Anda di halaman 1dari 14

A.

Anaplasmosis

Anaplasmosis adalah penyakit hewan menular yang bersifat non contagious yang

disebabkan oleh protozoa darah intraseluler dan ditularkan dengan perantara vektor.

Penyakit ini dapat berlangsung secara akut, per-akut dan kronis. Kasus Anaplasmosis

lebih sering menyerang sapi dan kerbau dibandingkan dengan hewan lainnya. Penyakit

ini pertama kali ditemukan oleh Smith dan Kilborne pada tahun 1893 di Amerika Serikat,

selanjutnya tersebar luas di daerah tropik dan subtropik termasuk di Amerika Serikat dan

Selatan, Eropa Selatan, Afrika, Asia dan Australia. Di daerah bebas anaplasmosis,

introduksi protoza ini mampu menimbulkan kematian yang tinggi pada ternak karena

belum adanya preimuniter. Di Amerika, kasus Anaplasmiosis dilaporkan menyebabkan

kematian ternak sebesar 80 %, sedangkan di daerah enzootik berkisar 10 %.

A.1. Kausa

Anaplasmosis disebabkan oleh golongan Rickettsia, keluarga

Anaplasmataceae, genus Anaplasma. Penyakit klinis pada sapi umumnya

disebabkan oleh Anaplasma marginale. Anaplasma ovis/A. suis dapat

menyebabkan penyakit yang ringan sampai berat pada domba, kambing, dan rusa.

Anaplasma marginale (kiri) dan Anaplasma centrale (kanan)


Anaplasma marginale dapat ditularkan oleh lalat penghisap darah

(haematophagous bitting flies) dan mampu bertahan hidup dalam tubuh lalat lebih

dari 30 menit. Selain itu, pada inang yang mati, protozoa ini dilaporkan mampu

hidup hingga 6 jam.

A.2. Patofisiologis

Perubahan yang sangat menonjol adalah pada gambaran darah yang

ditandai dengan anemia dan ikterus. Bangkainya terlihat anemik, kahektik dan

ikterik. Kelenjar limfenya membesar terlihat ada edema. Jantung mengalami

pembesaran dan terdapat titik-titik perdarahan (ptechiae). Anemik juga terlihat

ada paru-paru yang disertai emfi sema, pembesaran hati dan warnanya merah

kekuningan, pembesaran empedu serta lunak. Limpanya juga mengalami

pembesaran dan lunak. Umumnya terdapat gastroenteritis kataralis dan terjadi

pembendungan pada ginjal.

A.3. Gejala Klinis

Periode kejadian penyakit dibagi 4 tahap, meliputi tahap inkubasi,

perkembangan, penyembuhan, dan carrier. Masa inkubasi anaplasmois adalah 6-

38 hari dan tahap perkembangan dapat terjadi 15-45 hari. Penyakit ini dapat

bersifat per-akut, akut, sub-akut, dan kronis bergantung pada umur dan status

imunitasnya.

1) Per-akut:

Hewan yang menderita anaplasmosis per-akut akan mati setelah beberapa

jam menunjukkan gejala umum sakit. Hewan mengalami penurunan

kondisi dengan cepat, kehilangan nafsu makan, kehilangan koordinasi dan


sesak nafas. Temperatur hewan biasanya lebih dari 41°C dan mukosa

cepat menjadi kuning.

2) Akut:

Umumnya hewan penderita anaplasmosis akut menunjukkan gejala klinis

umum antara lain kenaikan suhu 39,5-42,5°C, ikterus, penurunan berat

badan, dehidrasi, konstipasi, dan gangguan pernafasan.

3) Sub-akut dan kronis:

Pada penyakit sub-akut dan kronis terjadi kenaikan suhu selama beberapa

hari (4-10 hari) disusul dengan demam intermiten bahkan suhu tubuhnya

mencapai 40°C. Disamping itu, terjadi anemia hebat, kondisi badan

menurun, kadang-kadang nafsu makannya masih ada. Pada hewan bunting

dapat terjadi keguguran.

Pada hewan penderita yang tidak menunjukkan gejala klinis, Anaplasma

dapat bertahan dalam tubuh sampai 2 tahun, walaupun dalam darah perifer sulit

ditemukan. Jika hewan mengalami stres, maka hewan tersebut dapat berperan

sebagai pembawa penyakit.

