Anda di halaman 1dari 30

1

VI. ANALISA TITIK IMPAS, SENSITIVITAS, DAN RESIKO

Parameter ekonomi teknik seperti horizon perencanaan,


MARR (Minimum Attractive Rate of Return), aliran kas, dll hanya
merupakan bentuk estimasi yang masih mengandung ketidak-
pastian. Maka perlu dipertimbangkan berbagai konsekuensi yang
akan timbul apabila estimasi parameter ternyata tidak benar.

Secara umum ada empat faktor sumber ketidakpastian :

1. Kemungkinan estimasi yang tidak akurat digunakan dalam studi


atau analisa;

2. Tipe bisnis dan kondisi ekonomi masa depan;

3. Tipe pabrik dan peralatan yang digunakan;

4. Panjang periode studi (horizon perencanaan) yang dipakai.

Ada Beberapa metode yang dapat digunakan untuk menangani


ketidakpastian akibat empat faktor di atas yaitu :

6. 1. Analisa Titik Impas (Break Even Point)

 Digunakan apabila pemilihan alternatif-alternatif sangat


dipengaruhi oleh satu faktor tunggal yang tidak pasti,
misalnya utilisasi kapasitas.

 Dengan mengetahui titik impas maka akan dapat


ditentukan alternatif yang lebih baik pada suatu nilai tertentu
dari faktor yang tidak pasti tersebut.

6. 2. Analisa Sensitivitas
2

 Cocok diaplikasikan pada permasalahan yang mengandung


satu atau lebih faktor ketidakpastian dengan mempertim-
bangkan (1) bagaimana pengaruh yang timbul pada ukuran
hasil (mis: nilai NPW) bila suatu faktor individual berubah
pada selang + X%, dan (2) berapakah besarnya perubahan
nilai suatu faktor sehingga mengakibatkan keputusan pemi-
lihan suatu alternatif bisa berubah.

6. 3. Analisa Resiko

 Jika nilai-nilai suatu faktor dianggap mengikuti suatu


distribusi probabilitas yang merupakan fungsi dari variabel
random maka analisa resiko perlu dilakukan.

 Dengan mempertimbangkan faktor resiko maka akan dapat


ditentukan keputusan terbaik dalam pengambilan alternatif.

6. 1. ANALISA TITIK IMPAS


3

Biasa digunakan dalam :

1. Menentukan nilai ROR dua alternatif proyek yang sama baik.

2. Menentukan tingkat produksi dua atau lebih fasilitas produksi


yang konfigurasi biaya-biayanya berbeda dimana pada tingkat
tersebut biaya tahunan kedua fasilitas yang terjadi sama besar.

3. Melakukan analisa buat-beli. Apakah biaya produksi akan


menjadi sama besarnya antara membeli atau membuat sendiri.

4. Menentukan berapa tahun yang dibutuhkan agar perusahaan


berada pada titik impas, yaitu biaya-biaya yang dikeluarkan
sama persis dengan pendapatan-pendapatan yang diperoleh.

Analisa Titik Impas Pada Permasalahan Produksi

Ada 3 komponen biaya yang dipertimbangkan dalam analisa ini :

1. Biaya-biaya tetap (fixed cost) yaitu biaya-biaya yang besarnya


tidak dipengaruhi oleh volume produksi. Mis : biaya gedung,
biaya tanah, biaya mesin dan peralatan dan sebagainya.

2. Biaya-biaya variabel (variable cost) yaitu biaya-biaya yang


besarnya bergantung (biasanya secara linier) terhadap volume
produksi. Mis : biaya bahan baku dan tenaga kerja langsung.

3. Biaya total (total cost) adalah jumlah dari biaya-biaya tetap dan
biaya-biaya variable.

Rp Rp Rp
TC = FC + VC
4

Bia Bia Bia


ya ya VC ya VC

FC FC

volume produksi volume produksi volume produksi

(a) (b) (c)

Gambar 6.1. Grafik biaya produksi, terdiri dari (a) biaya tetap
(FC), (b) biaya variabel (VC), dan (c) biaya total
(TC)
Bila dimisalkan X adalah volume produk yang dibuat, dan c
adalah biaya variabel yang terlibat dalam pembuatan satu buah
produk maka biaya variabel untuk membuat X buah produk
adalah :

VC = cX (6.1)

Karena biaya total adalah jumlah dari biaya-biaya tetap dan


biaya-biaya variabel maka berlaku hubungan :

TC = FC + VC (6.2)

