Anaplasmosis
Anaplasmosis adalah penyakit hewan menular yang bersifat non contagious yang
disebabkan oleh protozoa darah intraseluler dan ditularkan dengan perantara vektor.
Penyakit ini dapat berlangsung secara akut, per-akut dan kronis. Kasus Anaplasmosis
lebih sering menyerang sapi dan kerbau dibandingkan dengan hewan lainnya. Penyakit
ini pertama kali ditemukan oleh Smith dan Kilborne pada tahun 1893 di Amerika Serikat,
selanjutnya tersebar luas di daerah tropik dan subtropik termasuk di Amerika Serikat dan
Selatan, Eropa Selatan, Afrika, Asia dan Australia. Di daerah bebas anaplasmosis,
introduksi protoza ini mampu menimbulkan kematian yang tinggi pada ternak karena
A.1. Kausa
menyebabkan penyakit yang ringan sampai berat pada domba, kambing, dan rusa.
(haematophagous bitting flies) dan mampu bertahan hidup dalam tubuh lalat lebih
dari 30 menit. Selain itu, pada inang yang mati, protozoa ini dilaporkan mampu
A.2. Patofisiologis
ditandai dengan anemia dan ikterus. Bangkainya terlihat anemik, kahektik dan
ada paru-paru yang disertai emfi sema, pembesaran hati dan warnanya merah
38 hari dan tahap perkembangan dapat terjadi 15-45 hari. Penyakit ini dapat
bersifat per-akut, akut, sub-akut, dan kronis bergantung pada umur dan status
imunitasnya.
1) Per-akut:
2) Akut:
Pada penyakit sub-akut dan kronis terjadi kenaikan suhu selama beberapa
hari (4-10 hari) disusul dengan demam intermiten bahkan suhu tubuhnya
dapat bertahan dalam tubuh sampai 2 tahun, walaupun dalam darah perifer sulit
ditemukan. Jika hewan mengalami stres, maka hewan tersebut dapat berperan
A.4. Diagnosis
1) Pemeriksaan mikroskopis:
Pemeriksaan darah secara natif, preparat ulas darah tipis dan tebal.
2) Pemeriksaan biologis:
endemik anaplasmosis.
3) Pemeriksaan serologis:
dari leptospirosis dan hemoglobinuria basiler akut. Adanya demam, anemia dan
trypanosomiasis.
A.6. Terapi
IV/SK
3) Tetracycline:
B. Fasciolosis
berkembang dan menetap dalam saluran empedu. Jenis cacing Fasciola yang ada di
Indonesia adalah Fasciola gigantica, dan siput yang bertindak sebagai inang antara
B.1. Kausa
eksklusif terdapat di daerah tropis, berukuran 25-27x 3-12 mm. Fasciola hepatica
ditemukan di daerah yang beriklim sedang dengan ukuran 20-30x10 mm. Kedua
Telur Fasciola sp. dapat bertahan selama 2-3 bulan dalam keadaan yang
lembab (dalam feses) dan cepat mengalami kerusakan apabila berada dalam
keadaan yang kering. Larva cacing Fasciola sp. (sporosista, redia dan serkaria)
dapat bertahan selama 10-18 bulan dalam tubuh siput. Sedangkan metaserkaria
yang menempel pada rerumputan mampu bertahan hidup antara 3-6 bulan apabila
metaserkaria tersebut akan cepat mengalami kematian bila berada di tempat yang
panas dan kering. Cacing dewasa yang terdapat di dalam hati hewan dapat hidup
B.2. Patofisiologis
Lesi yang disebabkan oleh infestasi cacing Fasciola sp pada semua ternak
hampir sama tergantung tingkat infestasinya. Kerusakan hati yang paling banyak
akibat infestasi ini terjadi antara minggu ke 12-15 pasca infestasi. Berat ringannya
Lesi yang timbul pada keadaan akut berhubungan dengan migrasi cacing
timbul nekrosis disertai dengan hiperpilasia saluran empedu, dan adanya gejala
ikterus.
Lesi yang terjadi pada ternak yang terinfestasi kronis secara histopatologi
terlihat gambaran dilatasi dan penebalan saluran empedu, serta fibrosis periportal
dan infiltrasi eosinofi l, limfosit dan makrofag. Pada infestasi yang berat
tertelan dan infektifi tasnya. Bila metaserkaria yang tertelan sangat banyak akan
Selain itu, tergantung pula pada stadium infestasi yaitu migrasi cacing muda dan
perkembangan cacing dewasa dalam saluran empedu, serta infestasi Fasciola sp.
dapat bersifat akut maupun kronis. Infestasi F.gigantica pada domba dan kambing
1) Akut:
Bentuk ini disebabkan adanya migrasi cacing muda di dalam jaringan hati,
diare dan edema di antara sudut dagu dan bawah perut, ikterus dan
B.4. Diagnosis
1) Diagnosis klinis:
2) Diagnosis laboratorium:
hati, uji serologi untuk deteksi antibodi dan antigen serta western blotting.
pita protein Fasciola. Melalui uji ELISA, infestasi dini, yaitu antara 2-4
Pada bentuk kronis dapat keliru dengan infestasi cacing saluran pencernaan lain
B.6. Terapi
1) Nitroxinil dengan dosis 10 mg/kg untuk sapi, kerbau dan domba, dengan
daya bunuh sangat efektif (100%) pada infestasi setelah 6 minggu. Namun
pengobatan dengan obat ini perlu diulang 8-12 minggu setelah pengobatan
pertama.
