Anda di halaman 1dari 33

PENGEMBANGAN MODEL PELATIHAN GURU

MATEMATIKA BERBASIS MORAL (PGBM)

DEVELOPMENT OF TRAINING MATHEMATICS TEACHER


MODEL BASED ON MORALITY (PGBM)

ST. ZULAIHA NURHAJARURAHMAH

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2020

PENGEMBANGAN MODEL PELATIHAN GURU


MATEMATIKA BERBASIS MORAL (PGBM)

Disertasi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk mencapai Derajat

Doktor

Program Studi

Pendidikan Matematika

Disusun dan Diajukan oleh

ST. ZULAIHA NURHAJARURAHMAH

Kepada

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang-undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan

dosen pasal 1 (2) menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas

utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan

mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal,

pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Dengan demikian, jelas bahwa guru

dituntut untuk memiliki kecakapan dalam mengemban tugasnya sebagai tenaga

pendidik yang memiliki keahlian sesuai dengan standar profesionalitasnya.

Standar peran guru cukup kompleks dan dinamis, sehingga terdapat berbagai

konsekuensi sebagai akibat dari profesinya sebagai pendidik. Dalam upaya

mengantisipasi meluasnya peranan guru, ditetapkanlah beberapa kompetensi sebagai

pedoman bagi guru agar tercipta iklim pembelajaran yang efektif dan kondusif.

Kompetensi yang wajib dikuasai oleh guru minimal meliputi kompetensi pedagogik,

kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang

diperoleh dari pendidikan profesi berdasarkan UU RI No. 14 Tahun 2005 tentang

Guru dan Dosen, Pasal 10 Ayat 1.

Upaya dalam meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan, guru adalah target

utama yang diperioritaskan sebagai subjek dalam proses pembelajaran. Guru yang

profesional adalah guru yang kompeten, yakni yang memenuhi standar kompetensi
yang telah ditetapkan berdasarkan aturan dan kebijakan yang berlaku dalam suatu

sistem pendidikan. Dengan kata lain, guru wajib memiliki kompetensi yang

dimaksud, yakni seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus

dimiliki, dihayati, dan dikuasi oleh guru dalam melaksanakan keprofesionalan (UU

RI No. 14 Tahun 2006, tentang guru dan Dosen, pasal 1 ayat 10). Sehingga,

kompetensi yang perlu dimiliki adalah kompetensi yang utuh serta integratif sebagai

syarat menjadi kompeten.

Guna memberdayakan guru serta mengatisipasi masalah dalam profesinya maka

diberlakukan PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal

28 (3), yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, pengembangan diri yang baik;

kemauan dan kemampuan untuk merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi

pembelajaran; serta kemauan dan kemampuan lain yang terkait dengan tugas dan

tanggung jawab.

Salah satu bentuk pembinaan seperti yang telah disebutkan sebelumnya adalah

pelatihan. Pelatihan guru yang berkualitas dapat menghasilkan guru yang kompeten

dalam bidangnya masing-masing, sehingga banyak pihak yang telah mengadakan

pembinaan dan pengembangan dengan menggunakan berbagai model pelatihan.

Masalah yang muncul adalah pelatihan seperti apa yang dapat menjamin peningkatan

dan mempertahankan kompetensi guru?

Pertanyaan ini muncul sebagai akibat dari relevansi riset yang telah dilakukan

oleh beberapa peneliti sebelumnya, yakni faktor yang mempengaruhi kompetensi

guru adalah pelatihan (Hermanto & Santika, 2016; Yanto, Fatchiya, & Anwas,
2017) . Dalam pelaksanaanya, pelatihan guru yang telah dilaksanakan selama ini oleh

Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) kota Makassar, menggunakan model

pelatihan klasikal. Adapun strategi yang diterapkan dalam model tersebut disesuaikan

pada materi dan peserta pelatihan, sehingga dapat dikatakan bahwa tidak terdapat

model khusus yang digunakan dalam pelatihan guru selama ini. Fakta tersebut

menjadi dasar bahwa penelitian ini diperlukan untuk meningkatkan kualitas pelatihan

dengan memberdayakan kemampuan guru matematika profesional.

Sehingga dapat dikatakan bahwa penerapan model pelatihan tentu berkaitan

erat dengan kualitas proses dan hasil sebuah pelatihan. Dengan kata lain, yang

memiliki peran utama dalam pelatihan ini ialah terletak pada model pelatihan yang

digunakan. Oleh karena itu, berbagai faktor terkait kompetensi dan pelatihan

dijadikan tolok ukur dalam merumuskan model yang tepat sesuai kebutuhan guru.

Dengan mempertimbangkan kebutuhan dalam merumuskan model pelatihan,

kompetensi kepribadian dan kompetensi profesional dipandang sebagai aspek yang

penting namun masih kurang ditinjau lebih jauh.

Guru tidak hanya pendidik, namun juga pemimpin yang berperan penting

disegala bidang, karena mengajar merupakan kegiatan moral (Willemse, Lunenberg,

& Korthagen, 2008) dalam mengekspresikan nilai-nilai kepribadian dalam

mengembangkan norma yang berlaku dalam masyarakat. Hal inilah yang menjadi

poin penting dalam kompetensi kepribadian bagi guru. Sedangkan urgensi dari

kompetensi pedagogik terletak pada substansi materi ajar serta tindakan yang reflektif

guru dalam proses pembelajaran pada bidang studi masing-masing. Oleh karena itu,
secara tidak langsung terdapat kaitan antara moral dan kompetensi kepribadian dan

sosial guru.

