Anda di halaman 1dari 23

TUGAS IBKV

CORECTIVE OTOPLASTY

Oleh :

FAKIH MAULANA
NIM 061511535030

PRODI KEDOKTERAN HEWAN KAMPUS BANYUWANGI


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
BANYUWANGI
2018
1.1 Pengertian

Pada bidang keilmuan telinga – hidung - tenggorok, insidensi kelainan

telinga didapatkan sekitar 50%. Kelainan dari telinga luar dan tengah banyak

mengenai hanya telinga kanan (58%-61%). Insidensi yang sama baik pada

wanita dan laki-laki. Kelainan dari telinga dapat hanya pada telinga luar

(pinna dan kanalis auditorius eksterna), telinga tengah dan telinga dalam dapat

tidak terlibat. Perbedaan embriogenesis dari telinga luar atau telinga tengah

dan telinga dalam dapat menyebabkan kelainan telinga luar atau tengah tanpa

kelainan telinga dalam. Teknik otoplasti untuk koreksi kelainan telinga telah

berkembang sejak 1845 hingga sekarang, terdapat ratusan teknik dalam

koreksi kelainan telinga. Pemilihan teknik tergantung dari kelainan telinga

pasien dalam memilih teknik yang tepat.

Otoplasti ialah suatu tindakan pembedahan dalam mengubah bentuk

atau posisi dari telinga. Indikasi tersering dari pasien ialah dengan telinga

menonjol, tetapi dengan bentuk yang normal. Tindakan pembedahan ini sering

dilakukan pada anak kecil usia sebelum atau awal sekolah, dan jarang

dilakukan untuk pasien dewasa. Insisi dapat dibuat pada anterior maupun

posterior. Tehnik pembedahan biasanya memakan waktu 2-3 jam tak ada

teknik yang paling tepat dalam pembedahan koreksi telinga, hal ini
berdasarkan dari kelainan telinga masing-masing pasien. Pembedahan

otoplasti dapat juga untuk koreksi prominent ear, constricted ear, cryptotia,

mikrotia, dan Stahl’s Ear (Spock Ear).

1.2 Pemeriksaan Lanjutan

Untuk menegakan pasien dengan malformasi telinga dan untuk

tatalaksana pasien secara efektif, maka keilmuan sangat diperlukan.

Pemeriksaan fisik, imaging dan audiometri diperlukan secara bersamaan

untuk menegakan diagnosis. Diskripsi anatomi dan imaging dalam

menjelaskan malformasi diperlukan dalam perencanaan operasi yang akan

dilakukan.

Pemeriksaan tulang rawan juga dilakukan dinilai konsistensi tulang

rawan (lembut atau kaku, mudah dilekukan), kecendrungan terhadap keloid,

dan usia pasien

Pada pemeriksaan fisik deformitas telinga bayi kelahiran hidup

seringkali disertai dengan pemeriksaan struktur kraniofasial lainnya. Seluruh

pasien membutuhkan pemeriksaan kepala, wajah, leher, dinilai strukturnya,

simetri, proporsi wajah, mastifikasi, oklusi, kondisi rambut dan kulit, fungsi

sensorik, bicara, suara, dan fungsi menelan. Fungsi dari telinga tengah dinilai

secara seksama, mengingat perkembangan dari telinga luar juga berhubungan


dengan telinga tengah. Fistel preaurikular ataupun skin tag dapat disertai

dengan paralisis saraf fasialis dapat bersifat parsial mau komplit. Pemeriksaan

fisik umum berupa inspeksi, palpasi, dan dokumentasi foto. Penilaian telinga

tengah lain diperlukan untuk keberhasilan operasi, seperti penilaian fungsi

tuba eustasius yang terkait dengan hiperplasti adenoid, septum devasi, ataupun

hiperplasi dari konka nasalis, dan adanya celah palatum. Malformasi telinga

dapat terjadi sehubungan dengan sindrom, perubahan dari organ internal

(seperti ginjal), kelainan system saraf dan kelainan rangka, sehingga perlu

pendekatan holistik dari neurologis, pediatrik, dan ortopedi).

