Anda di halaman 1dari 8

Kathmandu University Medical Journal (2005), Vol. 3, No.

4, Issue 12, 438-441

Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis (OAT) pada Mata – Fokus


pada Pencegahan Dini, Deteksi dan Manajemen

Kokkada SB1, Barthakur R1, Natarajan M1, Palaian S2,3, Chhetri AK2,
Mishra P2,3
1
Department of Ophthalmology, 2Department of Pharmacology, 3Department of
Pharmacy, Manipal Teaching Hospital / Manipal College of Medical Sciences,
Pokhara, Nepal

Abstrak

Dengan meningkatnya prevalensi tuberkulosis, obat anti tuberkulosis


(OAT) yang sering digunakan juga dikaitkan dengan toksisitas pada mata.
Etambutol (EMB) adalah obat yang paling sering dikaitkan. Pada umumnya dapat
ditoleransi dengan baik, tetapi diketahui dapat menyebabkan neuritis optik,
khususnya neuritis retro bulbar yang menyebabkan penglihatan kabur, penurunan
ketajaman penglihatan, skotoma sentral, dan hilangnya penglihatan warna merah-
hijau. Mekanisme pasti toksisitas belum dipahami. Meskipun neuritis optik
disebabkan oleh EMB umumnya dianggap reversibel setelah penghentian obat
segera, ada laporan toksisitas reversibel, terutama pada populasi lansia. Isoniazid
jarang dapat menyebabkan neuritis retro bulbar. Tidak terdapat kaitannya dengan
dosis. Streptomisin diketahui menyebabkan pseudo tumorcerebri. Thiacetazone
dapat menyebabkan reaksi kulit yang parah termasuk Sindrom Steven Johnson
yang mempengaruhi kulit dan mukosa termasuk konjungtiva. Mengedukasi pasien
untuk dapat melakukan deteksi dini dari manifestasi pada mata dan melakukan
follow-up rutin sangatlah penting.

Kata kunci: Obat anti tuberkulosis, etambutol, efek samping pada mata

TBC adalah salah satu penyakit utama kesehatan masyarakat yang penting
di dunia. Jumlah penderita tuberkulosis sebanyak 2,5% dari berbagai penyakit di
dunia. Perkiraan global pada tahun 1997 menunjukkan bahwa 8 juta orang
terjangkit TB aktif setiap tahun dengan 2 juta kematian. Insiden tersebut telah
meningkat 2-4 kali lipat pada tahun 1990 di negara-negara dengan prevalensi
infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang tinggi. Perawatan terhadap
tuberkulosis yang resistan terhadap obat memerlukan waktu yang panjang, mahal,
dan tidak mudah bagi pasien dan petugas medis serta seringkali tidak berhasil.

Mengingat meningkatnya prevalensi tuberkulosis, OAT adalah salah satu


obat-obatan yang sering digunakan dan beberapa di antaranya sangat toksik pada
mata. Begitu penting bagi dokter untuk menghindari obat yang berpotensi toksik
dan memilih alternatif, atau digunakan dengan sangat bijaksana, untuk mencegah
pasien TBC kehilangan mata mereka yang indah. Di antara obat-obatan anti
tuberkulosis (OAT), etambutol (EMB), isoniazid (INH), streptomisin, kanamisin,
tiacetazone, amikacin dan rifampisin diketahui menyebabkan toksisitas pada mata.
Dalam ulasan ini artikel kami mencoba menyoroti potensi toksisitas OAT dan
merinci langkah-langkah untuk mencegah insiden kehilangan penglihatan.
Meskipun ada banyak efek samping sistemik dari OAT, dalam artikel ini, penulis
berusaha untuk menjelaskan garis besar toksisitas pada mata karena OAT.