= FC + cX

dimana : TC = biaya total untuk membuat X produk

FC = biaya tetap

VC = biaya variabel untuk membuat X produk

c = biaya variabel untuk membuat satu produk


5

Dalam analisa titik impas selalu diasumsikan bahwa total


pendapatan (total revenue) diperoleh dari penjualan semua
produk yang diproduksi. Bila harga satu buah produk adalah p
maka harga X buah produk akan menjadi total pendapatan atau :

TR = pX (6.3)

dimana : TR = total pendapatan dari penjualan X buah produk

p = harga jual per satuan produk

Maka titik impas akan diperoleh apabila total biaya yang terlibat
persis sama dengan total pendapatan, atau :

TR = TC (6.4)

Atau :

pX = FC + cX (6.5)
FC
X= (6.6)
p-c
6

Dimana X dalam adalah volume produksi yang menyebabkan


perusahaan berada pada titik impas (BEP). Tentu saja peru-
sahaan akan mendapat untung apabila dapat memproduksi di
atas X (melampaui titik impas); seperti Gambar 6.2 di bawah.

B TR
i Daerah untung
a TC
y Daerah rugi
a BEP (titik impas)

X volume produksi

Gambar 6.2. Diagram titik impas pada permasalahan produksi

Analisa Titik Impas pada Permasalahan Produksi


Contoh 6.1.
PT. ABC merencanakan membuat sabun mandi, biaya total
untuk pembuatan 10.000 sabun per bulan Rp. 25 juta dan biaya
total untuk pembuatan 15.000 sabun per bulan Rp. 30 juta.
Diasumsikan bahwa biaya-biaya variabel berhubungan secara
proporsional dengan jumlah sabun yang diproduksi.
Hitunglah :
7

a. Biaya variabel dan biaya tetap per unit.


b. Bila sabun akan dijual seharga Rp. 6000,- per unit, berapakah
jumlah sabun yang harus diproduksi per bulan agar
perusahaan tersebut berada pada kondisi impas?
c. Bila perusahaan memproduksi 12.000 sabun per bulan,
apakah perusahaan untung atau rugi? Berapa keuntungan atau
kerugiannya?
Solusi :
a. Biaya variabel per unit adalah :

30 juta – 25 juta
C=
15.000 – 10.000
5.000.000
=
5.000
= Rp. 1000,- per unit
 Biaya tetap (X = 10.000), dapat dihitung dengan persamaan :

TC = FC + cX

25.000.000 = FC + 1.000 (Rp/unit) x 10.000 (unit)


25.000.000 = FC + 10.000.000
FC = 25.000.000 - 10.000.000 = Rp. 15.000.000,-

 Biaya tetap (X = 15.000), dapat dihitung dengan persamaan :


TC = FC + cX
30.000.000 = FC + 1.000 (Rp/unit) x 15.000 (unit)
FC = Rp. 15.000.000,-
8

b. Bila p = Rp. 6000,- per unit maka jumlah yang harus


diproduksi per bulan agar mencapai titik impas adalah :

FC
X=
p–c

15.000.000
X=
6.000 – 1.000
X = 3.000 per bulan

Jadi volume produksi sebesar 3.000 unit per bulan


menyebabkan perusahaan berada pada titik impas

c. Bila X = 12.000 per bulan maka total pendapatan dari pen-


jualan adalah :
TR = pX
= Rp. 6000 / unit x 12.000 unit
= Rp. 72.000.000,00 per bulan
Total biaya yang terjadi adalah :

TC = FC + cX
= Rp. 15.000.000 + (Rp. 1.000,- per unit x 12.000 unit)
= Rp. 27.000.000,- per bulan

Jadi perusahaan berada dalam kondisi untung karena dengan


memproduksi 12.000 unit per bulan maka total penjualan
akan lebih tinggi dari total biaya yang dikeluarakan.
9

Besarnya keuntungan adalah :


Rp. 72.000.000,- - Rp. 27.000.000,- = Rp. 45.000.000,-

Contoh 6.2.
PT. ABC merencanakan membuat produk baru, dengan biaya
awal sebesar Rp. 150 juta dan biaya-biaya operasional dan
perawatan sebesar Rp. 35.000,- per jam. Perusahaan juga harus
membayar biaya-biaya lain sebesar Rp. 75 juta per tahun.
Berdasarkan waktu standar yang diperoleh dari studi teknik tata
cara dan pengukuran kerja, diestimasikan bahwa untuk
mempro-duksi 1000 unit produk dibutuhkan waktu 150 jam.
Diesti-masikan juga bahwa harga per unit produk adalah Rp.
15.000,- dan investasi diasumsikan akan berumur 10 tahun
dengan nilai sisa nol. Dengan MARR 20%, hitunglah berapa
unit yang harus diproduksi agar perusahaan berada pada kondisi
impas.

