Anda di halaman 1dari 3

I.

Sistem struktur arsitektur nusantara minimal dinding pembatas


Tinjauan struktur dan konstruksi pada arsitektur nusantara

Membicarakan struktur dan konstruksi di Indonesia, berarti pula membicarakan arsitektur. Di


Indonesia arsitektur Nusantara berbahan kayu dan bambu karena menyatu dengan alam maka,
detail konstruksinya pun merupakan obyek arsitektur. Arsitektur di Asia Timur fungsi statis
berperan dalam pembentukan arsitektur sehingga pengaruh simbul dan mistik lebih
diutamakan. Hiasan dalam bangunan tradisional digunakan untuk menyampaikan gagasan
kosmologis dan metafisis dalam bentuk simbol. (Frick dan Purwanto. 2007. 13)

Bentuk dan gaya arsitektur selalu berhubungan erat dengan cara konstruksi dan bahan
bangunan yang berlaku pada jamannya. Pernyataan fungsi statis dalam arsitektur tergantung
pada bentuk struktur bangunan, misal konstruksi struktur yang menerima beban oleh
bangunan gedung dan menyalurkannya ke dalam tanah dan sesuai dengan kebutuhan
kekuatan terhadap gempa bumi, tekanan angin serta air (Frick dan Purwanto: 1998: 13). Oleh
karena itu, studi sistem bentuk struktur bangunan dimulai dari pengertian fungsi statis,
penyelidikan hubungan bentuk dan gaya arsitektur dengan sistem konstruksinya. Sistem
struktur bangunan tidak selalu dapat diwujudkan oleh bentuk bangunan karena fungsi statis
hanyalah salah satu faktor yang menentukan bentuk pada perencanaan bangunan gedung.
Dalam pembentukan arsitektur di Asia, di samping fungsi statis, pengaruh simbul dan mistik
kadang lebih diutamakan. Hiasan sejak dahulu sering digunakan untuk menyampaikan
gagasan kosmologis dan metafisika dalam bentuk simbul dan bukan melambangkan alam
sebagai sumber fungsi statis. Perkembangan ilmu teknik memberi kesempatan yang luwes
yang memungkinkan bentuk struktur hampir tidak terbatas dalam lebar bentang yang belum
ada pada bangunan tradisional, dalam beraneka struktur baru (kabel) maupun dalam variasi
bahan bangunan (serat karbon). Jaman dulu, struktur merupakan faktor kecil dari keindahan,
kalau tidak diselimuti maka sering dianggap belum selesai. Sekarang penilaian keindahan
semakin lebih baik dibanding dengan sekedar logika sistem bentuk struktur yang
berhubungan dengan bentuk arsitektur (Frick dan Purwanto. 1998: 15). Menurut Frick dan
Purwanto (1998: 3), pemikiran terhadap ruang adalah tujuan pendidikan arsitektur, meskipun
hasilnya berupa gambar atau lembaran sketsa berdimensi dua, akan tetapi realisasinya adalah
bangunan gedung berdimensi tiga. Walaupun demikian sering terjadi bahwa pikiran arsitek
tentang perwujudan bangunan gedung sudah berdimensi tiga, namun gambar struktur,
konstruksi serta statika (mekanika teknik) hanya berdimensi dua saja. Oleh karena itu dalam
membahas konstruksi dalam arsitektur pengertian struktur tiga dimensi sangat penting untuk
menjadi dasar secara logis. Bila sudah memahami konsep strukturnya dapat diperdalam
perhitungannya atau diserahkan kepada ahlinya dari bidang teknik sipil. Dengan
perkembangan ilmu statika/ mekanika teknik, insinyur sipil “semakin lama semakin teratur”
memanfaatkan ilmu statika yang yang memecahkan pengetahuan tersebut dari pengetahuan
intuitif yang dilakukan oleh ahli bangunan pada jaman kuno dan oleh para arsitek pada jaman
sekarang (Frick. 1998:18). Kemudian dalam Pendidikan arsitek modern, para calon arsitek
dididik tentang perencanaan dan mekanika teknik, sehingga terjadi kesan bahwa kedua
bidang keahlian
tersebut tidak saling berhubungan. Hal ini mempersulit perkembangan pengetahuan intuitif
terhadap statika yang memungkinkan para perencana menyediakan konsep yang holistik.

Konsep mekanisme penyaluran beban pada bangunan


Pada bangunan minimal dinding pembatas struktur konsep mekanisme penyaluran beban
pada bangunan dari elemen-elemen banggunan baik structural maupun non-structural yang
mampu untuk menyalurkan setiap beban kedalam tanah. Elemen-elemen bangunan itu
dimulai dari bagian terkecil bangunan berupa lapisan finishing luar, atap, pelat lantai, balok,
kolom/dinding pemikul, dan fondasi. Tanah adalah media akhir dari penyaluran beban ini.
pada arsitektur nusantara penyaluran beban sebagian besar berada pada kolom/tiang.

Oleh karena itu Keseragaman ukuran kolom pada bangunan bertingkat juga diper- lukan
untuk menjaga kontinuitas reaksi bangunan terhadap gempa. Kolom yang mengecil pada
bagian atas dengan alasan efisiensi ba- han bangunan akan mengakibatkan "efek lecutan"
pada bangunan. Efek ini akan membuat kolom bangunan bagian atas cenderung mengalami
dislokasi yang tinggi karena lebih fleksibel. Dislokasi yang berlebih akan mengakibatkan
mudah rusaknya baik elemen struktural maupun non-struktural.

