Anda di halaman 1dari 17

Analisis Model Sistem Umpan Balik Adaptif :

Kebijakan Penataan PKL (Pedagang Kaki Lima) di Kabupaten


Jember

MAKALAH

Diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Sistem Administrasi


Negara

Dosen Pengampu
M. Hadi Makmur, S.Sos, M.AP

Oleh
Widayatul Hidayah
NIM 180910201051

Program Studi Administrasi Negara


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Jember
Tahun 2020
PRAKATA

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas yang berjudul “Analisis
Kebijakan Penataan PKL (Pedagang Kaki Lima) Melalui Model Sistem Umpan
Balik Adaptif”. Tugas ini sebagai bentuk pelaksanaan evaluasi mata kuliah Isu
dan Kebijakan Otoda.

Penyusunan makalah ini melibatkan banyak pihak. Oleh karena penulis


mengucapkan terima kasih kepada:

1. M. Hadi Makmur, S.Sos, M.AP selaku dosen mata kuliah Sistem Administrasi
Negara yang senantiasa memberikan bimbingannya kepada penulis selama
penyusunan makalah ini;
2. Orang tua yang selalu mendukung dan mendoakan dalam menyelesaikan
makalah ini;
3. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, maka dari itu
penulis menerima kritik dan saran dari pihak pembaca. Sekian yang dapat penulis
sampaikan, sekiranya terdapat kesalahan dalam penyusunan makalah, penulis
mengucapakan mohon maaf.

Jember, Maret 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

PRAKATA.......................................................................................................................... ii
DAFTAR ISI...................................................................................................................... iii
BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................ 2
1.3 Tujuan ................................................................................................................ 3
1.4 Manfaat .............................................................................................................. 3
BAB 2. PEMBAHASAN .................................................................................................... 4
2.1 Gambaran umum tentang Pedagang Kaki Lima (PKL) ............................... 4
2.2 Substansi dari kebijakan penataan pedagang kaki lima di Kabupaten
Jember............................................................................................................................ 5
2.3 Analisis kebijakan penataan pedagang kaki lima (PKL) di Kabupaten
Jember melalui model sistem umpan balik adaptif ................................................... 7
BAB 3. PENUTUP ........................................................................................................... 12
3.1 Kesimpulan ............................................................................................................ 12
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 14

iii
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara berkedaulatan yang memiliki jumlah
penduduk kurang lebih 264 juta jiwa dengan kondisi geografis negara
kepulauan. Kondisi geografis menggambarkan bahwa Indonesia memiliki
kekayaan sumber daya alam yang sangat melimpah di berbagai bidang atau
sektor, baik dalam bidang pertanian, bidang kelautan, bidang pertambangan,
bidang kehutanan dan lain sebagainya. Akan tetapi, dengan kekayaan sumber
daya alam yang sangat melimpah, Indonesia hingga saat ini masih belum
mampu mengelola dan memanfaatkan kekayaan sumber daya alam yang
dimilikinya. Ketidakmampuan dan kurang maksimalnya dalam mengelola
sumber daya alam dengan memanfaatkan jumlah penduduk yang begitu padat
mengakibatkan negara Indonesia belum mampu menciptakan lapangan kerja.
Hal ini terlihat pada kondisi riil Indonesia bahwa pengangguran di Indonesia
masih terhitung 51% dari jumlah penduduk 264 juta jiwa.
Kondisi riil terhadap pengangguran ini diakibatkan karena kurangnya
sumber daya manusia yang unggul dan handal dalam mengelola dan
memanfaatkan sumber daya alamnya, sehingga sampai saat ini sumber daya
alam di Indonesia lebih dikuasai oleh swasta atau negara asing. Memiliki
kekayaan sumber daya alam yang sangat melimpah dengan banyaknya jumlah
penduduk, ternyata masih belum mampu mengurangi tingkat pengangguran di
Indonesia. Masalah pengangguran ini seharusnya oleh pemerintah diberikan
tindakan yang lebih tegas lagi agar bangsa Indonesia mampu meningkatkan
pertumbuhan ekonomi serta mampu memperbaiki kondisi eknomi yang
semakin memburuk. Terutama pada masalah pengangguran di Kabupaten
Jember yang merupakan daerah pusat keramaian dan relatif maju di wilayah
timur provinsi Jawa Timur.
Masyarakat Jember sampai saat ini banyak yang berstatus pengangguran,
ini terjadi karena kurangnya lapangan kerja dan kurangnya sumber daya
manusia yang unggul dalam keterampilan dan kemampuan di era sekarang