Sejalan dengan hal tersebut, maka penulis hendak meneliti lebih lanjut terkait

model pelatihan guru matematika berbasis moral untuk meningkatkan kompetensi

professional guru yang nantinya diharapkan dapat menjadi acuan dan referensi dalam

pengembangan terkait.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, adapun rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah “bagaimana proses dan hasil pengembangan

model PGBM yang berkualitas?”

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah

menghasilkan model pelatihan guru matematika berbasis kecerdasan moral yang

valid, praktis dan efektif.

D. Manfaat Hasil Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Produk utama dari hasil penelitian ini adalah model pelatihan guru

matematika berbasis kecerdasan moral. Model ini diharapkan dapat

mengoptimalisasi proses pembelajaran matematika di sekolah dengan


membantu peran guru dalam memaksimalkan kompetensi profesionalnya

yang digunakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran matematika.

2. Prototipe perangkat pelatihan guru yang dihasilkan untuk meningkatkan

kompetensi guru matematika yang professional dapat dijadikan pedoman dan

sumber belajar bagi kalangan penyelenggara pelatihan secara luas, tidak

hanya fokus pada bidang matematika, melainkan dapat digunakan dibidang

studi lainnya.

3. Keseluruhan dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber kajian

terkait penerapan, pemanfaatan dan pemberdayaan fungsi model pelatihan

berbasis kecerdasan moral untuk meningkatkan kompetensi guru yang

professional.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka

Masalah utama yang selalu menjadi perhatian utama adalah hubungan antar

manusia, dan solusinya dapat ditemukan dalam bidang pendidikan. Keterampilan

bersosialisasi dengan orang lain menjadi penting untuk dipelajari, baik itu di

rumah, sekolah, tempat ibadah, ataupun lingkungan masyarakat. Hal ini menjadi

landasan utama pemikiran bahwa belajar dan kebutuhan adalah dua hal yang tidak

dapat dipisahkan, sehingga belajar kini tak mengenal usia ataupun dimana tempat

menimba ilmu melainkan kesiapan dan kesadaran diri untuk membenahi serta

memenuhi kebutuhan hidup.

Dalam memenuhi kebutuhan melalui belajar, tujuan utama serta manfaat

belajar perlu difokuskan, sehingga dalam proses dan hasil dari belajar terstruktur

dengan jelas. Konsep teori belajar tak lepas dari paradigma pemikiran para ahli

berdasarkan filsafat dan bidang keahliannya. Prinsip umum pengajaran dalam

teori belajar mempertimbangkan kemajuan peserta didik melalui beberapa tahap,

diantaranya: (a) materi terstruktur disertai langkah-langkah yang detail, (b)

peserta didik membutuhkan latihan, umpan balik serta ulasan,(c) fasilitasi

pembelajaran yang bersifat sosial, dan (d) pembelajaran dipengaruhi oleh

motivasi dan kontekstual (Schunk, 2012). Kemudian, pandangan ahli tentang teori
belajar diklasifikasikan menjadi : teori belajar behavioristik, teori belajar kognitif,

teori belajar humanistic, teori belajar konstruktivisme dan teori belajar sibernetik.

Berdasarkan tujuan utama dari penelitian ini, yakni mengembangkan model

pelatihan guru matematika berbasis kecerdasan moral untuk meningkatkan

kemampuan professional guru, maka akan dibahas dan diuraikan lebih lanjut

mengenai beberapa teori yang mendukung yakni teori belajar humanistic oleh

Maslow, teori belajar kognitif sosial oleh Albert Bandura kemudian dilanjutkan

dengan teori belajar orang dewasa (andragogy).

1. Teori belajar Malcom Knowles

Istilah belajar tidak terbatas pada usia, tempat ataupun gender. Dalam

perkembangan ilmu pendidikan (belajar), pedagogik lebih dikenal sebagai

pengetahuan memimpin atau mengajar anak-anak, seiring kemajuan ilmu

pengetahuan yang lahir dari berbagai hasil riset, studi dilakukan terhadap orang

dewasa. Pembelajaran yang melibatkan orang dewasa (andragogi) adalah

memiliki karakteristik berbeda dengan anak-anak dalam belajar.

Sehingga istilah andragogi dianggap setara dengan istilah pedagogi.

Andragogy dalam bahasa Yunani berarti memimpin manusia, sedangkan

pedagogy diartikan sebagai memimpin anak. Istilah pedagogi telah jauh lebih

lama digunakan yakni sejak zaman Yunani kuno, sedangkan istilah andragogy

pertama kali diperkenalkan oleh Alexander Kapp pada tahun 1833 yang

merupakan seorang praktisi pendidikan Jerman.


Setidaknya ada empat pilar utama prinsip teori belajar andragogy menurut

Knowles. Pertama, orang dewasa perlu dilibatkan dalam perencanaan dan

evaluasi dari pembelajaran yang mereka ikuti. Kedua, pengalaman (termasuk

pengalaman dalam melakukan kesalahan) menjadi dasar untuk aktivitas belajar

mereka. Ketiga, orang dewasa, menaruh minat yang lebih besar terhadap sesuatu

yang berkaitan dengan pribadi atau pekerjaannya. Dan yang keempat, orang

dewasa dalam belajar lebih berpusat pada permasalahan dibandingkan dengan

isinya (Knowles, 1978; M. Smith, 2002).