Audiometri ialah pemeriksaan fungsional terpenting pada pasien

dengan malformasi telinga. Malformasi derajat berat pada telinga luar seperti

atresia kongenital seringkali disertai kelainan telinga tengah yang dapat

berupa kelainan semua struktur. Gangguan pendengaran konduksi didapat

pada 45-60 dB, ataupun komplit yaitu lebih dari 60 dB. Pada kasus atresia

aurikula kongenital, pemeriksaan awal seringkali normal karena peranan dari

telinga kontralateral. Gangguan pendengaran bilateral dapat mengganggu

perkembangan wicara. Rehabilitasi awal diperlukan untuk mencegah

perkembangan wicara, yaitu alat bantu dengar ataupun rekonstruksi secara

pembedahan.
Audiometri dapat dilakukan pada bayi baru lahir, yaitu timpanometri

(pemeriksaan impedans). Otoacoustic emissions (OAE), dan auditory brain

stem response (ABR). Untuk menilai ambang batas pendengaran pada anak

sampai usia 3 tahun dapat dilakukan prosedur reflek dan behavioral

audiometric, timpanometri, OAE dan ABR. Pada anak yang lebih tua dapat

dilakukan audiometri nada murni, atau audiometric bermain. Pada orang

dewasa, audiometri nada murni dan audiometric tutur.

Radiografi konvensional dapat sebagai skrining dalam menilai

malformasi telinga. Jika tak terdapat kelainan pada pemeriksaan, maka

pemeriksaan yang lebih spesifik dapat ditunda. Keuntungan dari radiografi

konvensional ialah dosis radiasi yang rendah, mudah digunakan, mudah

diaplikasikan, dan biaya lebih murah. Kekurangan dari radiografi

konvensional ialah tidak dapat menilai telinga tengah dan telinga luar. High-

resolution computer tomography (HRCT) dapat digunakan untuk menilai

struktur tulang, sehingga menggambarkan kelainan pada telinga luar, KAE,

telinga tengahn, mastoid, dan penyakit osteogenik. Magnetic resonance

imaging (MRI) dapat melihat struktur labirin membrane, saraf pada kanalis

akustikus eksternus, dan sudut cerebropontin. Kombinasi HRCT dan MRI

dapat digunakan jika ada indikasi. Ultrasonography (USG) tidak memiliki


peranan dalam diagnosis malformasi telinga. High-resolution computer

tomography dari tulang temporal menggunakan potongan 0.5-1.0 mm untuk

evaluasi malformasi telinga tengah.

Gambaran HRCT dapat melihat pneumatisasi sel, lokasi dari vena

jugularis, sinus sigmoid, arteri karotis interna, gambaran rantai tulang

pendengaran, saraf fasialis segmen timpani dan mastoid, kedalaman kanalis

akustukis internus. Kontras antara tulang dan udara menambah gambaran dari

telinga tengah sehingga lebih jelas sebagai diagnosis. Malformasi telinga

berdasarkan HRCT dapat diklasifikasikan.

Fiksasi rantai tulang pendengaran tidak selalu dapat dideteksi oleh

HRCT. Pada CT scan normal dapat disertai dengan gangguan pendengaran

konduksi. Stapes tidak selalu dapat dilihat pada CT scan karena ukurannya

yang kecil, hanya pada potongan yang lebih kecil dari 0.5 mm. ketebalan

tulang calvarium dapat diukur, sebagai keperluan dalam insersi Bone-

Anchored Hearing Aid (BAHA). Kriteria pasien pembedahan dengan skoring

radiologi dapat menggunakan skoring Jahrsdoerfer sebagai penilaian kandidat

pembedahan. Untuk pasien dengan atresia aurikula kongenilan dan memiliki

skor 8 atau lebih diindikasikan untuk pembedahan kanaloplasti. Pasien dengan


kelainan telinga bilateral dan memiliki scoring 5 atau lebih rendah tidak

diindikasikan untuk pembedahan.

