Deskripsi Singkat
Membahas analisis break even
Sub Capaian Pembelajaran
Mahasiswa dapat melakukan analisis break even.
Uraian Materi
A. Pengertian Kondisi Break Even Suatu Perusahaan
Tujuan perusahaan dalam perekonomian yang bersaing adalah untuk
memperoleh laba yang sebesar-besarnya sesuai dengan pertumbuhan perusahaan
dalam jangka panjang (heckert, 1989:1). Di dalam perkembangannya, setiap
perusahaan menghasilkan (menyediakan) barang (dan jasa) yang dibutuhkan
masyarakat. Untuk keperluan itu, perusahaan mengeluarkan berbagai biaya
(produksi dan nonproduksi) dan berharap akan memperoleh pendapatan dari
masyarakat atas penjualan (pelayanan) barang (dan jasa) yang telah dihasilkan
(diberikan).
Jika seluruh biaya yang dikeluarkan dilambangkan dengan TC (total cost) dan
pendapatan yang diterima dilambangkan dengan TR (total revenue) maka terdapat 3
kemungkinan hubungan antara TC dan TR. Ketiga hubungan tersebut adalah
sebagai berikut.
(i) TR > TC
(ii) TR = TC
(iii) TR < TC …….. (7.1)
Kondisi (i) merupakan kondisi yang diidamkan oleh stiap perusahaan. Karena
TR > TC maka TR – TC > 0. Kelebihan Tr di atas TC disebut laba sehingga (i) dapat
dinyatakan sebagai TR – TC = laba.
Sebaliknya kondisi (iii) merupakan kondisiyang selalu dihindari oleh setiap
perusahaan. Karena TR < TC maka TR – TC < 0 atau TC – TR > 0. Kelebihan TC di
atas TR disebut rugi sehingga (iii) dapat dinyatakan sebagai TC – TR = rugi.
Kondisi (ii) mengandung arti bahwa besarnya pendapatan yang diperoleh
suatu perusahaan digunakan seluruhnya untuk menutup biaya total yang telah
54
dikeluarkan. Perusahaan tidak memperoleh keuntungan, tetapi juga tidak menderita
kerugian. Dalam keadaan TR = TC, perusahaan dikatakan dalam kondisi break
even.
Jika p menyatakan harga jual per unit dan q menyatakan kuantitas barang
yang terjual maka hasil perkalian p dan q merupakan total pendapatan, TR = p q.
Akibatnya, kondisi keseimbangan (ii) dapat bergeser ke (i) atau (iii) jika terjadi
perubahan p, q, atau TC baik secara sendiri-sendiri atau simultan.
Analisis break even merupakan alat deteksi perkembangan perusahaan yang
sangat sederhana. Menurut Adiseputro (1990), penggunaan analisis ini akan
memberikan dua manfaat, yaitu:
a. Dapat memberikan gambaran tentang batas jumlah penjualan minimal agar
perusahaan tidak menderita kerugian.
b. Dapat menentukan jumlah penjualan yang seharusnya dicapai untuk
sejumlah laba tertentu yang telah ditetapkan.
56
R/ C
TR Keuntungan
Daerah netto
laba
BEP TC Biaya
variabel
Daerah FC Biaya
rugi
tetap
q
Keterangan:
R/C : revenue/ cost
Q : kuantitas barang yang diproduksi/dijual (quantity)
Dari gambar 6.1 terlihat bahwa garis FC digambarkan secara horizontal dan
sejajar sumbu q. hal ini mengandung interpretasi ekonomi bahwa secara substansial
besarnya biaya tetap yang terjadi ditutup terlebih dahulu dengan penghasilan (dari
penjualan) yang diperoleh. Bila semua biaya tetap telah tertutup, penghasilan yang
tersisa digunakan untuk menutup biaya variabel dan kemungkinan laba (rugi).
Kondisi demikian kurang realistis dikarenakan biaya tetap merupakan jenis biaya
yang sudah terlanjur terjadi (sunk cost) sehingga keputusan manajemen seharusnya
tidak didasarkan akumulasi biaya tetap yang terjadi tetapi pada biaya variabel.
Dengan demikian, gambar 6.1 di atas dapat diperbaiki menjadi gambar 6.2 berikut.