Solusi :
Misalkan x adalah jumlah produk (unit) yang harus diproduksi
dalam setahun agar mencapai titik impas. Dengan menggunakan
biaya-biaya tahunan (AC=Annual Cost) dan penjualan tahunan
(AR=Annual Revennue) maka kondisi impas akan diperoleh
apabila :
AC = AR
Dimana :
AC = 150 juta (A/P, 20%,10) + 75 juta + 0,150 (35.000)X
= 150 juta (0,2385) + 75 juta + 5.252X
= 110,788 juta + 5.250X
AR = 15.000X
10

Sehingga :
110,778 juta + 5.250X = 15.000X
110,778 juta = 9.750X
X = 11.362 unit per tahun

Jadi perusahaan PT. ABC harus memproduksi sebanyak 11.362


unit per tahun agar berada pada kondisi impas. Dengan demikian
maka perusahaan harus memproduksi di atas 11.362 unit per tahu
agar berada pada kondisi untung.

Analisa Titik Impas pada Pemilihan Alternatif Investasi


Contoh 6.3.
Sebuah perusahaan roti wafer sedang mempertimbangkan 2
alternatif mesin pencetak yang bisa digunakan dalam proses
produksinya. Alternatif pertama adalah mesin otomatis yang
memiliki harga awal Rp. 23 juta dan nilai sisa Rp. 4 juta setelah
10 tahun. Bila mesin ini dibeli maka operator harus dibayar Rp.
12.000,- per jam. Output mesin ini adalah 8 ton per jam. Biaya
operasi dan perawatan tahunan diperkirakan Rp. 3,5 juta.
Alternatif ke-dua adalah mesin semiotomatis yang memiliki
harga awal Rp. 8 juta dengan masa pakai ekonomis 5 tahun dan
tanpa nilai sisa. Biaya tenaga kerja per jam bila mesin diopera-
sikan adalah Rp. 24.000 dan biaya-biaya operasional dan
perawatannya Rp. 1,5 juta per tahun. Perkiraan outputnya
adalah 6 ton per jam. MARR yang dipakai analisa adalah 10%.
a. Berapa jumlah wafer yang harus diproduksi tiap tahun agar
mesin otomatis lebih ekonomis dari mesin semiotomatis?
b. Apabila manajemen menetapkan tingkat produksi sebesar
2.000 ton per tahun, mesin mana yang sebaiknya dipilih?
11

Solusi :
a. Penyelesaian dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah
sebagai berikut :
1. Misalkan X adalah jumlah wafer (ton) yang akan diproduksi
dalam setahun.
2. Biaya-biaya variabel tahunan untuk mesin otomatis adalah :
Rp. 12.000,- x 1 jam x X ton
AC1 = Jam 8 ton tahun
= Rp. 12.000
X = Rp. 1500X
8
Sehingga biaya ekuivalen tahunannya adalah :
EUAC1 = 23.000.000 (A/P, 10%, 10) – 4.000.000 (A/F,
10%, 10) + 3.500.000 + 12.000X / 8
= 23.000.000 (0,16275) – 4.000.000 (0,06275) +
3.500.000 + 12.000X / 8
= 6.992.000 + 1500X
Dengan cara yang sama akan diperoleh biaya variabel
tahunan untuk mesin semiotomatis adalah :
Rp. 24.000,- x 1 jam x X ton
AC2 = Jam 6 ton tahun
= Rp. 24.000
X = Rp. 4.000X
6
Sehingga biaya ekuivalen tahunannya adalah :
EUAC2 = 8.000.000 (A/P, 10%, 5) + 1.500.000 + 4.000X
= 8.000.000 (0,26380) + 1.500.000 + 4.000X
= 3.610.000 + 4.000X

3. Kedua persamaan EUAC1 dan EUAC2 kemudian diekuiva-


lenkan sehingga diperoleh :
EUAC1 = EUAC2
6.992.000 + 1500X = 3.610.000 + 4.000X
3.382.000 = 2.500X
12

X = 1.352,8 ton per tahun


Sehingga :
a. Mesin otomatis akan lebih ekonomis dibandingkan dengan
mesin semiotomatis apabila jumlah wafer yang diproduksi
lebih besar dari 1.352,8 ton per tahun
b. Apabila manajemen menetapkan tingkat produksi sebesar
2.000 ton per tahun, maka mesin otomatis yang harus dipilih
karena berada pada daerah untung (di atas titik impas).