Tabel 1. Skoring CT scan berdasarkan Jahrsdoefer, dikutip oleh Bartell dan Wulke

1.3 Persiapan Pre Operasi

Dari anamnesis perlu ditelaah apakah terdapat riwayat pembedahan

otoplasti sebelumnya, hal ini berpengaruh terhadap timbulnya jaaringan parut,

dan akan mempengaruhi rencana pembedahan selanjutnya dan hasil

postoperasi. Sebelum otoplasti, pasien atau orangtua pasien di edukasi

mengenai teknik operasi, risiko, dan komplikasi, termasuk hematom, infeksi

kulit dan tulang rawan, dan bahkan hasil kosmetik yang kurang baik.

Pemeriksaan telinga ditelaah apakah ada penyebab lain dari kelainan

telinga, seperti retroaurikular, space-occupying lesion, atau deformitas tulang


rawan akibat trauma. Analisis dari lipatan antiheliks, sudut heliks mastoid,

jarak heliks-kepala, posisi lobules dan kavum konka. Aspek lain yang

berpengaruh besar ialah konsistensi tulang rawan, yaitu kekakuan dan

ketebalan tulang rawan. Konsistensi tulang rawan dievaluasi dengan palpasi,

perlekatan. Abnormalitas telinga lain dapat dilihat dengan inspeksi seperti

auricular appendages, Darwin tubercle, dsb.

Ambang dengar pada pemeriksaan audiometri dengan tes impedance

dibutuhkan untuk kemungkinan tuli konduktif atau perseptif. Dokumentasi

foto sebelum dan sesudah operasi, posisi frontal, lateral, oblik, dan frontal.

Tujuan dari dokumentasi foto sebelum operasi berguna untuk membuat

sketsa dari rencana operasi dan langkah perosedur pembedahan. Dokumentasi

post operasi dilakukan 6 sampai 12 bulan untuk melihat tingkat keberhasilan

dan alasan medikolegal.

1.4 Tatalaksana

Teknik otoplasti pertama kali diperkenalkan oleh Dieffenbach pada

tahun 1845 pada prominent daun telinga pasca trauma, dengan teknik eksisi

kulit retro aurikula dan menggunakan penjahitan konka-mastoid untuk fiksasi

telinga. Pada tahun 1881, Eli menggunakan teknik berkelanjutan, reseksi

cresentrik dari tulang rawan dan kombinasi dengan penjahitan konka-


mastoid.untuk koreksi prominent ear bilateral, Eli menggunakan otoplasti

dengan 2 tahap. Gersuny mengobservasi hasil terapi pada tahun 1903, karena

adanya kekuatan elastic dari tulang rawan dan elastisitas dari kulit, maka

eksisi kulit tidak cukup memberikan hasil otoplasti yang tahan lama. Pada

tahun 1910, Luckett mengkombinasikan eksisi kulit-kartilago sepanjang

lipatan antiheliks dengan jahitan horizontal agar terbentuk skapa yang lebih

baik.

Pada literatur yang dipublikasikan oleh Naumann, yang membahas

mengenai teknik otoplasi yang pertama kali diperkenalkan oleh Becker pada

tahun 1952 dengan melakukan insisi sepanjang rima antiheliks kombinasi

dengan jahitan posterior, memberikan hasil lipatan antiheliks yang

memuaskan. Gibson dan Davis, menyatakan bahwa insisi tulang rawan pada

satu sisi mampu untuk mempertahankan bentuk pada sisi yang berlawanan.

Converse pada tahun 1955 menggunakan fenomena tersebut sehingga

berlanjut menjadi berbagai modifikasi dari teknik insision-scoring pada area

antiheliks. Converse memberikan hasil insisi tulang rawan yang tidak

sempurna dari posterior dikombinasikan dengan jahitan fiksasi. Skoring

Chongchet dan Crikelair pada bagian anterior tulang rawan dari lateral skapa

dengan kulit kepala untuk membentuk antiheliks menggunakan pendekatan


dari posterior. Mustarde pada tahun 1963 dan 1967 menyatakan teknik baru

untuk membentuk lipatan antiheliks yang baru dengan menggunakan jahitan

dari bahan nonabstorable dengan pendekatan posterior untuk beberapa pasien.