Keseragaman juga harus berlaku pada beban yang diletakkan pada bangunan. Beban yang
diletakkan lebih besar pada salah satu lantai atas dibanding dengan yang lain tidak
disarankan. Beban-beban tersebut dapat merupakan bagian atau elemen bangunan atau bagian
dari fungsi atau sistem lain, termasuk jaringan air bersih, pendingin ruangan, dan sebagainya.
Tangki air dan mesin-mesin yang berat sebaiknya tidak diletakkan di puncak bangunan, akan
tetapi pada lantai dasar dengan menggunakan distribusi pompa lebih disarankan

Menurut noor polis tertulis Elemen non-struktural atau elemen arsitektural dapat mengurangi
kinerja sistem struktur seperti bukaan lebar; tangki berat pada atap, dan lain-lain. Elemen
non-struktural seperti dinding berat (batu bata) dapat berkontribusi secara signifikan terhadap
kekakuan sistem struktur. Fondasi adalah elemen penting untuk menyangga bangunan dan
menyalurkan beban ke tanah

Pengaruh iklim terhadap struktur bangunan nusantara

Secara arsitektural, bangunan harus sesuai lingkungannya. Kata ,,sesuai,, dalam hal ini berarti
"benar" dibangun di lingkungunny.. Bangunan yang benar atau tepat untuk lingkungannya
selanjutnya disebut ,,kon- tekstual", yaitu bangunan yang dibangun bukan saja hanya dalam
justru berkaitan
hal langgam arsitektur dengan gaya tertentu bangunan sekitaa akan tetapi
dengan sifat fisik alam sekitar. Kontekstual dengan sifat fisik lingkungan meliputi banyak hal
yang terdiri dari kondisifisik tanah dan udara.

Langgam bangunan sekitar belum tentu mempunyai nilai kontekstuaritas yang baik terhadap
lingkungan. Mungkin saja langgam bangunan tidak sesuai lingkungannya karena pengaruh
aspek tertentu, seperti perubahan gaya bangunan akibat pengaruh luar; kondisi perekonomi-
an, dan sebagainya. Sebagai contoh, bangunan tradisional dirndonesia dulu selalu dibuat
dengan konstruksi kayu. selain kayu banyak dijumpai di lingkungan tropis Indonesia, bahan
bangunan ini bersifat ringan dan tidak menyimpan panas sehingga sesuai untuk wilayah
Indonesia yang sebagian besar berpotensi gempa tinggi serta iklim yang lembap. Tradisi ini
berubah semenjak mendapat pengaruh luari khususnya Belanda (Barat) yang
memperkenalkan bangunan dengan batu bata. Hingga sekarang, bangunan batu bata lebih
banyak digunakan. Bangunan batu bata ini tentu saja kurang sesuai untuk wilayah seismisitas
yang tinggi dan udara tropis lembap. Bangunan batu bata itu selanjutnya dapat dikatakan
kurang mempunyai kontekstualitas dengan lingkungan sekitar.

II. Penaung dan peneduh sebagai karakter iklim dua musim

Arsitektur pernauangan
Lingkungan masyarakat dua musim seperti Indonesia, bangunan diperlukan bukan untuk
melindungi diri dari ancaman iklim yang mematikan, melainkan sebagai penaung terhadap
iklim yang hanya menghadirkan kemarau yang terik dan penghujan yang lebat. Bagi sebuah
pernaungan, atap adalah penaung yang diperlukan, dan daerah bayangan yang terjadi oleh
adanya penaung tadi menjadi ruang-ruang dasar yang dimunculkan. menyatakan bahwa
Keberadaan bangunan sebagai penaung itu sekaligus juga merupakan pernyataan masyarakat
Nusantara mengenai hubungan dan sikap manusia Nusantara terhadap iklim dan ekologinya.
Hidup bukanlah penguasaan alam tetapi adalah bersama alam, (Prijotomo, 2004:209).

Pemikiran Prijotomo mengenai arsitektur pernaungan tak terlepas dari keadaan iklim
Nusantara itu sendiri yakni, iklim tropis dan lembab. Arsitektur pernaungan adalah arsitektur
yang bersama alam, bukan mengisolasi alam (arsitektur perlindungan). lingkungan
masyarakat dua musim seperti Indonesia, bangunan diperlukan bukan untuk melindungi diri
dari ancaman iklim yang mematikan, melainkan sebagai penaung. pemikiran Prijotomo ini,
memiliki kesamaan pendapat dengan Pangarsa (2008), Ruang-luar Arsitektur Nusantara
adalah ruang berkehidupan bersama. Itulah yang menunjukkan bahwa pernaungan adalah
arsitektur bagi fitrah manusia. Arsitektur pernaungan ada dalam kerangka-struktural dan
kaitan-sistemik dengan lingkungannya. Inilah universalitas yang sebenarnya dapat dipakai di
mana pun di muka bumi.

Perbincangan mengenai arsitektur Pernaungan, bukan dilihat dari fisik saja, tetapi lebih pada
pengetahuan dasar yang melatar belakangi sebuah fungsi, seperti misalnya bukan berbicara
dengan dasar sebuah kamar tidur atau bilik, melainkan berbicara tentang sebuah pernaungan
dengan nilai-nilai yang berada dibalik pernaungan itu, (Hidayatun,2003).

Menurut pemikiran Ch. Koesmartadi pernaungan Menyadari sifat alam di negara tropis maka
bagaimana kita menyiasatinya, sehingga istilah pernaungan, payung serta shelter menjadi
prasarat agar kita secara minimal terbebas dari segala unsur negarif dari sifat alam.
Logikanya sebuah bangunan sebuah struktur bertiang dan beratap tapi tidak berdinding. Serta
berselimut alam

Anda mungkin juga menyukai