1
(era digitalalisasi). Masyarakat-masyarakat Jember mayoritas bekerja
serabutan seperti halnya bekerja pembangunan, pertanian atau pekerjaan lain
yang bukan merupakan pekerjaan tetap. Selain bekerja serabutan, salah satu
cara yang dilakukan oleh masyarakat Jember untuk menambah
perekonomiannya sendiri yaitu dengan membuka usaha perdagangan yang
bertempat nomaden atau bertempat di lokasi tertentu yang dapat menimbulkan
masalah sosial, usaha perdagangan ini biasanya disebut sebagai usaha
ekonomi sektor informal atau lebih terkenalnya disebut pedagang kaki lima
(PKL).
Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah pedagang yang menjajahkan
dagangannya dengan menggunakan gerobak di tempat yang tidak ditentukan,
adapula yang berjualan di suatu tempat tertentu (menetap). Mayoritas
masyarakat yang menjadi PKL ini adalah masyarakat kelas menengah dan
menengah ke bawah. PKL ini tumbuh subur di daerah yang menjadi tempat
pusat kegiatan masyarakat seperti daerah kampus, Alun-alun, Kecamatan
Kaliwates dan lain sebagainya, sehingga memunculkan permasalahan publik
(Keresahan Publik). Pedagang kaki lima memberikan dampak yang cukup
besar bagi masyarakat, seperti mengambil hak pejalan kaki, kemacetan,
menimbulkan masalah sosial, mengganggu kepentingan umum, kumuh hingga
nilai kebersihan semakin hilang.
Berkaca dari dampak yang ditimbulkan PKL, Pemerintah Jember
mengeluarkan sebuah kebijakan untuk melakukan penataan terhadap
Pedagang Kaki Lima (PKL). Hal tersebut, menjadi urgensi dalam makalah ini
untuk menganalisis kebijakan penataan pedagang kaki lima (PKL) melalui
model sistem umpan balik adaptif.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana gambaran umum Pedagang Kaki Lima (PKL)?
1.2.2 Bagimana substansi dari kebijakan penataan pedagang kaki lima di
Kabupaten Jember?
1.2.3 Bagaimana analisis kebijakan penataan pedagang kaki lima melalui model
sistem umpan balik adaptif?

2
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui gambaran umum pedagang kaki lima (PKL).
1.3.2 Untuk mengetahui substansi dari kebijakan penataan pedagang kaki lima
di Kabupaten Jember.
1.3.3 Untuk memahami analisis kebijakan penataan pedagang kaki lima melalui
model sistem umpan balik adaptif.
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat teoritis
Manfaat teoritis yang diharapkan penulis adalah agar dapat
menjadi salah satu referensi serta sumbangan teoritis yang baru terkait
analisis kebijakan penataan pedagang kaki lima di Kabupaten Jember
melalui model sistem umpan balik adaptif.
1.4.2 Manfaat praktis
Penulisan makalah ini diharapkan mampu memberikan informasi
dan sumbangan rekomendasi dalam kebijakan penataan pedagang kaki
lima di Kabupaten Jember.

