BUKU SAKU
FISIOLOGI
RESPIRASI
Respiration
Circulation
Metabolism
Life support
BAMBANG
PURWANTO
1
TUJUAN
PEMBELAJARAN
Setelah
menyelesaikan
perkuliahan,
mahasiswa
mampu
memhami
dengan
benar
tentang
1. Fungsi
sistem
respirasi
terhadap
system
penyokong
hidup
2. Proses
respirasi:
ventilasi
3. Proses
respiration:
difusi
&
transpor
gas
4. Kendali
napas
dan
volume
paru
2
BAB
1
FUNGSI
SISTEM
RESPIRASI
Sistem
respirasi
merupakan
salah
satu
sistem
vital
yang
menyokong
kehidupan.
Manusia
membutuhkan
oksigen
untuk
membiayai
metabolisme
menghasilkan
satuan
energi,
ATP.
Sistem
respirasi
berperan
menyediakan
oksigen
yang
cukup
dalam
tubuh.
Kegagalan
fungsi
respirasi
mengakibatkan
metabolisme
energi
menghasilkan
ATP
mengalami
gangguan.
Fungsi
turunan
yang
membutuhkan
ATP
ikut
terganggu,
seperti
munculnya
keluhan
kelemahan
saat
bergerak,
respon
gerak
yang
menurun,
kehilangan
fokus
perhatian
hingga
kesulitan
mengingat.
Oksigen
yang
disediakan
oleh
sistem
respirasi
berasal
dari
atmosfer
(lingkungan
di
luar
tubuh)
dan
dibawa
masuk
ke
dalam
darah
melalui
organ
paru.
Selanjutnya,
oksigen
didistribusikan
melalui
aliran
darah
ke
seluruh
sel
pada
jaringan
tubuh
dengan
bantuan
sistem
sirkulasi.
Jantung
dan
pembuluh
darah
berperan
dalam
mendistribusikan
oksigen
melalui
sistem
sirkulasi.
Kegagalan
fungsi
sirkulasi
juga
memberikan
gambaran
klinis
serupa
dengan
gangguan
fungsi
respirasi,
seperti:
kelemahan
saat
bergerak,
respon
gerak
yang
menurun,
kehilangan
fokus
perhatian
hingga
kesulitan
mengingat.
Hal
inilah
yang
menyebabkan
beberapa
gangguan
sirkulasi
menjadi
diagnosis
banding
bagi
gangguan
respirasi.
Bagaimana
cara
membedakan
antara
gangguan
fungsi
sirkulasi
atau
respirasi?
Gangguan
fungsi
respirasi
ditandai
dengan
kegagalan
organ
paru
menyediakan
oksigen
yang
cukup
dalam
tubuh.
Ketersediaan
oksigen
di
dalam
tubuh
dapat
dinilai
dari
tekanan
parsial
gas
oksigen
(PO2)
dalam
darah
dan
saturasi
oksigen
jaringan
(SaO2).
Tekanan
parsial
gas
oksigen
(PO2)
dalam
darah
yang
rendah
menunjukkan
kegagalan
fungsi
paru
(respirasi).
Saturasi
oksigen
jaringan
(SaO2)
yang
rendah
dapat
disebabkan
oleh
1. kegagalan
fungsi
paru
(respirasi)
dalam
menyediakan
oksigen
di
dalam
darah,
ditandai
dengan
SaO2
yang
rendah
disertai
dengan
PO2
yang
rendah.
2. Kegagalan
fungsi
sirkulasi
(jantung
dan
pembuluh
darah)
dalam
mendistribusikan
oksigen
ke
seluruh
sel
jaringan
tubuh,
ditandai
dengan
SaO2
yang
rendah,
namun
tidak
disertai
dengan
PO2
yang
rendah.
Kecukupan
oksigen
dalam
tubuh
ditentukan
oleh
limit
terendah
PO2
dan
SaO2
yang
masih
dapat
ditoleransi
tubuh.
Limit
minimal
PO2
adalah
60
mmHg
dan
limit
minimal
SaO2
adalah
90%.
Jika
PO2
dan
SaO2
lebih
rendah,
maka
tanda
dan
gejala
gangguan
fungsi
respirasi
akan
muncul.
PO2
dan
SaO2
yang
lebih
rendah
dari
normal
disebut
dengan
kondisi
Hipoksia.
Pada
kondisi
hipoksia,
sel
jaringan
tubuh
tidak
memperoleh
oksigen
yang
cukup
untuk
menyelengarakan
metabolisme.
Sebagian
besar
sel
tubuh
mengoptimalkan
metabolisme
anaerobik
untuk
memperoleh
satuan
energi
ATP.
Metabolisme
anaerobik
berlangsung
singkat,
menghasilkan
sedikit
ATP
dengan
3
residu
sisa
berupa
asam
laktat.
Asam
laktat
sering
dikaitkan
dengan
kelelahan
yang
mucul
selama
aktivitas
fisik
berlangsung.
Dengan
demikian,
kondisi
hipoksia
ditandai
dengan
kelemahan
dan
kelelahan
fisik
saat
beraktivitas.
Kondisi
hipoksia
dapat
diketahui
dengan
mengukur
PO2
dan
SaO2,
baik
saat
istirahat
maupun
saat
beraktivitas.
PO2
dapat
diukur
menggunakan
metode
analisis
gas
darah
(Blood
Gas
Analysis,
BGA).
SaO2
dapat
diukur
menggunakan
metode
pulse
oxymetri.
Metode
analisis
gas
darah
membutuhkan
contoh
darah
yang
dikeluarkan
dari
arteri
menggunakan
spuit
dan
jarum.
Metode
pulse
oxymetry
menggunakan
sensor
yang
ditempatkan
pada
ujung
jari
tangan
atau
kaki.
Metode
analisis
gas
darah
bersifat
invasif,
menimbulkan
nyeri
dan
tak
dapat
dilakukan
berulang
kali
dalam
rentang
waktu
singkat.
Metode
pulse
oxymetry
tidak
invasive
dan
dapat
diukur
berulang
kali
per
satuan
waktu.
Nilai
PO2
dan
SaO2
yang
ditemukan
rendah
saat
istirahat
memiliki
nilai
prognostik
yang
rendah
untuk
seseorang
yang
akan
beraktivitas
fisik.
Jika
nilai
PO2
dan
SaO2
normal
saat
istirahat,
namun
ditemukan
rendah
saat
beraktivitas,
maka
aktivitas
fisik
yang
dilakukan
tidak
didukung
dengan
ketersediaan
oksigen
yang
cukup.
Aktivitas
fisik
yang
tidak
didukung
dengan
ketersediaan
oksigen
yang
cukup
(ditandai
dengan
PaO2
dan
SaO2
rendah)
disebut
dengan
aktivitas
anaerobik.
Pada
umunya
aktivitas
anaerobik
tak
dapat
dilakukan
dalam
waktu
yang
lama
karena
ATP
yang
tersedia
rendah
dan
terjadi
penumpukan
asam
laktat
yang
mempercepat
kelelahan.
4
BAB
2
VENTILASI
Dalam
rangka
menyediakan
oksigen
yang
cukup
di
dalam
tubuh,
sistem
respirasi
mengadakan
urutan
aktivitas
meliputi
ventilasi,
difusi
dan
transport
gas.
Ventilasi
merupakan
aktivitas
memindahkan
gas
dari
atmosfer
ke
dalam
paru
dan
sebaliknya.
Difusi
gas
adalah
pergerakan
gas
dari
paru
ke
aliran
darah
dan
sebaliknya.
Transport
gas
adalah
pergerakan
gas
melintasi
aliran
darah
menuju
sel
jaringa
tubuh
dan
kembali
ke
paru.
2.1 Konsep
Perbedaan
Tekanan
Gas
merupakan
zat
yang
mengalir
(fluida).
Aliran
gas
sangat
dipengaruhi
oleh
perbedaan
tekanan.
Gas
mengalir
dari
kompartemen
bertekanan
tinggi
menuju
ke
kompartemen
bertekanan
rendah.
Tekanan
gas
berbanding
terbalik
dengan
volume
kompartemen.
Semakin
kecil
volume
kompartemen,
semakin
tinggi
tekanan
gas
pada
kompartemen
tersebut.
Jika
terdapat
2
kompartemen
berisi
gas
yang
berbeda
volume
terhubung,
maka
gas
akan
mengalir
menuju
ke
kompartemen
yang
lebih
besar
volumenya.
Oksigen
terdapat
dalam
atmosfer
bersama
gas
lain
membentuk
compound.
Tekanan
gas
di
atmosfer
merupakan
gabungan
dari
tekanan
parsial
setiap
gas
penyusunya
(Hukum
Dalton).
Rasio
antara
tekanan
parsial
oksigen
dengan
tekanan
total
gas
di
atmosfer
adalah
konsentrasi
gas
oksigen
di
atmosfer,
sebesar
21%.
Dalam
rangka
memindahkan
oksigen
dari
atmosfer
ke
dalam
paru
membutuhkan
tekanan
gas
yang
lebih
rendah
di
dalam
paru.
Jika
tekanan
gas
atmosfer
adalah
nol
(0)
maka
tekanan
gas
dalam
paru
HARUS
NEGATIF.
Tekanan
gas
dalam
paru
dapat
berkurang
lebih
rendah
jika
volume
paru
mengembang
lebih
besar.