Berdasarkan prinsip tersebut, Knowles mengasumsikan lima karakteristik

utama andragogy yang membedakannya dengan pedagogi diantaranya: (a) konsep

diri (self-concept) yang dimaksud adalah perubahan pola pikir yang

mempengaruhi kepribadian dari pembelajar yang dependen menjadi pembelajar

yang mandiri, (b) pengalaman pelajar dewasa (adult learner experience) yakni

pembelajar mngumpulkan seluruh pengalaman mereka dan menjadikan

pengalaman tersebut menjadi sumber utama dalam belajar, (c) kesiapan belajar

(readiness to learn) merupakan langkah penting untuk memfokuskan diri pada

peningkatan orientasi belajar, (d) orientasi belajar (otientation to learning) yang

dimaksud adalah perubahan perspektif penggunaan waktu yang digunakan dari

“menunda” menjadi “segera” untuk memperoleh pengetahuan sehingga

orientasinya bergeser dari pembelajaran yang berpusat pada subjek menjadi

pembelajaran yang berpusat pada masalah atau kinerja, dan (e) motivasi belajar
(motivation to learn) seorang pembelajar dewasa adalah berasal dari dalam

dirinya atau bersifat internal (Knowles, 1984; M. Smith, 2002).

Jika dalam proses pembelajaran yang digunakan pada asumsi pedagogy sangat

sederhana, yaitu: pendidik menyampaikan materi belajar kepada peserta didik dan

peserta didik menerima saja apa yang disampaikan oleh pendidik, dalam

andragogy tidaklah demikian. Dibutuhkan daur belajar yang lebih kompleks yang

memungkinkan setiap peserta dapat saling menyampaikan pengalaman mereka

kepada peserta yang lain untuk kemudian diolah menjadi pengetahuan baru. Bila

digambarkan dengan skema maka daur belajar andaragogi adalah sebagai berikut:

menerapkan mengalami

menyimpulkan mengungkapkan

menganalisis

Gambar 1 Daur Belajar Andragogy

Gambar 1 menjelaskan bahwa peserta harus mampu memanfaatkan

pengalaman dan pengetahuan mereka sebagai sumber belajar, sehingga proses

pembelajaran diawali dengan proses mengalami. Pada tahap ini peserta diajak
untuk mencoba mengalami situasi yang akan dijadikan sebagai dasar dalam

proses menemukan pengetahuan baru.

Selanjutnya, peserta masuk ke tahap berikutnya dimana peserta diminta

mengungkapkan pengalaman, pikiran, perasaan, komentar, atau apapun berkaitan

dengan apa yang mereka alami pada tahap sebelumnya. Setelah tahap ini

dianggap cukup, peserta diarahkan untuk beranjak ke tahap berikutnya, yaitu

menganalisis berbagai pengalaman, pikiran, perasaan, dan komentar yang telah

mereka ungkapkan sebelumnya. Peserta diajak untuk mengorganisasikan

pengetahuan yang mereka dapatkan. Dari hasil analisis inilah, peserta kemudian

masuk ke tahap berikutnya, yaitu menyimpulkan apa yang menjadi hasil belajar

mereka tadi. Kesimpulan tersebut kemudian diterapkan dalam proses belajar

berkutnya. Ketika mereka sampai pada tahap menerapkan, peserta berada kembali

pada tahap mengalami.

Dengan daur belajar seperti di atas, peran peserta adalah melibatkan diri

secara aktif dalam proses pembelajaran yang berlangsung. Sementara, peran

trainer (pelatih) adalah memfasilitasi agar proses tersebut berjalan. Bentuk

fasilitasi itu diantaranya adalah menciptakan iklim belajar yang kondusif yang

memungkinkan peserta dapat terlibat dalam proses pembelajaran. Selain itu,

trainer harus dapat mengidentifikasi isi materi dan teknik pematerian yang sesuai

dengan kebutuhan peserta.

Berdasarkan konsep teori belajar andragogy tersebut tujuan dari penelitian

pengembangan model pelatihan guru berbasis moral untuk meningkatkan


kompetensi professional guru matematika ini akan menghasilkan setidaknya

pembelajar (guru) yang berkepribadian yang matang dengan memahami

kemampuan dirinya, mampu mengembangkan sikap yang dinamis pada

perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan, mampu memberikan reaksi

positif terhadap masalah yang dihadapi dengan memperhatikan penyebab dan

solusinya, mampu memahami nilai-nilai penting yang terjadi dalam kehidupan

pribadi dan pekerjaan sebagai pengalaman yang dapat dijadikan sumber belajar

untuk meningkatkan keterampilan sosial dan kepribadiannya.

2. Teori belajar Abraham Maslow

Pengetahuan merupakan salah satu diantara banyaknya kebutuhan manusia

yang perlu dimiliki. Maslow memperkenalkan istilah humanistik sebagai dasar

paradigma dalam mempelajari manusia. Ia menekankan bahwa motivasi

merupakan hal penting yang dapat mengembangkan potensi maksimal dan untuk

melengkapi kebutuhan dalam mengenali diri sendiri (Knowles, 1984; Schunk,

2012).