Etambutol (EMB): Etambutol adalah obat lini pertama untuk mengobati


semua jenis TBC. Etambutol termasuk dalam rejimen pengobatan awal terutama
untuk mencegah munculnya resistensi rifampisin saat resistensi primer terhadap
INH dapat terjadi. Etambutol adalah obat bakteriostatik, yang bermanfaat pada
kedua fase baik fase intensif maupun fase lanjutan dari terapi TBC. Setelah
memburuknya tuberkulosis akibat koinfeksi HIV dibutuhkan obat alternatif
seperti EMB: tiacetazon dan streptomisin. Tiacetazon terkait dengan risiko tinggi,
terkadang reaksi kulit fatal pada orang yang terinfeksi HIV. Streptomisin,
meskipun merupakan obat yang bermanfaat, seharusnya tidak digunakan di daerah
dengan prevalensi infeksi HIV tinggi jika tidak ada jaminan sterilisasi syringe dan
jarum yang memadai. Etambutol pada umumnya ditoleransi dengan baik, tetapi
toksisitas pada mata adalah efek samping yang sering didapatkan. Toksisitas pada
mata seperti neuritis optik, khususnya neuritis retrobulbar menyebabkan
penglihatan kabur, menurunnya ketajaman penglihatan, skotoma sentral, dan
hilangnya penglihatan warna merah-hijau.
Carr dan Henkind pada tahun 1962 pertama kali menggambarkan efek
samping etambutol pada mata yang melibatkan diskus optik, saraf optik orbital
[retrobulbar] atau pada chiasma optik. Neuritis optik karena etambutol bisa sentral
atau yang jarang yaitu perifer. Pasien biasanya datang dengan penglihatan kabur,
dan pada pemeriksaan ditemukan penurunan ketajaman penglihatan dikaitkan
dengan dischromatopsia. Jenis perifer dapat menyebabkan beberapa gejala tetapi
pemeriksaan lapang pandang menunjukkan konstriksi perifer. Berdasarkan studi
deskriptif prospektif mengenai penglihatan warna pada 42 pasien mata yang
mengonsumsi etambutol, Kaimbo WA et al menemukan defek penglihatan warna
pada 36% pasien. Defek Hijau-merah, biru-kuning atau defek gabungan dan
sumbu anarkis diamati. Srivastava AK dkk menemukan rekaman Visual Evoke
Response (VER) menjadi sangat berguna sebagai tes objektif untuk kerusakan
saraf optik sub klinis pada neuritis optik yang disebabkan etambutol.

Mekanisme pasti toksisitas tidak dipahami. Penelitian pada hewan


menunjukkan bahwa etambutol mendepresi zinc dari saraf optik. Menurut Heng
JE et al, toksisitas dimediasi melalui jalur eksitotoksik, sehingga menyebabkan
sel-sel ganglion sensitif terhadap kadar ekstraseluler glutamat yang normalnya
ditoleransi. Toksisitas dikaitkan dengan dosis, dengan kejadian menjadi 18%
dengan konsumsi dosis 35 mg/kg/ hari, 5-6% dengan konsumsi 25 mg/kg/hari dan
kurang dari 1% pada konsumsi 15 mg/kg/hari bila diminum lebih dari dua bulan.
Gagal ginjal memperpanjang waktu paruh etambutol dan meningkatkan risiko
neuritis optik yang disebabkan oleh etambutol.

Neuritis optik karena etambutol umumnya reversibel ketika obat


dihentikan segera. Gorbach menyatakan bahwa penglihatan akan kembali normal
setelah obat dihentikan. Sebuah studi dari India pada 47 anak, termasuk 27 anak
berusia kurang dari 5 tahun diobati dengan dosis 20 mg/kg/hari selama 12 bulan
tidak ditemukan efek pada penglihatan yang ditimbulkan selama pengobatan
ataupun 3-6 bulan setelah pengobatan dihentikan. Studi dari Meksiko pada 36
anak-anak, 21 bayi, selama empat tahun dan tidak ditemukan bukti toksisitas
optik. Choi SY et al melaporkan toksisitas etambutol pada mata dengan dosis
paling rendah 12,3 mg/kg dan untuk deteksi dini ini, penting dilakukan tes
penglihatan warna. Sajjad Ali et al melaporkan kasus neuritis optik terinduksi
etambutol setelah 3 hari terpapar obat dimana ketajaman visualnya meningkat
menjadi 20/20 pada mata kiri dan menjadi 20/40 pada mata kanan setelah
penghentian konsumsi obat.

Setelah terapi kronis etambutol, neuropati optik tidak selalu reversibel,


terutama pada populasi lansia. Tsai dan Lee mengumpulkan sepuluh pasien
berturut-turut dengan kerusakan penglihatan yang parah karena toksisitas
etambutol, dan pasien ini dianggap telah menerima dosis etambutol yang aman.
Meskipun etambutol dihentikan segera dalam semua kasus, hanya lima pasien
(50%) yang mengalami perbaikan penglihatan setelah dilakukan follow up dalam
periode 12 bulan hingga 3 tahun. Lima pasien lainnya (50%) mengalami
gangguan penglihatan permanen tanpa pemulihan. Tidak ada faktor predisposisi
atau risiko yang berkontribusi pada hasil visual yang buruk. Di grup dengan usia
lebi dari 60 tahun, hanya 20% (1/5) yang mengalami perbaikan visual; dalam
kelompok kurang dari 60 tahun, 80% (4/5) mengalami beberapa perbaikan visual,
perbedaan antara kedua kelompok umur ini secara statistik bermakna. Para penulis
menyebutkan bahwa mereka membutuhkan lebih banyak pasien untuk menjawab
apakah pasien lebih tua dengan neuropati optik yang disebabkan etambutol
memiliki prognosis yang buruk. Neuropati optik yang disebabkan etambutol,
dalam studi follow-up tidak selalu reversibel, terutama pada populasi yang lebih
tua. Ini dapat menyebabkan cacat visual permanen. Tidak ada yang disebut "dosis
aman". Para penulis menyarankan untuk mempertimbangkan kembali penggunaan
etambutol sebagai salah satu lini pertama obat anti tuberkulosis, terutama pada
pasien yang lebih tua. Pada studi lain yang terdiri dari empat kasus neuritis optik,
gejala berkembang setelah 2,5, 7,5, 8, dan 12 bulan setelah terapi. Tiga kasus
terjadi neuritis reversibel dengan satu pasien berkembang menjadi gangguan
penglihatan permanen yang parah.