Contoh 6.4.
Asumsikanlah ada 3 alternatif proyek dengan data-data sebagai
berikut :

Tabel 6.1 Data-data Biaya Beberapa Alternatif Proyek

Alternatif A B C
Biaya awal (juta) 100 150 250
Nilai sisa (juta) 0 25 25
Biaya tahunan (juta) 20 16 5
Umur proyek (tahun) 10 10 10
Ongkos/unit produk 200 150 100
Bila MARR adalah 10%, pada interval tingkat produksi per
tahun berapa alternatif B paling ekonomis?
Solusi :
Misalkan X adalah jumlah produk yang dibuat per tahun, maka ;
Biaya ekuivalen tahunannya adalah :
EUACA = 100 juta (A/P, 10%, 10) + 20 juta + 200X
= 100 juta (0,16275) + 20 juta 200X
= 36,275 juta + 200X
EUACB = 150 juta (A/P, 10%, 10) + 16 juta – 25 juta (A/F,
10%, 10) + 150X
13

= 150 juta (0,16275) + 16 juta – 25 juta (0,06275) +


150 X
= 38,844 juta + 150X
EUACC = 250 juta (A/P, 10%, 10) + 5 juta – 25 juta (A/F,
10%, 10) + 100X
= 250 juta (0,16275) + 5 juta – 25 juta (0,06275) +
100 X
= 44,119 juta + 100X
Bila digambarkan dalam diagram maka hubungan biaya-
biaya dari ke-tiga alternatif akan tampak seperti Gambar 6.4

Biaya
(juta Rp.) A B
44,119 C

38,844
36,275

X1 X2 X3 Volume (X)
Gambar 6.4 Ilustrasi grafis biaya2 alternatif proyek A,B, & C
Dari gambar di atas tampak bahwa alternatif proyek B akan
paling ekonomis apabila perusahaan berproduksi pada
volume per tahun antara X1 dan X3. Bila volume produksi
kurang dari X3, maka alternatif C yang paling ekonomis dan
bila volume produksi kurang dari X1, maka alternatif A yang
paling ekonomis.
Untuk menghitung nilai X1 dan X3 digunakan masing-masing
persamaan sebagai berikut :
14

X1 ; diperoleh dengan mempertemukan garis A dan B shgg :


36,275 juta + 200X = 38,844 juta + 150 x
50 X = 2,569 juta
X = 51.380 unit
Jadi X1 adalah 51.380 unit per tahun
X3 ; diperoleh dengan mempertemukan garis B dan C shgg :
38,844 juta + 150X = 44,119 juta + 100 x
50 X = 5,275 juta
X = 105.500 unit
Jadi X3 adalah 105.500 unit per tahun
Dengan demikian maka sebaiknya perusahaan memilih
alternatif proyek B apabila tingkat produksinya per tahun
adalah antara 51.380 sampai 105.500 unit.
6.2. ANALISA SENSITIVITAS
Nilai-nilai parameter ekonomi teknik diestimasikan dalam
besaran-besaran yang tidak lepas dari faktor kesalahan sehingga
nilai parameter yang diperoleh mungkin lebih besar atau lebih
kecil dari hasil estimasi atau berubah pada saat tertentu. Hasil
estimasi akan dapat mengakibatkan perubahan out put suatu
alternatif investasi sehingga alternatif investasi tersebut juga
berubah.
Sensitivitas adalah berubahnya faktor-faktor atau parameter
ekonomi teknik yang dapat mengakibatkan berubahnya suatu
keputusan. Biasanya hasil analisa sensitivitas akan memberikan
gambaran sejauh mana suatu keputusan akan cukup kuat
berhadapan dengan perubahan faktor-faktor atau parameter-
parameter yang mempengaruhinya.
Contoh 6.5.
Sebuah alternatif investasi diperkirakan membutuhkan dana
awal sebesar 10 juta dengan nilai sisa nol di akhir tahun ke lima.
Pendapatan tahunan diestimasikan sebesar Rp. 3 juta. Perusahaan
menggunakan MARR sebesar 12% untuk menganalisis kelayakan
alternatif investasi tersebut. Aliran kas dari alternatif ini terlihat
15

pada Gambar 6.5. Buatlah analisis sensitivitas dengan mengubah


nilai-nilai : (a). tingkat bunga, (b). investasi awal, dan (c).
pendapatan tahunan; pada interval + 40% dari nilai-nilai yang
diestimasikan di atas dan tentukan batas-batas nilai parameter yang
mengakibatkan keputusan terhadap alternatif tersebut bisa berubah
(dari layak menjadi tidak layak atau sebaliknya).
A = 3 juta

0 1 2 3 4 5

P = 10 juta

Gambar 6.5. Perkiraan kondisi investasi untuk contoh 6.5.


