Anda di halaman 1dari 15

PRODUKSI BERSIH

INDUSTRI GULA

DIKERJAKAN OLEH:

CHAIRANI
SEVIANI ICI SISKA
DEWI DHIA DARIN
SILFI RIRI DWI H.
W.

PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016
BAB I
PENDAHULUA
N

1.1 Latar belakang


Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia, pendapatan masyarakat
serta semakin berkembangnya industry pengguna gula pasir mengakibatkan permintaan gula
pasir dalam negeri mengalami peningkatan.
Produksi bersih merupakan suatu strategi pengelolaan lingkungan yan gbersifat
pencegahan yang perlu diterapkan secara terus menerus. Penerapan produksi bersih dalam
industry memeberikan pengaruh positif bagi perusahaan yan gmenerapkannya, baik secara
financial maupun non financial. Produksi bersih dapat diaplikasikan pada berbagai industri
baik industri yang bergerak dibidang pangan maupun industri yang bergerak di bidang non-
pangan.
Salah satu perusahaan BUMN yang melakukan kegiatan penanaman tebu dan
memproduksi gula tebu adalah PT. Perkebunan Nusantara X (Persero) Jawa Timur, dengan
Pabrik Gula Pesantren Baru sebagai salah satu pabriknya yang menghasilkan gula dengan
kapasitas besar (5000 TCD). Tujuan utama perusahaan adalah kontinuitas usaha dalam
rangka memaksimalkan keuntungan yang diperoleh untuk menghindari kerugian. Kajian
terhadap penerapan produksi bersih pada industry ini akan dijabarkan lebih lengkap pada bab
berikutnya.

1.2 Perumusan Masalah


1. Bagaimana proses produksi gula pada industri gula?
2. Bagaimana teknologi bersih yang dapat diterapkan pada industri gula?
3. Apa saja manfaat dari penerapan produksi bersih pada industri gula?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana proses produksi gula pada industri gula
2. Untuk mengetahui bagaimana teknologi bersih yang dapat diterapkan pada industri
gula
3. Untuk mengetahui manfaat dari penerapan produksi bersih pada industri gula

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian produksi bersih


Produksi bersih merupakan tindakan efisiensi pemakaian bahan baku, air dan energi,
serta pencegahan pencemaran, dengan sasaran peningkatan produktivitas dan minimasi
timbulan limbah. Pola pendekatan produksi bersih bersifat preventif atau pencegahan
timbulnya pencemar, dengan melihat bagaimana suatu proses produksi dijalankan dan
bagaimana daur hidup suatu produk.
Strategi pengelolaan lingkungan pada awalnya didasarkan pada pendekatan daya
dukung lingkungan (carrying capacity approach), namun karena daya dukung lingkungan
alami memiliki kemampuan yang terbatas dalam menetralkan pencemaran yang makin
meningkat, maka upaya mengatasi masalah pencemaran berkembang ke arah pendekatan
pengelolaan limbah yang terbentuk (end-of-pipe treatment). Pengelolaan pencemaran melalui
pendekatan pengolahan limbah (end-of-pipe treatment) ternyata bukan cara yang efektif dan
hemat biaya, oleh karena itu strategi pengelolaan lingkungan harus diubah ke arah
pencegahan pencemaran, yaitu dengan penerapan Produksi Bersih. Strategi ini merupakan
paradigma baru dalam pengelolaan pencemaran lingkungan, sehingga masalah pencemaran
lingkungan, terutama bagi industri, tidak lagi identik dengan pengeluaran tambahan yang
menaikkan biaya produksi bagi industri tersebut (Saribanon, 2003).
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL) mendefinisakn produksi bersih
sebagai suatu strategi pengelolaan lingkungan yang preventive dan diterapkan secara terus
menerus pada proses produksi, serta daur hidup produk dan jasa untuk meningkatkan eko-
efisiensi dengan tujuan mengurangi resiko terhadap manusia dan lingkungan.
Pada proses industri, produksi bersih berarti meningkatkan efisiensi pemakaian bahan
baku, energi, mencegah atau mengganti penggunaan bahan-bahan berbahaya dan beracun,
mengurangi jumlah dan tingkat racun semua emisi dan limbah sebelum meninggalkan proses.
Pada produk, produksi bersih bertujuan untuk mengurangi dampak lingkungan selama daur
hidup produk, mulai dari pengambilan bahan baku sampai ke pembuangan akhir setelah
produk tersebut tidak digunakan. Produksi bersih pada sektor jasa adalah memadukan
pertimbangan lingkungan ke dalam perancangan dan layanan jasa. (UNEP, 1999)
2.2 Konsep Penerapan Produksi Bersih
Konsep produksi bersih memiliki 4 prisip dasar, yaitu:
1. Prinsip kehati-hatian, tanggung jawab yang utuh dari produsen agar tidak menimbulkan
dampak yang merugikan sekecil apapun.
2. Prinsip pencegahan, penting untuk memahami siklus hidup produk dari pemilihan bahan
baku hingga terbentuknya limbah.
3. Prinsip demokrasi, komitmen dan keterlibatan semua pihak dalam rantai produksi dan
konsumsi.
4. Prinsip holistic, pentingnya keterpaduan dalam pemanfaatan sumber daya lingkungan
dan konsumsi sebagi satu daur yang tidak dapat dipisahkan.