R/ C
TR Keuntungan
Daerah netto
laba
BEP TC Biaya
tetap
Daerah VC Biaya
rugi
variabel
q
p q – VC x q = FC
(p – VC) x q = FC
…. (6.2)
SB = FC +
…. (6.4)
Persamaan (7.4) dikenal sebagai penentuan break even atas dasar sales
dalam rupiah. Perbandingan antara VC dan S disebut variable cost ratio. SB sering
ditulis sebagai BE (dalam rupiah) sehingga (6.4) dapat dinyatakan sebagai:
58
Contoh 1
Jawab
Diketahui
VC = 60.000.000
FC = 25.000.000
BE (dalam rupiah) =
= = 62.500.000
BE (dalam unit) =
= = 3.125 unit.
Contoh 2
Jawab
BE (dalam rupiah) =
59
= = 90.000.000
Contoh 3
Jawab
X = 90.909.090
D. Perubahan Asumsi
Selain mendasarkan pada asumsi bahwa setiap biaya yang terjadi selalu
dapat dipisahkan menjadi dua yaitu FC dan VC, analisis ini juga mendasarkan pada
beberapa asumsi. Asumsi-asumsi tersebut adalah sebagai berikut.
a. FC, VC dan harga jual per unit tetap.
b. Tingkat penjualan sama dengan tingkat produksi.
c. Perusahaan hanya menjual satu macam produk, atau memiliki kemampuan
mempertahankan “sales mix” atas produksi/ penjualan lebih dari satu jenis
produk.
Dengan memperhatikan persamaan (6.3) maka:
60
a. Jika p (price) per unit mengalami kenaikan sedangkan unsure-unsur lainnya
tetap maka terjadi penurunan variable cost ratio sehingga mengakibatkan
penurunan break even (dalam rupiah). Gambar situasinya sebagai berikut.
Keterangan:
R/ C TR’ TR’ merupakan TR
baru akibat
TR
kenaikan p.
TC BEP bergeser ke
BEP
BEP’ kiri menjadi BEP’
VC
R/ C TR Keterangan:
TC’
BEP’
TC TC’ merupakan TC
BEP baru akibat kenaikan
VC’
VC.
VC VC’ merupakan VC
baru akibat kenaikan
VC
BEP bergeser ke
q
kanan menjadi BEP’
Gambar 5. Pengaruh kenaikan VC terhadap BEP
61
Keterangan:
R/ C TR TC’ merupakan TC
TC’
BEP’ baru akibat
TC
BEP kenaikan VC.
BEP bergeser ke
VC
kanan menjadi BEP’
q
Gambar 6. Pengaruh kenaikan FC terhadap BEP
Contoh 4
Jawab
Diketahui
19X1 : S = 450.000.000
FC = 200.000.000
62
Rugi = 50.000.000
19X2 : PM = 10%
a)
b)
c)
Dari contoh 4 terlihat bahwa kenaikan kuantitas yang terjual dan harga jual
menjadi kurang berarti karena diikuti pula kenaikan biaya tetap. Kondisi contoh 4 c)
memang sedikit lebh baik disbanding 4 a) tetapi lebih buruk dibanding 4 b).
Kenyataan menunjukkan bahwa perusahaan yang hanya menghasilkan satu
jenis barang cenderung kurang mampu bertahan. Pihak manajemen selalu berusaha
melakukan diversifikasi agar kelemahan produk jenis tertentu dapat ditutup oleh
keunggulan produk jenis lainnya. Berkaitan dengan hal tersebut, untuk menentukan
kondisi break even masing-masing jenis produk dapat dilakukan setelah
perhitungan break even (dalam rupiah) secara total. Besarnya break even (dalam
rupiah) masing-masing jenis produk sebanding dengan sales mix produk yang
bersangkutan.
Jika rencana penjualan PT ABC (contoh 1) diperoleh dari penjualan 4 produk
yang dihasilkan, misalnya A, B, C, dan D masing-masing sebesar Rp 20.000.000,00,
Rp 25.000.000,00, Rp 15.000.000,00, dan Rp 40.000.000,00 maka break even
(dalam rupiah) masing-masing jenis produk dapat ditentukan dengan
63
memperhatikan sales mix antar jenis produk. Sales mix A : B : C : D = 4 : 5 : 3 : 8
sehingga:
BEA (dalam rupiah) =
Untuk menentukan break even (dalam unit) dilakukan dengan membagi break
even (dalam rupiah) masing-masing produk dengan harga jual per unitnya.