Hal
ini
membatalkan
anggapan
yang
SALAH
bahwa
paru
mengembang
karena
terisi
gas,
yang
BENAR
paru
mengembang
supaya
bisa
terisi
gas.
Bagaimana
membuat
paru
mengembang
tanpa
diisi
gas?
Paru
terdiri
dari
jaringan
ikat
yang
selalu
memiliki
kecenderungan
untuk
selalu
KEMPES.
Seperti
balon
yang
terisi
gas,
setiap
kali
dibuka
cenderung
kempes.
Hal
ini
disebabkan
karena
jaringan
ikat
paru
memiliki
protein
kontraktil
yang
memiliki
gaya
recoil.
Gaya
recoil
dapat
dipelajari
dari
pegas
yang
diregang
akan
cenderung
memampat
kembali.
Paru
dengan
gaya
recoil
nya
akan
selalu
memampat,
kempes
dan
berukuran
volume
lebih
kecil.
Dengan
demikian,
upaya
membuat
paru
mengembang
tanpa
diisi
gas
adalah
hal
yang
sulit..!
Tuhan
menciptakan
paru
menempati
sebagian
besar
rongga
dada
dengan
pembungkus
2
lapis.
Satu
lapis
melekat
dengan
paru,
disebut
dengan
pleura
visceralis
dan
satu
lapis
melekat
dengan
bagian
dalam
dinding
dada
disebut
5
pleura
parietalis.
Antara
kedua
lapisan
pleura
dipisahkan
oleh
ruang
hampa
dengan
sedikit
cairan
mucus.
Struktur
seperti
tersebut
menyebabkan
setiap
gerakan
dinding
dada
akan
menyebabkan
perubahan
pada
volume
paru.
Saat
inspirasi,
memasukkan
udara
ke
dalam
paru,
dinding
dada
terangkat
menyebabkan
volume
rongga
dada
bertambah.
Saat
dinding
dada
terangkat
diikuti
pergerakan
pleura
parietalis,
peluar
visceralis
dan
paru.
Penambahan
volume
rongga
dada
secara
tidak
langsung
menyebabkan
penambahan
volume
rongga
paru
menjadi
lebih
besar.
Akibat
terangkatnya
dinding
dada
saat
inspirasi
menyebabkan
volume
paru
bertambah
sehingga
tekanan
dalam
paru
mengalami
penurunan.
Jika
tekanan
dalam
paru
mencapai
nilai
yang
lebih
rendah
dari
tekanan
atmosfer,
aliran
gas
masuk
ke
dalam
paru
terjadi.
Gas
dari
atmosfer
mengalir
masuk
ke
dalam
paru
melalui
saluran
napas.
Dalam
rangka
menjamin
aliran
gas
masuk
ke
dalam
paru,
maka
desain
saluran
napas
juga
harus
disesuaikan.
Saluran
napas
dibuat
semakin
ke
ujung
semakin
kecil
volumenya,
berarti
semakin
besar
tekanan
nya.
Padahal
aliran
gas
masuk
ke
dalam
paru
membutuhkan
volume
saluran
napas
yang
makin
ke
ujung
semakin
besar
agar
tekananya
semakin
kecil.
TUHAN
menghadirkan
solusi
dengan
menciptakan
saluran
napas
yang
bercabang
sampai
ke
ujung.
Semakin
ke
ujung,
cabang
tersebut
semakin
banyak.
Jika
seluruh
penampang
melintang
dari
cabang
diujung
dijumlahkan
maka
volumenya
menjadi
lebih
besar
dari
pangkal
salura
napas.
SUBHANALLAH….TUHANKU
MAHA
PENCIPTA.
Gas
dapat
mengalir
masuk
ke
dalam
paru
disebabkan
oleh
karena
2
hal,
yaitu:
gerakan
dinding
dada
yang
terangkat
saat
bernapas
dan
saluran
napas
yang
dibuat
bercabang
ke
ujung
semakin
banyak.
Gerakan
dinding
dada
yang
terangkat
saat
bernapas
dan
saluran
napas
yang
dibuat
bercabang
ke
ujung
semakin
banyak
menciptakan
volume
dalam
paru
bertambah
dan
tekanan
dalam
paru
menjadi
lebih
rendah.
Saat
ekspirasi
semua
menjadi
lebih
mudah,
seperti
balon
yang
kempes
saat
dilepaskan
atau
pegas
yang
kembali
setelah
diregang.
Ekspirasi
membutuhkan
tekanan
gas
yang
lebih
tinggi
di
dalam
paru
dari
pada
tekanan
gas
atmosfer.
Keluarnya
gas
dari
paru
menuju
atmosfer
sebagian
besar
ditunjang
oleh
fungsi
recoil
paru
yang
diciptakan
oleh
jaringan
ikat
paru.
Selama
inspirasi,
jaringan
ikat
paru
teregang
(seperti
pegas
yang
teregang),
Saat
ekspirasi,
jaringan
ikat
kembali
ke
ukuran
semula,
memendek,
menciptakan
volume
rongga
paru
yang
lebih
kecil
dan
tekanan
yang
lebih
besar.
Tekanan
intra
paru
yang
lebih
besar
mendorong
gas
keluar
menuju
atmosfer.
Ekspirasi
biasa
(hanya
mengandalkan
recoil
paru)
tidak
dapat
membuang
seluruh
gas
ke
atmosfer,
selalu
menyisakan
gas
di
dalam
paru.
Volume
gas
yang
tersisa
dalam
paru
di
akhir
ekspirasi
disebut
dengan
volume
residu.
Volume
residu
mencegah
paru
kempes
dan
mempertahankan
volume
minimal
dari
paru.
Pada
kondisi
tertentu,
ekspirasi
dapat
dilakukan
melebihi
biasanya
(dengan
dipaksa
didorong
keluar)
dibantu
tekanan
dari
kontraksi
otot
dinding
perut,
m.
6
rectus
abdominis.
Kondisi
tertentu
itu
antara
lain
saat
bernyanyi,
berbicara,
berteriak,
tertawa,
bersiul
dan
meniup.
2.2 Inspirasi
vs
Ekspirasi
Inspirasi
Ventilasi
merupakan
rangkaian
kegiatan
inspirasi
dan
ekspirasi.
Inspirasi
adalah
memindahkan
gas
dari
atmosfer
masuk
ke
dalam
paru.
Ekspirasi
adalah
memindahkan
gas
dari
paru
keluar
menuju
atmosfer.
Rangkaian
kegiatan
inspirasi
dan
ekspirasi
membentuk
sebuah
siklus.
Manakah
diantara
keduanya
yang
terlebih
dahulu
terjadi
?
Inspirasi
atau
ekspirasi?.
Coba
ingatlah
ungkapan
orang
awam
saat
memaknai
kematian.
Banyak
orang
yang
mengistilahkan
kematian
sebagai
“menghembuskan
napas
terakhir”.
Aliran
gas
masuk
ke
dalam
paru
saat
inspirasi
terjadi
akibat
penurunan
tekanan
intra
paru
yang
lebih
rendah
dari
tekanan
atmosfer.
Penurunan
tekanan
intra
paru
terjadi
akibat
penambahan
volume
paru
yang
mengembang.
Gerakan
dinding
dada
yang
terangkat
menarik
pleura
parietalis
ikut
serta,
menciptakan
tekanan
negativ
dalam
rongga
intra
pleura.
Tekanan
negativ
inilah
yang
menyebabkan
paru
dan
pleura
viscera
ikut
terangkat
keluar,
menyebabkan
pengembangan
paru.
Tekanan
negativ
di
dalam
rongga
pleura
hanya
akan
terjadi
jika
rongga
pleura
relatif
hampa
(dengan
sedikit
mucus).
Bila
rongga
pleura
mengalami
penambahan
volume
(terisi
darah
pada
hematothoraks,
terisi
gas
pada
pneumothoraks
atau
terisi
cairan
pada
efusi
pleura),
akan
menghalangi
pengembangan
paru
mengikuti
gerakan
dinding
dada.
Penderita
akan
mengalami
kesulitan
inspirasi
pada
kelainan
hematothoraks,
penumothoraks
dan
efusi
pleura.
Peran
kunci
dari
peristiwa
inspirasi
ada
pada
terangkatnya
dinding
dada.
Dinding
dada
terbuat
dari
12
pasang
tulang
rusuk
(os
costae)
yang
melingkar
dari
depan
ke
belakang.
Pada
setiap
segemen
tulang
rusuk,
terdapat
otot
diantaranya
yang
menutup
bagian
luar
(m.
inter
costalis
eksterna)
dan
bagian
dalam
(m
inter
costalis
interna).
Setiap
otot
inter
costalis
eksterna
berinsersi
pada
segmen
tulang
rusuk
yang
lebih
inferior.
Saat
otot
inter
costalis
eksterna
berkontraksi,
serentak
segmen
tulang
rusuk
semua
terangkat
simultan,
sehingga
tampak
sebagai
gerakan
terangkatnya
dinding
dada
secara
keseluruhan.
Jika
terdapat
satu
segmen
saja
dari
otot
inter
costalis
eksterna
yang
tertinggal,
akan
menyebabkan
regangan
pada
otot
inter
costalis
eksterna
tersebut.
Regangan
otot
inter
costalis
eksterna
menyebabkan
nyeri
pada
dada.
Hal
ini
sering
didiagnosis
salah
sebagai
nyeri
akibat
serangan
jantung
(angina
pectoris).