Solusi :
Langkah pertama yang akan dilakukan di sini adalah menentukan
keputusan awal (sebelum dilakukan analisa sensitivitas) dari
alternatif tersebut dengan menghitung nilai awal nettonya (NPW) :
NPW = - 10 juta + 3 juta (P/A, 12%, 5)
= - 10 juta + 3 juta (3,6048)
= 0,8144 juta
a. Bila suku bunga berubah sampai + 40% dari suku bunga yang
diestimasikan maka nilai NPW-nya akan menjadi :
(i) Bila bertambah 40%; (= (12%) + (12 x 40%) = 16,8%)
NPW = - 10 juta + 3 juta (P/A, 16,8%, 5)
= - 10 juta + 3 juta (3,2143)
= -0,3572 juta

(ii) Bila berkurang 40%; (= (12%) - (12 x 40%) = 7,2%)


NPW = - 10 juta + 3 juta (P/A, 7,2%, 5)
= - 10 juta + 3 juta (4,0787)
= 2,2361 juta

(iv) Bila bertambah 25%; (= (12%) + (12 x 25%) = 15%)


16

NPW = - 10 juta + 3 juta (P/A, 15%, 5)


= - 10 juta + 3 juta (3,3522)
= 0,0566 juta

(v) Bila berkurang 25% (= (12%) - (12 x 25%) = 9%)


NPW = - 10 juta + 3 juta (P/A, 9%, 5)
= - 10 juta + 3 juta (3,8897)
= 1,6691 juta

Bila digambar dalam grafik yang menyatakan perubahan suku


bunga terhadap NPW maka diperoleh Gambar 6.5.a.

NPW (juta)

(-40, 2,2361 2
(-25, 1,6691)
1 (0, 0,8144)
(25, 0,0566)
-40 -30 -20 -10 10 20 30 40
-1 perubahan suku bunga(%) (40, -0,3571)

-2

-3

Gambar 6.5.a. Pengaruh perubahan tingkat suku bunga terhadap


nilai NPW
Keputusan akan berubah dari layak menjadi tidak layak apabila
NPW yang dihasilkan berubah menjadi negatif. Batas perubahan
17

ini akan diperoleh dengan menghitung nilai ROR, yaitu suatu


tingkat bunga yang menyebabkan NPW = 0.
Dimana NPW = 0 apabila :
-10 juta + 3 juta (P/A, i%, 5) = 0
(P/A, i%, 5) = 3,333
i = 15,25%
Jadi keputusan akan berubah apabila menjadi lebih besar dari
15,25% atau apabila meningkat sekitar 25% dari nilai awal yang
ditetapkan sebesar 12%.
b. Bila besarnya investasi awal diubah pada interval + 40%, maka
nilai NPW akan menjadi sebagai berikut :
(i) Bila bertambah 40%; (100% + 40% = 140% = 1,4)
NPW = - 10 juta (1,4) + 3 juta (P/A, 12%, 5)
= - 14 juta + 3 juta (3,6048)
= -3,1856 juta
(ii) Bila berkurang 40%; (100% - 40% = 60% = 0,6)
NPW = - 10 juta (0,6) + 3 juta (P/A, 12%, 5)
= - 6 juta + 3 juta (3,6048)
= 4,8144 juta

(iv) Bila bertambah 25%; (100% + 25% = 125% = 1,25)


NPW = - 10 juta (1,25) + 3 juta (P/A, 12%, 5)
= - 12,5 juta + 3 juta (3,6048)
= - 1,6856 juta

(v) Bila berkurang 25% (100% - 25% = 75% = 0,75)


NPW = - 10 juta (0,75) + 3 juta (P/A, 12%, 5)
= - 7,5 juta + 3 juta (3,6048)
= 3,3144 juta

Bila digambar dalam grafik yang menyatakan perubahan nilai


investasi terhadap NPW maka diperoleh Gambar 6.5.b.