A.4. Diagnosis

1) Pemeriksaan mikroskopis:

Pemeriksaan darah secara natif, preparat ulas darah tipis dan tebal.

2) Pemeriksaan biologis:

Darah hewan tersangka diinokulasikan ke dalam (hewan coba) yang telah

diambil limpanya (splenectomy) dan sebaiknya berasal dari daerah

endemik anaplasmosis.
3) Pemeriksaan serologis:

Pemeriksaan serologis meliputi Uji Fiksasi Komplemen/CFC, Uji

Hemaglutinasi Tabung Kapiler/Capillari tube hemaglutination test/UHTK

dan Teknik Antibodi Flourescent/FAT.

A.5. Diagnosis Banding

Anaplasmosis per-akut atau akut mirip dengan penyakit anthraks,

pneumonia, keracunan, gangguan pencernaan akut, sampar sapi dan

pasteurellosis. Apabila anemianya menonjol, maka penyakit ini harus dibedakan

dari leptospirosis dan hemoglobinuria basiler akut. Adanya demam, anemia dan

ikterus menyebabkan penyakit ini sulit dibedakan dengan babesiosis dan

trypanosomiasis.

A.6. Terapi

Terapi Anaplasmosis dapat dilakukan dengan cara antara lain:

1) Acaprin 5 % (Babesan, ludobal, pirevan, zothelone), dosis 2,2 ml/kg bb,

IV/SK

2) Phentamidine dan Phenamidin 40 %, dosis 13,5 mg/kg bb SK

3) Tetracycline:

Dosis untuk babi 22 mg/kg bb IV

Dosis untuk sapi 11 mg/kg bb Oral, 5 hari

Dosis untuk kuda 5-7,5 mg/kg bb IV

B. Fasciolosis

Fasciolosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh parasit cacing

trematoda Fasciola gigantica maupun F.hepatica, termasuk kelas Trematoda, filum


Platyhelmintes dan genus Fasciola. Cacing tersebut bermigrasi dalam parenkim hati,

berkembang dan menetap dalam saluran empedu. Jenis cacing Fasciola yang ada di

Indonesia adalah Fasciola gigantica, dan siput yang bertindak sebagai inang antara

adalah Lymnaea rubiginosa.

B.1. Kausa

Fasciolosis disebabkan oleh cacing hemaprodit yang cukup besar,

berbentuk seperti daun dengan kutikula berduri. Fasciola gigantica secara

eksklusif terdapat di daerah tropis, berukuran 25-27x 3-12 mm. Fasciola hepatica

ditemukan di daerah yang beriklim sedang dengan ukuran 20-30x10 mm. Kedua

spesies cacing tersebut bersifat hematopagus/pemakan darah.

Telur Fasciola sp. dapat bertahan selama 2-3 bulan dalam keadaan yang

lembab (dalam feses) dan cepat mengalami kerusakan apabila berada dalam

keadaan yang kering. Larva cacing Fasciola sp. (sporosista, redia dan serkaria)

dapat bertahan selama 10-18 bulan dalam tubuh siput. Sedangkan metaserkaria

yang menempel pada rerumputan mampu bertahan hidup antara 3-6 bulan apabila

berada di tempat yang teduh dengan lingkungan yang lembab. Selanjutnya

metaserkaria tersebut akan cepat mengalami kematian bila berada di tempat yang

panas dan kering. Cacing dewasa yang terdapat di dalam hati hewan dapat hidup

selama 1-3 tahun.

B.2. Patofisiologis

Lesi yang disebabkan oleh infestasi cacing Fasciola sp pada semua ternak

hampir sama tergantung tingkat infestasinya. Kerusakan hati yang paling banyak
akibat infestasi ini terjadi antara minggu ke 12-15 pasca infestasi. Berat ringannya

penyakit tergantung pada jumlah metaserkaria yang ditelan dan infekstifitasnya.

Lesi yang timbul pada keadaan akut berhubungan dengan migrasi cacing

muda dalam hati yang mengakibatkan perdarahan dalam kapsula hati.

Perkembangan cacing mengakibatkan luka yang makin besar yang akhirnya

timbul nekrosis disertai dengan hiperpilasia saluran empedu, dan adanya gejala

ikterus.

Lesi yang terjadi pada ternak yang terinfestasi kronis secara histopatologi

terlihat gambaran dilatasi dan penebalan saluran empedu, serta fibrosis periportal

dan infiltrasi eosinofi l, limfosit dan makrofag. Pada infestasi yang berat

mengakibatkan fibrosis, hiperplasia dan kalsifikasi pada saluran empedu.