3
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Gambaran umum tentang Pedagang Kaki Lima (PKL)
Pedagang kali lima (PKL) adalah usaha ekonomi sektor informal yang
berupa usaha dagang dan terkadang juga sebagai produsen. PKL ada yang
menetap pada lokasi tertentu dengan syarat harus memiliki surat perizinan dari
pemerintah daerah Kabupaten Jember, dan ada pula yang nomaden atau
bergerak dari satu tempat ke tempat lain (menggunakan pikulan ataupun
kereta dorong) dengan menjajakan bahan makanan, minuman dan barang-
barang konsumsi lainnya secara eceran. Pedagang Kaki Lima (PKL) di Jember
saat ini semakin luas, terbukti dari pusat kota Jember yang terlihat carut
marutnya pedagang kaki lima, selain itu juga berada di sekitar kecamatan
kaliwates, kawasan kampus (Kecamatan Sumbersari) atau sepanjang jalan
Panjaitan yang berada dalam kawasan Kecamatan Kebonsari.
Keberadaan pedagang kaki lima (PKL) secara umum telah diatur dalam
Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedagang Kaki Lima, baik
mengatur mengenai penetapan lokasi,waktu penjualan hingga sanksi apabila
PKL melanggarnya. Peraturan tersebut dibuat agar pedagang kaki lima tetap
menjaga ketertiban, keindahan, kebersihan dan lain sebagainya. Akan tetapi,
dalam realitanya pedagang kaki lima di Kabupaten Jember tidak
memperhatikan dan tidak mematuhi segala peraturan yang ditetapkan,
sehingga implementasi dari peraturan tersebut masih belum maksimal dalam
mengelola dan mengatur pedagang kaki lima (PKL).
Akibatnya, pedagang kaki lima belum terpantau dengan baik karena sejauh
ini tempat yang digunakan kebanyakan trotoar atau bahu jalan yang menjadi
fasilitas pendukung penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan (atau
tempat pejalan kaki masyarakat Jember), sehingga mengambil hak pejalan
kaki. Disamping itu, pedagang kaki lima dalam melakukan usahanya
berbanding terbalik dengan peraturan yang mengikatnya, seperti berjualan
disepanjang area kawasan dengan menggunakan lapak, gerobak secara
menetap serta meninggalkan lapaknya di lokasi, padahal dalam Perda dilarang
melakukaan usaha yang sifatnya menetap dan meninggalkan lapaknya di

4
lokasi. Selain itu, pedagang kaki lima berjualan selama 24 jam, padahal dalam
perda telah diatur bahwasannya pedagang kaki lima diperbolehkan berjualan
mulai dari jam 16:00-04:00.
Dengan demikian, menyebabkan pedagang kaki lima semakin menjamur
dan berjualan tanpa memperhatikan peraturan yang telah ditetapkan.
Menjamurnya pedagang kaki lima dapat dilihat di daerah kampus (Jl Jawa, Jl
Kalimantan, Karimata dan lain sebagainya). Pedagang kaki lima di sepanjang
kawasan tersebut terlihat berjualan sepanjang waktu selama 24 jam,
menggunakan gerobak ataupun lapak, tempat (lokasi) yang digunakan yaitu
trotoar atau bahu jalan di semua arus jalan (kanan-kiri), dan mereka
meninggalkan gerobaknya di lokasi tempat berjualan. Hal ini mengakibatkan
di kawasan tersebut sering terjadi kemacetan atau lalulintas semraut, polusi
udara, kebersihan tidak lagi terjaga (jorok) terbukti dari adanya sampah
dimana-mana, hilangnya keindahan atau kesejukan lingkungan serta
masyarakat (publik) merasa terambil haknya oleh pedagang kaki lima karena
menggunakan trotoar yang semula sebagai fasilitas pendukung lalu lintas dan
angkutan umum, justru malah digunakan sebagai tempat berjualan.
Menilik penjelasan diatas, pedagang kaki lima dianggap usaha yang lebih
sering mendatangkan permasalahan baru karena kegiatannya dianggap sebagai
kegiatan liar. Kegiatan liar yang dimaksud yaitu penggunaan ruang tidak
sesuai dengan peruntukannya sehingga mengganggu kepentingan umum,
seperti kegiatan PKL yang menggunakan trotoar dan jalan atau badan jalan
sebagai tempat berdagang, pemasangan reklame yang sembarangan, perilaku
buang sampah sembarangan dan perilaku menyeberang jalan sembarangan,
sehingga menimbulkan masalah sosial.
2.2 Substansi dari kebijakan penataan pedagang kaki lima di Kabupaten
Jember
Berdasarkan permasalahan yang ditimbulkan pedagang kaki lima, Bupati
Jember mengeluarkan Peraturan Bupati Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Penataan Pedagang Kaki Lima yang bertujuan untuk menertibkan kembali
kondisi pedagang kaki lima agar tidak mengganggu masyarakat dan merusak