Furnas dan Spira tahun 1969 menggunakan fiksasi konka-mastoid dan

antiheliks dalam mengurangi jarak heliks-mastoid. Spira pada tahun 1969

menyatakan eksisi pada area lobules dan menempatkan lobul pada posisi yang

tepat dengan menggunakan jahitan kulit ke periosteum kepala. Karena adanya

elastisitas kulit, prosedur tersebut mengembalikan posisi lobul ke tempat

semula. Lobulopeksi yang digunakan oleh Siegert telah terbukti efektif untuk

membuat posisi lobul lebih posterior dengan jahitan matras.

Penggunaan berbagai teknik pembedahan dan modifikasinya dengan

tiga metode, metode koreksi anti heliks, konka, dan lobules. Penggunaan

teknik ini berdasarkan kelainan telinga, dapat dengan satu teknik atau

kombinasi. Koreksi anti heliks dapat dilakukan dengan suturing-insisi yang

diperkenalkan oleh Converse, teknik insisi oleh Stenstrom, dan teknik

suturing oleh Mustarde. Teknik koreksi kavum konka dengan menggunakan

teknik Furnas, dan koreksi lobules dengan eksisi kulit. Berbagai metode dari

otoplasti akan disesuaikan sesuai keadaan telinga pasien.


McDowell, dikutip dari literatur oleh Richard dan Trovato, oleh

mengeluarkan target dari koreksi otoplasti untuk telinga menonjol ialah: (1).

Simetris dari bentuk dan penonjolan telinga tidak lebih dari 3mm; (2).

Pertahankan bentuk normal dan komponen kelengkungan dari telinga.

Lengkung alami heliks sebaiknya melipat di bagian superior dan melipat lebih

lembut pada daerah lobules. Antiheliks melengkung lebih menonjol pada

daerah krus superior; (3). Jarak dari rima heliks ke kulit mastoid sebaiknya

10-12mm pada superior, 16-18mm pada tengah, dan 20-22mm pada cauda

heliks. Sudut auriculomastoid 15-24o. agar tercapai ukuran ini mungkin

membutuhkan koreksi besar dari mangkuk konka; (4). Rima heliks sebaiknya

tidak terlihat di belakang antiheliks pada penamakan frontal pada daerah

pertengahan telinga; (5). Sulcus postaurikula dipertahankan; (6). Penonjolan

dari 1/3 atas daun telinga arus dikoreksi, penonjolan dari bawah daun telinga

dapat dari hasil koreksi daun telinga bagian superior; (7). Seluruh permukaan

harus lembut, tanpa skar, atau tepi yang tajam hasil dari koreksi.

1.4.1 Teknik suturing oleh Mustarde

Pada tahun 1963 Mustarde menggunakan teknik otoplasi yang dapat

membentuk lipatan antiheliks pada tulang rawan telinga anak yang masih

lembut dan tipis. Sebelum memulai dan akhir operasi, jarak telinga-kepala

berdasarkan Wodak, dikutip oleh Naumann4, diukur untuk memberikan hasil


yang simetris. Insisi kulit retroaurikula dilakukan pada 8-10 mm dibawah dan

pararel dari rima heliks. Kulit diatas tulang rawan di mobilisasi kearah kaudal

sampai mastoid dan kranial sampai rima heliks. Untuk mencegah distorsi kulit

post operasi, mobilisasi sebaiknya tidak lebih lebar dari rima heliks.

Perikondrium yang memberikan nutrisi adekuat untuk tulang rawan telinga.