2.3 Manfaat Produksi Bersih


Manfaat penerapan produksi bersih menurut Bratasida (1996) antara lain:
1) mencegah terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan melalui upaya
minimisasi limbah, daur ulang pengolahan dan pembuangan limbah yang aman;
2) mendukung prinsip pemeliharaan lingkungan dalam rangka pelaksanaan
pembangunan berkelanjutan;
3) dalam jangka panjang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui penerapan
proses produksi, penggunaan bahan baku dan energi secara efisien;
4) mencegah atau memperlambat degradasi lingkungan dan mengurangi eksploitasi
sumber daya alam melalui penerapan daur ulang limbah di dalam proses yang
akhirnya menuju pada upaya konservasi sumberdaya alam untuk mencapai tujuan
pembangunan berkelanjutan;
5) mengurangi tingkat bahaya kesehatan dan keselamatan kerja; dan
6) memperkuat citra produsen di mata konsumen.

Manfaat ekonomi dari berkurangnya limbah yang harus dikelola merupakan pemikat
yang dapat dihitung secara nyata dalam bentuk biaya pengendalian pencemaran dan biaya
manajemen. Melalui upaya pencegahan pencemaran, penghematan biaya pengelolaan limbah
dapat dicapai. Penghematan dapat dilakukan terhadap sejumlah biaya yang dikelompokkan
sebagai berikut.
1. biaya penanganan dan pengelolaan di dalam pabrik
2. biaya transportasi dan pemusnahan di luar pabrik
3. biaya administrasi dan pencatatan (Djajadiningrat, 1999).
Upaya pencegahan pencemaran melalui produksi bersih tidak saja akan membantu
kalangan industri meningkatkan keuntungan dari berkurangnya biaya untuk menangani
limbah, tetapi juga memberikan keuntungan dari segi peningkatan efisiensi produksi.
Produksi bersih dapat membantu mewujudkan industri berwawasan lingkungan.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Alur Produksi Pabrik Gula

Tebu 100%

Air Ambibisi 19-27% ampas 32-33% STASIUN KETEL


STASIUN GILINGAN
Nira Mentah 87-94 %

Larutan Kapur 0,18-0,21%


STASIUN PEMURNIAN Blotong 3-4%
Belerang 0,008-0,09% NIRA
Nira Encer 84-90%

STASIUN
Air Kondensat 62-64%
PENGUAPAN
Nira kental 22-26%

STASIUN
MASAKAN
(KRISTALISASI Air Kondensat 13-16%
)