5
lingkungan. Substansi Perbub No 36 tahun 2009 tentang penataan PKL,
sebagai berikut :
1. Lokasi, seperti dijelaskan pada pasal 2 ayat (1) tentang lokasi PKL,
bahwa lokasi ataupun fasilitas umum yang dijadikan sebagai lokasi PKL
tidak tercantum atau tidak terdapat lampiran dalam peraturan tersebut
yang menjelaskan lokasi atau tempat di Kabupaten Jember untuk
dijadikan sebagai lokasi berdagang PKL, karena secara garis besar
pertimbangan Perbup dibuat untuk menjaga ketentraman dan ketertiban
umum di Kabupaten Jember serta menata dan merelokasi PKL yang
menempati fasilitas umum.
2. Waktu dan kegiatan PKL, berkaitan langsung dengan status legal dan
ilegal PKL, apabila PKL melakukan usahanya mulai pukul 01.00 sampai
12.00 bisa dikatakan sebagai PKL legal, dan sebaliknya apabila PKL
melakukan aktivitas usahanya diluar jam yang sudah ditentukan oleh
Perbup No 36 Tahun 2009 tentang penataan PKL, maka PKL
dikategorikan sebagai PKL ilegal dan keberadaan mereka perlu untuk
ditertibkan.
3. Tata cara ijin lokasi PKL. Peraturan Bupati No 36 Tahun 2009 tentang
penataan PKL pada Bab IV pasal 4 diatur tentang tata cara ijin lokasi
PKL. Tata cara PKL dalam berdagang harus mempunyai ijin yang
ditujukan kepada Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Jember.
Tujuan dari adanya ijin tersebut adalah agar PKL dapat memiliki legalitas
dalam berdagang sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan juga untuk
menertibkan serta mengembalikan fungsi jalan dan trotoar yang dipakai
oleh PKL dalam melakukan aktivitas berdagangnya.
4. Sanksi administratif yang terdapat dalam Perbup Nomor 36 Tahun 2009
dilaksanakan oleh Satpol PP Kabupaten Jember sebagai pelaksana
kebijakan, dengan merumuskan tahapan-tahapan dalam pemberian sanksi
kepada PKL yang dianggap melanggar ketentuan, antara lain: (a)
Sosialisasi dan Pembinaan yang dilakukan oleh anggota Polisi Pamong
Praja kepada para pedagang kaki lima baik melalui tatap muka langsung

6
di lapangan maupun dalam forum pertemuan-pertemuan, dengan harapan
dapat menjangkau para pedagang kaki lima yang berdagang pada siang
hari dan malam hari. (b) Pemberian peringatan dilakukan setelah
memberikan sosialisasi dan pembinaan dalam kurun waktu yang cukup
lama yaitu antara dua sampai dengan tiga bulan, maka kantor Polisi
Pamong Praja memberikan peringatan kepada pedagang kaki lima yang
masih belum mengindahkan ketentuan yang berlaku. (c) Pemberian
teguran kepada pedagang kaki lima yang tidak mengindahkan terhadap
ketentuan yang berlaku. (d) Operasi penertiban yang dilaksanakan oleh
Pamong Praja dibawah kendali Seksi Operasional dan Pengawasan yang
dibantu oleh Komandan Peleton Siaga, pelaksanaannya tetap
mengedepankan kearifan dan menjunjung tinggi Perda yang ada, hal ini
bertujuan untuk menjaring pedagang kaki lima yang melanggar aturan. (e)
Penyidikan dan penindakan terhadap pedagang kaki lima yang telah
terjaring dalam operasi penertiban dan mentandatangani surat pernyataan
kesanggupan untuk memenuhi ketentuan yang berlaku. Namun apabila
ditemui PKL yang telah beberapa kali menerima pembinaan akan tetapi
melanggar ketentuan yang berlaku, maka Kantor Polisi Pamong Praja
melalui Seksi Penyidikan dan Penindakan akan mengajukan yang
bersangkutan ke pengadilan.
2.3 Analisis kebijakan penataan pedagang kaki lima (PKL) di Kabupaten
Jember melalui model sistem umpan balik adaptif
Pemerintah Daerah Jember memustuskan membuat sebuah kebijakan yang
tercantum dalam Peraturan Bupati Nomor 36 Tahun 2009 tentang Penataan
Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kabupaten Jember, dengan harapan untuk
mengatur, mengelola dan menata pedagang kaki lima (PKL) agar tetap
menjaga ketentraman dan ketertiban umum di Kabupaten Jember serta
menata dan merelokasi PKL yang menempati fasilitas umum. Bupati Jember
dalam membuat sebuah kebijakan (Perbup) tersebut dilatarbelakangi dengan
beberapa rangka dasar sistem administrasi negara, yaitu lingkungan,
masukan-masukan (input), proses konversi, keluaran (outputs) dan umpan