Lipatan antiheliks yang baru ditusuk dengan jarum dari ventral dan ditandai

dengan metilenblue dari arah retroaurikular. Benang jahit non absorable,

transparan atau putih seperti Goretex 4.0 diletakan pada tanda tersebut,

menggunakan akses retroaurikular menuju tulang rawan aurikula dan

perikondrium tanpa menembus kulit bagian ventral. Simpul jahitan matras

dapat diletakan pada bagian dalam untuk mencegah dekstruksi dari jahitan

pada kemudian hari. Teknik ini dapat dikombinasikan dengan lobulopeksi dan

atau rotasis kavum. Dapat dilakukan eksisi kresentrik dari kulit yang berlebih,

tetapi harus memperhatikan agar jaringan ttidak terlalu tegang sehingga

mencegah pembentukan keloid post operasi.


Gambar 1 Teknik Suturing dari Mustarde

1.4.2 Teknik insisi-suturing oleh Converse


Pembentukan antiheliks menggunakan teknik Converse menggunakan

kombinasi dari teknik insisi dan teknik suturing. Teknik ini diperkenalkan

oleh Converse untuk memperbaiki prominent ear terutama pasien dengan

tulang rawan yang kaku. Tulang rawan diinsisi paralel terhadap rima heliks,

dasar dari antiheliks, termasuk krus superior dengan pendekatan

retroaurikular.

Antiheliks dicetak dengan menggunakan skalpel atau forsep Adson

Brown untuk membentuk antiheliks secara retrograde. Fiksasi dari lipatan

antiheliks yang baru dengan menggunakan jahitan matras dengan material

non absorable. Lobuloplasti, rotasi kavum yang diperkenalkan oleh Furnas

dapat digunakan sebagai kombinasi. Pada tulang rawan telinga yang tebal dan
kaku, teknik Mustarde tidak dapat dipergunakan, sehingga dengan teknik

Converse ini hasil yang tahan lama dapat dicapai. Pembentukan tepi antiheliks

dapat dilihat dengan teknik klasik Converse, yang mencakup transeks tulang

rawan telinga dan ventral perikondrium, akan tetapi jika penempatan tidak

sempurna dan penarikan jahitan matras yang berlebihan akan menyebabkan

hidden heliks atau penyempitan lubang telinga. Perikonrium ventral harus

dipertahankan untuk menghindari komplikasi ini.

Gambar 2 Teknik insisi –suturing oleh Converse

1.4.3 Teknik insisi (Stensrom, Crikelair, Chongchet)

Gibson dan Davis pada tahun 1958 menunjukan bahwa mencetak

unilateral atau insisi tulang rawan secara konkaf akan melekatkan ke arah sisi

cetakan. Stenstrom, Chongchet, dan Crikelair memodifikasi cara ini untuk

mendapatkan bentuk antiheliks yang baru. Chongcet mendeksripsikan tehnik

untuk scoring anterior untuk rekonstruksi antiheliks pada tahun 1963, tahun

yang sama pada publikasi Stenstrom. Crikelair mempublikasikan melalui


pendekatan yang sama melalui heliks posterior dan scoring anterior pada

skapa.

Stenstrom membentuk skapa anterior melalui insisi kecil medial dekat

kaudal heliks untuk membentuk lekukan heliks dan lipatan antiheliks. Lalu

memodifikasi dengan insisi retroaurikular dan undermining luas hingga skapa

terpapar, lalu scoring lengkap, disebut otoabrasion.

Derajat scoring atau straching anterior skapa mempengaruhi

kelekukan tulang rawan antiheliks. Stenstrom tidak melakukan penjahitan

antiheliks.

Gambar 3 Teknik insisi-skoring (a). teknik scoring anterior; (b).

teknik scoring posterior.


1.4.4 Teknik penipisan tulang rawan oleh Weerda

Teknik otoplasti yang diperkenalkan oleh Weerda dapat diterapkan

untuk pasien dengan tulang rawan telinga yang tebal dan kurang elastik.

