DAS Citarum mencapai 141.705 ha atau sekitar
21% dari total luas DAS Citarum. Luas lahan yang perlu direhabilitasi dalam kawasan
hutan pada DAS itarum mencapai 81.235,70 ha, sedangkan pada kawasan non hutan
seluas 60.469,50 ha [1].

Lahan Kritis di DAS Citarum Hulu diperkirakan seluas kurang lebih 46.543 Ha atau sekitar
20% dari luas Cekungan Bandung (234.088 Ha). Lahan kritis ini tersebar di DAS Ciminyak,
Cihaur, Cikapundung, Citarik, Cirasea, Ciwidey dan DAS Cisangkuy. Luas lahan di
kawasan hulu Citarum yang perlu direhabilitasi seluas 22.326,12 [1].

21 Erosi [1].
Dari data terlihat bahwa erosi lahan dalam kategori sangat berat sudah mencapai 14% dari
total keseluruhan wilayah, hal tersebut menunjukkan semakin tingginya kondisi lahan yang
rusak. Erosi di kawasan Citarum Hulu telah mengirimkan sektar 490 ton/ha/tahun dan
dapat dikategorikan sebagai indeks erosi yang sangat buruk.
Lebih dari 31,4% Wilayah Sungai Citarum merupakan kawasan dengan tingkat erosi yang
berat hingga sangat berat (>180 ton/ha/tahun).
Subdas Cikao merupakan daerah yang memiliki tingkat erosivitas yang sangat jelek dan
mencapai hampir 6% dari total luasan subdas (22.072 ha). Lokasi subdas Cikao yang
berada di Kabupaten Karawang dan Purwakarta memiliki kontur yang berbukit-bukit
sehingga potensi kerusakan lahan yang menyebabkan erosi cukup tinggi.

22 Neraca / Alokasi Air

Recent studies in the upper Citarum Basin (Abidin et al., 2009) also indicate that
groundwater is being extracted at unsustainable levels, leading to ground subsidence of up
to -23 cm per year (average -7.6 cm). The latter mainly occurred in the textile industry
areas, where large volumes of groundwater are extracted [3].

Groundwater is heavily exploited for commercial and industrial use in the Bandung-
Soreang groundwater basin. As a result, groundwater levels have been dropping and are
suspected of contributing to land subsidence. As well, the aquifer is believed to be incurring
damage in some locations and some bores have dried up [6].

Dalam neraca air untuk Citarum seperti gambar diatas menunjukkan bahwa ketersediaan
air dibandingkan dengan kebutuhan tidak terdapat gap yang terlalu jauh. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa untuk wilayah Sungai Citarum memiliki potensi yang lebih dalam
penyediaan air. Selama setahun rata-rata kebutuhan dan ketersediaan paling rawan
berada dikisaran bulan Juli sampai dengan Agustus. Hal tersebut dikarenakan
ketersediaan di musim kemarau yang cukup rendah walaupun kebutuhan dalam grafik
tersebut juga cenderung turun. Berdasarkan neraca air diatas dapat diartikan bahwa
wilayah Citarum memiliki kemampuan untuk mendukung kebutuhan air kawasan lainnya
seperti yang selama ini telah diterapkan dalam mensuplai kebutuhan air baku Jakarta dan
sekitarnya [1].

Water Resources in the Citarum River Basin are abundant and sufficient water is available for
water supply, power generation and other uses. But scarcity of water exists in large parts of the
basin, which is reflected in lower cropping intensities or overexploitation of groundwater,
resulting in reduced access to groundwater and/or land subsidence. Such scarcity is due to
inadequate capacity to deliver water to the right spot, in the right amount and quality, and at the
right time [6].

Relevant to water allocation and distribution is the fact that the volumes of water in storage
are very large and well capable of catering for current and future demand in almost all
situations. The lack of water scarcity has been, it is believed, a reason for lack of motivation
38
to manage water more efficiently in the irrigation schemes [6].

........ efficiency of water delivery in Citarum for irrigation is low. The explanation is believed
to be partly due to the abundance of water compared with actual water demand. Although
shortages have been reported in the past, it is likely that in-efficiencies in operation,
scheduling, canal condition and famer behaviour have been the major contributing causes,
not scarcity of water as a resource [6].