Dalam teori kebutuhan Maslow, perilaku manusia merupakan visualiasasi

yang mewakili untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya (Maslow & Frager,

1981). Adapun kebutuhan dasar merupakan syarat perlu sebelum dipenuhi

kebutuhan tingkat tinggi. Berikut ini piramida hirarki kebutuhan manusia.


Aktualisasi
Gambar 2 Hirarki
diri
Kebutuhan Maslow
Penghargaan (Schunk, 2012)
Kebutuhan
Rasa Memiliki
terendah adalah
Keamanan
fisiologi dan yang
Fisiologi
tertinggi adalah

aktualisasi diri.

Pertama, kebutuhan fisiologis termasuk makanan, air, dan oksigen. Kebutuhan ini

dipenuhi oleh semua orang.

Kedua, kebutuhan akan rasa aman atau keselamatan dipenuhi jika kebutuhan

pertama yakni fisiologi telah terpenuhi. Pada anak-anak, kebutuhan rasa aman jauh

lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang dewasa. Pada orang dewasa, kebutuhan

ini hanya terjadi saat dalam keadaan darurat, bencana atau dalam tatanan struktur

sosial masyarakat.

Ketiga, kebutuhan rasa kepemilikan (belonging), cinta dan kasih sayang,

Moslow mengungkapkan bahwa setiap orang akan mencari cara untuk mengatasi rasa

kesepiannya. Rasa kepemilikan menjadi penting jika kedua kebutuhan sebelumnya

memadai, seperti adanya ikatan dalam pernikahan sehingga terjalin komitmen

antarpribadi atas dasar kepercayaan.

Keempat, penghargaan (esteem). Kebutuhan ini memanifestasikan diri dalam

wujud pencapaian tertinggi terhadap kemandirian, pekerjaan, harga diri, bahkan


pengakuan dari orang lain. Manusia memiliki kebutuhan untuk dihormati oleh orang

lain, dipercaya oleh orang lain, dan stabil diri. Ketika kebutuhan ini sudah dicapai

maka tingkat percaya diri seseorang tersebut juga akan meningkat dan memiliki harga

diri yang tinggi. Hal ini akan berpengaruh terhadap peran sosial dan aktivitas

seseorang dalam interaksi sosial. Apabila kebutuhan ini tidak tercapai, maka akan

menyebabkan depresi, kurangnya rasa percaya diri, harga diri rendah, dan merasa

tidak berharga atau berguna. .

Empat kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan dasar yang perlu dipenuhi

oleh manusia dan akan menjadi penyebab penyakit mental apabila salah satu

diantaranya tidak terpenuhi (Maslow & Frager, 1981). Pada tingkat tertinggi

kebutuhan aktualisasi diri merupakan manifestasi dari kebutuhan seseorang untuk

menjadi segala sesuatu yang ia mampu untuk menjadi.

Kelima uraian hierarki kebutuhan Maslow, kebutuhan penghargaan (esteem)

dan aktualisasi diri (self-actualization) merupakan komponen yang mendukung

tujuan penelitian pengembangan ini guna meningkatkan kompetensi professional

guru yakni kompetensi sosial dan kepribadian berbasis kecerdasan moral.

3. Teori belajar Bandura

Telah diuraikan sebelumnya dalam teori belajar Maslow bahwa perilaku

merupakan manifestasi dari kebutuhan seseorang, dengan kata lain pikiran seseorang

akan turut mempengaruhi perilaku dalam proses pembelajaran. Teori kognitif sosial

oleh Bandura memandang bahwa yang memainkan peran penting dalam


pembelajaran diantaranya; faktor sosial, faktor kognitif dan faktor perilaku (Santrock,

2004, 2011).

Pada proses belajar, seseorang dapat merepresentasikan atau mentransformasi

pengalaman secara kognitif. Dalam pengkondisian operan, hubungan yang hanya

terjadi antara pengalaman lingkungan dan perilaku (Bandura, 1997, 2010). Sehingga

dalam model determinisme reciprocal pembelajaran Bandura, memuat tiga faktor

utama yang saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya seperti pada gambar

berikut :

Perilaku

Person/Kognitif Lingkungan

Gambar 3 Model Teori Kognitif Sosial Bandura (Santrock, 2011)

Alur dalam model teori kognitif Bandura tersebut terlihat bahwa adanya

interaksi yang mempengaruhi pembelajaran. Teori belajar Bandura ini mendukung

penelitian pengembangan pelatihan guru matematika dengan tujuan meningkatkan

kompetensi professional guru berbasis moral yang berkaitan dengan psikologi sosial.

Pada gambar 3, kognisi mempengaruhi perilaku. Hal ini dapat direpresentasikan pada

kasus guru di kelas, dalam proses pembelajaran misalnya, dalam menyusun strategi
pemecahan masalah matematika, diperlukan suatu pengetahuan (kognisi) mendalam

tentang suatu masalah/materi yang berkaitan, sehingga nantinya akan mempengaruhi

pengambilan keputusan yang tepat (perilaku) bahwa strategi apa yang seharusnya

digunakan dan kemudian ia sampaikan kepada peserta didiknya.