Tulang rawan telinga dibor dengan menggunakan diamond, untuk

melemahkan daerah atas dan bawah dari tulang rawan telinga, dalam

membentuk lipatan antiheliks yang baru dan krus antiheliks dengan

pendekatan retroaurikula. Pengeboran yang terlalu lama perlu dihindari agar

mencegah kondronekrosis yang dicetuskan oleh panas. Jahitan matras pada

ketebalan penuh dari bahan benang yang terabsorbsi untuk memfiksasi

antiheliks pada posisi yang diinginkan.insisi bentuk bulan sabit pada daerah

sekitar tulang rawan. Tepi dari insisi tulang rawan dijahit dengan

menggunakan bahan material benang yang dapat terabsorbbsi dalam

membentuk antiheliks yang baru. Lobuloplasti, rotasi kavum, dan fiksasi

kavum dari Furnas dapat dilakukan sebagai kombinasi.


Gambar 4 Teknik otoplasti oleh Weerda

1.4.5 Incisionless otoplasty

Teknik Incisionless Otoplasty dikembangkan oleh Fritsch tahun 1995

sebagai tindakan otoplasti yang yang tidak invasif. Teknik awal dengan

jahitan perkutan, dan jaringan di undermining.

Gambar 5 Teknik Incisionless Otoplasty


Ketika jahitan konka-mastoid perlu dilakukan, teknik oleh Furnas

dapat menjadi solusi. Pembedahan dilanjutkan dengan 3-4 jahitan matraas

horisontal teknik oleh Mustarde. Titik Jahitan masuk ke posterior pinna sama

dengan titik untuk jahitan keluar. Hook kulit single digunakan untuk elevasi

kulit hingga simpul berada di bawah kulit. Cotton ball dengan salep

basitrasin-polimiksin B ditempatkan pada konka bowl pada tempaat jahitan.

Dressing diangkat pada hari pertama post operatif.

1.4.6 Rotasi kavum dan fiksasi oleh Furnas

Sudut antara mastoid dan rima heliks sebaiknya berkisar 20-30o. pada

prominent ear sudut ini bias mencapai 90o karena adanya konka yang

hipertrofi. Reduksi dari sudut kavum-mastoid ini bertujuan untuk

mempertahankan telinga ke belakan dekat dengan tulang cranial. Teknik

dalam tatalaksana masalah ini dengan insisi rretroaurikula sepanjang dan

sejajar rima heliks, jaringan ikat retroaurikular, lemak, dan jaringan otot dapat

di eksisi, sehingga terpisah dari fasia temporal. Daun telinga kemudian

dirotasi kearah dorsal dan fiksasi antara tulang rawan konka dan periosteum

mastoid dorsal dengan jahitan matras.


Gambar 6 Teknik Furnas.

1.4.7 Lobuloplasti

Lobul daun telinga dapat terlihat lebih menonjol, sehingga

menyebabkan prominent dari 1/3 bawah daun telinga. Lobul yang berlebih ini

dapat diposisikan parallel pada telinga dengan memperluas eksisi

retroaurikula menuju pertengahan lobules. Macam eksisi kulit bervariasi,

antara lain, fish tail, Z-plasty atau elips. Direkomendasikan untuk mengeksisi

jaringan lemak pada lobulus.

Gambar 7 Lobuloplasti.
1.4.8 Teknik pembedahan lain

Pitanguy dengan membentuk “pulau” tulang rawan pada daerah

anterior telinga, membuat lipatan anti heliks dengan tepi yang lembut dengan

suturing setelah reseksi elips dari permukaan posterior.7

Davis memperkenalkan teknik eksisi dari mangkuk konka pada basis

dari dinding vertikal. Menggunajan metilen blue untuk membentuk tanda pada

tulang rawan konka, dinding vertikal posterior konka diberitanda sepanjang 8

mm untuk membuang setengah lingkaran konka melalui pendekatan insisi

retroaurikular. Hati-hati agar tidak mengenai kulit anterior. Seluruh mangkuk

konka dieksisi.