7
balik (feedback) yang saling berhubungan dengan berinteraksi satu dengan
yang lain. Rangka dasar sistem tersebut menjadi model yang digunakan
dalam membuat sebuah kebijakan atau peraturan, yang disebut dengan model
sistem umpan balik adaptif. Berikut analisis kebijakan penataan pedagang
kaki lima di Kabupaten Jember melalui model sistem umpan balik adaptif.
Membuat Perbup Nomor 36 Tahun 2009 tentang penataan pedagang kaki
lima (PKL) di Kabupaten Jembetr, didasarkan pada lingkungan masyarakat
(sekitar), yaitu kondisi ekonomi masyarakat Jember yang masih kecil karena
penduduk Jember masih banyak yang pengangguran dan bekerja serabutan
seperti bekerja pembangunan atau pekerjaan lain yang bukan merupakan
pekerjaan tetap. Faktor yang menyebabkan masyarakat Jember banyak yang
berstatus pengangguran karena kurangnya lapangan pekerjaan yang
disediakan oleh pemerintah serta kurangnya sumber daya manusia yang
unggul dalam keterampilan dan kemampuan di era digitalisasi. Dengan
demikian, masyarakat Jember melakukan usaha perdagangan demi
menambah perekonomiannya, yaitu dengan membuka usaha perdagangan
yang bertempat di lokasi tertentu dengan menggunakan gerobak dan lapak,
yang disebut dengan pedagang kaki lima (PKL). Akan tetapi, pedagang kaki
lima (PKL) sampai saat ini dikenal sebagai dagangan yang sering
menimbulkan masalah sosial karena PKL mayoritas berjualan di trotoar atau
tempat fasilitas umum, sehingga mengambil hak pejalan kaki, kemacetan,
menghilangkan nilai keindahan dan kebersihan, dan bahkan PKL tidak
menjaga ketertiban atau ketentraman karena tidak memperhatikan
(melanggar) peraturan daerah yang mengatur pedagang kaki lima (PKL)
dalam berjualan.
Berangkat dari kondisi lingkungan diatas, masyarakat Jember melakukan
tuntutan kepada Pemerintah Kabupaten Jember untuk lebih responsif terhadap
kondisi penduduknya agar mampu memperbaiki ekonomi masyarakatnya dan
mengurangi tingkat pengangguran. Beberapa tuntutan yang disampaikan oleh
masyarakat Jember yaitu, Pemda lebih dituntut untuk menciptakan lapangan
pekerjaan yang lebih banyak dengan disamping menyediakan tempat