Peristiwa
terangkatnya
dinding
dada
akibat
kontraksi
simultan
dari
semua
segmen
otot
inter
costalis
eksterna
terkoordinasi
baik
oleh
dorsal
respiratory
group
(DRG)
medulla
oblongata
melalui
syaraf
kranial
no
X
(n.
vagus).
Jika
terdapat
gangguan
pada
DRG
medulla
oblongata
(missal
karena
perdarahan),
7
atau
regangan
pada
n.
vagus
(missal
karena
terjerat
tali),
atau
kelumpuhan
pada
otot
inter
costalis
eksterna
akan
menyebabkan
kegagalan
dari
inspirasi.
Patah
tulang
(fracture)
costae
menyebakan
nyeri
saat
inspirasi.
Satu
cabang
dari
syaraf
kranial
no
X
(n.
vagus)
melayani
otot
diafragma.
Otot
diafragma
menyekat
rongga
dada
dan
rongga
abdomen.
Stimulasi
syaraf
kranial
no
X
(n.
vagus)
terhadap
otot
inter
costalis
eksterna,
juga
menyebabkan
stimulasi
terhadap
otot
diafragma
untuk
berkontraksi.
Kontraksi
otot
diafragma
menyebabkan
diafragma
turun
ke
abdomen,
menciptakan
volume
rongga
dada
yang
lebih
besar.
Di
sisi
lain,
kontraksi
otot
diafragma
juga
menyebabkan
rongga
abdomen
mengecil
dan
tekanan
intra
abdomen
meningkat.
Hal
ini
dimanfaatkan
tubuh
untuk
membantu
evakuasi
eksretori
melalui
aktivitas
buang
air
besar,
buang
air
kecil
dan
buang
angin.
Inspirasi
yang
melibatkan
kontraksi
sejumlah
otot,
membutuhkan
dukungan
energi
ATP
yang
besar.
Kesulitan
saat
inspirasi
akan
menyebabkan
kebutuhan
energi
menjadi
semakin
besar.
Hal
inilah
yang
menyebabkan
penderita
gangguan
inspirasi
sering
terlihat
kelelahan
dan
lemah
saat
bernapas.
Inspirasi
merupakan
aktivitas
bernapas
yang
aktif,
melawan
gradien
tekanan
untuk
mengalirkan
gas
masuk
ke
dalam
paru
dengan
mengangkat
dinding
dada
dan
menurunkan
diafragma.
Ekspirasi
Ekspirasi
merupakan
recoil
dari
inspirasi.
Paru
yang
semula
teregang
mengembang
saat
inspirasi,
kembali
ke
ukuran
volume
semula.
Otot
intrecostalis
eksterna
dan
diafragma
yang
semula
kontraksi,
kembali
relaksasi.
Penurunan
volume
paru
menyebabkan
tekanan
intra
paru
meningkat.
Peningkatan
tekanan
intra
paru
lebih
tinggi
dari
atmosfer
menyebabkan
evakuasi
gas
dari
dalam
paru.
Evakuasi
gas
dari
dalam
paru
melewati
saluran
napas
yang
terisi
gas
selama
inspirasi
berlangsung.
Saluran
napas
diciptakan
tidak
dapat
lebih
besar
volumenya
dari
semula.
Pada
sisi
luar
saluran
napas
terdapat
cincin
tulang
rawan
yang
menahan
dinding
saluran
napas
dilatasi.
Hanya
alveolus
dan
bronchiolus
respiratori
yang
tidak
memiliki
cincin
tulang
rawan.
Artinya,
alveolus
dan
bronchiolus
respiratori
saja
yang
dapat
mengembang
volumenya
lebih
besar.
Sebagian
besar
saluran
napas
tak
dapat
mengalami
dilatasi,
maka
saat
ekspirasi
terjadi
tekanan
di
dalam
saluran
napas
menjadi
semakin
besar
(memperoleh
tambahan
gas
di
tempat
yang
volume
ruang
nya
tetap).
Peningkatan
tekanan
di
dalam
saluran
napas
membantu
mendorong
gas
keluar,
dimulai
dari
bagian
pangkal
berurutan
sampai
ke
bronchiole
terminalis.
Gas
yang
terdapat
di
dalam
bronchiole
respiratori
dan
alveolus
sering
kali
tertinggal
setelah
ekspirasi.
Volume
gas
yang
tertinggal
disebut
volume
residu,
memberikan
volume
minimal
bagi
alveolus,
agar
tidak
kempes.
Aliran
gas
keluar
dapat
ditingkatkan
dengan
mengaktifkan
otot
bantu
ekspirasi.
Otot
bantu
ekspirasi
membantu
mengurangi
volume
rongga
dada
8
dengan
mendorong
diafragma
ke
atas
dan
menurunkan
dinding
dada
(yang
terangkat
saat
inspirasi).
Otot
bantu
ekspirasi
antara
lain
m.
rectus
abdominis
dan
m.
intercostalis
interna.
Ekspirasi
yang
melibatkan
otot
bantu
ekspirasi
disebut
ekspirasi
paksa
(force
expiration).
Aktivitas
ekspirasi
paksa
secara
normal
diperoleh
saat
manusia
berbicara,
berteriak,
bernyanyi,
bersiul
dan
meniup.
Pada
kondisi
patologis,
ekspirasi
paksa
terjadi
saat
ada
obstruksi
(halangaan
yang
menutup)
saluran
napas.
Aliran
gas
keluar
paling
banyak
terjadi
setelah
satu
detik
ekspirasi.
Manusia
normal
dapat
mengevakuasi
gas
keluar
80%
dari
total
kapasitas
paru
hanya
dalam
waktu
1
detik.
Volume
gas
ekspirasi
pada
satu
detik
pertama
disebut
dengan
Force
expiratory
at
one
second
(FEV-‐1).
Jika
FEV-‐1
kurang
dari
80%,
mengindikasikan
terdapat
obstruksi
pada
saluran
napas.
Obstruksi
dapat
berupa
benda
asing
atau
sekresi
berlebihan
dari
mucus
pada
pasien
alergi.
2.3 Peran
Otot
Bantu
Pernapasan
Otot
bantu
napas
adalah
otot
yang
berkontraksi
membantu
proses
bernapas,
terbagi
menjadi
otot
bantu
inspirasi
dan
otot
bantu
ekspirasi.
Otot
bantu
inspirasi
meliputi
otot
bantu
inspirasi
ritmis
dan
otot
bantu
inspirasi
paksa
(force
inspiration).
Otot
bantu
ekspirasi
hakikatnya
hanya
berkontraksi
jika
dibutuhkan
saat
ekspirasi
paksa
saja
(force
expiration).
Otot
bantu
inspirasi
ritmis
telah
dibahas
pada
bagian
sebelum
ini
(baca
inspirasi
vs
ekspirasi).
Otot
bantu
inspirasi
paksa
berkontraksi
atas
stimulasi
ventral
respiratory
group
(VRG)
medulla
oblongata.
Stimulasi
terjadi
sebagai
bentuk
respon
terhadap
2
kondisi
patologis
utama,
yaitu:
hipercapnea
dan
hipoksia.
Hipercapnea
adalah
kondisi
yang
ditandai
dengan
peningkatan
PCO2
darah
(PCO2
darah
normal
:
35-‐45
mmHg).
Hipoksia
adalah
kondisi
yang
ditandai
dengan
penurunan
PO2
darah
atau
SaO2
jaringan
(hipoksia
bila
PO2
<
60
mmHg
dan
SaO2
<
90%).
Respon
terhadap
hipercapnea
lebih
cepat
dibandingkan
respon
terhadap
hipoksia.
Otot
bantu
inspirasi
paksa
adalah
m.
sternocleido
mastoideus.
Otot
sternocleido
mastoideus
berinseri
pada
tulang
dada
(sternum)
dan
tulang
clavicula.
Kedua
tulang
tersebut
merupakan
atap
dari
rongga
dada.
Saat
inspirasi
terganggu,
otot
sternocleido
mastoideus
berkontraksi
mengangkat
sternum
dan
clavicula
ke
atas
untuk
membantu
dinding
dada
terangkat.
Kontraksi
otot
sternocleido
mastoideus
membantu
menciptakan
tekanan
negativ
yang
lebih
besar
di
dalam
paru
dan
memudahkan
aliran
gas
masuk.
Kontraksi
otot
sternocleido
mastoideus
di
kedua
sisi
(kanan
dan
kiri)
meninggalkan
cekungan
yang
dalam
pada
area
di
antara
dua
calvicula
selama
inspirasi
berlangsung.
Cekungan
tersebut
merupakan
satu
tanda
retraksi
napas
(retraction
mark).
Otot
bantu
ekspirasi
hakikatnya
hanya
berkontraksi
membantu
ekspirasi
paksa
saja,
karena
selama
ekspirasi
ritmis
aliran
gas
keluar
merupakan
recoil
9
dari
peristiwa
inspirasi.
Otot
bantu
ekspirasi
berkontraksi
merespon
stimulasi
dari
ventral
respiratory
group
(VRG)
medulla
oblongata.
Kondisi
hipercapnea
merupakan
stimulator
yang
kuat
terhadap
stimulasi
otot
bantu
ekspirasi.
Obstruksi
saluran
napas
(terutama
bagian
bawah)
menyebabkan
tertahanya
gas
keluar
dari
paru.
Gas
yang
tertahan
mengandung
banyak
CO2
sehingga
PCO2
darah
meningkat
pada
saat
terjadi
obstruksi.