Masecuite 40-44%

STASIUN
Sirup 31-35% Tetes 4-5%
SENTRIFUGASI
Gula Produk SHS 6-8%

STASIUN GUDANG
PEMBUNGKUSAN

Gambar 3.1 Alur Produksi Pabrik Gula


Menurut Moerdokusumo (1993), proses pengolahan tebu untuk menghasilkan gula
Kristal putih terdiri dari unit operasi penggilingan, pemurnian, penguapan, kristalisasi, dan
sentrifuse.
1. Stasiun Gilingan
Stasiun gilingan bertujuan untuk mengekstrak nira yang terkandung di dalam tebu
semaksimal mungkin sehingga hanya sedikit jumlah gula yang terikut dalam ampas.
Terdapat beberapa tahap penggilingan ampas, pada tahapp akhir penggilingan diberikan
air imbibisi suhu 60oC dengan tujuan untuk melarutkan sisa nira yang masih terdapat
dalam ampas tebu. Ampas yang dihasilkan kemudian dibawa ke stasiun ketel. Effluent
dari stasiun gilingan yaitu nira mentah sebanya 87-94%.
2. Stasiun pemurnian
Stasiun pemurnian atau stasiun purifikasi adalah stasiun yang bertujuan untuk
memisahkan kotoran seperti partikel kasar (pasir dan ampas yang masih terbawa
mikroorganisme dalam nira mentah), partikel koloid seperti non-suspendes sugar dan
partikel terlarut (misalnya desinfektan yang ikut terbawa dari stasiun penggilingan)
dalam nira mentah sebanyak mungkin dengan cara yang efektif. Dalam memproduksi
gula pasir khususnya pada stasiun pemurnian nira, diperlukan adanya bahan pembantu
yang digunakan untuk meningkatkan kualitas dan memperlancar jalannya proses
produksi gula. Bahan pembantu yang digunakan adalah beberapa zat kimia, yaitu:
a. Susu kapur (Ca(OH)2), adalah bahan pembantu yang berfungsi untuk menetralkan
nira, mencegah terbentuknya inverse gula, dan membentuk endapan kotoran dalam
nira.
b. Belerang, adalah bahan pembantu yang digunakan pada unit operasi purifikasi.
Belerang digunakan dalam bentuk sulfit yang bertujuan untuk menetralisir kelebihan
susu kapur dan menyerap atau menghilangkan zat warna pada nira.
Produk samping yang digunakan dari proses ini ialah blotong yang dibawa ke Stasiun
Ketel. Nira encer sebagai effluent dari stasiun pemurnian kemudian diolah ke proses
berikutnya.
3. Stasiun penguapan
Adalah stasiun yang bertujuan untuk menguapkan kandungan air yang terdapat
pada nira jernih (nira encer) dari stasiun pemurnian sehingga dihasilkan nira kental. Nira
encer dari stasiun pemurnian masih mengandung air sekitar 80-85%. Hasil samping dari
proses penguapan ini adalah air (kondensat) yang dimanfaatkan sebagai air umpan di
stasiun ketel. Dari proses ini dihasilkan nira kental 22-26%.
4. Stasiun masakan (kristalisasi)
Adalah stasiun yang bertujuan untuk mengkristalkan nira kental sehingga
didapatkan ukuran kristal gula sesuai dengan yang diinginkan. Secara umum proses
kristalisasi melewati 3 tahapan, yaitu pembuatan gula bibitan, pembesaran Kristal gula,
dan kristalisasi sempurna. Dalam proses ini diperoleh larutan Kristal gula yang disebut
masecuite serta diperoleh hasil samping berupa ir kondensat yang dimanfaatkan sebagai
air umpan di stasiun ketel.
5. Stasiun sentrifugasi
Pada stasiun ini dilakukan proses pemutaran masecuite yang bertujuan
memisahkan Kristal gula dari larutan (sirupnya). Pada proses ini akan diperoleh gul
aproduk SHS dan hasil samping berupa tetes.
6. Stasiun pembungkusan
Proses pembungkusan bertujuan untuk memberikan perlakuan terakhir pada gula
sebelum digudangkan.
7. Stasiun ketel
Di stasiun ketel dilakukan proses pemanasan air kondensat sampai mendidih
(menguap) yang bertujuan menghasilkan uap pada tekanan tertentu. Ketel berfungsi
untuk menguapkan air dengan tekanan tertentu dan dimanfaatkan untuk menghasilkan
listrik tenaga uap. Bahan bakar ketel diambil dari sisa stasiun gilingan yaitu berupa
ampas tebu dan blotong.