8
pelatihan kerja agar masyarakat Jember mampu menyesuaikan dirinya dengan
tuntutan jaman (era digital) serta untuk menggali kemampuan atau
keahliannya agar mudah diterima di pekerjaan manapun. Artinya, Pemda
lebih memfasilitasi masyarakat Jember di bidang penciptaan lapangan
pekerjaan, hal ini dilakukan agar ekonomi masyarakat Jember lebih optimal
(meningkat). Selain itu, masyarakat juga menuntut untuk Pemda lebih
responsif dan tegas terhadap permasalahan yang ditimbulkan oleh pedagang
kaki lima (PKL), yang menjadi salah satu harapan sebagian masyarakat
Jember dalam meningkatkan ekonominya. Masyarakat menuntut hal tersebut
karena selama ini Pemda Jember kurang responsif terhadap keberadaan PKL
yang tidak beraturan, banyak dampak yang ditimbulkan dan masyarakat
merasakan dampak tersebut, bahkan masyarakat telah banyak yang
menyuarakan suaranya terhadap PKL. Akan tetapi, tidak ada solutif yang
efetif dan efisien dari keputusan Pemerintah Kabupaten Jember.
Dari masukan-masukan atau tuntutan masyarakat Jember diatas, Pemda
Jember melakukan proses konversi yang dilakukan oleh unit-unit
administratif, terdiri dari Bupati, perangkat daerah dan pejabat yang ditunjuk
yaitu Satuan Polisi Pamomg Praja (Satpol PP). Dalam proses konversi, tahap
yang dilakukan yaitu mengidentifikasi dan menganalisis kondisi penduduk
masyarakat Jember serta kondisi pedagang kaki lima (PKL) karena tuntutan
terbesar yang sangat ingin direspon dan diberikan solusi oleh Pemda adalah
masalah (kondisi) pedagang kaki lima (PKL) yang menjadi salah satu
kegiatan usaha untuk memenuhi kebutuhannya. Mengidentifikasi pedagang
kaki lima (PKL) dengan berpegangan kepada Peraturan Daerah nomor 6
tahun 2008 yang mengatur tentang lokasi, perizinan, waktu kegiatan dan
sanksi apabila teerdapat PKL yang melanggar aturan tersebut, dengan begitu
akan mengetahui mana PKL yang legal dan PKL yang ilegal. PKL legal
merupakan PKL yang memiliki ijin usaha di suatu lokasi, mematuhi semua
aturan yang mengikat pedagang kaki lima tersebut, sedangkan PKL ilegal
merupakan PKL yang melanggar dan tidak memperhatikan peraturan serta
tidak memiliki surat ijin usaha. Dengan demikian, Pemda Jember mengambil

9
sebuah keputusan yang tepat untuk tetap mempertahankan PKL, namun tidak
menimbulkan peramsalahan sosial. Keputusan yang diambil oleh Pemda
harus terus dikontrol dan dikendalikan agar menghasilkan suatu otuput yang
mampu memberikan perubahan relatif besar.
Keluaran (output) yang dihasilkan dari keputusan Pemda Jember dapat
berupa sebuah kebijakan atau peraturan baru demi mewujudkan kondisi PKL
yang kondusif dan optimal serta untuk meningkatkan ekonomi
masyarakatnya. Kebijakan yang dihasilkan berbentuk Peraturan Bupati
Nomor 36 Tahun 2009 tentang penataan pedagang kaki lima (PKL) di
Kabupaten Jember. Tujuan yang diharapkan dalam Perbup tersebut menjaga
ketentraman dan ketertiban umum di Kabupaten Jember serta menata dan
merelokasi PKL yang menempati fasilitas umum. Harapan dari Perbup ini
agar pedagang kaki lima (PKL) selanjutnya lebih kondusif lagi
keberadaannya, mematuhi peraturan dan menciptakan ketertiban maupun
ketentraman, serta tidak menimbulkan masalah sosial yang sangat merugikan
masyarakat Jember. Peraturan Bupati No 36 Tahun 2009 tentang penataan
pedagang kaki lima (PKL) di Kabupaten Jember, melibatkan beberapa aktor
yang saling kerjasama untuk menertibkan, mengkondusifkan kondisi PKL
yaitu Bupati, Perangkat Daerah dan Satpol PP.
Peraturan Bupati yang mengatur tentang penataan PKL tersebut
memberikan pengaruh terhadap lingkungan (masyarakat) karena apapun
kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sangat berpengaruh terhadap keadaan
masyarakat, baik berpengaruh secara positif ataupun negatif. Melihat dari
Perbup Nomor 36 Tahun 2009 tentang penataan pedagang kaki lima (PKL) di
Kabupaten Jember, pengaruhnya terkesan tidak ada perubahan atau tidak
menghasilkan solusi yang tepat karena pedagang kaki lima (PKL) hingga saat
ini masih tetap dianggap sebagai kegiatan liar. Kegiatan liar yang dimaksud
yaitu penggunaan ruang tidak sesuai dengan peruntukannya sehingga
mengganggu kepentingan umum, seperti kegiatan PKL yang menggunakan
trotoar dan jalan atau badan jalan sebagai tempat berdagang, pemasangan
reklame yang sembarangan, perilaku buang sampah sembarangan dan