Konsep sales mixini jug adapt dipergunakan jika perusahaan akan
menentukan break even untuk masing-masing daerah pemasaran yang berbeda
karena luasnya pasar yang dikuasainya.
Asumsi yang berkaitan dengan tingkat penjualan sama dengan tingkat
produksi mengandung arti bahwa setiap produk yang dihasilkan selalu dapat terjual
habis. Asumsi ini cukup merepotkan sebab harapan demikian cukup sulit untuk
direalisasikan. Dengan demikian jika terjadi kondisi adanya sejumlah produk yang
tak terjual maka persoalannya berkisar pada kebijakan pihak manajemen dalam
memandang kasus ini. Kelompok pertama memandang, bagian produksi yang tak
terjual harus dibebani baik FC maupun VC. Pandangan ini dikenal sebagai
pendekatan full costing. Sedangkan kelompok kedua melihat bahwa setiap produk
yang tak terjual hanya dibebani VC saja, dan dikenal dengan pendekatan direct
costing. Berdasarkan persamaan (7.5), break even (dalam rupiah) untuk pendekatan
full costing adalah sebagai berikut.
64
Contoh 5
Proyeksi laba rugi PT Maju Pesat (dalam ribuan rupiah) adalah sebagai berikut.
Rp 19.000
Jawab
BE (dalam rupiah)
BE (dalam rupiah) =
65
=
E. Rangkuman
1. Dengan analisis BE dapat diperoleh 2 (dua) manfaat, yaitu (1) dapat mengetahui
sales minimal agar tidak rugi dan (2) dapat menenetukan kuantitas barang yang
harus terjual berapa untuk sejumlah laba yang telah ditetapkan.
2. Analisis break even dikembangkan dengan asumsi yang didasarkan pada
penggolongan biaya dengan sesuatu yang dibiayai. Menurut konsep ini, biaya
yang terjadi diklasifikasikan menjadi 3, yaitu (1) biaya tetap, (2) biaya variabel,
dan (3) biaya semi variabel.
Latihan 1
1. Rencana penjualan PT Maju Pesat pada tahun 19X1 adalah 5.000 unit @ Rp
20.000. Besarnya biaya tetap dan total biaya variabel masing-masing Rp
25.000.000 dan Rp 60.000.000. Tentukan BE perusahaan dalam rupiah dan unit
2. Jika rencana penjualan PT Maju Pesat (Latihan 2) diperoleh dari penjualan 4 jenis
produk A, B, C, dan D) masing-masing Rp 20 jt, Rp 25 jt, Rp 15 jt, dan 40 jt maka
tentukan BE masing-masing jenis produk
Latihan 2
1. PT ABC Indonesia merencanakan membuat sejenis sabun mandi untuk kalangan
kelas menengah. Biay total untuk pembuatan 10.000 sabun perbulan adalah Rp
25 juta dan biaya total untuk pembuatan 15.000 sabun perbulan adalah Rp 30
juta. Asumsikan bahwa biaya-biaya variable berhubungan secara proporsional
dengan jumlah sabun yang diproduksi.
a. Hitunglah biaya variabel per unit dan biaya tetapnya
b. Bila PT ABC Indonesia menjual sabun tersebut seharga Rp 6.000 per unit,
berapakah yang harus diproduksi per bulan agar perusahaan tersebut dalam
kondisi break even?
c. Bila perusahaan memproduksi 12.000 sabun per bulan, apakah perusahaan
untung atau rugi? Berapa keuntungan atau kerugiannya?
66
2. Biaya produksi (FC dan VC) roti di Toko Roti Ana Cabang Pati selama setahun
diperkirakan masing-masing sebesar Rp 136.637.500 dan Rp 305.880.000.
Penjualan pertahun mencapai Rp 715.500.000 dengan perincian sebagai berikut.
No Jenis Roti Price/unit (Rp) Sales (Rp)
1. Roti toples 30.000 183.000.000
2. Roti pesanan 13.150 78.900.000
3. Roti ukuran kecil 3.000 55.800.000
4. Roti ukuran sedang 9.000 64.800.000
5. Roti ukuran besar 11.000 198.000.000
6. Kue tart 75.000 135.000.000
67