NPW (juta)
18

6
(-40, 4,8140)
(-25, 3,3144) 4

-40 -30 -20 -10 10 20 30 40


-2 (25, -1,6856) nilai investasi awal

-4 (-40, -3,1856)

-6

Gambar 6.5.b. Pengaruh perubahan nilai investasi awal terhadap


nilai NPW
Alternatif tersebut akan menjadi tidak layak apabila perubahan
nilai investasi awal menyebabkan nilai NPW berubaha menjadi
lebih kecil dari nol. NPW akan sama dengan nol apabila
besarnya investasi adalah :
P = 3 juta (P/A, 12%, 5)
= 3 juta (3,6048)
= 10,8144 juta
Jadi investasi tersebut menjadi tidak layak apabila investasi
yang dibutuhkan lebih dari Rp. 10,8144 juta atau meningkat
sebesar 8,144% dari investasi awal yang diestimasikan sebesar
Rp. 10 juta.
c. Bila pendapatan tahunan berubah pada interval + 40%, maka
nilai NPW akan terlihat menjadi seperti pada perhitungan
beberapa titik sampel sebagai berikut :
(i) Bila pendapatan naik 40%; (100% + 40% = 140% = 1,4)
NPW = - 10 juta + 3 juta (1,4) (P/A, 12%, 5)
= - 10 juta + 4,2 juta (3,6048)
= 5,140 juta
19

(ii) Bila pendapatan turun 40%; (100% - 40% = 60% = 0,6)


NPW = - 10 juta + 3 juta (0,6) (P/A, 12%, 5)
= - 10 juta + 1,8 juta (3,6048)
= 3,511 juta
(iv) Bila pendapatan naik 25%; (100% + 25% = 125% = 1,25)
NPW = - 10 juta + 3 juta (1,25) (P/A, 12%, 5)
= - 10 juta + 3,75 juta (3,6048)
= 3,518 juta
(v) Bila pendapatan turun 25% (100% - 25% = 75% = 0,75)
NPW = - 10 juta + 3 juta (0,75) (P/A, 12%, 5)
= - 10 juta + 2,25 juta (3,6048)
= -1,8892 juta

Hubungan antara besarnya perubahan pendapatan tahunan +


40% terhadap nilai NPW dari alternatif tersebut diperlihatkan
seperti pada Gambar 6.5.c.
Alternatif di atas akan menjadi tidak layak apabila pendapatan
tahunan turun sampai di bawah 2,774 juta per tahun atau apabila
terjadi penurunan sekitar 7,47%. (Silahkan dihitung sendiri
dengan cara yang seperti di atas).

NPW (juta)

6
(40, 5,140)
4 (25, 3,518)

-40% -30% -20% -10% 10% 20% 30% 40%


(-25, -1,889) -2 persentase perubahan
pendapatan tahunan
(-40, -3,511) -4

-6
20

Gambar 6.5.c. Pengaruh perubahan pendapatan tahunan


terhadap nilai NPW

VII. DEPRESIASI
7.1 Pendahuluan
Depresiasi pada dasarnya adalah penurunan nilai suatu pro-
perti atau aset karena waktu dan pemakaian.
Penyebab Depresiasi :
(1). Kerusakan fisik akibat pemakaian alat atau properti;
(2). Kebutuhan produksi atau jasa yang lebih baru dan lebih besar;
(3). Penurunan kebutuhan produksi atau jasa;
(4). Properti atau aset menjadi usang karena adanya perkembangan
teknologi;
(5). Penemuan fasilitas-fasilitas yang bisa menghasilkan produk
yang lebih baik dengan biaya yang lebih murah dan tingkat
keselamatan yang lebih memadai.
Besarnya depresiasi tahunan yang dikenakan pada suatu
properti bergantung pada beberapa hal :
21

(1). biaya investasi dari properti;


(2). tanggal pemakaian awalnya;
(3). estimasi masa pakainya;
(4). nilai sisa yang ditetapkan;
(5). metode depresiasi yang digunakan.
Beberapa syarat properti atau aset dapat didepresiasi :
(1). Harus digunakan untuk keperluan bisnis atau memperoleh
penghasilan;
(2). Umur ekonomisnya bisa dihitung;
(3). Umur ekonomisnya lebih dari satu tahun;
(4). Merupakan sesuatu yang digunakan, sesuatu yang menjadi
usang atau sesuatu yang nilainya menurun karena sebab-sebab
alamiah.
7.2 Akuntansi Depresiasi
Dari segi akuntansi depresiasi dapat dikatakan sebagai beban
tahunan yang ditujukan untuk menutupi nilai investasi awal diku-
rangi nilai sisa selama masa pakai ekonomis dari aset atau properti
yang didepresiasi. Jadi depresiasi adalah pengeluaran bukan tunai
yang mempengaruhi aliran kas melelui pajak pendapatan.
Akuntansi depresiasi akan memberikan perkiraan tentang:
(1). Pengembalian modal yang telah diinvestasikan pada properti;
(2). Estimasi nilai jual dari aset yang didepresiasi;
(3). Besarnya depresiasi maksimum yang diperbolehkan oleh
Undang-Undang Pajak.
22