10
perilaku menyeberang jalan sembarangan, sehingga menimbulkan masalah
sosial. Dengan demikian, hasil yang ditimbulkan dari Perbup tersebut tetap
bukan menjadi yang efektif, karena PKL semakin menjamur dimana-mana
yang menghilangkan nilai keindahan kota Jember.
Pengaruh negatif yang ditimbulkan dari Perbup diatas membuktikan
bahwa adanya kegagalan sistem yang dilakukan oleh Bupati dan Satpol PP,
sehingga ditolak dan tidak mendapatkan dukungan dari masyarakat. Oleh
karena itu, penolakan dan pengaruh lingkungan tersebut dijadikan rujukan
dengan memberikan rekomendasi (solusi). Rujukannya dapat berupa
peningkatan pembangunan dan infrastruktur yang mampu mendorong
peningkatan ekonomi di daerah (Jember). Sebab, ketersediaan infrastruktur
dapat mempermudah arus perekonomian agar dapat melakukan ekspansi
seluas mungkin, mengurangi biaya produksi hingga dapat menimbulkan efek
multiplier. Peningkatan pembangunan dan infrastruktur untuk dijadikan suatu
solusi bagi PKL, dapat dilakukan dengan cara menciptakan pasar atau
pujasera sebagai tempat / fasilitas bagi pedagang kaki lima (PKL) dalam
berjualan, sehingga PKL tidak hilang dan tidak menimbulkan masalah serta
menumbuhkan ekonomi masyarakat.
Keluaran (output) berupa Perbup yang menghasilkan penolakan dan
rujukan baru, selanjutnya akan menjadi umpan balik (feedback) sebagai
masukan baru bagi proses konversi baru untuk menghasilkan keluaran yang
lebih baru dan efektif, dalam rangka mewujudkan kebijakan
pemerintah/negara yang mampu memberikan pengaruh positif secara
signifikan, sehingga masyarakat akan menghasilkan output yang bermanfaat.

11
BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pedagang kaki lima dianggap sebagai usaha yang sering mendatangkan
permasalahan baru karena kegiatannya dianggap sebagai kegiatan liar. Kegiatan
liar yang dimaksud yaitu penggunaan ruang tidak sesuai dengan peruntukannya
sehingga mengganggu kepentingan umum, seperti kegiatan PKL yang
menggunakan trotoar dan jalan atau badan jalan sebagai tempat berdagang,
pemasangan reklame yang sembarangan, perilaku buang sampah sembarangan
dan perilaku menyeberang jalan sembarangan, sehingga menimbulkan masalah
sosial.Berdasarkan permasalahan yang ditimbulkan pedagang kaki lima, Bupati
Jember mengeluarkan Peraturan Bupati Nomor 36 Tahun 2009 tentang Penataan
Pedagang Kaki Lima yang bertujuan untuk menertibkan kembali kondisi
pedagang kaki lima agar tidak mengganggu masyarakat dan merusak lingkungan.
Substansi dari Perbup tersebut berisi tentang lokasi, waktu dan kegiatan PKL, tata
cara ijin lokasi PKL dan sanksi adminitratif apabila ada PKL yang melanggar.