3.2 Penerapan Produksi Bersih


Strategi pengolahan limbah yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Daur Ulang (Recycle)
a. Penggunaan dan Daur Ulang Kembali (In site Recovery and Reuse).
Penggunaan kembali pada tempatnya (On-site recovery and Re- use) adalah
penggunaan kembali limbah yang dihasilkan pada proses yang sama atau pada proses
yang lain di industri tersebut.
Proses daur ulang yang dapat dilakukan, yaitu:
- Penggunaan kembali air hasil akhir pengelolaan limbah,
- Pengambilan tebu yang tercecer di emplacement untuk dimasukkan ke stasiun
gilingan,
- Penggunaan ampas tebu dari stasiun gilingan sebagai bahan bakar pada stasiun
ketel,
- Penggunaan uap nira dari stasiun masakan (kristalisasi) untuk stasiun penguapan
(evaporasi),
- Penggunaan uap nira dari evaporator I untuk pengoperasian evaporator
berikutnya, nira yang terkandung dalam uap bekas dipisahkan dengan sap vanger
sehingga nira kental bisa dikembalikan ke proses,
- Peleburan kembali gula hasil yang biasanya pada awal giling masih kotor untuk
dijadikan umpan pada stasiun kristalisasi,
- Peleburan kembali gula yang tidak memenuhi kriteria produk (gula kasar dan gula
halus) di stasiun sentrifugasi untuk dijadikan bibitan di stasiun kristalisasi,
- Tumpahan nira kental di stasiun kristalisasi yang terjadi karena kerusakan peralatan
ditarik kembali dengan pompa ke timbangan boulogne di stasiun pemurnian
(purifikasi) untuk mengalami proses kembali,
- Ceceran oli yang telah diserap dengan ampas di stasiun penggilingan digunakan pada
ketel sebagai tambahan bahan bakar pada saat terjadi jam berhenti giling yang
biasanya dikarenakan kerusakan alat,
- Gula yang tercecer di sekitar timbangan curah diambil kembali secara manual
untuk dilebur kembali di stasiun masakan sehingga jumlah kehilangan produk
bisa lebih dikurangi.

b. Produk Samping yang Bermanfaat (Creation of Useful By Product).


Penciptaan produk samping yang berguna juga merupakan strategi
sebagai usaha untuk meminimisasi limbahnya. Produk samping ini ada yang secara
langsung dijual tanpa melalui proses terlebih dahulu dan ada juga yang diproses
terlebih dahulu sehingga nilai ekonominya lebih tinggi. Hal ini tentu saja akan
memberikan keuntungan tambahan bagi pihak perusahaan.
A. Ampas (Bagasse)
Ampas tebu adalah produk samping yang dihasilkan dari stasiun gilingan.
Ampas tebu yang dihasilkan digunakan untuk bahan bakar pada ketel. Ampas tebu
dari gilingan akan dibawa oleh conveyor belt untuk dimasukkan ke ketel Yoshimine
I, Yoshimine II, dan ketel Takuma sebagai bahan bakar.
Ampas tebu yang tersisa pada akhir giling juga digunakan sebagai bahan
campuran pembuatan kertas. Industri gula hanya menyediakan dan menjual
kemudian perusahaan tersebut yang mengambil ke pabrik.
Kelebihan ampas dari stasiun gilingan akan ditumpuk di bagasse house setinggi ±
2.5 meter. Ampas dari gudang ini akan digunakan untuk bahan bakar pada awal masa
giling untuk periode berikutnya. Ampas ini juga dipakai untuk menjaga kebersihan
pabrik yaitu untuk mengepel lantai, seperti lantai laboratorium dan sebagainya.