7.3 Dasar Perhitungan Depresiasi

Nilai sisa = nilai jual – biaya pemindahan

7.4 Metode Depresiasi


(1). Metode Garis Lurus (Straight Line = SL)
(2). Metode Jumlah Digit Tahun (Sum Of Years Digit = SOYD)
(3). Metode Keseimbangan Menurun (Declining Balance = DB)
(4). Metode Dana Sinking (Sinking Fund = SF)
(5). Metode Unit Produksi (Production Unit = UP)
(1). Metode Garis Lurus (Straight Line = SL)
Asumsi bahwa : berkurangnya nilai suatu aset berlangsung
secara linier terhadap waktu atau umur aset.
P–S
Dt =
N
Dimana :
Dt = besarnya depresiasi pada tahun ke-t
P = biaya awal dari aset
S = nilai sisa dari aset
N = masa pakai aset dinyatakan dalam tahun
Karena aset didepresiasi dengan jumlah yang sama setiap
tahun; maka nilai buku (Book Value) setelah tahun ke-t (BVt)
akan sama dengan nilai awal dari aset tersebut dikurangi
dengan besarnya depresiasi tahunan dikalikan dengan t.

BVt = P – tDt
23

P–S
=P– t
N

Maka dengan Metode Straight Line tingkat depresiasi adalah :


1
D=
N
Contoh :

Misalkan sebuah perusahaan membeli alat transportasi


dengan harga Rp. 38 juta dan biaya pengiriman dan uji coba
besarnya Rp. 1 juta. Masa pakai ekonomis dari alat ini adalah
6 tahun dengan perkiraan nilai sisa sebesar Rp. 3 juta.
Dengan menggunakan metode depresiasi garis lurus
hitunglah :

a. Nilai awal alat;

b. Besarnya depresiasi tiap tahun;

c. Nilai buku (Book Value) alat tersebut pada akhir tahun ke-
dua dan ke-lima;

d. Buat Tabel jadual depresiasi dan nilai buku selama masa


pakainya;

e. Plot-kan (dalam bentuk grafik) kecenderungan antara nilai


buku terhadap umur alat.

Penyelesaian :

a. Nilai awal (P) = harga + biaya pengiriman dan uji coba


24

P = Rp. 38 juta + Rp. 1 juta


= Rp. 39 juta

b. P–S
Dt =
N
Rp. 39 juta – Rp. 3 juta
= = Rp. 6 juta
6

c. (i) Nilai buku (BV) pada akhir tahun ke-dua


BVt = P – tDt
BV1 = Rp. 39 juta – (2 x Rp. 6 juta)
= Rp. 39 juta – Rp. 12 juta
= Rp. 27 juta
(ii) Nilai buku (BV) pada akhir tahun ke-lima
BVt = P – tDt
BV2 = Rp. 39 juta – (5 x Rp. 6 juta)
= Rp. 39 juta – Rp. 30 juta
= Rp. 9 juta
d. Tabel. Depresiasi dan Nilai Buku

Akhir tahun Depresiasi akhir tahun Nilai Buku


0 Rp. 0 juta Rp. 39 juta
1 Rp. 6 juta Rp. 33 juta
2 Rp. 6 juta Rp. 27 juta
3 Rp. 6 juta Rp. 21 juta
4 Rp. 6 juta Rp. 15 juta
5 Rp. 6 juta Rp. 9 juta
6 Rp. 6 juta Rp. 3 juta

e. Gambar grafik yang menunjukkan hubungan antara nilai


buku (BV) terhadap waktu (umur alat)
25

ANALISIS EKONOMI
A. RENCANA USAHA
Direncanakan produksi keripik talas sebanyak 15 kali proses
produksi (pp) di laboratorium pengolahan pangan dengan rincian
biaya-biaya proses produksi sebagai berikut :
1. Biaya Tetap (Fixed Cost)

No Uraian Volume Harga Satuan (Rp) Jumlah (Rp)


1. Sewa alat & 1 paket 75.000 75.000
tempat
2. Gaji karyawan 15 pp 5.000 75.000
Jumlah 150.000
2. Biaya Variabel (Variable Cost)

No Uraian Volume Harga Satuan (Rp) Jumlah (Rp)


1. Talas 147 kg 300 441.000
2. Garam 1,5 kg 1.200 1.800
3. Bawang putih 1,5 kg 4.000 6.000
4. Minyak goreng 18 kg 4.750 85.000
5. Bahan bakar 75 lt 700 52.500
6. Kemasan 450 kms 100 45.000
26