Salah
satu
contoh
obstruksi
saluran
napas
yang
menyebabkan
hipercapnea
adalah
asthma
bronchiale.
Otot
bantu
ekspirasi
antara
lain
:
m.
intercostalis
interna
dan
m
rectus
abdominis.
Otot
intercostalis
interna
berinsersi
pada
segmen
costa
yang
lebih
superior
(kebalikan
otot
intercostalis
eksterna).
Saat
berkontraksi,
otot
intercostalis
interna
menarik
segemen
costa
yang
lebih
superior,
menurunkan
dinding
dada
(yang
semula
terangkat
saat
inspirasi)
dan
menciptakan
rongga
dada
yang
lebih
sempit.
Otot
rectus
abdominis
saat
berkontraksi
mendorong
diafragma
naik
ke
superior,
menciptakan
rongga
dada
yang
lebih
sempit
dan
tekanan
yang
lebih
besar.
Otot
rectus
abdminis
yang
terlatih
sangat
membantu
aktivitas
menyanyi,
bersiul
dan
meniup.
Kelumpuhan
pada
otot
bantu
napas
(baik
inspirasi
maupun
ekspirasi)
berpotensi
menyebabkan
kegagalan
fungsi
respirasi.
Penyakit
yang
menyerang
syaraf,
seperti
Guilane
Barre
Syndrome
(GBS)
merupakan
contoh
penyakit
infeksi
virus
yang
menyebabkan
kelumpuhan
pada
otot
bantu
napas.
Kerusakan
pada
medulla
oblongata
(terutama
bagian
DRG)
menyebabkan
kelumpuhan
total
dari
otot
bantu
napas
sehingga
berpotensi
menyebabkan
kematian.
Penekanan
akibat
massa
(perdarahan
atau
tumor)
pada
area
medulla
oblongata
(terutama
DRG)
menyebabkan
kegagalan
fungsi
regulasi
napas.
Fungsi
respirasi
sangat
ditunjang
oleh
fungsi
ventilasi
yang
baik.
Ventilasi
yang
baik
dapat
tercipta
berkat
regulasi
yang
baik
dari
kontraksi
otot
bantu
napas,
dinding
dada,
diafragma
dan
paru.
Paru
sebagai
organ
respirasi
utama
hanya
terdampak
oleh
kerja
kontraksi
otot
bantu
napas,
baik
inspirasi
maupun
ekspirasi.
2.4 Elastance
vs
Compliance
Elastance
Paru
adalah
organ
respirasi
yang
berfungsi
sebagai
ventilasi
bagi
aliran
gas
masuk
dan
keluar
tubuh.
Jaringan
paru
disebut
parenkim
paru,
merupakan
jaringan
ikat
yang
mengikat
saluran
napas.
Bila
paru
dipotong
melintang
maka
saluran
napas
akan
terlihat
seperti
lubang-‐lubang
diantara
jaringan
padat.
Jaringan
ikat
memiliki
protein
kontraktil
(seperti
otot),
yaitu
actin
dan
myosin.
Karakteristik
jaringan
ikat
pada
parenkim
paru
mirip
dengan
jaringan
ikat
pada
organ
lain
dan
otot,
yaitu
elastis.
Elastis,
adalah
sifat
yang
mewakili
kemampuan
kembali
pada
bentuk
semula
setelah
diregang.
Sifat
elastis
dimiliki
oleh
benda
yang
mampu
10
berkontraksi,
memendek
dari
ukuran
semula.
Ukuran
benda
yang
bersifat
elastis
disebut
dengan
istilah
elastance.
Semakin
elastis
jaringan
parenkim
paru,
maka
semakin
mudah
paru
tersebut
untuk
memendek
mengecil,
atau
kempes.
Dengan
kata
lain,
jaringan
parenkim
paru
yang
elastis
memiliki
karakter
sulit
untuk
mengembang.
Jaringan
parenkim
paru
yang
elastis
memiliki
gaya
recoil
(seperti
pegas
yang
diregang
mampu
kembali
ke
ukuran
semula).
Besarnya
gaya
recoil
(pada
pegas)
ditentukan
dari
jumlah
kumparan
yang
melilit
pegas.
Besarnya
gaya
recoil
pada
parenkim
paru
ditentukan
dari
jumlah
protein
kontraktil
(actin
dan
myosin).
Semakin
banyak
kandungan
protein
kontraktil
dalam
jaringan
parenkim
paru,
maka
potensi
gaya
recoil
yang
dihasilkan
semakin
besar.
Jaringan
parenkim
paru
menghalangi
dilatasi
saluran
napas,
meningkatkan
tegangan
permukaan
dan
menyebabkan
tekanan
positif
di
dalam
saluran
napas.
Karakter
alami
inilah
yang
menyebabkan
paru
sulit
untuk
mengembang,
menciptakan
tekanan
negative
supaya
gas
bisa
masuk
ke
dalam
saluran
napas.
Apakah
keberadaan
jaringan
parenkim
paru
menyebabkan
saluran
napas
menjadi
kempes?
Jawabnya
TIDAK,
mengapa?
Tuhan
menciptakan
mekanisme
anti
recoil
bahkan
sejak
manusia
belum
dilahirkan.
Paru
manusia
TIDAK
kempes
saat
dilahirkan
dan
saluran
napas
memiliki
volume
minimal
untuk
mengembang.
Pada
bagian
permukaan
dalam
dari
saluran
napas
(terutama
alveolus)
dilapisi
oleh
surfactant.
Surfaktan
menahan
dari
dalam
gaya
recoil
yang
diciptakan
oleh
jaringan
parenkim
paru.
Semakin
kecil
ukuran
saluran
napas
(alveolus),
semakin
tinggi
tekanan
intra
alveolus,
semakin
tinggi
surfakan
diproduksi.
Surfaktan
diproduksi
oleh
sel
alveolus
pada
awal
kehidupan
manusia
dan
bertahan
sampai
dengan
1
tahun.
Produksi
surfaktan
berangsur
menurun
seiring
dengan
bertambahnya
usia.
Kegagalan
produksi
surfaktan
menyebabkan
bayi
yang
baru
lahir
gagal
merespon
stimulasi
awal
untuk
bernapas
pertama
kali.
Saat
tali
pusat
dipotong,
refleks
nyeri
dikirim
ke
otak
dan
direspon
oleh
pusat
respirasi
di
medulla
oblongata
dengan
mengirimkan
perintah
bagi
otot
bantu
napas
berkontraksi.
Tangisan
bayi
pertama
merupakan
tanda
awal
yang
menunjukkan
paru
mampu
mengembang.
Jika
tangisan
pertama
bayi
tidak
diikuti
tangisan
kedua,
maka
refleks
somatik
yang
mengendalikan
ventilasi
paru
gagal.
Kelainan
ini
disebut
dengan
neonatal
respiratory
distress
syndrome
(NRDS).
Bidan
dan
dokter
menilai
fungsi
ventilasi
paru
pada
bayi
baru
lahir
dengan
skor
APGAR.
Paru
yang
mengalami
pemulihan
paska
kerusakan
berpotensi
mengalami
fibrosis.
Fibrosis
adalah
pembentukan
jaringan
fibrous
(parut
pada
luka)
yang
memiliki
gaya
recoil
sampai
10
kali
lebih
besar
dari
gaya
recoil
jaringan
parenkim
paru
normal.
Fibrosis
paru
menyebabkan
tarikan
dan
tekanan
terhadap
saluran
napas
sehingga
semakin
sulit
dilatasi
(mengembang).
Fibrosis
paru
menyebabkan
penderita
kesulitan
inspirasi.
11
Compliance
Compliance
menggambarkan
kemampuan
yang
bertolak
belakang
dengan
elastance.
Paru
yang
memiliki
compliance
baik,
mudah
mengembang,
memiliki
volume
dan
kapasitas
yang
cukup
besar.
Compliance
paru
berkaitan
dengan
kualitas
jaringan
parenkim
paru
dan
jaringan
di
luar
paru.
Faktor
kualitas
jaringan
parenkim
paru
terkait
dengan
degenerasi
protein
kontraktil
yang
terjadi
di
usia
lanjut
(baca
paru
anak
vs
lansia).
Faktor
eksternal
yang
mempengaruhi
compliance
paru
berasal
dari
recoil
otot
bantu
napas.
Recoil
otot
bantu
inspirasi
(intercostalis
eksterna,
diafragma
dan
sterno
cleido
mastoideus)
menciptakan
volume
yang
lebih
besar
pada
rongga
dada.
Pleura
parietalis
ikut
tertarik
keluar
mengikuti
gerakan
dinding
dada
dan
diafragma,
menciptakan
tekanan
negativ
di
dalam
rongga
pleura.
Tekanan
negativ
rongga
pleura
menyebabkan
tarikan
keluar
pleura
viscera
dan
parenkim
paru.
Kerjasama
antara
recoil
otot
bantu
inspirasi
dan
tekanan
negative
rongga
pleura
menyebakan
parenkim
paru
teregang
dan
tekanan
dalam
saluran
napas
(alveolus)
turun.
Tekanan
positiv
dalam
rongga
pleura
karena
terisi
oleh
gas,
darah
dan
cairan
menyebabkan
tahanan
(resistensi)
yang
menurunkan
compliance
paru.
Selain
itu,
kelemahan
otot
bantu
inspirasi
karena
infeksi
GBS,
polio
atau
perdarahan
pada
medulla
oblongata
juga
dapat
menurunkan
compliance
paru.