1.5 Komplikasi Otoplasti

Komplikasi tindakan otoplasti dapat dibedakan adanya komplikasi

awal dan yang timbul belakangan setelah pembedahan. Komplikasi awal

antara lain ialah hematom, infeksi luka, perdarahan, perikondritis, nyeri,

perdarahan post operasi, reaksi alergi, nekrosis kulit-tulang rawan.

Komplikasi yang timbul belakangan setelah pembedahan yaitu Ekstruksi

jahita, skar hipertrofi, keloid, rejeksi dari bahan benang dengan pembentukan

fistel, hiperestesi atau parastesi, deformitas daun telinga.


Kontrol berkala pasca operasi diperlukan dalam deteksi awal

komplikasi. Hematom ialah komplikasi tersering yang berhubungan dengan

tulang rawan yang dilemahkan dalam membentuk antiheliks, yaitu pada

teknik insisi dan atau skoring. Hematom dapat terjadi karena tidak kuatnya

hemostasi, rebound phenomenone dari penggunaan vasokontriksi saat operasi,

hipertensi, trauma pasca operasi, atau adanya gangguan koagulasi.

Infeksi pasca operasi dapat terjadi karena kurang sterilnya alat yang

digunakan, bermanifestasi sebagai nyeri yang muncul 12 jam pasca operasi,

dapat terjadi pus dan eritema, sehinnga berlanjut ke perikondritis, ataupun

kondritis. Perikondritis dapat berakibat nekrosis pada kulit dan tulang rawan

sehingga deformitas daun telinga post operasi dapat tidak memuaskan secara

kosmetik. Nyeri pada hari pertama post operasi membutuhkan perhatian lebih,

termasuk pemeriksaan dan penggantian kassa penutup. Gatal pada daerah

operasi dapaat dipikirkan sebagai reaksi alergi dari bahan benang atau kassa

penutup, sehingga perlu ditelaah lebih lanjut.

Komplikasi yang timbul belakangan seperti skar hipertrofi atau keloid,

dapat muncul setelah beberapa bulan pasca operasi, sehingga evaluasi

dilanjuti hingga 1 tahun. Pasien yang memiliki riwayat skar hipertrofi dan

keloid, harus di edukasi mengenai kemungkinan perlunya operasi kedua. Pada


pasien ini perlu diberikan salep dalam mencegah skar, yang menghambat

kelebihan sintesis kolagen.

Ekstruksi jahitan dapat terjadi pada penjahitan yang tidak tepat, seperti

terlalu proksimal, atau karena infeksi. Pembentukan fistel menunjukan adanya

penolakan terhadap bahan material bennang, atau simpul terlalu berada

superfissial dibawah kulit retroaurikula, sehingga perlu operasi revisi terhadap

fistel (fistulektomi) untuk menghilangkan bahan material benang yang

pertama. Walaupun operasi telah berhasil, tetapi kemungkinan rekurensi

dengan tonjolan yang baru dapat terjadi, oleh karena itu perlunya persetujuan

dan edukasi pada pasien dan keluarga mengenai kemungkinan dan resiko

yang terjadi.
Daftar Pustaka

Arief, W. Otoplasti Pada Cup Ear Bilateral. Universitas Indonesia.


Bartell S, Wulke C. 2007. Classification and Diagnosis of Ear Malformation. Review
article. Head and Neck Surgery :vol B: 1885-1011.
Handler EB, Song T, Shis C. 2013. Complication of Otoplasty. Facial Plastic
Reconstruction Surgery Clin :635-662.
Mompo L, Pastor G, Carrasco M, Cuesta MT, Dalmau J. 2010. Otoplasty without
Cartilage Section Using Mustarde Technique. Acta Otolaringology :62:p 181-
187.

Naumann A. Otoplasty-Techniques, Characteristics, and Risk. Review article. Head


and Neck Surgery. 2007:vol B: 1885-1011.

Richard YH, Trovato MJ. 2011. Plastic Surgery of The Ear. Selected Readings in
Plastic Surgery. Texas: p 1-52.

Anda mungkin juga menyukai