......... in general, when an area is not receiving water at the time when farmers want it, they
ask for more and PJTII sends additional releases and diverts additional water into the
Tarum canals. As a result, it is estimated there is a 20%-30% over-plan water delivery. The
success of the plan relies to a large extent on farmers following the Golongan timetable,
which they frequently do not in Jatiluhur,2 leading to inefficiencies in water supply [6].

sumber : Pola Pengelolaan SDA WS Citarum 2012 – 6 Cis :

39
Pada saat ini telah terjadi ketidakseimbangan antara pengambilan dan kemampuan
pengimbuhan air tanah yang ditandai dengan semakin menurunnya permukaan air tanah
bahkan di beberapa daerah kondisinya sudah mencapai kriteria kritis. Dari hasil kajian
yang dilakukan oleh Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Jawa Barat serta data-data
dari DTLGKP, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, diketahui bahwa terdapat 3
(tiga) cekungan air tanah (CAT) yang sudah memiliki zona kritis, yaitu CAT Bandung, CAT
Bogor dan CAT Bekasi – Karawang, dari ketiga cekungan tersebut CAT Bandung
merupakan cekungan yang tingkat kerusakannya paling parah, di beberapa tempat sudah
dalam kondisi kritis [1].

Penggunaan air tanah sangat intensif di daerah CAT Bandung dalam dua puluh tahun
terakhir, untuk ekstraksi air tanah telah meningkat secara signifikan dan menyebabkan
penurunan serius tingkat air tanah. Abstraksi air tanah besar terjadi di daerah
industri(Cibeureum-Leuwigajah, Dayeuh kolot-Moh. Toha, Rancaekek dan Majalaya [1].

Sekitar 35 persen wilayah di Kota Bandung memiliki kondisi air tanah dalam kategori kritis.
Sedangkan 30 persen yang lain tergolong memiliki kondisi rawan [1]..
Wilayah yang tergolong memiliki kondisi air tanah dalam kritis misalnya Kec. Sukajadi,
Cicendo, Andir, Bandung Kulon, Babakan Ciparay, Bojongloa Kidul, Kiaracondong,
Coblong, serta sebagian Kec. Sukasari, Cidadap, Lengkong, dan Batununggal [1]..
Keadaan ini menyebabkan penurunan muka air tanah yang terjadi rata-rata 0,52 meter per
tahun. Di Kota Bandung, penurunan muka air tanah ini berdampak pada habisnya air tanah
pada kedalaman tertentu, sehingga warga harus menggali sumur air tanah lebih dalam
setiap tahun [1]..

23 Banjir
Banjir.

[1].

Kawasan banjir di Dayeuh Kolot dan Bale Endah (Kabupaten Bandung). Kawasan Dayeuh
Kolot dan Bale Endah Kabupaten Bandung merupakan salah satu daerah yang selalu
tergenang oleh luapan sungai Citarum pada saat musim hujan tiba. Permasalah banjir
khususnya di daerah Bandung sebenarnya sudah terjadi sejak jaman dahulu. Terletak di
daerah Cekungan Bandung sebagai sisa menyusutnya danau Bandung Purba,
menyebabkan kawasan ini hampir selalu mengalami permasalahan banjir. Tahun 1974
Dayeh Kolot ditetapkan sebagai ibukota Kabupaten Bandung, namun dengan
pertimbangan kondisi geografis ibukota Kabupaten Bandung dipindahkan ke lokasi baru di
Kecamatan Soreang. Dayeuh Kolot dan Bale Endah menjadi kawasan yang rawan