Keberadaan
benda
asing,
massa
di
dalam
rongga
thoraks
mengahalangi
pengembangan
paru
dan
menurunkan
compliance
paru.
Compliance
paru
dapat
ditentukan
melalui
pengukuran
kapasitas
vital
paru
(vital
capacity).
Kapasitas
vital
paru
diukur
mulai
dari
saat
inspirasi
maksimal
sampai
dengan
ekspirasi
maksimal
(atau
sebaliknya).
Kapasitas
vital
paru
normal
minimal
80%
dari
kapasitas
vital
standar
di
populasi
tertentu.
Standar
kapasitas
vital
paru
orang
Indonesia
jelas
berbeda
dengan
populasi
orang
Eropa
atau
Afrika.
Kapasitas
vital
paru
dipengaruhi
ukuran
antropometri
tubuh,
seperti
tinggi
badan
dan
lingkar
dada.
Kapasitas
vital
paru
yang
rendah
merupakan
tanda
kelainan
restriksi
(gangguan
yang
disebabkan
oleh
paru
yang
sulit
mengembang).
2.5 Paru
Anak
vs
Lansia
Paru
Anak
Jaringan
parenkim
paru
merupakan
jaringan
ikat
yang
mengandung
protein
collagen.
Collagen
pada
parenkim
paru
ditemukan
dalam
2
tipe,
yaitu
collagen
tipe
1
dan
tipe
2.
Kedua
tipe
memiliki
karakteristik
elastisitas
yang
berbeda.
Collagen
tipe
1
memiliki
elastisitas
lebih
tinggi
dibandingkan
tipe
2.
Collagen
tipe
1
tersebar
pada
ligament
sendi,
menyokong
koneksi
antar
tulang
(seperti
pada
intersegment
vertebra).
Defek
pada
collagen
tipe
1
menyebabkan
12
struktur
vertebra
terganggu
dan
sering
dikaitkan
dengan
penyakit
hernia
nucleus
pulposus
(HNP).
Jaringan
parenkim
paru
sebenarnya
memiliki
gen
yang
terekspresi
sebagai
collagen
tipe
2.
Collagen
tipe
2
ditemukan
pada
jaringan
parenkim
paru
dewasa
yang
telah
matur.
Hal
yang
berbeda
ditemukan
pada
bayi
yang
memiliki
collagen
tipe
1
pada
jaringan
parenkim
paru.
Mengapa
jaringan
parenkim
paru
bayi
mengekspresikan
tipe
kolagen
yang
berbeda
dengan
dewasa?
Apakah
gen
penyandinya
berbeda?
Gen
penyandi
tipe
collagen
pada
dewasa
dan
bayi
sama,
terbukti
dari
urutan
mRNA
dan
asam
amino
yang
dihasilkan
pun
sama.
Poses
post
translasi
yang
menyebabkan
perbedaan
tipe
collagen
tersebut.
Collagen
tipe
2
dapat
berubah
menjadi
tipe
1
karena
proses
post
translasi.
Perubahan
menyesuaikan
dengan
suasana
hipoksia
relative
yang
diperoleh
parenkim
paru
bayi.
Respon
terhadap
kondisi
hipoksia,
sel
makrofag
melepaskan
sitokin
pro
inflamasi
tumor
necrotic
factor
alpha
(TNF
alpha),
memodifikasi
lipatan
(folding)
collagen
tipe
2
hasil
translasi
berubah
menjadi
collagen
tipe
1.
Karakteristik
yang
ditampilkan
oleh
paru
bayi
secara
umum
memiliki
recoil
parenkim
paru
yang
tinggi
dan
volume
paru
yang
rendah.
Ambilan
oksigen
paru
tidak
terlalu
besar,
sehingga
PaO2
dan
SaO2
lebih
rendah
dari
normal.
Fungsi
inspirasi
bayi
sangat
bergantung
kepada
sekresi
surfactant
yang
melapisi
dinding
alveolus
dan
menurunkan
tegangan
permukaan.
Fungsi
otot
bantu
inspirasi
belum
optimal,
karena
koordinasi
somatik
medulla
oblongata
membutuhkan
waktu
belajar.
Otot
bantu
inspirasi
berkonraksi
mengikuti
refleks
somatik
yang
tidak
secara
otomatis
terbentuk
dan
perlu
waktu
adaptasi,
habituasi
dan
belajar.
Kondisi
hipoksia
menyebabkan
bayi
bernapas
lebih
cepat
dari
manusia
dewasa
normal.
Frekuensi
bernapas
bayi
baru
lahir
masih
dalam
kategori
wajar
hingga
50
kali
per
menit
dan
semakin
berkurang
dengan
bertambahnya
usia
sampai
mendekati
rentang
normal
18-‐24
kali
per
menit
pada
dewasa.
Dengan
frekuensi
bernapas
yang
cepat
menyebabkan
banyak
energi
terpakai
saat
bayi
terjaga,
sehingga
bayi
mudah
lelah
dan
membutuhkan
waktu
yang
lebih
panjang
untuk
istirahat
memulihkan
energi.
Jika
bayi
dalam
proses
pemulihan
terganggu
(misal
dibangunkan),
maka
bayi
cenderung
rewel
dan
menangis.
Keradangan
menyebabkan
edema
pada
jaringan
parenkim
paru,
meningkatkan
tegangan
permukaan
dan
resistensi
terhadap
pengembangan
paru.
Keradangan
paru
pada
bayi
berpotensi
meningkatkan
angka
kesakitan
dan
kematian
dibandingkan
jika
diderita
dewasa.
Bayi
lebih
membutuhkan
bantuan
terapi
oksigen
jika
terjadi
keradangan
dibandingkan
pasien
dewasa.
Keradangan
paru
bayi
merupakan
kasus
medis
serius
dan
termasuk
kedaruratan.
Kondisi
hipokisa
relative
pada
bayi
JANGAN
dibayangkan
merugikan
atau
bahkan
mengerikan.
Kondisi
hipokisa
relative
pada
bayi
memberikan
keuntungan
tersendiri
bagi
proses
pertumbuhan
cepat
dan
regenerasi
jaringan
paska
kerusakan.
Populasi
sel
punca
(stem
cells)
bayi
membutuhkan
kondisi
13
hipoksia
untuk
tetap
awet
(Quiescent).
Tuhan
telah
menciptakan
mileu
yang
sesuai
bagi
perkembangan
sel
punca
bayi.
Dengan
demikian,
manusia
dapat
hidup
bertahun-‐tahun
meskipun
mengalami
cidera
dan
kerusakan
organ.
Seiring
bertambahnya
usia,
koordinasi
otot
bantu
inspirasi
semakin
membaik,
terjadi
pertumbuhan
tinggi
badan
serta
lingkar
dada
menyebabkan
volume
rongga
dada
meningkat.
Selain
itu,
penambahan
cabang
saluran
napas
baru
yang
semakin
banyak
menuju
ke
ujung
memudahkan
paru
untuk
mengembang.
Hal
inilah
yang
menjelaskan
penurunan
frekuensi
napas
dan
sekresi
surfactant
pada
paru
yang
beranjak
dewasa.
Paru
lansia
Pada
lanjut
usia
terjadi
degenerasi
dari
protein
kontraktil
penyusun
jaringan
ikat
parenkim
paru.
Parenkim
paru
usia
lanjut
menjadi
lebih
longgar
dan
kehilangan
gaya
recoil
nya.
Tegangan
permukaan
saluran
napas
mengendor
dan
tekanan
intra
alveolus
menurun.
Aliran
gas
masuk
selama
inspirasi
terjadi
lebih
mudah,
paru
juga
lebih
mudah
mengembang
dan
kapasitas
vital
paru
mengalami
peningkatan.
Degenrasi
juga
dijumpai
pada
emfisema
paru
akibat
penyakit
paru
obstruksi
kronis.
Emfisema
menyebabkan
paru
kehilangan
elastisitas,
sehingga
mudah
sekali
mengembang
dengan
volume
yang
lebih
besar
dari
normal.
Kesulitan
penderita
emfisema
dijumpai
saat
ekspirasi.
Gas
yang
masuk
selama
inspirasi,
terperngkap
dalam
paru
yang
mengembang
lebih
besar
dari
normal,
harus
keluar
pada
saat
yang
bersamaan
melalui
saluran
yang
kecil
(bronchioles).
Fase
ekspirasi
memanjang
disertai
dengan
bunyi
nyaring
yang
terdengar
seperti
siulan
(whezzing).
Terapi
oksigen
tidak
akan
memperbaiki
keluhan
penderita
emfisema,
justru
akan
memperburuk
keluhan
sesak
yang
dirasakan.
Pemberian
obat
bronchodilator
membantu
melebarkan
bronchiole
saat
ekspirasi,
sehingga
aliran
gas
keluar
menjadi
lebih
lancar.
14
BAB
3
DIFUSI
dan
TRASNSPORT
GAS
3.1
Difusi
Gas
Difusi
adalah
pergerakan
bahan
terlarut
dari
kompartemen
dengan
konsentrasi
(tekanan)
tinggi
menuju
ke
kompartemen
konsentrasi
(tekanan)
yang
lebih
rendah.
Difusi
gas
terkait
pergerakan
gas
(O2,
CO2)
dari
kompartemen
tekanan
parsial
gas
(PaO2,
PaCO2)
yang
tinggi
menuju
ke
kompartemen
bertekanan
parsial
gas
yang
lebih
rendah.