Sebaliknya, perilaku yang mempengaruhi kognisi yakni pada saat seorang

pendidik berproses (perilaku) dalam mengembangkan kemampuannya dengan

menambah wawasan tentang bidang keilmuannya, mengikuti seminar, pelatihan atau

workshop pengembangan diri, kemudian pada saat proses evaluasi kemampuan

profesionalnya, ia memperoleh nilai yang memuaskan. Hal ini membuatnya percaya

diri dan penuh dengan energy positif dalam dirinya tentang seberapa jauh

kemampuannya (kognitif).

Lingkungan mempengaruhi perilaku, misalnya diadakan suatu program

pembinaan para pendidik untuk meningkatkan kompetensi professional guru dengan

mendatangkan narasumber yang ahli dibidangnya masing-masing (lingkungan), hal

ini akan berdampak pada pencapaian kemampuan para pendidik yang mengikuti

kemampuan tersebut sehingga terjadi peningkatan perilaku profesionalitasnya dalam

mendidik.

Perilaku mempengaruhi lingkungan, berkat program pembinaan yang

dijalankan oleh suatu sekolah/instansi tadi sehingga mempengaruhi profesionalitas

para pendidik, maka akan lebih banyak lagi instansi/sekolah yang turut

menyelenggarakan program pembinaan tersebut dan turut berkonstribusi

menyebarluaskannya.
Kognisi mempengaruhi lingkungan, ekspektasi penyelenggara program

pembinaan tersebut, berdasarkan perencanaan yang matang oleh kepala sekolah dan

para pendidik sehingga memungkinkan program tersebut berjalan dengan baik dan

memberi efek yang positif diberbagai kalangan.

Lingkungan mempengaruhi kognisi, sekolah/instansi tersebut menjadi pusat

pendiri program pembinaan pelatihan guru serta menyediakan berbagai layanan tutor

bagi instansi lain yang ikut menyelenggarakan program tersebut.

Uraian tersebut menggambarkan bahwa penelitian pengembangan ini

memiliki tujuan sesuai dengan teori kognitif sosial Bandura bahwa untuk

meningkatkan kemampuan diri dalam hal ini yang dimaksud adalah kompetensi

professional guru, bahwa seorang pendidik perlu memiliki self-efficacy yakni

kesadaran atau keyakinan bahwa dirinya mampu menguasai situasi dan menghasilkan

sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya dan lingkungan. Kemampuan ini kemudian

berkaitan dengan aktualisasi diri dari Maslow yang menekankan kesadaran diri

bagaiamana ia dapat menjadi sesuatu yang melampaui dirinya ingin menjadi.

4. Kecerdasan Moral

Misalnya moral siswa akan mempengaruhi bagaimana mereka berperilaku di

dalam kelas, atau seperti apa guru berperilaku, memberi aturan dan bagaimana cara

berkomunikasi yang benar bahkan memberikan nilai dengan adil kepada siswa

merupakan bagian dari moralitas yang perlu dimiliki (Moreno, 2015).


Dalam teori perkembangan kognitif Piaget, ia mendefinisikan dua tahap

perkembangan moral anak yakni tahap pertama disebut heteronomous moralitas, dan

tahap kedua disebut otonom moralitas (Moreno, 2015). Tahap pertama heteronomous

dimulai dari tahap sensorimotorik (usia 0-2 tahun) kemudian dilanjutkan pada tahap -

pra-operasional (usia 2 – 7 tahun) dalam perkembangan kognitif piaget. Tahap kedua

otonom moralitas dimulai pada saat anak memasuki tahap perkembangan kognitif

operasional konkret (usia 7-11 tahun) hingga operasional formal (usia 11 tahun ke

atas) (Moreno, 2015; L. Nucci, Narvaez, & Krettenauer, 2014; L. P. Nucci, 2009).

Dengan kata lain bahwa konsep perkembangan moral seseorang menurut Piaget

mengikuti tahapan perkembangan kognitifnya.

Kohlberg hadir dengan pemikiran bahwa tidak berarti jika tahapan

perkembangan kognitif naik, maka perkembangan moral pun berkembang. Individu

yang bergerak dari tahapan satu ketahapan selanjutnya dan akan mengalami

perkembangan hanya apabila telah mengalami konflik kognitif akibat tidak mampu

menjelaskan atau memecahkan masalah menggunakan skema yang saat ini ia miliki

(Clarken R, Rivenbark, 2005; Moreno, 2015; Pfister, Wirth, Weller, Foerster, &

Schwarz, 2018).

Perbedaan dasar ke dua teori perkembangan moral tersebut, Piaget lebih

memfokuskan pada moral anak, sedangkan Kohlberg tidak hanya pada anak

melainkan penelitiannya dilakukan pula pada kalangan remaja dan orang dewasa.

Selain itu, Kohlberg mengajukan tiga tingkat utama dari moral : penalaran pra-

konvensional, konvensional dan post-konvensional.


Terdapat empat komponen moralitas yang mengkonseptualisasi kapasitas-

kapasitas yang diperlukan bagi berlangsungnya moral yang efektif diantaranya: (a)

sensitivitas moral, (b) pertimbangan moral, (c) motivasi moral dan komitmen, (d)

karakter moral dan kecakapan. Model keempat komponen ini berasumsi bahwa

kognitif dan afektif terjadi bersamaan disemua bidang pelaksanaan fungsi moral (L.