B. Blotong
Blotong merupakan hasil samping dari proses penjernihan yang merupakan
endapan dari sekumpulan kotoran nira, karena blotong adalah bahan organik yang
dapat mengalami perubahan secara alami, maka bau yang ditimbulkannya pun
kurang enak. Blotong merupakan endapan kapur yang mengadsorbsi bahan-bahan non-
gula dalam nira kotor, sehingga blotong banyak mengandung senyawa- senyawa
nira kotor. Secara fisik blotong merupakan gumpalan-gumpalan tipis berwarna cokelat
dan berbau kurang sedap. Blotong terdiri dari kalsium posphat dari hasil proses
defekasi, kalsium sulfit dari hasil sulfitasi, ampas halus dan sebagainya.
Pemanfaatan blotong digunakan sebagai bahan untuk pembuatan pupuk organik
(kompos). Blotong yang dimanfaatkan sebagai biokompos menyebabkan
pertumbuhan yang cukup baik pada tanaman batang tebu, karena dapat meningkatkan
rendemen produk dan efisiensi penyerapan unsur hara dari pupuk.
Sejauh ini, kompos ini hanya diperuntukkan sawah milik pabrik dan belum
dipasarkan ke petani bebas karena kapasitas produk (kompos) yang dihasilkan masih
belum mencukupi untuk dipasarkan kepada umum.
C. Abu Ketel
Abu ketel adalah produk samping yang dihasilkan dari ketel atau boiler.
Pabrik menggunakan abu ketel sebagai campuran pupuk kompos. Kompos ini
merupakan pupuk organik yang berfungsi untuk meningkatkan kesuburan tanah
sekaligus decomposer pupuk anorganik, sehingga menjadi bahan atau unsur hara yang
siap digunakan oleh tanaman.
Abu ketel berasal pada saat proses pembakaran yang terjadi pada stasiun
boiler yang bahan bakarnya berasal dari ampas tebu yang berasal dari proses
penggilingan.
D. Tetes (Molasses)
Tetes dihasilkan dari stasiun sentrifugasi yaitu hasil sentrifugasi dari gula. Tetes
yang dihasilkan ini ditampung ke tangki penampungan. Dari stasiun sentrifugasi,
molasses dialirkan ke tangki yang terdapat di luar pabrik. Tetes ini dapat dijual ke
perusahaan lain untuk digunakan sebagai tambahan pakan ternak.

2. Pengurangan pada Sumbernya (Source Reduction)

a. subtitusi TSP dengan P2O5


Penggunaan asam phospat cair (P2O5) yang berfungsi untuk membentuk endapan
kotoran dalam nira menggantikan peran Tripple Super Phospat (TSP) dengan
pertimbangan perusahaan sebagai berikut:
1. TSP berharga murah namun keefektifannya kurang bila dibandingkan dengan
asam phospat karena kadar PO4 yang terkandung dalam TSP hanya ± 36% dan
yang dapat bereaksi dengan nira hanya± 30% dan menimbulkan lebih banyak
endapan pospat.
2. Asam Phospat berharga mahal namun lebih efektif daripada TSP karena kadar PO4
± 80% dan endapan pospat yang ditimbulkan lebih sedikit sehingga bahan
buangan yang harus diolah juga lebih sedikit.
3. Pertimbangan ekonomis perusahaan yang menyatakan bahwa pemakaian asam Phospat
lebih hemat daripada TSP. lebih sedikit sehingga bahan buangan yang harus diolah
juga lebih sedikit.
4. Pertimbangan ekonomis perusahaan yang menyatakan bahwa pemakaian asam Phospat
lebih hemat daripada TSP.