Berdasarkan literatur yang ada dan dengan tujuan mendapatkan angka


kesembuhan yang tinggi dan mencegah timbulnya TB yang resistan terhadap obat
berikut langkah-langkah yang dipertimbangkan untuk penggunaan etambutol:

1. Jika tersedia obat alternatif lebih baik untuk menghindari etambutol untuk
pengobatan TBC dikarenakan toksisitas yang terjadi dengan konsumsi dosis
paling rendah yang dianjurkan meskipun dilakukan follow-up medis dan
pemeriksaan mata dan bisa menyebabkan kehilangan penglihatan parah yang
kadang-kadang mungkin tidak dapat dipulihkan setelah menghentikan obat.

2. Jika tidak ada alternatif, sebelum memulai pengobatan pasien harus dinilai
ketajaman visual, penglihatan warna dan lapang pandang. Pengurangan dosis
etambutol harus dilakukan atau seharusnya dikontraindikasikan pada pasien
dengan ketajaman visual awal yang rendah yang tidak dapat dikoreksi dengan
kacamata, pada pasien yang tidak dapat melaporkan gejala seperti anak-anak,
orang dengan

kesulitan bahasa dan pada orang dengan gangguan fungsi ginjal.

3. Pendidikan kesehatan harus diberikan kepada pasien mengenai efek samping


visual dan kebutuhan untuk menghentikan obat dan melaporkan segera, jika ada
masalah yang muncul.

4. Dengan fungsi ginjal normal dosis etambutol adalah 15 mg/kg/hari. Jika dosis
25 mg diperlukan, seharusnya tidak diberikan lebih dari 2 bulan.

5. Selama konsultasi medis dan follow-up, secara rutin menilai status visual.
Dalam hal apa pun jika timbul kecurigaan, rujuk pasien untuk pemeriksaan mata
rinci termasuk ketajaman visual, penglihatan warna, lapang pandang dan rekaman
dari visually evoked response (VER).

6. Pada Directly Observed Treatment Short course (DOTS), pekerja medis


disarankan untuk memonitor gejala visual pasien dan merujuk pasien dengan
tepat.

7. Jika terjadi neuritis berat, INH juga harus dihentikan. Pada neuritis optik yang
tidak terlalu parah INH dilanjutkan dengan diberikan penambahan pyridoxine
dosis tinggi 50-100 mg setiap hari, dan jika neuritis optik gagal membaik dalam
waktu enam minggu penghentian etambutol, INH juga dihentikan.

8. Koreksi kekurangan gizi dan kekurangan zinc dapat berperan dalam mencegah
toksisitas etambutol tetapi tidak ada data yang cukup untuk mendukung manfaat
terapi tersebut.
Penatalaksanaan neuritis optik karena etambutol memerlukan penghentian
etambutol segera. Dosis tinggi prednisolon sistemik dapat dicoba untuk
menurunkan peradangan di sekitar saraf optik. Dosis tinggi vitamin mungkin
bermanfaat untuk perlindungan saraf, tetapi sejauh mana hal itu mempengaruhi
hasil penglihatan masih belum dapat dipastikan.

Isoniazid (INH): merupakan hidrazida asam isonicotinic yang pertama


kali disintesis pada tahun 1942. INH jarang dapat menyebabkan neuritis retro
bulbar. Biasanya tidak ada kaitannya dengan dosis. Jimenez-Lucho VE
melaporkan seorang pasien dengan neuropati optik saat dalam pengobatan
dengan EMB dan INH dan neuropati optik sembuh hanya ketika keduanya obat
tersebut dihentikan. Dokumentasi literatur terbaru yang pasti dari toksisitas mata
karena isoniazid masih kurang. Namun, disarankan pemeriksaan oftamologi,
termasuk baseline visual evoked potentials, dilakukan pada pasien yang menerima
isoniazid dan etambutol.