40
bencana banjir karena daerah ini merupakan tempat bertemunya 3 sungai yaitu
Cikapundung dan Cisangkuy yang bermuara di sungai Citarum. Bahkan elevasi salah
satu kampung daerah ini yaitu Cieunteung berada dibawah perhitungan banjir rencana.
Elevasi banjir rencana sungai Citarum pada kawasan ini adalah + 659,3m dpl , sedangkan
elevasi lahan di kawasan ini + 658, sehingga ketika banjir besarpada februari 2010 yang
mencapai elevasi 660,3 m dpl kawasan ini mengalami genangan setinggi 2,3 m. [4]
Sungai Citarum banjir sudah biasa, terutama di daerah-daerah seperti Dayeuh Kolot, Bale
Endah dan sekitarnya. [1]
Banjir Citarum merupakan sebuah bencana rutin di wilayah Jawa Barat dan sekitarnya. [1]
Beberapa wilayah rawan banjir terlihat pada peta dengan konsentrasi banjir berada di
pesisir pantai utara Jawa Barat yang meliputi Kabupaten Bekasi, Karawang, Subang, dan
beberapa kecamatan di Cekungan Bandung seperti Kecamatan Majalaya, Ciparay,
Banjaran dan Dayeuh Kolot (DAS Citarum). [1]
Banjir-banjir besar di Bandung dan sekitarnya tercatat pada tahun 1931, 1945, 1977, 1982,
1984, 1986, 1998, 2005, 2010, 2011 dan akan tetap terjadi pada tahun berikutnya bila tidak
segera dilakukan penanganan. [1]
Kabupaten Bandung -- Kuantitas dan kualitas banjir diindikasikan oleh luas genangan,
lama genangan dan tinggi genangan. Menurut data tahun 2005 potensi luas wilayah rawan
banjir 7.157,77 ha, dengan rata – rata lama genangan 24 – 72 jam dan tinggi genangan
berkisar 50 – 300 cm.
Kabupaten Bandung -- Wilayah yang sering mengalami banjir secara periodik (Q1, Q5,
Q20, Q50 tahun), mencakup kecamatan Banjaran, Dayeuhkolot, Baleendah, Bojongsoang,
Paseh, Ciparay, Rancaekek, Solokan Jeruk dan Majalaya. Sedangkan wilayah rawan banjir
temporer akibat buruknya sistem drainase mencakup wilayah di Kecamatan Margahayu
dan Margaasih. Pada Tahun 2010 Banjir di Kabupaten bandung telah menggenangi 29
desa pada 11 kecamatan. [1]

[1]

Bencana banjir terjadi di desa Cikao kecamatan Jatiluhur kabupaten Purwakarta sebanyak
1.704 warga mengungsi (data tahun 2010) [1]
....... banjir yang terjadi pada tahun 2010 meliputi 10 (sepuluh) kecamatan pada kecamatan
Karawang Barat (5 desa), kecamatan Karawang Timur (1 desa), kecamatan Teluk Jambe
Timur (7 desa), kecamatan Teluk Jambe Barat (2 desa), kecamatan Cikampek ( 1 desa),
kecamatan Pakisjaya (4 desa), kecamatan Batujaya (1 desa), kecamatan Klari (1 desa),
kecamatan Jayakerta (1 desa) dan kecamatan Tanjungpura (1 desa) [1]
Lokasi rawan banjir di Kabupaten Bekasi berdasarkan informasi dari bahan rapat terpadu
penanganan masalah banjir pada tahun 2002, luas areal genangan terjadi umumnya di
41
areal pertanian dengan perkiraan 15,176 ha, tambak sekitar 9.627 ha dan permukiman
sekitar 362 Ha. [1]
............. karena kondisi drainase yang kurang terawat dan juga limpasan sungai, dimana
pada daerah-daerah rendah sering terkena banjir. Banjir di Kota Bekasi terjadi di Bekasi
Timur, Bekasi Utara, Rawa Lumbu, Jatiasih, Bekasi Selatan Mustika Jaya, Bekasi Barat,
Pondok Melati, dan Pondok Gede. [1]
Kabupaten Subang -- Wilayah yang sering terkena banjir adalah Kec. Pamanukan, Legon
Kulon, Kecamatan Pusakanegara, Kec. Blanakan, Compreng, Ciasem, Binong, dan
Cipunagara. Sungai Cipunagara merupakan sungai terbesar di Kabupaten Subang
memiliki potensi banjir yang dapat menggenangi dataran rendah. [1]
Pada musim penghujan, kejadian banjir lokal sudah menjadi agenda bencana di
Kabupaten Indramayu dalam setiap tahunnya, sementara itu kejadian abrasi pantai di
Kabupaten Indramayu terdapat kecenderungan yang terus meningkat setiap tahunnya.
Kekeringan juga terjadi setiap musim kemarau tiap tahunnya. [1]