Pembuatan Perbup tersebut dilatarbelakangi oleh lingkungan, masukan-


masukan (input), proses konversi dan keluaran (output) serta feedback (umpan
balik). Lingkungan yang mendasari salah satunya yaitu kondisi ekonomi
masyarakat Jember yang masih rendah, tingkat pengangguran yang relatif tinggi
serta kondisi PKL yang menjadi usaha masyatakat Jember dalam memperbaiki
ekonominya sering menimbulkan masalah sosial. Akibat dari lingkungan tersebut,
muncul tuntutan dari masyarakat berupa penciptaan lapangan kerja yang banyak
dengan dilengkapi fasilitasi untuk latihan kerja guna meningkatkan keahlian dan
kemampuan di era digitalisasi, dan menuntut untuk mengeluarkan solusi yang
terbaik dalam menangani permasalahan pedagang kaki lima (PKL). Kemudian,
Pemerintah Jember memproses tuntutan-tuntutan tersebut dengan menganalisis
dan mengidentifikasi kondisi (keberadaan PKL) dengan berpedoman pada
Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2008 tentang PKl, sehingga mudah mengetahui
mana PKL yang legal dan ilegal. Pemda Jember juga menetapkan sebuah
keputusan untuk merespon tuntutan masyarakat dengan menciptakan sebuah

12
keluaran (output) berupa Peraturan Bupati Nomor 36 tahun 2009 tentang Penataan
PKL di Kabupaten Jember, tujuannya agar menjaga ketentraman dan ketertiban
umum di Kabupaten Jember serta menata dan merelokasi PKL yang menempati
fasilitas umum.

Keluaran yang berupa Perbup tersebut memberikan pengaruh yang


signifikan pada masyarakat (lingkungan), akan tetapi dalam Perbup ini pengaruh
yang dihasilkan masih belum terlihat atau belum ada perubahan yang signifikan
karena hingga saat ini PKl semakin menjamur dan berkeliaran, bahkan semakin
memunculkan masalah sosial karena PKL tetap menghiraukan peraturan atau
kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah. Akibatnya, masyarakat melakukan
penolakan karena tidak ada perubahan yang jelas. Penolakan dan perubahan
langsung dijadikan sebagai rujukan berupa peningkatan pembangunan dan
infrastruktur di Kabupaten Jember dengan menciptakan pasar atau fasilitas lain
sebagai lokasi PKL, akhirnya PKl tetap ada dan tidak menimbulkan masalah
sosial serta masyarakat Jember tetap meningkatkan ekonominya.

Keluaran (output) berupa Perbup yang menghasilkan penolakan dan


rujukan baru, selanjutnya akan menjadi umpan balik (feedback) sebagai masukan
baru bagi proses konversi baru untuk menghasilkan keluaran yang lebih baru dan
efektif, dalam rangka mewujudkan kebijakan pemerintah/negara yang mampu
memberikan pengaruh positif secara signifikan, sehingga masyarakat akan
menghasilkan output yang bermanfaat.

13
DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Thoha, Miftah. 2010. Ilmu Administrasi Publik Kontemporer. Jakarta : Kencana.


Nugroho, Riant. 2016. Kebijakan Publik Di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Pramudji, S. 1985. Ekologi Administrasi Negara. Jakarta: PT Bina Aksara.

Jurnal :

Syahputra, Achmad Subhan. Perizinan Pedagang Kaki Lima Berdasarkan


Peraturan Daerah Kabupaten Jember Nomor 6 Tahun 2008 tentang
Pedagang Kaki Lima. https://repository.unej.ac.id/handle/123456789/87583
Diakses pada 17 Maret 2020 pukul 20:00.

Asmuni dan Abdul Hakim. Juni 2014. Evaluasi Kebijakan Ekonomi Sektor
Informal:Studi Terhadap Pelaksanaan Penataan dan Penertiban Pedagang
Kaki Lima di Kabupaten Jember. 4(1):1-7.
https://jurnal.unitri.ac.id/index.php/reformasi/article/download/43/39 Diakses
pada 17 Maret 2020 pukul 20:00.

Peraturan :
Peraturan Daerah Kabupaten Jember Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedagang
Kaki Lima Kabupaten Jember.

Peraturan Bupati Nomor 36 Tahun 2009 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima
(PKL) di Kabupaten Jember.

14

Anda mungkin juga menyukai