B.3. Gejala Klinis

Berat ringannya fasciolosis tergantung pada jumlah metaserkaria yang

tertelan dan infektifi tasnya. Bila metaserkaria yang tertelan sangat banyak akan

mengakibatkan kematian pada ternak sebelum cacing tersebut mencapai dewasa.

Selain itu, tergantung pula pada stadium infestasi yaitu migrasi cacing muda dan

perkembangan cacing dewasa dalam saluran empedu, serta infestasi Fasciola sp.

dapat bersifat akut maupun kronis. Infestasi F.gigantica pada domba dan kambing

biasanya bersifat akut dan fatal.

1) Akut:

Bentuk ini disebabkan adanya migrasi cacing muda di dalam jaringan hati,

sehingga menyebabkan kerusakan jaringan hati. Ternak menjadi lemah,

nafas cepat dan pendek, perut membesar dan rasa sakit.


2) Kronis:

F.gigantiga mencapai dewasa 4-5 bulan setelah infestasi, gejala yang

nampak adalah anemia, sehingga menyebabkan ternak lesu, lemah, nafsu

makan menurun, cepat mengalami kelelahan, membrana mukosa pucat,

diare dan edema di antara sudut dagu dan bawah perut, ikterus dan

kematian dapat terjadi dalam waktu 1-3 bulan.

B.4. Diagnosis

1) Diagnosis klinis:

Diagnosa berdasarkan gejala klinis sulit dilakukan, maka sebagai

penunjang diagnosa dapat digunakan pemeriksaan ultra sonografi (USG).

2) Diagnosis laboratorium:

Pemeriksaan laboratorium dilakukan melalui pemeriksaan feses, biopsi

hati, uji serologi untuk deteksi antibodi dan antigen serta western blotting.

Pemeriksaan feses untuk deteksi telur cacing terkendala dengan durasi

infestasi F.gigantica, karena telur baru dapat ditemukan setelah 15 minggu

hewan terinfestasi, sedangkan untuk infestasi F.hepatica, telur baru dapat

ditemukan setelah 10 minggu hewan terinfestasi.

Uji serologis menggunakan metoda ELISA untuk deteksi antibodi dan

antigen, serta dapat didukung dengan western blotting untuk menggetahui

pita protein Fasciola. Melalui uji ELISA, infestasi dini, yaitu antara 2-4

minggu sudah dapat terdeteksi.

B.5. Diagnosis Banding


Pada bentuk akut dapat keliru dengan hepatitis karena gangguan nutrisi.

Pada bentuk kronis dapat keliru dengan infestasi cacing saluran pencernaan lain

dan bovine paratubercular enteritis.

B.6. Terapi

Terapi Fasciolosis dapat dilakukan dengan cara antara lain:

1) Nitroxinil dengan dosis 10 mg/kg untuk sapi, kerbau dan domba, dengan

daya bunuh sangat efektif (100%) pada infestasi setelah 6 minggu. Namun

pengobatan dengan obat ini perlu diulang 8-12 minggu setelah pengobatan

pertama.

2) Rafoxanide dengan dosis 10 mg/kg untuk domba, 10-15 mg/kg untuk sapi.

Obat ini efektif untuk mengobati cacing trematoda dan nematoda, baik

cacing muda maupun dewasa.

3) Mebendazol dengan dosis 100 mg/kg efektif (94 %) untuk membunuh

cacing hati dan cacing nematoda.

Pemberian obat cacing secara periodik dan diberikan minimal 2 kali dalam

1 tahun. Pengobatan pertama dilakukan pada akhir musim hujan dengan tujuan

untuk mengeliminasi migrasi cacing dewasa, sehingga selama musim kemarau

ternak dalam kondisi yang baik dan juga menjaga lingkungan, terutama kolam air,

agar selama musim kemarau tidak terkontaminasi oleh larva cacing.