Nucci et al., 2014). Maka, tindakan moral bukan hanya sekadar hasil dari proses

afektif dan proses kognitif terpisah yang bekerja sebagai bagian dari sebuah interaksi.

Sebaliknya keempat komponen tersebut merupakan perpaduan dari proses afektif dan

kognitif.

Berdasarkan uraian tersebut maka konsep moral merupakan esensi yang

mendasar dalam lingkup pendidikan dan mendukung tujuan dari penelitian

pengembangan pelatihan guru ini.


B. Kerangka Konseptual Model PGBM

Kajian Pustaka

Rasionalitas Dasar Pengembangan


TEORI DAN
TEORI BELAJAR PENGEMBANGAN
MODEL
 Teori Belajar Malcom Knowles
 Teori Belajar Abraham Maslow Karakteristik
 Teori Belajar Albert Bandura
 Teori Kecerdasan Moral Karakteristik Model
Pembelajaran dalam
Pelatihan
Dampak Instruksional
Komponen

Kompetensi Profesional Guru Komponen Model Pelatihan


berbasis moralitas sebagai tujuan
pelatihan
Prosedur pengembangan

Ciri Khas Model Model Pengembangan dan


Desain oleh ADDIE – DICK
& Carrey
Moralitas dalam pengajaran
matematika perlu untuk Evaluasi Produk
dikembangkan serta dinilai sebagai
hasil dari pelatihan
Kriteria Penilaian Nieveen
(1999); Valid, Praktis,
Strategi Model Efisien

Dikembangkan melalui pelatihan


intensif guru bidang studi
matematika dan dinilai melalui tes
objektif dan kinerja

Gambar 4 Skema Kerangka Konseptualpengembangan Model PGBM


C. Model Pengembangan Pelatihan

1. Tahap Analysis

Pada tahap ini kegiatan utama adalah menganalisis perlunya pengembangan

model pelatihan mahasiswa PPG/ Calon guru profesional berbasis moral dan

menganalisis kelayakan dan syarat-syarat pengembangan model pelatihan PGBM,

diantaranya: model pelatihan, teori pendukung, materi pelatihan dan iklim pelatihan

(fasilitator, Fasilitas, Peserta).

2. Tahap Design

Rancangan model PGBM menggunakan 3 tahapan Dick & Carey. Tujuan

tahap ini adalah untuk menyiapkan rancangan model pelatihan yang akan

diintegrasikan mahasiswa PPG/ Calon guru profesional. Tahap ini meliputi langkah-

langkah sebagai berikut:

a. Identifikasi tujuan pelatihan

b. Melakukan analisis instruksional

c. Mengembangkan instrumen tes dan penilaian

3. Tahap Development

Pengembangan model pelatihan ini menggunakan model ADDIE. Materi

pelatihan yang digunakan untuk penyampaian isi atau materi program pelatihan dari

instruktur atau fasilitator, adapun tahapan pengembangan model pelatihan meliputi

langkah-langkah sebagai berikut:


a. Format

Pemilihan format dengan mengikuti format-format perangkat pelaksanaan

pelatihan yang sudah ada meliputi buku panduan, silabus, skenario kegiatan

pembelajaran dan modul, format yang digunakan sesuai dengan format modul

pelatihan implementasi kurikulum 2013.

b. Rancangan Model Awal dan Kerangka Model (Prototipe I)

1) Komponen Model

Komponen model diantaranya

(a) Sintaks

Dalam merancang model pengajaran pada saat pelatihan, digunakan model

pengajaran langsung oleh Arends yang didalamnya terdapat 5 fase sebagai

berikut :

1. Menyampaikan tujuan pembelajaran (pelatihan)

2. Mendemonstrasikan pengetahuan/keterampilan dan mempersiapkan

peserta

3. Membimbing pelatihan

4. Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik

5. Memberikan kesempatan pelatihan lanjutan dan pernerapan


Dengan mengadaptasi fase-fase pada model Arends, berikut ini disajikan

sintaks model pengajaran PGBM :

Tahapan Model PGBM Aspek Moral Aspek Matematika


Fase I Penyampaian Penyampain
Menyampaikan tujuan kompetensi moral Kompetensi dasar
pelatihan dan memotivasi terkait sensitivitas danmateri pelatihan
peserta pelatihan pertimbangan moral matematika
Fase II Penyampaian Masalah-masalah
Menyajikan informasi informasi atau yang terkait
peran moral beserta pengetahuan tentang pemecahan masalah
aplikasinya karakter moral dan yang memerlukan
kompetensinya serta strategi yang tepat
bagaimana dalam
penerapannya memecahkannya.
Fase III Penyajian masalah Konstruksi
Penyajian substansi matematika yang pengetahuan
pengetahuan terkait dengan matematika dengan
kehidupan sosial pemberian masalah
(realita) yang bersifat open-
ended.
Fase IV Pelatihan antar peserta Penemuan strategi
Memfasilitasi peserta bekerja sama dalam pemecahan masalah
pelatihan dalam tim sebagai sarana yang beragam dalam
kelompok kecil edukasi moral suatu masalah
matematika
Fase V Pelatihan sensitivitas kolaborasi strategi
Mengecek pemahaman moral dalam menilai pemecahan masalah
peserta pelatihan proses dan hasil dari yang logis
pemecahan masalah
Fase VI Pelatihan pendalaman Pendalaman materi
Pemberian tugas pertimbangan moral berkelanjutan
berkelanjutan
(b) Sistem Sosial

Mengacu pada uraian tentang sistem sosial model pembeajaran, maka

sistem sosial model yang dikembangkan ini adalah menganut pola

hubungan dua-arah antara (F-P, P-P, P-F) seperti pada gambar berikut :

Pelatih
(Fasilitator
)

Peserta Peserta Peserta

Gambar 5. Pola Model Pembelajaran

(c) Prinsip Reaksi

Adapun prinsip reaksi yang berupa peran fasilitator terhadap peserta

pelatihan, diharapkan fasilitator :

1. Menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif bagi peserta terkait bagaimana

hubungan antara moralitas dan matematika

2. Menyediakan sumber belajar yang relevan dalam hal ini adalah modul

pelatihan.