24 Kelongsoran
Luasan wilayah yang rawan mengalami longsor 7.587,86 ha. Wilayah yang sering terkena
bencana tanah longsor akibat erosi banyak terjadi di kecamatan Pangalengan, Ibun,
Margaasih, Cicalengka, Ciwidey, Pasirjambu, Nagreg, Rancabali, Soreang, Cimenyan,
Cilengkrang dan Cikancung. [1]
wilayah yang berpotensi longsor saat hujan turun adalah Cipongkor, Gununghalu, dan
Rongga, Cikalong Wetan, Lembang, Cipatat, Sindangkerta, Rajamandala, Cisarua, Cililin.
[1]
Kota Cimahi. Lima daerah yang termasuk dalam kategori rawan longsor adalah RW 10
Kelurahan Citeureup, RW 1 Kelurahan Cimahi, RW 13 Kelurahan Padasuka, RW 20
Kelurahan Padasuka, dan RW 1 Kelurahan Cibeureum. [1]
Kedelapan kecamatan di Purwakarta yang rawan bencana alam itu ialah Kecamatan
Kiarapedes, Wanayasa, Jatiluhur, Plered, Manis, Tegalwaru, Bojong dan Kecamaan
Darangdan. Rata-rata daerah itu merupakan rawan bencana longsor, banjir dan angin
puting beliung. [1]
Kabupaten Bekasi : rawan bencana longsor (di Kecamatan Tambun Utara dengan luas
133,877 Ha) [1]

25 Kekeringan
Kabupaten Subang -- .....kekeringan pada musim kemarau terjadi pada kecamatan
Pamanukan< Pusakanagara, Pusakajaya, Sukasari, Legonkulon, Tambakdahan, Blanakan,
Ciasem dan kecamatan Compreng. [1]
Pola Pengelolaan SDA WS Citarum – 6 Cis :
Kekurangan air irigasi terutama terjadi pada bagian akhir jaringan irigasi. Potensi untuk
mengurangi kekeringan dilakukan dengan memperbaiki distribusi air irigasi, meningkatkan
efisiensi air irigasi, menindak tegas pengambilan air tidak berijin serta meningkatkan
kesadaran dan kepatuhan petani terhadap jadwal tanam yang telah ditentukan.
Kekurangan air yang terjadi pada akhir musim tersebut, dalam praktek di lapangan, biasa
disiasati petani dengan (1) dengan menggunakan “re-use water” dan (2) pemberian air
secara gilir-giring. [7]

Kekurangan air untuk memenuhi kebutuhan air RKI akan menjadi isu yang penting di masa
mendatang. Karena adanya permasalahan pengambilan air tanah yang melampaui batas,
terutama terjadi di wilayah Cekungan Bandung, maka pemakaian air tanah dalam akan
dibatasi, yang artinya pemenuhan kebutuhan RKI harus diganti dan dipenuhi dari air
permukaan. [7]

Besarnya kekurangan air pada tahun 2010 sebesar 3.6% dari total kebutuhan air (defisit
dibagi kebutuhan) dan diperkirakan akan meningkat menjadi 6.63% di tahun 2030 jika tidak
dilakukan upaya penanganan. [7]
42
Berdasarkan analisis Ribasim, pada 1 Ci kekurangan air terjadi di distrik 319, terutama
terjadi pada saat aliran rendah sungai Cikarang dengan defisit air 1% dari total kebutuhan
air irigasi. Defisit juga terjadi pada distrik air 330, WD 406, WD 407, WD 412, WD 422, WD
424, WD 438 disebabkan oleh aliran sungai yang rendah pada musim kemarau,
sedangkan defisit yang terjadi pada distrik air 434 disebabkan oleh terbatasnya kapasitas
dari waduk Cipancuh. [7]

[7]
Kekurangan air untuk memenuhi kebutuhan air RKI menjadi isu yang penting di masa
mendatang. Karena adanya permasalahan air tanah terutama terjadi di Cekungan
Bandung, maka pemakaian air tanah dalam akan dibatasi, yang artinya pemenuhan
kebutuhan RKI akan dipenuhi dari air permukaan. Hasil simulasi Ribasim, dengan kondisi
prasarana air tetap seperti sekarang ini dan tingkat kebutuhan air pada tahun 2030
menunjukkan adanya kekurangan air di distrik air tertentu yang sebarannya terlihat pada
Gambar 3.28 dan Gambar 3.29 untuk kekurangan kebutuhan air irigasi tahun 2010 dan
tahun 2030, dan pada Gambar 3.30 dan Gambar 3.31 menunjukkan kekurangan kebutuhan
air RKI. [7]
Kekurangan air juga akan terjadi di distrik air di Cekungan Bandung (distrik air 306, WD
328, WD 329, WD 422, WD 321, WD 323, WD 324). [7]