Dalam
konteks
fungsi
respirasi
menyediakan
oksigen
dalam
tubuh,
maka
penjelasan
difusi
gas
yang
dimaksud
adalah
difusi
oksigen
melewati
membran
alveolus-‐parenkim
paru-‐
membran
kapiler.
Konsep
perbedaan
tekanan,
mensyaratkan
tekanan
parsial
gas
oksigen
(PaO2)
alveolus
lebih
tinggi
dibandingkan
PaO2
kapiler.
Semakin
tinggi
perbedaan
PaO2
antara
alveolus
dengan
kapiler,
difusi
oksigen
semakin
mudah.
Restriksi
paru
dan
obtrsuksi
saluran
napas
menyebabkan
PaO2
alveolus
lebih
rendah
dari
normal,
beda
PaO2
antar
kompartemen
berkurang
sehingga
difusi
oksigen
melambat.
Faktor
lain
yang
mempengaruhi
difusi
gas
antara
lain
luas
permukaan
difusi
dan
jarak
antar
kompartemen.
Jarak
antar
kompartemen
yang
dimaksud
pada
difusi
gas
adalah
tebal
membran
alveolus
+
tebal
parenkim
paru
+
tebal
membran
kapiler.
Semakin
lebar
jarak
antar
alveolus
ke
kapiler,
semakin
sulit
difusi
oskigen
terjadi.
Penebalan
membran
alveolus
pada
paru
emfisema
menhambat
difusi
oksigen
menuju
ke
kapiler,
sehingga
penderita
emfisema
cenderung
mengalami
hipoksia.
Jarak
antara
alveolus
ke
kapiler
dapat
dikurangi
dengan
membuat
alveolus
mengembang
(inflasi).
Inflasi
alveolus
saat
inspirasi
tidak
hanya
memudahkan
masuknya
gas
ke
dalam
paru,
namun
juga
mendekatkan
jarak
antara
alveolus
dengan
kapiler.
Inflasi
alveolus
tidak
hanya
mendekatkan
jarak
dari
satu
alveolus
ke
satu
kapiler,
namun
berpotensi
mendekatkan
ke
lebih
banyak
kapiler.
Dengan
demikian,
oksigen
dapat
berdifusi
menuju
beberapa
kapiler
terdekat
saat
satu
alveolus
inflasi.
Hal
inilah
yang
disebut
dengan
luas
permukaan
difusi.
Inflasi
alveolus
meningkatkan
luas
permukaan
difusi
oksigen
menuju
ke
beberapa
kapiler
terdekat.
Faktor
ketebalan
parenkim
yang
bertambah
dapat
mengganggu
difusi
dari
dan
menuju
kapiler
paru.
Keradangan
dan
edema
pada
parenkim
paru
menghalangi
inflasi
alveolus,
menyebabkan
ketebalan
parenkim
bertambah.,
serta
mempersempit
luas
permukaan
difusi
gas
menuju
ke
kapiler.
Terapi
anti
inflamasi
dan
diuretika
dapat
memperbaiki
difusi
gas
pada
penderita
keradangan
dan
edema
paru.
15
3.2
Transport
Gas
Gas
yang
telah
berdifusi
masuk
ke
dalam
kapiler,
akan
ditransport
mengikuti
aliran
darah.
Perbedaan
fase
antara
gas
dengan
cair
menyebabkan
gas
tidak
larut
di
dalam
darah
dan
sulit
ditransport.
Gas
membutuhkan
sebuah
alat
transport
yang
mampu
mengikat
gas
dan
dapat
bersirkulasi
mengikuti
aliran
darah,
tanpa
ada
reaksi
penolakan.
Alat
transport
yang
dirancang
untuk
mentransport
gas
di
dalam
darah
adalah
sel
darah
merah
(eritrsoit).
Mengapa
eritrosit?
Ada
beberapa
penjelasan
mengapa
eritrosit
yang
memperoleh
tugas
mentransport
gas
dalam
darah.
1. Eritrosit
memiliki
haemoglobin
Haemoglobin
(Hb)
merupakan
protein
yang
ditemukan
mengisi
70%
dari
sitoplasma
eritrsoit.
Haemoglobin
memiliki
cincin
protoporphyrin
pada
setiap
4
rantai
protein
globin.
Cincin
protoporphyrin
Hb
mengandung
inti
besi
tereduksi
(Fe
2+)
yang
memiliki
afinitas
tinggi
terhadap
beberapa
jenis
gas,
antara
lain:
O2,
CO
dan
CO2.
Satu
molekul
Hb
dapat
mengikat
4
molekul
gas.
Ikatan
antara
inti
besi
Hb
dengan
oksigen
tidak
menyebabkan
reaksi
oksidasi.
Hal
ini
merupakan
anomali
reaksi
kimia
karena
keberadaan
oksigen
yang
bereaksi
dengan
ion
logam
tereduksi
seperti
Fe
2+
menyebabkan
ion
logam
tersebut
teroksidasi
menjadi
Fe
3+.
Para
ahli
menggolongkan
anomali
ikatan
Hb
dengan
oksigen
sebagai
reaksi
oksigenasi,
sebuah
nomenklatur
yang
diciptakan
khusus
untuk
eritrosit.
Afinitas
inti
besi
Hb
terhadap
gas
berbeda,
dengan
urutan
afinitas
tertinggi
ke
terendah
adalah
CO,
CO2
dan
O2.
Keberadaan
gas
CO
dan
CO2
(dengan
tekanan
parsial
berlebih)
di
dalam
darah
dapat
menggeser
ikatan
Hb
dengan
O2.
Haemoglobin
lebih
memilih
mengikat
CO
dan
CO2
dari
pada
mengikat
O2,
menyebabkan
gangguan
transport
O2
dan
penurunan
saturasi
oksigen
di
jaringan
(SaO2).
Keracunan
CO
dan
CO2
menyebabkan
hipoksia
yang
mematikan.
Di
sisi
lain,
ikatan
Hb
dengan
O2
(oksigenasi)
justru
menyebabkan
struktur
Hb
stabil.
Keempat
rantai
globin
saling
mendekat
saat
Hb
teroksigenasi,
menghindarkan
kerusakan
struktur.
Hal
seperti
ini
tidak
dijumpai
saat
Hb
mengikat
CO
atau
CO2.
Keempat
rantai
globin
tetap
saling
menjauh
pada
kasus
keracunan
CO
atau
CO2.
Eritrosit
memiliki
mekanisme
kompensai
untuk
mempertahankan
struktur
Hb
agar
tidak
rusak
selama
Hb
tidak
mengikat
O2.
Eritrosit
memproduksi
2,3
di
fosfo
gliserat
(2,3
DPG)
yang
berfungsi
mengikat
keempat
rantai
globin
supaya
tidak
terlepas
selama
Hb
tidak
mengikat
oksigen.
Kegagalam
eritrsoit
dalam
mensintesis
2,3
DPG
menyebabkan
Hb
mengalami
kerusakan,
destruksi
eritrsoit,
hipoksia
dan
anemia.
16
Kadar
Hb
dalam
darah
normal
antara
11-‐13
g/dl,
cukup
untuk
mentransport
O2
sampai
ke
jaringan
dan
menjamin
saturasinya
100%.
Kadar
Hb
menentukan
sebarapa
banyak
O2
yang
mampu
ditransport
oleh
eritrosit.
Jika
kadar
Hb
turun,
maka
ada
potensi
O2
tak
dapat
ditransport
oleh
eritrosit.
Nasib
O2
yang
tidak
terikat
eritrosit
selanjutnya
terlarut
plasma
dan
ditransport
dalam
bentuk
bebas
(free
O2).
Keberadaan
free
O2
dalam
darah
mudah
mengalami
perubahan
menjadi
molekul
radikal
superoksida
(O2-‐*).
Superoksida
bersifat
radikal
karena
memiliki
satu
elektron
bebas
(tak
berpasangan),
sangat
reaktif
terhadap
setiap
molekul
di
sekitarnya
dan
destruktif.
Superoksida
menjadi
prekursor
bagi
reaksi
berantai
sintesis
radikal
bebas
lain
(H2O2,
OH-‐*,
OOH-‐*,
dll).
Kehilangan
darah
seperti
luka
terbuka,
tindakan
pembedahan
atau
saat
haid
pada
wanita
berpotensi
menyebabkan
kadar
Hb
turun.
Kehilangan
darah
meningkatkan
potensi
terbentuknya
radikal
bebas
dalam
darah.
Pemberian
antioksidan
saat
terjadi
perdarahan
menghindarkan
stress
oksidatif
akibat
reaksi
radikal
bebas
yang
destruktif.
2. Eritrosit
tidak
memiliki
mitokondria
Eritrosit
merupakan
sel
darah
matur
yang
telah
mengalami
diferensiasi
fungsi
dan
struktur.
Pada
saat
muda,
eritrsoit
memiliki
kelengkapan
organel
seperti
sel
lain.
Setelah
matur,
eritrosit
kehilangan
mitokondria
sehingga
tidak
mampu
menggunakan
oksigen
untuk
menyelenggarakan
metabolisme
aerobik.
Oksigen
yang
terikat
Hb
dibawa
eritrosit
tak
akan
dapat
dimanfaatkan
memskipun
jumlahnya
melimpah
dan
mudah
diakses.