7. Transportasi - - 30.000
8. Sanitasi - - 10.000
9. Pemasaran 130 kms 200 26.000
Jumlah 300.900
a. Total Biaya (Total Cost) = Biaya Tetap + Biaya Variabel
= Rp. 150.000,- + Rp. 300.900,-
= Rp. 450.900,-
b. Harga Pokok per kemasan = Total Cost / jumlah kemasan
= Rp. 450.900,- / 450 kms
= Rp. 1002,-
Jumlah kemasan = 450 dengan berat 200 gram per kemasan
Harga jual per kemasan = Rp. 2000,-
c. Total Pendapatan (TR) = Rp. 2000,- x 450 kms
= Rp. 900.000,-
d. Biaya Variabel (VC) / unit = Total Biaya Variabel / kemasan
= Rp. 300.900,-/450
= Rp. 668,67
e. Keuntungan (Benefit) = TR – TC
= Rp. 900.000,- - Rp. 450.900,-
= Rp. 449.100,-
f. Laju Keuntungan = (Keuntungan/TC) x 100%
= Rp.449.100,00/450.900,00 x 100%
= 99,6 %
g. BEP (jumlah produk) = Biaya Tetap (FC)
Harga jual/kms – Biaya Var./kms
= Rp. 150.000,00
Rp. 2000 – 668,67
27

=
Rp. 150.000,00
Rp. 1331,33
= 113 kms
h. BEP (berdasarkan rupiah) = Biaya Tetap (FC)
1-(Biaya Variabel/Total Pendapatan)
= Rp. 150.000,00
1-(300.900/900.000,-)
= Rp. 150.000,00
1- 0,3343
= Rp. 150.000,-/0,6657
= Rp. 225.326,72
i. B/C Ratio = TR/TC
= Rp. 900.000,-/ Rp. 450.900,-
= 1,99
B. REALISASI USAHA
Realisasi produksi keripik talas sebanyak 15 kali proses
produksi (pp) di laboratorium pengolahan pangan dengan rincian
biaya-biaya proses produksi sebagai berikut :
1. Biaya Tetap (Fixed Cost)

No Uraian Volume Harga Satuan (Rp) Jumlah (Rp)


1. Sewa alat & 1 paket 75.000 75.000
tempat
2. Gaji karyawan 15 pp 5.000 75.000
Jumlah 150.000
2. Biaya Variabel (Variable Cost)

No Uraian Volume Harga Satuan (Rp) Jumlah (Rp)


1. Talas 147 kg 300 441.000
2. Garam 1,5 kg 1.200 1.800
28

3. Bawang putih 1,5 kg 4.000 6.000


4. Minyak goreng 18 kg 4.750 85.000
5. Bahan bakar 75 lt 700 52.500
6. Kemasan 450 kms 100 45.000
7. Transportasi - - 30.000
8. Sanitasi - - 10.000
9. Pemasaran 130 kms 200 26.000
Jumlah 300.900
a. Total Biaya (Total Cost) = Biaya Tetap + Biaya Variabel
= Rp. 150.000,- + Rp. 300.900,-
= Rp. 450.900,-
b. Harga Pokok per kemasan = Total Cost / jumlah kemasan
= Rp. 450.900,- / 407 kms
= Rp. 1107,80
Jumlah kemasan = 407 dengan berat 200 gram per kemasan
Harga jual per kemasan = Rp. 2000,-
c. Total Pendapatan (TR) = Rp. 2000,- x 407 kms
= Rp. 788.000,-
d. Biaya Variabel (VC) / unit = Total Biaya Variabel / kemasan
= Rp. 300.900,-/407
= Rp. 739,30
e. Keuntungan (Benefit) = TR – TC
= Rp. 788.000,- - Rp. 450.900,-
= Rp. 337.100,-
f. Laju Keuntungan = (Keuntungan/TC) x 100%
= Rp.337.100,00/450.900,00 x 100%
= 74,8 %
29

g. BEP (jumlah produk) = Biaya Tetap (FC)


Harga jual/kms – Biaya Var./kms
= Rp. 150.000,00
Rp. 2000 – 739,30
= Rp. 150.000,00
Rp. 1260,70
= 119 kms
h. BEP (berdasarkan rupiah) = Biaya Tetap (FC)
1-(Biaya Variabel/Total Pendapatan)
= Rp. 150.000,00
1-(300.900/788.000,-)
= Rp. 150.000,00
1- 0,3818
= Rp. 150.000,-/0,6181
= Rp. 242.718,45
i. B/C Ratio = TR/TC
= Rp. 788.000,-/ Rp. 450.900,-
= 1,75
30

Anda mungkin juga menyukai