Daerah kekurangan air RKI berdasarkan Kelompok kota untuk tahun 2030 dapat diringkas
sebagai berikut: [7]
• Kabupaten dan kota Bekasi sebesar 15,00 m3/det
• Kota Karawang-Purwakarta-Subang sebesar 13,3 m3/det
• Kota Bandung dan sekitarnya sebesar 22,50 m3/det

Kekurangan air untuk kebutuhan irigasi dan RKI pada WS 1 Ci terjadi pada water district
seperti terlihat pada T abel 3.19, dengan asumsi bahwa penggunaan air untuk RKI seluruh
sumber airnya berasal dari air permukaan. [7]

43
[7]
Selain karena belum dimanfatkannya sumber air yang ada secara optimal, penyebab
utama terjadinya kekurangan air irigasi di wilayah tersebut juga karena masih rendahnya
efisiensi penggunaan air, terjadi pemborosan air dan pengambilan air yang tidak berijin.
Hal ini juga disebabkan oleh adanya kerusakan pada bangunan pengatur dan pengukur air,
sehingga sering terjadi pemberian air yang tidak terukur dan cenderung berlebihan pada
bagian awal jaringan. Akibatnya pada bagian akhir dari jaringan irigasi sering
mengalamikekurangan air. [7]
Namun demikian, di lapangan kekurangan air RKI tersebut di atas relatif tidak terlalu
signifikan, karena sebagian besar penduduk masih memanfaatkan air tanah (sumur
dangkal). Apabila tidak dilakukan tindakan apapun, maka krisis/kekurangan air pada masa
datang akan semakin mengkhawatirkan, terutama pada pusat-pusat pertumbuhan, antara
lain Wilayah Metropolitan Jabodetabek dan Wilayah Metropolitan Bandung. [7]
Pada tahun 2030, secara umum kebutuhan air untuk keperluan irigasi cenderung menurun,
sedangkan tingkat kebutuhan air untuk keperluan RKI cenderung meningkat. Hal ini terjadi
karena adanya peralihan fungsi lahan pertanian seiring dengan pesatnya pertumbuhan
kota, terutama terjadi pada wilayah di sekitar Metropolitan Jabodetabek dan Metropolitan
Cekungan Bandung. [7]