3. Menggembleng keterampilan dan pengetahuan peserta dalam menerapkan nilai

moral dalam matematika.

4. Turut berkonstribusi memberikan scaffolding dan pemahaman kepada peserta


5. Menghargai seluruh aktivitas peserta selama pelatihan sebagai bagian dari

proses moral.

(d) Sistem pendukung

Adapun hal-hal yang mendukung pengembangan pelatihan ini sebagai

berikut:

1. Silabus. Memuat rencana kegiatan pembelajaran dan materi yang akan

dipaparkan dalam pelatihan

2. Modul Pelatihan. Memuat ringkasan materi beserta lembar kerja peserta

pelatihan.

3. Lembar evaluasi. Yang akan mengukur sejauh mana penguasaan pengetahuan

keterampilan peserta pelatihan.

(e) Dampak Instruksional dan Dampak Pengiring

Adapun dampak instruksional dalam pengembangan pelatihan PGBM ini

diantaranya:

1. Penguasaan Moral ( Sosial dan Kepribadian )

2. Penguasaan pengetahuan matematika

3. Pengembangan kemampuan pemecahan masalah matematika

Sedangkan dampak pengiringnya sebagai berikut:

1. Aktualisasi diri dan Efikasi diri dalam mengajar

2. Memiliki komitmen moral dalam memotivasi pembelajaran matematika


3. Memiliki sikap percaya diri dan positif terhadap masalah matematika

Berikut gambar kerangka model pelatihan mahasiswa PPG/ Calon guru profesional

berbasis moral menggunakan desain pengembangan model ADDIE.

Pengembanganmodel
modelpelatihan
pelatihanPGBM
PGBM
Pengembangan

Peserta
Pesertapelatihan
pelatihan Teori-teori
Teori-teori pada
pada
Komponen
Komponen (analisis
(analisiskinerja) materi pelatihan Analysis
kinerja) materi pelatihan
Model
Model (analisis
Fasilitator (analisis
Fasilitator
kebutuhan)
kebutuhan)
Perancangan
PerancanganModel
Model Instrumen
Instrumen Evaluasi
Evaluasi
Pelatihan:
Pelatihan: proses pelatihan:
proses pelatihan:
Buku
BukuPanduan
Panduan Instrumen
Instrumen
Isi
Isi Model
Model kevalidan,
kevalidan, Design &
Model
Model Modul
ModulPelatihan
Pelatihan keefektifan
keefektifan dan
dan Develop
Silabus
Silabus kepraktisan
kepraktisan model
model
Skenario
SkenarioKegiatan
Kegiatan pelatihan
pelatihan PGBM
PGBM
Pembelajaran
Pembelajaran

Pelaksanaan
Pelaksanaan Evaluasi
Evaluasiprogram
program
Proses
Proses pelatihan: pelatihan:
pelatihan: Implementatio
pelatihan: Tes
model
model Tesobjektif
objektifdan
dan n & Evaluation
Teori
Teori kinerja
kinerja
Praktek
Praktek

Tujuan
Tujuan Model
Model pelatihan
pelatihan PGBM
PGBM memenuhi
memenuhi
kriteria
kriteria valid,
valid, praktis
praktis dan
dan efektif
efektif

Gambar 6 Model empirik Pelatihan Guru berbasis Moral


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan model pelatihan guru

matematika berbasis moral untuk meningkatkan kompetensi professionalnya dalam

mengajar. Jenis penelitian ini adalah penelitian dan pengembangan (Research and

Development) versi kombinasi ADDIE dan Dick and Carey, dengan asumsi bahwa

metode ini digunakan untuk menghasilkan produk berupa buku panduan dan materi

pelatihan model PGBM dan dilakukan pengujian terhadap materi atau model tersebut.

B. Subjek Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kota Makassar dikhususkan kepada guru

matematika sekolah menengah pertama (atau Mahasiswa PPG).

C. Fokus dan Variabel Penelitian

Fokus utama penelitian ini adalah moral. Sedangankan variable lain yang

diperhatikan atau dilibatkan adalah variable (1) gambaran kecerdasan moral guru, (2)

keefektifan normatif model, yakni kesesuaian antara model pelatihan secara teoritis
dengan implementasinya di lapangan, dan (3) keefektifan korelatif model yang dapat

diamati pada aktivitas peserta (guru) dalam proses pelatihan.

