Nisan
Oktober, 1942
“Nisan” adalah sajak pertama yang ditulis Chairil Anwar. Karya pertamanya ini mengisahkan ketika
dia menghadapi neneknya yang meninggal. Dalam sajak pertamanya itu, Chairil rupanya tertegun
melihat kenyataan itu.
Dalam larik pertama //Bukan kematian benar menusuk kalbu// Chairil mencoba menggambarkan
bahwa kematian adalah sesuatu yang pasti dihadapi oleh setiap manusia sampai secara pribadi
datang mendekat kepada kita atau datang kepada orang yang sangat dekat dengan kita.
Chairil menggambarkan ketika itu tampaknya sang nenek “ridla menerima segala tiba”, begitu
tenang atau lebih tepatnya lagi barangkali, begitu tak berdaya. Sementara sang nasib, begitu dingin
tanpa belas kasihan, perlahan-lahan menyerut umur si nenek, //Keridlaanmu menerima segala
tiba//.
Bagi Chairil, kematian neneknya ini membuat dia melihat dua hal. Pertama, betapa tidak berdayanya
manusia menghadapi sang maut. Kedua, betapa angkuhnya sang maut melaksanakan tugasnya yang
bekerja tanpa mau berkompromi dengan siapapun. Sehingga Chairil berkata tentangnya, //Tak
kutahu setinggi itu atas debu/Dan duka maha tuan bertakhta//.
A. NISAN
Untuk nenekanda
//Bukan kematian benar menusuk kalbu/
/Keridlaanmu menerima segala tiba/
/Tak kutahu/ setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta//
Oktober 1942
B. Nocturno
(Fragment)
..........................................................
//Aku menyeru – tapi tidak satu suara
membalas,/ hanya mati di beku udara./
/Dalam diriku terbujur keinginan,/
juga tidak bernyawa./
/Mimpi yang penghabisan minta tenaga,/
Patah kapak,/ sia-sia berdaya,/
Dalam cekikan hatiku/
/Terdampar..../ Menginyam abu dan debu
Dari tinggalannya suatu lagu./
/Ingatan pada Ajal yang menghantu./
Dan dendam yang nanti membikin kaku..../
..................................................
/Pena dan penyair/ keduanya mati,
Berpalingan!//
1946
B. 2.2 Parafrase
A. NISAN
Untuk nenekanda
Bukan (lah) kematian (yang se) benar (nya) menusuk kalbu (ku, tapi)
Keridlaanmu (lah nenek, yang) menerima segala (nya itu telah) tiba (.)
Tak kutahu (, bahwa kematian) setinggi itu di atas debu
dan (disertai) duka (dari) maha tuan (yang) bertakhta.
Oktober 1942
B. Nocturno
(Fragment)
.....................................................................................
Aku menyeru (,) – tapi tidak (ada) satu suara (pun yang)
membalas, (suaraku) hanya mati di beku (nya) udara.
Dalam diriku terbujur keinginan,
(agar diriku) juga tidak bernyawa.
Mimpi yang (dalam) penghabisan (nya me) minta tenaga,
(hingga) Patah kapak, sia-sia (tak) berdaya,
Dalam cekikan (di) hatiku (.)
(akhirnya aku) Terdampar... (hanya bisa) menginyam abu dan debu
Dari tinggalannya suatu lagu.
Ingatan pada Ajal yang menghantu (sejak dulu) .
Dan dendam (ini) yang nanti (nya) membikin kaku....
......................................................................
Pena dan penyair (, akhirnya) keduanya mati,
Berpalingan!
1946
Nisan
Perbedaan paling menyolok dari dua buah versi tersebut akan ditemui pada baris terakhir,
yaitu kata'...bertakhta' di versi pertama dan '...tak bertahta' di versi kedua.
Sekalipun secara logika pada baris terakhir terlihat makna yang berbeda atau malah
bertentangan antara versi pertama dan kedua, namun kedua versi tersebut tetap sangat kuat
ingin menggambarkan rasa berduka yang teramat dalam. Kiranya ungkapan yang saling
bertentangan secara logika seperti ini tidak boleh terjadi di suatu karya ilmiah, namun boleh
terjadi di dalam proses pembuatan puisi.
Apa sih perbedaan makna sugestif antara 'tuan bertahta' dengan 'tuan tak bertahta' kalau
sedang berurusan dengan rasa duka? Mungkin tidak ada. Pesan yang ingin disampaikan oleh
Chairil Anwar adalah bahwa rasa duka yang sedang dialaminya demikian mendominasi
kehidupannya seperti halnya dominasi sang tuan (raja) terhadap warganya.
Pada saat itu ia tidak punya kesempatan lagi untuk memiliki menu pilihan rasa selain rasa
duka yang mendalam. Suasana hati ini tiba-tiba telah menjadi tuan (raja), baik bertahta
maupun tidak bertahta. Seorang raja yang seolah menitahkan agar Chairil Anwar menjalani
rasa duka: "Wahai Chairil Anwar, jalanilah rasa duka ini di hatimu". Chairil Anwar tidak
punya pilihan lain selain mematuhi sang raja.
Silakan pembaca merasakan perbedaan yang ditimbulkan oleh efek kehadiran ungkapan
'untuk nenekanda' pada puisi Nisan versi pertama kemudian bandingkan efeknya kalau
ungkapan 'untuk nenekanda' dihilangkan seperti di versi kedua. Pada versi pertama, akan
lebih terkesan rasa duka yang bersifat sangat pribadi (personal) bagi Chairil Anwar.
Sedangkan pada versi kedua efek personal ini tidak muncul sehingga terkesan rasa duka yang
bersifat umum. Sugesti yang ditimbulkan oleh ungkapan 'untuk nenekanda' menjadi demikian
kuat yang membuat puisi Nisan menjadi sangat bagus menggambarkan kedukaan yang secara
pribadi dialami Chairil Anwar terkait dengan kematian neneknya.
Beruntung sekali kita menemukan kedua versi ini di websites. Dengan demikian kita diberi
kesempatan berharga untuk belajar mengetahui penggambaran proses yang dijalani oleh
Chairil Anwar ketika ia berupaya mengungkapkan suasana hatinya.
Pada intinya, yang ingin dikemukakan sang penyair dengn puisinya adalah penggambaran
suasana hati sang penyair. Tugas penyair memilih ungkapan yang menurut perhitungannya
akan mempunyai kemampuan menggiring para pembaca menghayati suasana hati penyair.
Tentu saja taraf penghayatan ini tergantung pula pada riwayat perjalanan hidup yang telah
ditempuh oleh sang pembaca sendiri. Setiap pembaca mempunyai taraf penghayatan yang
berbeda. Setiap pembaca boleh menghayati dan menafsirkan sebuah puisi sesuai dengan
kemampuannya merespon. Ungkapan di sebuah puisi tidak perlu mempunyai arti yang eksak.
Sebuah puisi hanya menawarkan proses penghayatan dan proses meniti pengalaman terhadap
suatu aspek kehidupan kepada pembacanya. Puisi yang bagus akan memberikan penawaran
proses meniti pengalaman yang segera memberi dampak emosional bagi pembacanya, tentu
saja disertai keindahan yang terasa hadir bersamanya.