Streptomycin: diisolasi pada tahun 1943 oleh Walksman dari organisme


tanah. Merupakan bakterisida. Toksisitas meningkat jika terdapat gangguan fungsi
ginjal. Dapat menyebabkan pseudotumor serebri dan blokade neuromuskuler
miastenik. Seharusnya tidak diberikan pada pasien dengan myasthenia gravis. Ini
dapat berpotensi menjadi agen penghambat neuromuskuler yang digunakan
selama anestesi. Semua efek samping bersifat reversibel pada penghentian obat.
Penggunaan syringe dan jarum steril penting untuk mencegah penyebaran infeksi
HIV dan hepatitis B.

Kanamycin dan Amikacin juga dikenal menghasilkan efek yang mirip


dengan streptomisin.

Rifampicin: ini adalah senyawa semi-sintetik yang disintesis pertama


pada tahun 1965. Dapat menyebabkan konjungtivitis dan pewarnaan lensa kontak
berwarna oranye. Perubahan warna mungkin mengganggu pasien tetapi hal ini
tidak memerlukan terapi khusus.

Thiacetazone: Thiacetazone dapat menghasilkan reaksi kulit parah


termasuk Sindroma Steven Johnson yang memengaruhi kulit dan mukosa
termasuk konjungtiva. Seperti disebutkan sebelumnya pasien HIV positif beresiko
besar mengalami reaksi kulit. Keterlibatan konjungtiva dapat menyebabkan
jaringan parut konjungtiva luas sehingga menyebabkan mata kering yang parah.

Edukasi untuk pasien: pasien yang menggunakan rifampisin harus


diingatkan bahwa obat tersebut menyebabkan perubahan warna merah oranye
semua cairan tubuh termasuk air mata yang tidak perlu modifikasi perawatan apa
pun. Pasien dengan lensa kontak lunak harus disarankan untuk tidak
menggunakan lensa kontak selama konsumsi rifampisin karena menyebabkan
perubahan warna permanen pada lensa kontak lunak.

Pasien dengan pemberian etambutol harus dijelaskan mengenai efek


toksisitas obat pada mata dan kebutuhan untuk menghentikan obat saat tanda-
tanda awal toksisitas muncul untuk mencegah kehilangan penglihatan yang
signifikan. Neuritis optik sering dimanifestasikan oleh gangguan penglihatan
warna. Perubahan penglihatan warna sepanjang aksis protan atau deuteran adalah
perubahan yang pertama terlihat pada toksisitas etambutol. Perubahan
diskriminasi warna mungkin bersifat subklinis dalam banyak kasus. Mereka harus
ditanya untuk menemukan masalah dalam membedakan warna yang berbeda
dibandingkan dengan kerabat mereka dan untuk memeriksa status jarak mereka
dan ketajaman visual dekat secara berkala dengan menutupi setiap mata terpisah.
Mereka dapat diberikan grafik Amsler yang menunjukkan semua skotoma (area
yang tidak terlihat) di bidang tengah. Pasien disarankan untuk segera melakukan
pemeriksaan mata rinci jika timbul gejala dan pemeriksakan mata secara rutin
setiap tiga bulanan bahkan jika tidak ada gejala. Pasien dengan fungsi ginjal yang
terganggu membutuhkan follow-up lebih sering. Asupan makanan yang cukup
untuk mencegah kekurangan energi protein dan defisiensi zinc dapat membantu
dalam mencegah neuritis optik parah. Penderita yang mengonsumsi streptomisin
atau aminoglikosida lainnya harus diminta untuk periksa mata apabila mereka
mengalami gejala seperti sakit kepala dan muntah yang menunjukkan peningkatan
tekanan intrakranial.

Kesimpulan
Kesimpulannya, meskipun sangat penting untuk menyembuhkan pasien
tuberkulosis, untuk mengatasi masalah global HIV yang terkait peningkatan
prevalensi TBC dan untuk mencegah perkembangan resisten obat TBC, sama
pentingnya dengan melindungi penglihatan pasien TB. Diperlukan pemeriksaan
berkala dari status visual pasien selama follow-up dan DOTS. Disarankan untuk
menghindari etambutol jika memungkinkan, terutama pada pasien tua dan jika
benar-benar diperlukan harus digunakan dengan bijaksana sesuai dengan pedoman
yang disarankan. Seseorang harus ekstra hati-hati jiks memiliki insufisiensi ginjal.
Seseorang juga seharusnya tidak melupakan fakta bahwa INH juga dapat
menyebabkan neuritis retro bulbar dan harus memiliki indeks kecurigaan dan
tanggapan secara tepat.

Anda mungkin juga menyukai