D. Perangkat Pelatihan dan Instrumen Penelitian

1. Perangkat Pelatihan

Perangkat pembelajaran yang akan dikembangkan sebagai kelengkapan model

pada penelitian ini yaitu:

a. Rencana Program Pelatihan

b. Lembar Kerja Peserta

c. Lembar Aktivitas Peserta

d. Respon Peserta

e. Respon Instruktur

f. Lembar Evaluasi

2. Instrumen Penelitian

Instrumen atau alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini,

yaitu:

a. Tes Kecerdasan Moral Peserta

b. Lembar Pengamatan Keterlaksanaan RPP

c. Lembar Pengamatan Aktivitas Peserta

d. Tes Penguasaan Materi Pelatihan


E. Pelaksanaan Penelitian

Adapun tahapan model pelatihan guru berbasis moral dapat digambarkan

sebagai berikut :

MODEL PELATIHAN
BERBASIS MORAL (PGBM)

ANALISIS KEBUTUHAN
PELATIHAN

DESAIN MODEL
PELATIHAN Prototipe

PENGEMBANGAN
MODEL PELATIHAN

VALIDASI AHLI
IMPLEMENTASI
PROGRAM PELATIHAN

Tidak
VALID REVISI
EVALUASI MODEL
PELATIHAN
Ya
Prototipe
UJI COBA
1,2,3

PRODUK MEMENUHI KRITERIA VALID, EFEKTIF DAN PRAKTIS


Keterangan :

: Proses Kegiatan

: Syarat Produk

: Hasil Kegiatan

: Siklus bila diperlukan

: Alur Utama Kegiatan

4. Tahap Implementasi

Tahap ini bertujuan untuk merealisasikan desain pengembangan model pelatihan

yang telah dibuat dalam situasi nyata, yakni uji coba perorangan yang melibatkan 3

orang mahasiswa PPG, uji coba kelompok kecil yang melibatkan 7 orang mahasiswa

PPG, dan uji coba lapangan yang melibatkan 30 orang mahasiswa PPG.

5. Tahap Evaluasi

Setelah dilakukan uji coba, tahap berikutnya adalah mempelajari apakah produk

model pelatihan PGBM sudah sesuai dengan tujuan yang ditentukan sebelumnya

dalam hal ini meningkatkan kompetensi professional mahasiswa calon guru untuk

menekankan moral dalam pembelajaran matematika. Berdasarkan hal tersebut maka

pada tahap ini dilakukan klarifikasi data yang didapat dari instrumen penelitian

melalui observasi dan kuisioner.


DAFTAR PUSTAKA

Bandura, A. (1997). Self-Efficacy: The Exercise of Control. New York: W.H Freeman
and Co.
Bandura, A. (2010). Self-Efficacy. In The Corsini Encyclopedia of Psychology (pp.
1–3). https://doi.org/10.1002/9780470479216.corpsy0836
Clarken R, Rivenbark, L. (2005). Moral Intelligence Holistic Ed. HRMagazine, 50,
179–180.
Clarken, R. H. (2009). Moral Intelligence in schools. Moral Intelligence, 1–9.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Hermanto, R., & Santika, S. (2016). Analisis hasil uji kompetensi guru matematika
sekolah menengah pertama ( SMP ) di Kota Tasikmalaya. 2(2), 135–142.
Knowles, M. S. (1978). Andragogy : Adult Learning Theory in Perspective. 9–20.
Knowles, M. S. (1984). The Modern Practice of Adult Education: From Pedagogy to
Andragogy. New York: Cambridge Book Co.
Mahasneh, A. M. (2014). The Level of Moral Competence Among Sample of
Hashemite University Students. Canadian Social Science, 10(1), 159–164.
https://doi.org/10.3968/j.css.1923669720141001.4096
Maslow, A. H., & Frager, R. (1981). Motivation und Persönlichkeit // Motivation and
personality.
Moreno, R. (2015). Educationmal Psychology. PhD Proposal, 1.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Nucci, L., Narvaez, D., & Krettenauer, T. (2014). Handbook of moral and character
education. In Handbook of Moral and Character Education.
https://doi.org/10.4324/9780203114896
Nucci, L. P. (2009). Education in the Moral Domain. Education in the Moral
Domain. https://doi.org/10.1017/cbo9780511605987
Pfister, R., Wirth, R., Weller, L., Foerster, A., & Schwarz, K. (2018). Taking
shortcuts: Cognitive conflict during motivated rule-breaking. Journal of
Economic Psychology, (August 2017).
https://doi.org/10.1016/j.joep.2018.06.005
Santrock, J. W. (2004). Psikologi Pendidikan (Second). Jakarta: Pranadamedia Grup.
Santrock, J. W. (2011). Educational Psychology. New York: McGraw-Hill Higher
Education.
Schunk, D. (2012). Learning Theories: An Educational Perspective (6th ed.; P. Smith
& M. Buchholz, eds.). Boston: Pearson Education.
Smith, M. (2002). Malcolm Knowles, informal adult education, self-direction and
andragogy. The Encyclopedia of Informal Education. Retrieved from
http://www.infed.org/thinkers/et-knowl.htm
Willemse, M., Lunenberg, M., & Korthagen, F. (2008). The moral aspects of teacher
educators’ practices. Journal of Moral Education, 37(4), 445–466.
https://doi.org/10.1080/03057240802399269
Yanto, N., Fatchiya, A., & Anwas, O. M. (2017). Analisis kompetensi pedagogik dan
profesional guru . . . 5, 123–140.

Anda mungkin juga menyukai