Eritrosit
memperoleh
sedikit
energi
(hanya
2
ATP
untuk
1
molekul
glukosa)
dari
metabolisme
anaerobik.
Eritrsoit
mampu
bertahan
selama
21
hari
hidu,
bertugas
mentrasnport
gas
di
tengah
keterbatasan
energ
ATP.
Eritrosit
memberikan
contoh
keikhlasan
melayani,
tanpa
pamrih
apalagi
berpikir
untuk
korupsi
pun
TIDAK.
3.3
Kurva
disosiasi
Hb-‐O2
Kurva
disosiasi
Hb-‐O2
mendiskripsikan
hubungan
antara
tekanan
parsial
gas
oksigen
(PaO2)
dalam
darah
dengan
saturasi
oksigen
di
jaringan
(SaO2).
Hubungan
antara
PaO2
dengan
SaO2
merupakan
hubungan
sigmoid
(bukan
linier),
sehingga
peningkatan
PaO2
tidak
serta
merta
menyebabkan
peningkatan
SaO2.
Batas
linieritas
diperoleh
saat
SaO2
mencapai
90%,
dibutuhkan
PaO2
60
mmHg.
Penambahan
PaO2
melebihi
60
mmHg
tidak
akan
memperbaiki
SaO2
secara
bermakna
sampai
SaO2
mencapai
100%.
Batas
linieritas
kurva
disosiasi
Hb-‐O2
menjadi
limit
ketersediaan
minimal
O2
di
dalam
tubuh
yang
masih
dapat
ditoleransi.
Nilai
PaO2
dan
SaO2
di
bawah
batas
tersebut
menggambarkan
kondisi
hipoksia
di
dalam
tubuh
manusia.
17
Kurva
disosiasi
Hb-‐O2
dapat
bergeser
ke
kanan
dan
ke
kiri.
Pergeseran
kurva
ke
kanan
menunjukkan
untuk
setiap
nilai
SaO2
yang
sama
dibutuhkan
PaO2
yang
lebih
besar.
Dengan
kata
lain,
untuk
mempertahankan
saturasi
oksigen
di
jaringan
tetap
(tidak
berubah),
dibutuhkan
tekanan
parsial
oksigen
yang
lebih
besar
di
dalam
darah.
Tekanan
parsial
O2
yang
lebih
besar
dapat
diperoleh
dengan
meningkatkan
ventilasi
paru
dan
kinerja
otot
bantu
napas.
Pergeseran
kurva
Hb-‐O2
ke
kanan
menyebabkan
seseorang
akan
berbapas
cepat
dan
dalam
(hiperventilasi).
Pergeseran
kurva
Hb-‐O2
ke
kanan
dapat
disebabkan
oleh
beberapa
kelainan
seperti:
peningkatan
PCO2,
demam
dan
penurunan
pH
darah.
Peningkatan
PCO2
>
45
mmHg
menyebabkan
afinitas
Hb
terhadap
O2
menurun
(karena
afinitas
Hb
dengan
CO2
lebih
tinggi
dari
afinitas
Hb-‐O2),
PaO2
dalam
darah
menurun
sehingga
SaO2
di
jaringan
juga
turun.
Pada
kondisi
demam,
suhu
tubuh
lebih
tinggi
dari
37
derajat
celcius.
Kinerja
enzim
dalam
mengkatalisis
reaksi
kimia
pada
metabolisme
meningkat.
Metabolisme
yang
tinggi
mengahasilkan
CO2
yang
berdifusi
menuju
kapiler
di
jaringan
menyebabkan
PCO2
meningkat
>
45
mmHg.
Afinitas
Hb
terhadap
O2
menurun,
PaO2
turun
sehingga
memicu
respon
hiperventilasi
untuk
memperoleh
O2
yang
lebih
banyak.
Pada
penderita
demam
kerap
kita
jumpai
peningkatan
frekuensi
napas
(respiratory
rate,
RR)
di
atas
nilai
normal.
Tingkat
keasaman
darah
ditentukan
dengan
mengukur
nilai
pH.
Nilai
pH
darah
normal
berada
di
kisaran
7.35
-‐7.45.
Nilai
pH
kurang
dari
7.35
disebut
dengan
kondisi
darah
yang
asam
(asidosis),
sedangkan
nilai
pH
lebih
dari
7.45
disebut
dengan
kondisi
darah
yang
basa
(alkalosis).
Pada
kondisi
asidosis,
asam
bikarbonat
mudah
terdisosiasi
menghasilkan
ion
H+
dan
ion
bikarbonat.
Ion
H+
merangsang
chemoreceptor
pusat
dan
perifer,
mempengaruhi
pusat
kendali
napas
di
medulla
oblongata,
menstimulasi
kontraksi
otot
bantu
napas
ritmik
dan
paksa,
menghasilkan
pola
napas
yang
cepat
dan
dalam
(disebut
dengan
istilah
hiperventilasi).
Ion
H+
yang
terdisosiasi
dalam
darah
tak
dapat
secara
langsung
menstimulasi
central
chmemoreceptor
di
medulla
oblongata,
karena
ion
H+
tak
dapat
menembus
sawar
darah
otak
(blood
brain
barrier).
PCO2
yang
tinggi
dalam
darah
berdifusi
melewati
sawar
darah
otak,
masuk
ke
dalam
cairan
serebro
spinal
bereaksi
dengan
air
menghasilkan
asam
bikarbonat.
Reaksi
tersebut
dikatalisis
oleh
enzim
carbonic
anhydrase
yang
ditemukan
dalam
cairan
serebrospinal.
Ion
H+
yang
ditemukan
dalam
cairan
serebrospinal
berasal
dari
disosiasi
asam
bikarbonat
serebropsinal,
bukan
berasal
dari
darah.
Asidosis
dapat
desebabkan
oleh
kelainan
paru
atau
kelainan
esktra
paru.
Kelainan
paru
yang
menyebabkan
asidosis
adalah
obstruksi
saluran
napas,
seperti
asthma
bronchiale.
Kelainan
esktra
paru
yang
menyebabkan
asidosis
antara
lain:
diare,
diabetes
mellitus,
gagal
ginjal
dan
gagal
jantung.
Kelainan
tersebut
memicu
akumulasi
ion
H+
di
dalam
darah.
Jika
akumulasi
ion
H+
disebabkan
oleh
peningkatan
PCO2
di
atas
ambang
normal,
maka
disebut
18
asisodis
respiratori.
Jika
akumulasi
ion
H+
bukan
disebabkan
oleh
peningkatan
PCO2
namun
disebabkan
oleh
gangguan
regulasi
asam
basa
darah,
maka
disebut
asisodis
metabolik.
Kelebihan
ion
H+
dibuang
keluar
tubuh
melalui
mekanisme
hiperventilasi
paru
dan
sekresi
tubulus
ginjal.
Tanda
yang
ditemukan
pada
penderita
asidosis
adalah
peningkatan
frekuensi
dan
kedalaman
napas
(hiperventilasi)
serta
penurunan
pH
urin
di
bawah
nilai
ambang
normal.
Pada
alkalosis,
kadar
ion
bikarbonat
lebiih
banyak
dari
ion
H+
di
dalam
darah.
Ion
bikarbonat
bermuatan
negatif,
menjadi
buffer
di
dalam
darah.
Alkalosis
ditemukan
sebagai
akibat
dari
hiperventilasi
setelah
berolahraga
dan
muntah.
Materi
yang
dimuntahkan
sebagian
besar
berasal
dari
saluran
pencernaan
bagian
atas
(lambung)
yang
memiliki
pH
asam.
Kehilangan
sebagian
materi
dari
lambung
menyebabkan
tubuh
mengalami
defisit
ion
H+
dan
kelebihan
bikarbonat.
Darah
menjadi
basa
dan
pH
darah
mengalami
peningkatan.
19
BAB
4
REGULASI
NAPAS
Regulasi
napas
pada
prinsipnya
adalah
pengendalian
ventilasi
paru,
aktivitas
inspirasi
dan
ekspirasi.
Ventilasi
paru
dikendalikan
oleh
pusat
napas
di
medulla
oblongata
oleh
dorsal
respiratory
group
(DRG)
untuk
pernapasan
ritmik
dan
ventral
respiratory
group
(VRG)
untuk
pernapasan
paksa.
Medulla
oblongata
mengendalikan
ventilasi
melalui
refleks
sistem
syaraf
somatik,
yang
berarti
di
bawah
kendali
kemauan
dan
hasil
dari
proses
pembelajaran.
Manusia
dapat
mengendalikan
frekuensi
napas,
kedalaman
napas,
bahkan
juga
dapat
menahan
napas.
Regulasi
napas
dilaksanakan
dalam
sistem
berjenjang.
Pengendali
utama
adalah
medulla
oblongata.
Kinerja
medulla
oblongata
dipengaruhi
oleh
pneumatic
center
dan
apneutic
center
di
pons.
Pusat
kendali
di
pons
dipengaruhi
oleh
higher
center
di
otak
tengah
(mid
brain).
4.1
Regulasi
Napas
Ritmis
Dorsal
respiratory
group
(DRG)
medulla
oblongata
merupakan
kelompok
nukleus
yang
menstimulasi
otot
bantu
ritmik
inspirasi,
yaitu:
m.
diafragma
dan
m.
intercostalis
eskterna.
Nuklues
pada
posteror
medulla
oblongata
disebut
sebagai
pace
maker
pernapasan
ritmik.
Stimulasi
DRG
terhadap
otot
bantu
inspirasi
ritmis,
18-‐24
x/menit
pada
dewasa
normal..
Stimulasi
terhadap
DRG
medulla
oblongata
meningkatkan
frekuensi
napas,
sedangkan
inhibisi
terhadap
DRG
menyebabkan
penurunan
frekuensi
napas.
Dorsal
respiratory
group
(DRG)
medulla
oblongata
memperoleh
input
stimulasi
dari
3
tempat,
yaitu:
1. apneutic
center
pons
Apneutic
center
menstimulasi
pace
maker
di
DRG
medulla
oblongata
menyebabkan
peningkatan
frekuensi
napas.
Kinerja
apneutic
center
dikendalikan
oleh
inhibisi
yang
berasal
dari
a. pneumatic
center
pons
Pneumatic
center
menghamabat
(mnegunci)
stimulasi
apneutic
center
terhadap
DRG
medulla
oblongata.
Dengan
kata
lain,
selama
inhibisi
pneumatic
center
terhadap
apneutic
center
bekerja,
maka
stimulasi
terhadap
DRG
medulla
oblongata
tidak
akan
terjadi.
b. reseptor
regang
alveolus.
Input
dari
reseptor
regang
alveolus
menghambat
apneutic
center,
menghentikan
stimulasi
terhadap
DRG
medulla
oblongata
dan
menghentikan
kontraksi
otot
bantu
inspirasi
ritmik.
Input
dari
resptor
20
regang
alveolus
penting
untuk
mencegah
ruptur
dinding
alveolus
akibat
over
inflasi.
2. Peripheral
chemoreceptor
dan
baroreceptor
di
carotic
dan
aortic
body
Chemoreceptor
peka
terhadap
penurunan
pH
sedangkan
baroreceptor
peka
terhadap
peningkatan
PCO2
dan
penurunan
PO2.
Input
chemoreceptor
dan
baroreceptor
menstimulasi
DRG
medulla
oblongata
secara
langsung,
sehingga
meningkatkan
frekuensi
ritmik
napas
per
menit.
Dorsal
medulla
oblongata
meneruskan
ke
ventral
respiratory
group
(VRG)
medulla
oblongata,
sehingga
secara
tidak
langsung
penrubahanpH,
PCO2
dan
PO2
menyebabkan
peningkatan
amplitudo
napas.
Perubahan
pH
yang
terjadi
di
perifer
(pembuluh
darah)
bukan
berasal
dari
reaksi
yang
dikatalisis
enzim
carbonic
anhydrase,
namun
berasal
dari
gangguan
metabolik
seperti
keto
acidosis
diabetes
dan
kegagalan
fungsi
ginjal.
Dengan
kata
lain,
peripheral
chemoreceptor
peka
terhadap
asidosis
dan
atau
alkalosis
metabolik.
Peripheral
chemoreceptor
juga
peka
terhadap
perubahan
PO2.
Pada
saat
hipoksia
terjadi,
sensor
okisgen
pada
permukaan
kompleks
kanal
ion
kalium
sel
glomus
terstimulasi.
Kanal
ion
kalium
tertutup,
ion
kalium
dihambat
masuk
sehingga
sel
glomus
mengalami
penundaan
fase
repolarisasi
(pemanjangan
fase
depolariasi).
Depolarisasi
sel
glomus
memanjang,
menyebabkan
peningkatan
stimulasi
neurotransmiter
ke
medulla
oblongata.
Medulla
oblongata
menstimulasi
peningkatan
frekuensi
dan
kedalaman
napas.
3. Central
chemoreceptor
di
cairan
cerebrospinal.
Central
chemoreceptor
pada
cairan
cerebrospinal
mirip
dengan
peripheral
chemoreceptor
pada
carotic
dan
aortic
bodies.
Central
chemoreceptor
peka
terhadap
perubahan
pH
cairan
cerebrospinal.
Perubahan
pH
di
cairan
serebrospinal
berasal
dari
reaksi
sintesis
asam
bikarbonat
yang
dikatalisis
enzim
carbobic
anhydrase.
Reaksi
tersebut
melibatkan
CO2
yang
berdifusi
melewati
sawar
darah
otak
dan
H2O
dari
cairan
serebrospinal.
Ion
H+
tak
dapat
menenbus
sawar
darah
otak,
sehingga
perubahan
pH
darah
tak
secara
otomatis
berdampak
pada
medulla
oblongata.
PCO2
yang
tinggi
dalam
darah
berdifusi
melwati
sawar
darah
otak,
berekasi
dengan
H2O
menghasilkan
asam
bikarbonat,
meningkatkan
konsnetrasi
ion
H+
dan
menurunkan
pH
cairan
serebro
spinal.
Central
chemoreceptor
peka
terhadap
perubahan
pH
cairan
serebro
spinal
yang
berasal
dari
gangguan
paru,
bukan
karena
metabolik.
Central
chemoreceptor
menstimulasi
oblongata
dan
secara
langsung
meningkatkan
frekuensi
napas
ritmik.
Input
dari
central
chemoreceptor
diteruskan
ke
VRG
medulla
oblongata
untuk
meningkatkan
amplitudo
napas
secara
tidak
langsung.
21
4.2
Regulasi
Napas
Paksa
Regulasi
napas
paksa
mengendalikan
amplitudo
(kedalaman)
napas.
Regulasi
kedalaman
napas
diperankan
oleh
ventral
respiratory
group
(VRG)
medulla
oblongata.
Ventral
respiratory
group
(VRG)
medulla
oblongata
memiliki
kelompok
nukleus
yang
mengendalikan
inspirasi
paksa
dan
kelompok
nucleus
yang
mengendalikan
ekspirasi
paksa.
Kelompok
nukleus
yang
mengendalikan
inspirasi
paksa
menstimulasi
kontraksi
m.
sternocleido
mastoideus.
Kelompok
nukleus
yang
mengendalikan
ekspirasi
paksa,
menstimulasi
kontraksi
m.
intercostaslis
interna
dan
m.
rectus
abdominis.
Stimulasi
VRG
medulla
oblongata
berasal
dari
DRG
medulla
oblongata
Peningkatan
frekuensi
napas
diikuti
dengan
peningkatan
amplitudo
(kedalaman)
napas.
Hal
ini
menjelaskan
respon
peningkatan
frekuensi
napas
(respiratory
rate)
selalu
medahului
respon
peningkatan
amplitudo
napas
saat
terjadi
perubahan
pH
dan
PCO2.
Stimulasi
ventral
medulla
oblongata
menyebabkan
kontraksi
otot
bantu
napas
paksa.
Kontraksi
otot
bantu
napas
paksa
meninggalkan
jejak
berupa
tanda
di
beberapa
tempat,
seperti:
inter
clavicula
(supra
sternal),
inter
costa
dan
sub
sternal.
Tanda
yang
ditemukan
di
inter
clavicula
(supra
sternal)
terjadi
saat
ada
gangguan
inspirasi,
sedangkan
tanda
yang
ditemukan
di
inter
costa
dan
sub
sternal
terjadi
saat
ada
gangguan
ekspirasi.
Tanda
tanda
itu
adalah
tanda
restraksi
otot
bantu
napas
(retraction
mark).
4.3
Kendali
Fungsi
Luhur
Fungsi
luhur
yang
dimaksud
adalah
input
dari
cortex,
sistem
limbik
dan
hipotalamus.
Salah
satu
fungsi
luhur
terkait
dengan
pengendalian
emosi.
Pengaruh
fungsi
luhur
terhadap
pneumatic
center
di
pons
menjelaskan
perubahan
napas
saat
terjadi
pengaruh
psikis
(terlalu
senang
atau
terlalu
sedih
dan
marah).
Fungsi
luhur
dapat
menstimulasi
dan
menginhibisi
pneumatic
center.
Stimulasi
dan
inhibisi
fungsi
luhur
terhadap
pons
dapat
berlangsung
simultan
saat
perubahan
psikis
terjadi.
Fungsi
luhur
manusia
yang
mengalami
perubahan
psikis
(misal
sangat
sedih)
dapat
menstimulasi
pneumatic
center,
namun
juga
dapat
menghambat
pneumatic
center
beberapa
saat
kemudian.
Pneumatic
center
di
pons
mengalami
on/off
stimulation
yang
berakibat
pada
on/off
inhibition
terhadap
apneutic
center
dan
dorsal
medulla
oblongata.
Ada
masa
dimana
napas
tersengal
dan
ada
masa
dimana
napas
lancar.
Fenomena
ini
sering
kita
sebut
dengan
terisak
saat
menangis
sedih.
22
DAFTAR
PUSTAKA
1. Ganong
W
F.
Review
of
Medical
Physiology.
22
ed.
Prentice
Hall
Inc.
USA
2014
nd
2. Guyton
A
C.
and
Hall
J
E.
Text
Book
of
Medical
Physiology,
12
ed.
W.
B.
Saunders
Co.
th
USA.
2016.
3. Sherwood
L.
2014.
Human
Physiology
From
Cells
to
System.
5 .
ed.
USA
–
Thomson
th
Learning
Inc.
4. Silverthorn
D
U.
2015.
Human
Physiology.
4
.
ed.
New
Jersey
–
Prentice
Hall.
th
5. Purwanto
B
dan
Irwadi
I.
Biofisika:
Penerapan
Fisika
Dalam
Ilmu
Kesehatan.
PT
Revka
Petra
Media.
2014.
23