2) Rafoxanide dengan dosis 10 mg/kg untuk domba, 10-15 mg/kg untuk sapi.
Obat ini efektif untuk mengobati cacing trematoda dan nematoda, baik
Pemberian obat cacing secara periodik dan diberikan minimal 2 kali dalam
1 tahun. Pengobatan pertama dilakukan pada akhir musim hujan dengan tujuan
ternak dalam kondisi yang baik dan juga menjaga lingkungan, terutama kolam air,
untuk mengeliminasi cacing muda yang bermigrasi ke dalam parenkim hati. Pada
pengobatan kedua ini perlu dipilih obat cacing yang dapat membunuh cacing
muda.
C. Theileriasis
Theilerisosis adalah penyakit hewan yang disebabkan oleh protozoa Theileria sp.
yang bersirkulasi dalam darah secara intraseluler. Penyakit ini menginfeksi sel darah
merah (eritrosit) dan sel darah putih (leukosit). Theileriasis juga dikenal sebagai tick
borne disease dan menyebabkan kerugian ternak cukup besar, terutama peternakan
didaerah sub tropis dan tropis, akibat penurunan berat badan, terlambatnya proses
penurunan kualitas daging, pembuangan dari kematian atau pengafkiran karkas atau
organ, penurunan produksi susu, kerusakan dan kulit. Morbiditas dan mortalitas penyakit
ini bervariasi tergantung dari jenis inang yang terinfeksi, galur patogenitas parasit dan
dosis infeksi. Mortalitas pada ternak persilangan yang diintroduksikan pada daerah
C.1. Kausa
T.taurotragi dan T.velifera, namun hanya dua spesies yang bersifat patogen dan
panas dan musim semi, sedangkan populasi larva dan nimfa meningkat pada
musim gugur. Adapun di daerah tropis, populasi caplak mulai meningkat pada
akhir musim panas dan puncaknya pada saat curah hujan tinggi. Keberadaan
caplak ini, berkaitan erat dengan tingginya kasus theileriasis pada suatu daerah.
badan turun, anoreksia, suhu tubuh tinggi, petekia pada mukosa konjunctiva,
pembengkakkan nodus limfatikus, anemia dan batuk. Infeksi pada stadium lanjut
menyebabkan hewan tidak bisa berdiri, suhu tubuh dibawah normal (T<38,5oC),
diikuti oleh anemia akut, dengan ditandai turunnya nilai hematokrit, jumlah
eosinopenia.
Tingkat parasitosis theilerioasis dapat diklasifi kasikan menjadi 3 kategori,
yaitu tingkat ringan (mild reaction) adalah bila skizon ditemukan satu dalam satu
lapang pandang (parasitosis <1%), tingkat yang lebih berat (severe reaction) yaitu
bila ditemukan skizon 50% atau lebih dari total eritrosit yang diperiksa
(parasitosis 1-5%), sedangkan tingkat yang berat sekali (very severe reaction)
dan hiperemik. Hati juga mengalami pembesaran dan degenerasi. Odema terjadi
pada paru dengan ulcer di abomasum. Ginjal mengalami infark sedangkan limpa
C.3. Diagnosis
Penyakit lain yang memiliki gejela mirip dengan theileriasis antara lain
C.5. Terapi
didalam sel darah merah, tetapi vaksin ini tidak lagi dianjurkan karena berpotensi
untuk menyebarkan theileriasis lebih luas. Saat ini, dua kandidat vaksin sedang
dikembangkan, yaitu vaksin rekombinan protein p32 dan peptida sintetik yang
infeksi Theileria sp. Efektifitas penggunaan obat tersebut sangat efektif jika
digunakan pada stadium awal munculnya gejala klinis tetapi kurang efektif pada
stadium lanjut karena telah terjadi kerusakan yang lebih luas pada limfoid dan
itu, obat yang dilaporkan efektif antara lain klor tetrasiklin, monoctone, C2
Hydroxy 3-8 cyclo hexylloctyl, 4-NaOH Thoquinon, Trypan Blue 1-2% 100cc,
Diagnosa Fasciolosis pada Sapi dengan Antibodi Monoklonal dalam Capture ELISA
untuk Deteksi Antigen. Pros. Seminar Nasional Parasitologi dan Toksikologi Veteriner.
Fujisaki K, Kawazu S, Kamio T 1994. The taxonomy of the bovine Theileria sp. Parasitology
Today 10:31-33.
KOCAN, Katherine M., et al. Antigens and alternatives for control of Anaplasma marginale
MASIKA, P. J.; SONANDI, A.; VAN AVERBEKE, W. Perceived causes, diagnosis and
areas of the central Eastern Cape Province, South Africa. Journal of the South African
ROBINSON, Mark W.; DALTON, John P. Zoonotic helminth infections with particular
Silitonga RJP 2009. Theileriasis pada sapi potong import Australia melalui pelabuhan Tanjung