b. Subtitusi CaO dengan Dolomit


Menurut Nursasiati (2001), mutu nira jernih pada pemurnian (dilihat dari parameter
sukrosa dan brix) dengan penggunaan dolomit adalah lebih baik bila dibandingkan
dengan mutu nira jernih yang dihasilkan dari proses pemurnian dengan menggunakan
100% CaO.
Jika dilihat dari mutu nira jernih dengan parameter pengendapan, warna, dan
kejernihan, maka hasil proses pemurnian pada berbagai perlakukan substitusi CaO
dengan dolomit adalah sama bila dibandingkan dengan mutu nira jernih yang dihasilkan
dari proses pemurnian dengan menggunakan CaO.
Penurunan kadar CaO dalam nira jernih sangat diharapkan mengingat penurunan
kadar CaO akan menekan pembentukan kerak pada pipa evaporator. Pembentukan
kerak akan berdampak negatif terhadap efisiensi penggunaan energi, pembiayaan dan
kapasitas produksi. Selain itu, pemakaian CaO yang tinggi selain menimbulkan kerusakan
sakarosa, juga menimbulkan pelarutan kembali bahan kotoran yang telah menggumpal.
Adanya pH yang tinggi juga menyebabkan kerusakan gula pereduksi yang menyebabkan
warna nira keruh kecokelatan. Kerusakan ini akibat terdekomposisinya sakarosa sehingga

-
gula pereduksi akan terurai menjadi asam. Penguraian ini disebabkan adanya ion OH
bebas (Indeswari, 1986).

Berdasarkan fakta tersebut, maka penggunaan dolomit pada pemurnian nira


direkomendasikan untuk menggantikan penggunaan kapur. Prospek ini tidak hanya
didasarkan atas faktor teknis saja, namun juga didukung oleh faktor lain antara lain
biaya atau harga dolomit yang lebih rendah dibandingkan dengan kapur dan
adanya cadangan dolomit yang besar dan belum dieksplorasi secara intensif.

3.Modifikasi Peralatan (Equipment Modification)


Modifikasi peralatan yang dapat dilakukan oleh perusahaan pada tahun dalam
memperlancar proses antara lain:

1. Memperbesar lubang udara primer dari 5 mm menjadi 10 mm sehingga suplai


udara baru ke ruang bakar bisa optimal. Jika suplai udara ke ruang bakar tidak
terdistribusi dengan baik maka pembakaran berlangsung tidak yang sempurna (ampas
tidak habis terbakar/terbuang bersama abu) dan menyebabkan penumpukan ampas.
2. Memperbaiki ruji pickroll yang berguna untuk mengatur jatuhnya ampas dari
baggase plug ke baggase feeder lebih kontinyu dengan kondisi tercacah halus
sehingga pembakaran ampas di ruang bakar bisa optimal.
3. Modifikasi peluncur ampas ketel Takuma. Peluncur ampas ketel
o
Takuma dimodifikasi lebih curam dengan kemiringan mencapai 60 terhadap
garis horizontal, sehingga diharapkan ampas tidak akan menumpuk dibagian atas.
Modifikasi ini ditujukan untuk penumpukan ampas dan menjaga kontinuitas ampas
yang masuk ke ketel Takuma.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN
1. proses pengolahan tebu untuk menghasilkan gula Kristal putih terdiri dari unit operasi
penggilingan, pemurnian, penguapan, kristalisasi, dan sentrifuse.
- Stasiun Gilingan bertujuan untuk mengekstrak nira yang terkandung di dalam tebu
semaksimal mungkin sehingga hanya sedikit jumlah gula yang terikut dalam ampas..
- Stasiun pemurnian bertujuan untuk memisahkan kotoran seperti partikel kasar
(pasir dan ampas yang masih terbawa mikroorganisme dalam nira mentah), partikel
koloid seperti non-suspendes sugar dan partikel terlarut (misalnya desinfektan yang
ikut terbawa dari stasiun penggilingan) dalam nira mentah sebanyak mungkin dengan
cara yang efektif.
- Stasiun penguapan bertujuan untuk menguapkan kandungan air yang terdapat pada
nira jernih (nira encer) dari stasiun pemurnian sehingga dihasilkan nira kental.
- Stasiun masakan (kristalisasi) bertujuan untuk mengkristalkan nira kental sehingga
didapatkan ukuran kristal gula sesuai dengan yang diinginkan.
- Stasiun sentrifugasi bertujuan memisahkan Kristal gula dari larutan (sirupnya). Pada
proses ini akan diperoleh gul aproduk SHS dan hasil samping berupa tetes.
- Stasiun pembungkusan bertujuan untuk memberikan perlakuan terakhir pada gula
sebelum digudangkan.
- Stasiun ketel, Di stasiun ketel dilakukan proses pemanasan air kondensat sampai
mendidih (menguap) yang bertujuan menghasilkan uap pada tekanan tertentu. Ketel
berfungsi untuk menguapkan air dengan tekanan tertentu dan dimanfaatkan untuk
menghasilkan listrik tenaga uap.
2. Adapun upaya yang dilakukan oleh perusahaan dalam menerapkan produksi bersih,
antara lain:
- Melakukan pengolahan limbah cair, padat, dan gas..
- Melakukan upaya reuse seperti menggunakan kembali air hasil akhir pengelolaa
limbah, pengambilan tebu yang tercecer di emplacement untuk bahan bakar pada
stasiun ketel,.
- Melakukan upaya irecycle seperti menjual ampas tebu dari stasiun gilingan kepada
perusahaan-perusahaan kertas, mengolah abu ketel dan blotong sebagi biokompos,
- Melakukan pengurangan pada sumber, seperti merubah bahan input Tripple Super
Phospat (TSP) menjadi asam pospat cair (P2O5) yang lebih ekonomis.
- Modifikasi peralatan yang dilakukan oleh perusahaan dapat memperlancar proses
produksi.
3. Manfaat dari produksi bersih yang dilakukan pada industri gula, antara lain:
- Meminimalisir jumlah limbah yang diolah pada instalasi pengolahan air limbah
- Menghasilkan produk sampingan yang bermanfaat

5.2 SARAN

Sebaiknya pada semua industri diterapkan produksi bersih agar kualitas dan
kebersihan produk serta pengolahan limbah lebih maksimal. Peran serta pemerintah juga
diharapkan dalam mendorong dan mengawasi proses produksi industri untuk mewujudkan
teknologi bersih pada setiap industri.
DAFTAR PUSTAKA

Bratasida, Liana. 1996. Prospek Pengembangan Sistem Manajemen Lingkungan di


Indonesia.BAPEDAL, Jakarta.
Djajadiningrat, Surna T. 1999. Peranan Produk dan Teknologi Bersih dalam Meningkatkan
Daya Saing Industri Nasional. Artikel dalam Paradigma Produksi Bersih
Mendamaikan Pembangunan Ekonomi dan Pelestarian Lingkungan. Penerbit
Nuansa: Bandung.
Indeswari, N. Sri. 1986. Penetuan Dosis Kapur dan Belerang pada Proses
Pemurnian Nira Tebu di Pabrik Gula Mini Lawang. Laporan
Penelitian. Fakultas Pertanian. Universitas Andalas, Padang.
Moerdokusumo, A. 1993. Pengawasan Kualitas dan Teknologi Pembuatan gula di Indonesia
Penerbit ITB; Bandung.
Nursasiati, Kunti. 2001. Prospek Penggunaan Dolomit Sebagai Substitusi Kapur Pada
Pemurnian Nira di PG. Sulfitasi. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas
Brawijaya, Malang.
Saribanon, Nonon. 2003. Produksi Bersih: Paradigma Baru Pengelolaan Pencemaran
Lingkungan. Retrieved February 16, 2005. 09.24 AM. From The World Wide
Web : http://rudyct.topcities.com

Anda mungkin juga menyukai