Pengobatan kedua dilakukan pada akhir musim kemarau dengan tujuan

untuk mengeliminasi cacing muda yang bermigrasi ke dalam parenkim hati. Pada

pengobatan kedua ini perlu dipilih obat cacing yang dapat membunuh cacing

muda.
C. Theileriasis

Theilerisosis adalah penyakit hewan yang disebabkan oleh protozoa Theileria sp.

yang bersirkulasi dalam darah secara intraseluler. Penyakit ini menginfeksi sel darah

merah (eritrosit) dan sel darah putih (leukosit). Theileriasis juga dikenal sebagai tick

borne disease dan menyebabkan kerugian ternak cukup besar, terutama peternakan

didaerah sub tropis dan tropis, akibat penurunan berat badan, terlambatnya proses

pencapaian target berat badan, penurunan produksi dalam satu generasi/keturunan,

penurunan kualitas daging, pembuangan dari kematian atau pengafkiran karkas atau

organ, penurunan produksi susu, kerusakan dan kulit. Morbiditas dan mortalitas penyakit

ini bervariasi tergantung dari jenis inang yang terinfeksi, galur patogenitas parasit dan

dosis infeksi. Mortalitas pada ternak persilangan yang diintroduksikan pada daerah

endemic Theileriasis tropis dapat mencapai 40-90%.

C.1. Kausa

Penyebab theileriasis adalah protozoa darah dari genus Theileria yang

tergolong protozoa dalam Filum Apicomplexa, Kelas Sporozoa, Sub-kelas

Piroplasma, Ordo Piroplasmida dan Famili Theileriidae. Terdapat enam spesies

yang menyerang sapi, yaitu T.parva, T.annulata, T.mutans, T.sergenti,

T.taurotragi dan T.velifera, namun hanya dua spesies yang bersifat patogen dan

menyebabkan kerugian ekonomis, yaitu T.parva dan T.annulata.

Infestasi pada inang diawali dengan masuknya sporozoit sampai

terdeteksinya prioplasma yang menginfestasi eritrosit, sedangkan pada vector

dimulai dari larva menghisap darah terinfestasi piroplasma berubah menjadi


mikrogamon, mikrogamet, makrogamet, zigot dan kinet di dalam usus, sampai

ditemukannya sporozoit dalam kelenjar ludah vektor.

Faktor lingkungan seperti iklim dan kelembaban yang tinggi memegang

peranan penting dalam penyebaran penyakit ini, karena memicu berkembangnya

vektor. Di daerah sub-tropis, populasi caplak dewasa meningkat pada musim

panas dan musim semi, sedangkan populasi larva dan nimfa meningkat pada

musim gugur. Adapun di daerah tropis, populasi caplak mulai meningkat pada

akhir musim panas dan puncaknya pada saat curah hujan tinggi. Keberadaan

caplak ini, berkaitan erat dengan tingginya kasus theileriasis pada suatu daerah.

C.2. Gejala Klinis dan Patofisiologis

Hewan yang terserang theileriasis akan mengalami kelemahan, berat

badan turun, anoreksia, suhu tubuh tinggi, petekia pada mukosa konjunctiva,

pembengkakkan nodus limfatikus, anemia dan batuk. Infeksi pada stadium lanjut

menyebabkan hewan tidak bisa berdiri, suhu tubuh dibawah normal (T<38,5oC),

ikterus, dehidrasi, dan ada kalanya darah ditemukan di feses. Peningkatan

makroskizon, mikroskizon dan piroplasma menyebabkan terjadinya anemia yang

hebat. Keadaan stres akan memincu terjadinya peningkatan parasitemia yang

diikuti oleh anemia akut, dengan ditandai turunnya nilai hematokrit, jumlah

eritrosit dan lekosit. Theileriasis dapat menyebabkan anemia normositik,

kemudian berubah menjadi makrositik, yang diikuti dengan menurunnya jumlah

limfosit dan meningkatnya jumlah monosit. Infestasi parasite ini dilaporkan

menyebabkan panleukemia, yang terdiri dari neutropenia,limfopenia dan

eosinopenia.
Tingkat parasitosis theilerioasis dapat diklasifi kasikan menjadi 3 kategori,

yaitu tingkat ringan (mild reaction) adalah bila skizon ditemukan satu dalam satu

lapang pandang (parasitosis <1%), tingkat yang lebih berat (severe reaction) yaitu

bila ditemukan skizon 50% atau lebih dari total eritrosit yang diperiksa

(parasitosis 1-5%), sedangkan tingkat yang berat sekali (very severe reaction)

yaitu skizon ditemukan pada semua lapang pandang (parasitosisnya >5%).