26 sedimentasi
Pada tahun 2007 dari hasil penelitian diperoleh data bahwa sedimentasi di Waduk Cirata
mencapai 146 juta meter kubik dengan rata-rata laju sedimen 3,9 milimeter/tahun. Rata-
rata laju tersebut tiga kali lebih cepat daripada rata-rata laju perencanaan yang hanya
mencapai 1,2 milimeter/tahun. Waduk Cirata dibangun pada tahun 1988 dan direncanakan
berusia sampai 100 tahun. Tingkat sedimentasi yang tinggi telah menyebabkan
berkurangnya kapasitas waduk. Berdasarkan hasil penelitian, Cirata telah kehilangan masa
20 tahun usia kinerja efektifnya. [1],[4]
sedimentasi yang masuk ke waduk Saguling rata-rata mencapai 8,2 juta m3. Beban
sedimentasi setara dengan laju erosi 3mm per tahunnya, ini berarti 3 kali lipat dari rencana
desainnya. Jumlah sampah yang terjaring sebelum masuk ke waduk adalah 250.000 m3
per tahun. [4]
Lima anak sungai yang bergabung di waduk Cirata yaitu sungai Citarum, Cimeta, Cisokan,
Cikundul dan Cibaladung juga menyumbangkan permasalahan sedimentasi. Kondisi
daerah tangkapan Cirata ternyata juga tidak jauh dari permasalahan penggundulan hutan
dan alih fungsi lahan menjadi kawasan permukiman dan pertanian, juga berkontribusi
menyumbang permasalahan sedimentasi di waduk Cirata. [4]
Permasalahan Sedimentasi di Bojongsoang (Kabupaten Bandung). Bojongsoang
merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Bandung yang mengalami permasalahan
cukup berat terutama ketika musim hujan tiba. Tingkat sedimentasi anak-anak sungai
Citarum yang melewati Bojongsoang, berdampak pada berkurangnya kapasitas daya
tampung air. Sehingga ketika musim hujan tiba, daerah Bojongsoang menjadi kawasan
langganan banjir... Kondisi ini merupakan dampak dari rusaknya kawasan hulu Sungai
Citarum yang menyebabkan meningkatnya bencana erosi dan tanah longsor. [4]
Sedimentasi merupakan permasalah serius yang dihadapi oleh waduk Jatiluhur diakibatkan
oleh sedimentasi yang terbawa dari waduk Cirata dan anak-anak sungai Cisomang dan
sungai Cilalawi. [4]
44
Laju sedimentasi di waduk saguling (1988-2009) mencapai 8.2 juta m3/tahun, sedimentasi
di waduk cirata (1988-2008) 6.4 juta m3/tahun dan di waduk jatiluhur (1987-1997) 1.6 juta
m3/tahun (Sekretariat pelaksana koordinasi tata pengaturan air sungai citarum, 12 Jan
2010).
Pada perubahan iklim el nino pada tahun 1994, tercatat produksi listrik di tiga waduk di
Sungai Citarum yang juga digunakan sebagai PLTA (Saguling,Cirata & Jatiluhur) masih
tinggi, namun semenjak 1997, 2002, 2003, 2004 dan 2006 cenderung mengalami
penurunan.
Tingginya sedimentasi dan pencemaran air sungai Citarum berakibat pada menurunnya
produktifitas persawahan. Kurang lebih 100.000 ha sawah terancam tidak produktif dan
berpotensi mengakibatkan kerugian sebesar 16 triliyun rupiah. [4]

27 Kemanfaatan Sungai Citarum.


Keberadaan sungai Citarum dan 3 bendungan yang dibangun telah menunjang :

• produktifitas 3 PLTA di waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur yang memasok kebutuhan
tenaga listrik di Pulau Jawa dan Bali,
• produktifitas (paling tidak) 240.000 hektar sawah di kabupaten Bekasi, Karawang,
Subang dan Indramayu
• produktifitas sistem pengolan air bersih/minum kota jakarta dan beberapa
kota/kabupaten di pantai utara jawa barat,
• produktifitas usaha budi daya ikan air tawar di 3 waduk (Saguling, Cirata dan Jatiluhur).

28 Tekanan terhadap kelestarian kemanfaatan.

28.1 Tekanan terhadap kelestarian kemanfaatan PLTA di 3 waduk.

Didasarkan pada berbagai info yang diperoleh, isu tekanan terhadap kelestarian
produktifitas PLTA di 3 waduk dapat disimpulkan sbb. :

• laju sedimentasi yang terjadi di 3 waduk akibat tingkat erosi yang sangat buruk akan
berakibat akan semakin singkatnya usia operasional waduk, seperti waduk Cirata
misalnya, salah satu hasil penelitian menunjukan bahwa Cirata telah kehilangan 20
tahun masa,
• kualitas air yang buruk juga menyebabkan terjadinya korosi dan pelapukan pada
sistem PLTA terutama radiator dan pipa-pipa pendingin.

28.2 Tekanan terhadap kelestarian produktifitas sawah beririgasi.

Praktek tanam pada di sawah berigasi telah bertahun-tahun mengaplikasikan pupuk kimia
an-organik dan pestisida, ternyata dihadapkan pada fenomena bahwa : aplikasi bahan
kimia ini ternyata, diantaranya, berdampak sbb. :

• tanah menjadi semakin asam dan rusaknya tekstur tanah yang pada akhirnya
berakibat pada penurunan tingkat produktifitas,
• punahnya populasi hewan predator pemangsa tikus yang berakibat hama tikus
semakin merajalela menghancurkan produktifitas panen,

Isu lain yang diperoleh dari berbagai sumber tentang ancaman/tekanan terhadap
kelestarian produktifitas lahan pertanian beririgasi di ringkas sebagai berikut dibawah ini :

45
• tingginya sedimentasi dan pencemaran air sungai Citarum berakibat pada
menurunnya produktifitas persawahan, kurang lebih 100.000 ha sawah terancam
tidak produktif dan berpotensi mengakibatkan kerugian sebesar 16 triliyun rupiah,
• “Ribuan kilometer jaringan irigasi Jatiluhur mengalirkan “kehidupan” selama hampir
setengah abad.. Dibangun untuk melipatgandakan produksi pangan,
keberadaannya kini bak raksasa yang rapuh. Kemunduran terus terjadi seolah
berpacu dengan perbaikan yang tiada henti” – (pemeliharaan dan perbaikan yang
perlu dilakukan banyak yang tidak dapat dilakukan, dan dari tahun ke tahun
berakumulasi semakin banyak).

http://www.indii.co.id/upload_file/201105100737170.Raksasa%20itu%20sedang%20terkapar.pdf :
“Ribuan kilometer jaringan irigasi Jatiluhur mengalirkan “kehidupan” selama hampir
setengah abad.. Dibangun untuk melipatgandakan produksi pangan, keberadaannya kini
bak raksasa yang rapuh. Kemunduran terus terjadi seolah berpacu dengan perbaikan
yang tiada henti”

ATLAS –profil kabupaten Bandung :


Panjang saluran irigasi adalah 594 km dan terbagi atas saluran teknis sepanjang 183,8 km
dengan kondisi 137,975 km kondisinya baik, 36,889 km rusak ringan dan 4,983 km rusak
berat serta saluran non teknis sepanjang 410,55 km dengan kondisi 28,741 km dalam
keadaan baik, 103, 240 km rusak ringan dan 35,800 km rusak berat. [1]
Bendung teknis sebanyak 22 buah dengan 27% kondisinya baik, 41% rusak ringan dan 9%
rusak berat serta 297 buah bangunan sadap terdiri dari 56% kondisinya baik, 44% rusak
ringan dan 29% rusak berat. Untuk bangunan pelengkapnya terdiri dari 367 bh dengan 254
kondisinya baik, 72 bh rusak ringan dan 41 rusak berat serta 87.930 m’ bagunan
pelengkap terdiri dari 4.000 m’ kondisi baik, 37.880 m’ kondisi rusak ringan serta 46.050 m’
rusak berat. [1]

ATLAS –profil kabupaten Bandung Barat :


Daerah Irigasi (DI) di Kabupaten Bandung Barat dengan luas pelayanan antara 1.000
sampai dengan 3.000 Ha, memiliki bangunan sadap/bagi sebanyak 36 buah dengan
kondisi baik sebanyak 8 buah, kondisi rusak ringan sebanyak 12 buah dan kondisi rusak
berat sebanyak 16 buah. Selain itu juga memiliki bangunan pelengkap sebanyak 17 buah
dengan kondisi baik sebanyak 4 buah, kondisi rusak ringan sebanyak 4 buah dan kondisi
rusak berat sebanyak 9 buah. [1]

ATLAS –profil kabupaten Purwakarta : Tingkat kerusakan saluran irigasi pada DI


Solokan Gede dan DI Cisomang antara 25 – 30 % [1]

ATLAS –profil kabupaten Karawang : Kondisi jaringan irigasi yang belum memadai
dalam mendukung pembangunan sector pertanian [1]

ATLAS –profil kabupaten Bekasi : Banyak saluran irigasi yang rusak, terutama saluran
pembawa tidak dapat diperbaiki oleh pemerintah daerah karena terbentur kewenangan
pengelolaan irigasi. Dimana kewenangan pembangunan dan pemeliharaan jaringan irigasi
primer dan sekunder masih merupakan kewenangan pemerintah pusat (Departemen
Pekerjaan Umum) serta saluran-saluran pembuang yang panjang totalnya hampir 900 Km
banyak mengalami sedimentasi dan penyempitan sehingga memerlukan kegiatan
normalisasi untuk menanggulangi terjadinya bahaya banjir setiap musim penghujan
datang. [1]

28.3 Tekanan terhadap kelestarian produktifitas usaha budi daya ikan air tawar di 3
waduk (Saguling, Cirata dan Jatiluhur).

Tahun-tahun awal upaya budi daya perikanan di 3 waduk ditandai dengan kemajuan
tingkat produktifitas dan pendapatan yang signifikan, namun dilampauinya ambang batas
kepadatan budi daya dan terlampau berlebihnya pemberian pakan serta polusi air yang
46
terjadi, telah menjadi tekanan yang mengancam kelestarian produktifitas :

• terlampau padatnya populasi ikan di waduk berakibat menurunnya kandungan


oksigen dalam air yang berdampak pada terhambatnya pertumbuhan ikan , bahkan
dapat berdampak mematikan ikan yang dibudidayakan,
• kelebihan pemberian pakan yang mengendap di dasar waduk akan berubah
menjadi zat sulfur yang yang sifatnya meracuni/mematikan mahluk hidup (termasuk
ikan) - lapisan endapan ini dapat terangkat ke lapisan diatasnya bahkan sampai ke
permukaan manakala terjadi gejolak air akibat hujan dan debit inflow yang tinggi,
keadaan terangkatnya lapisan beracun ini seringkali diikuti oleh kejadian kematian
ikan secara masal dan mendadak,
• timbunan limbah beracun di dasar waduk yang berasal dari pencemaran serta
kondisi “tidak ada oksigen” dalam air di lapisan “bawah/dalam” waduk terangkat ke
lapisan diatasnya bahkan sampai ke permukaan manakala terjadi gejolak air akibat
hujan dan/atau debit inflow yang tinggi, keadaan terangkatnya lapisan beracun ini
seringkali diikuti oleh kejadian kematian ikan secara masal dan mendadak.

Hotspot : mengungkapkan kenyataan keadaan di 3 waduk sbb. [4]:


• Jumlah keramba atau jala apung yang diijinkan seharusnya 1 % dari luas
permukaan waduk Cirata atau hanya mencapai 12.000 petak jaring apung. Namun,
saat ini terdapat hingga 50.000 petak jaring apung
• di waduk Jatiluhur. Jumlah keramba apung pada tahun 2008 sudah mencapai lebih
dari 14.000 unit dari 5.000 unit yang diijinkan.

29 Kondisi pengukuran dan data hidrologi di WS Citarum.


Hydrological data from the Citarum River is incomplete and unreliable (see DHV et al.,
2011). [3]
Flow from the Citarum River into the main canals at Curug and Walahar is measured by
PJTII which operates the diversion works (pumping and gravity flow). Flow from the main
canals into the secondary canals and further into the schemes is not measured. Outflows
from the scheme through escape and tail structures is believed to be significant but are not
measured either. [5]
Therefore it is not possible to say (i) what is the real irrigation demand, (ii) how well that
demand is being met, (iii) what is the scale of inefficiencies in operation and supply, and (iv)
where those inefficiencies are. [5]
There is little incentive to manage the Jatiluhur irrigation schemes efficiently from a water
distribution perspective, because of the large volumes of water in storage in the valley. This
contrasts with the much tighter management in the Solo and Brantas basins. [5]
Due to the lack in flow/volume measurements it is not possible to say with confidence how
the water delivered to the schemes is distributed, to what extent it is over-supplied, where
and what savings could be made, or how much improvement would result from improved
organization. This is a situation that can be tolerated for the time being, but will be raised in
the future when inter-basin transfer reaches the point where reliability of supply in the basin
could be affected. [5]

Referenci / Sumber Kutipan :


1. ATLAS PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR TERPADU WILAYAH SUNGAI CITARUM, Integrated Citarum Water
Resources Management (ICWRM), Road Map Management in Citarum River Basin/Pengelolaan Roadmap di Wilayah
Sungai Citarum, Draft 29 Juni 2012 versi Indonesia.
2. Sejuta Asa untuk Cikapundung, Laporan Foto, Cita Citarum 2012, www.citarum.org
3. Task B1-6: Initial State of the Basin Report for theCitarum River, TA 7189-INO, Institutional Strengthening for IWRM in
the 6 Cis River Basin Territory – Package B, Ministry of Public Works, Jakarta - Asian Development Bank, 3 Agustus
2011
4. 22 hotspots di wilayah sungai citarum, laporan foto, Cita Citarum, edisi Mei 2012, www.citarum.org
5. A 7189-INO Package B Strategies and Practices in Groundwater Management for the Bandung-Soreang Basin,

47

Anda mungkin juga menyukai