Perubahan terjadi pada kelenjar limfe, yaitu mengalami pembengkakan

dan hiperemik. Hati juga mengalami pembesaran dan degenerasi. Odema terjadi

pada paru dengan ulcer di abomasum. Ginjal mengalami infark sedangkan limpa

pada kasus yang akut terjadi pembesaran dan rapuh.

C.3. Diagnosis

Diagnosa dapat ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskopik sediaan

darah tipis dan darah tebal.

C.4. Diagnosis Banding

Anaplasmosis, Babesiosis dan Salmonellosis. Namun demikian, adanya

pembengkakan kelenjar limfe superficial dan ditemukan benda-benda Koch

merupakan tanda spesifik yang membedakan theileriasis dari penyakit lainnya.

Penyakit lain yang memiliki gejela mirip dengan theileriasis antara lain

heartwater, haemorrhagic septicemia, trypanosomiasis, Rift Valley fever dan

malignant catarrhal fever.

C.5. Terapi

Vaksin theileiria pernah dikembangkan dari piroplasma hidup yang berada

didalam sel darah merah, tetapi vaksin ini tidak lagi dianjurkan karena berpotensi
untuk menyebarkan theileriasis lebih luas. Saat ini, dua kandidat vaksin sedang

dikembangkan, yaitu vaksin rekombinan protein p32 dan peptida sintetik yang

mengandung Lys ± Glu ± Lys (KEK). Keduanya mampu menghasilkan status

parasitemia yang rendah dan menurunkan keparahan gejala klinis.

Keberhasilan pengobatan sangat ditentukan oleh waktu pemberiannya

yaitu pada awal munculnya gejala klinis. Umumnya metode pencegahan

theileriasis adalah memberi perlakuan terhadap hewan yang peka. Preparat

theilericidal seperti parvaquone dan turunannya digunakan untuk pengobatan

infeksi Theileria sp. Efektifitas penggunaan obat tersebut sangat efektif jika

digunakan pada stadium awal munculnya gejala klinis tetapi kurang efektif pada

stadium lanjut karena telah terjadi kerusakan yang lebih luas pada limfoid dan

jaringan hematopoietic. Preparat yang lain adalah pamaquin/primaguine dan

buparvaquone. Pemakaian Acrapin dapat dipertimbangkan. Tetrasiklin juga dapat

diberikan tetapi terkadang menyebabkan resisten terhadap antibiotika. Disamping

itu, obat yang dilaporkan efektif antara lain klor tetrasiklin, monoctone, C2

Hydroxy 3-8 cyclo hexylloctyl, 4-NaOH Thoquinon, Trypan Blue 1-2% 100cc,

pirevan 5% 1cc/50 kg BB subcutan, Phenamidine 12 mg/Kg BB sub cutan dan

Berenil 2 – 3,5 mg/Kg BB intramuscular.


Referensi:

Estuningsih SE, G Adiwinata, S Widjajanti dan D Piedrafi ta 2004. Pengembangan Teknik

Diagnosa Fasciolosis pada Sapi dengan Antibodi Monoklonal dalam Capture ELISA

untuk Deteksi Antigen. Pros. Seminar Nasional Parasitologi dan Toksikologi Veteriner.

20-21 April, Bogor. hlm. 27-43.

Fujisaki K, Kawazu S, Kamio T 1994. The taxonomy of the bovine Theileria sp. Parasitology

Today 10:31-33.

KOCAN, Katherine M., et al. Antigens and alternatives for control of Anaplasma marginale

infection in cattle. Clinical microbiology reviews, 2003, 16.4: 698-712.

MASIKA, P. J.; SONANDI, A.; VAN AVERBEKE, W. Perceived causes, diagnosis and

treatment of babesiosis and anaplasmosis in cattle by livestock farmers in communal

areas of the central Eastern Cape Province, South Africa. Journal of the South African

Veterinary Association, 1997, 68.2: 40-44.


Onuma M, Kakuda T and Sugimoto C 1998. Theileiria parasite infection in East Asia and

control of the disease. Comp. Immun. Microbiol. Infect. Dis. 21:165-177

ROBINSON, Mark W.; DALTON, John P. Zoonotic helminth infections with particular

emphasis on fasciolosis and other trematodiases. Philosophical Transactions of the Royal

Society B: Biological Sciences, 2009, 364.1530: 2763-2776.

Silitonga RJP 2009. Theileriasis pada sapi potong import Australia melalui pelabuhan Tanjung

Priok. Institut Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai