Anda di halaman 1dari 6

BAB 13

Lakukan Analisis Terhadap Kasus Adam Air dalam kaitannya dengan


Etika Bisnis !

Pelanggaran etika apa saja yang dilakukan oleh Adam Air hingga
ditutup jam terbangnya oleh pemerintah !

KASUS ADAM AIR

Belajar dari Kegagalan Si Burung Besi


Oranye
by SWAOnline - May 15, 2008

Hampir dua bulan ini sejumlah burung besi yang didominasi warna oranye dan
berlogo manusia bersayap yang tengah siap terbang itu tidak menyambangi langit
biru yang menjadi rute penerbangannya. Ya, sejak 19 Maret 2008 pesawat Adam Air
memang tidak mengangkasa, akibat dibekukan izin terbangnya (operation
specification). Selain itu, karena banyaknya persoalan yang kini masih dalam
penyidikan hukum, Adam Air tinggal mengantongi tiket Airline Operating Certificate
(Izin Operasional Terbang) yang terancam akan dicabut jika tiga bulan mendatang
belum ada perbaikan atas masalah yang terjadi.
Konsumen, regulator, pelaku industri penerbangan, dan karyawan PT Adam Sky
Connection Airlanes (Adam Air) menuding persoalan kompleks menjadi biang keladi
kejatuhan perusahaan itu. Padahal, kalau kita tengok ke belakang, perkembangan
bisnis Adam Air cukup mengesankan. Lihatlah, di awal operasi pada 19 Desember
2003, Adam Air hanya menerbangkan dua pesawat Boeing 737 sewaan dari GE
Capital Aviation Services, dan tahun 2008 diperkuat oleh 22 pesawat. Itu belum
termasuk gambaran jumlah penjualan tiket yang laris manis.
Berdasarkan data Direktorat Angkatan Udara, tahun 2004 penumpang domestik
Adam Air yang menggunakan lima armada sebanyak 484.754 orang. Tahun 2005,
dengan didukung 15 armada, junmlah penumpang naik lagi: domestik 2.324.996
orang dan internasional 106.423 orang. Pada 2006, jumlah penumpang dalam
negeri tercatat 4.873.753 orang dan kargo domestik 16.622 ton. Lalu, tahun 2007
boleh dibilang puncak pertumbuhan Adam Air selama lima tahun terakhir. Jumlah
penumpang domestik 6.252.373 orang dan internasional 120.618 orang, dengan
armada 22 pesawat.
Lantas, mengapa perusahaan penerbangan yang dibesut pasangan suami-istri
Suherman dan Sandra Ang itu sekarang kolaps? “Dalam kasus Adam Air, penyebab
kegagalan terbesar adalah faktor internal. Sementara faktor eksternal adalah trigger
atau pemicu yang mempercepat kegagalan tersebut,  ungkap Hentje Pongoh.
Pengamat penerbangan dari Pasific Aviation itu menjelaskan, faktor eksternalnya,
antara lain, persaingan pasar dan peraturan pemerintah. Adapun faktor internalnya
meliputi soal SDM dan organisasi perusahaan, finansial, teknis, serta operasional.
Sebagai perusahaan yang didirikan, dimiliki dan dijalankan oleh sebuah keluarga,
jelas bahwa Adam Air memiliki gaya manajemen keluarga. Anggota senior dalam
keluarga cenderung lebih dominan terhadap anggota keluarga yang lebih junior,
terutama dalam pengambilan keputusan terakhir.
Bahkan kabarnya, peran Sandra Ang (ibu Adam Adhitya Suherman) sebagai
komisaris lebih dominan ketimbang Adam Adhitya Suherman yang menjadi Presdir
Adam Air. Menurut Gustiono, mantan Direktur Keuangan dan Wapresdir Adam Air,
Sandra merupakan tokoh kunci yang mengatur semuanya, dari hal kecil hingga
besar. Misalnya, pengembalian uang tiket dari hasil penjualan yang tidak disetorkan
ke rekening, diintruksikan oleh Sandra untuk dikirim ke rumahnya di Pluit, Jakarta
Utara. Selain itu, dalam perekrutan karyawan, ia juga banyak berperan tanpa melihat
kompetensi calon. “Direksi boleh dibilang hanya sebagai boneka, ungkap Gustiono.
Lebih konyol lagi, Sandra pun berperan dalam penentuan pemberangkatan pesawat.
Ini dibuktikan dengan kacau-balaunya proses maintenance, karena anak sulungnya,
Rusman Suherman, ikut cawe-cawe. Padahal, komando tertinggi seharusnya berada
di tangan Direktur Teknik Rinaldy Yuliddin. Toh, kenyataannya Rinaldy tidak bisa
mengambil keputusan bila tidak mendapat lampu hijau dari Rusman. “Rusman ini
posisinya apa, karena tidak ada dalam struktur organisasi, ujar Gustiono kesal.
“Karena, apa yang ada di mata keluarga ini (Suherman) selalu dinilai dengan uang,
uang dan uang untuk mengeruk kekayaan,  Kapten Sugoro menimpali. Mantan pilot
Adam Air ini tak habis pikir mengapa perusahaan penerbangan yang dikelola
manajemen amburadul itu bisa maju beberapa waktu lalu. “Terus terang, saya
kagum sekaligus kaget dengan gaya manajemen Adam Air,  kata pria yang pernah
13 tahun menjadi pilot Merpati Airlines itu. Sugoro menemukan beberapa
penyimpangan pengelolaan Adam Air. Contohnya, kontrak kerja karyawan yang
dianggapnya menyalahi aturan ketenagakerjaan. “Manajemen juga selalu memberi
janji-janji muluk, imbuhnya. Manajemen mengatakan, jika kondisi perusahaan mulai
membaik, otomatis penghasilan meningkat dan karyawan bakal diberi saham. Akan
tetapi, faktanya kini gaji karyawan saja sering telat.
Mantan pilot Adam Air lainnya pun tak kalah sengit mengkritik kepemimpinan
keluarga Suherman. “Pemilik Adam Air bisa dikatakan bermodal coba-coba dalam
membangun bisnis penerbangan, ucap mantan eksekutif Adam Air yang ogah
disebutkan identitasnya itu. Tak bisa dimungkiri, bisnis airlines merupakan prestise
tersendiri bagi keluarga Suherman. “Jangan salah lho, sebenarnya yang menutup
Adam Air itu ya pemiliknya sendiri. Jadi, bukan semata-mata di-grounded
pemerintah atau tidak meraih profit, ia menegaskan. Sebab, idealnya dalam bisnis
penerbangan semuanya telah ada cetak biru atau buku bakunya. Sayang, dalam
praktiknya sering diselewengkan. Umpamanya, saat ia mengajukan dana Rp 100
juta ke pemilik untuk kepentingan standar keamanan pesawat, rupanya ditawar,
hanya dikasih Rp 50 juta. Tentu saja, dengan anggaran yang sedikit, kualitas
perbaikan pesawat atau penggantian suku cadang pesawat menjadi kurang.
Kasus lainnya, manakala ia meminta penggantian ban roda pesawat menjadi baru
semua, pemilik ternyata menolak. Mereka bahkan menyarankan agar ban pesawat
memakai yang vulkanisir. Padahal, ban vulkanisir yang bersertifikat pun maksimal
hanya bisa dipakai tiga kali penerbangan. Celakanya, akibat ban vulkanisir itu alih-
alih menghemat, malah pesawatnya hancur gara-gara kecelakaan, bahkan kini izin
terbangnya dicabut. “Secara pribadi, kalau melihat apa yang terjadi di Adam Air, jujur
saja kok seperti mengelola toko kelontong saja,  katanya kesal. Ia mengungkapkan,
pemilik kerap mem-by-pass dalam pengambilan keputusan. Ia pun tidak setuju jika
penyebab kecelakaan Adam Air selama ini dialamatkan ke para pilot. Skill pilot
Adam Air, menurutnya, sudah kompeten dan sesuai dengan aturan.
Berbeda dari beberapa rekannya yang mengecam manajemen Adam Air, Rinaldy
Yuliddin justru memuji. “Tidak ada intervensi Sandra Ang dan Adam Suherman.
Mereka sangat profesional, tuturnya. Sejak ia bergabung dengan Adam Air tahun
2005, suku cadang yang dipakai maskapai itu telah sesuai dengan aturan Company
Maintenance Manual. Setiap hari ada tiga jadwal perawatan rutin yang harus
dilakukan, yakni sebelum terbang, saat transit dan harian yang dilakukan oleh teknisi
Adam Air yang berlisensi.
Kendati demikian, di mata pengamat bisnis penerbangan, kiprah keluarga Suherman
mengelola Adam Air pun dinilai tidak profesional. Rhenald Kasali mengatakan, jika
diibaratkan dengan model DNA, karakter keluarga ini ber-DNA Glodok, tapi ingin
menangani perusahaan penerbangan. Padahal, bisnis penerbangan itu sarat
integritas tinggi (transparansi, keamanan, kepastian).“Kalau seorang pengusaha,
DNA-nya pedagang, mentalnya informal. Ironisnya, di industri airlines tidak bisa
begitu. Semua sistemnya harus jelas karena regulasinya banyak,  ujar pakar
manajemen dari Magister Manajemen Universitas Indonesia itu.
Ketika kondisi manajemen Adam Air agak oleng, masuklah investor baru, yaitu Grup
Bhakti Investama melalui PT Global Transport Service dan PT Bright Star Perkasa
pada 7 Maret 2007. Bhakti menyetor modal Rp 157,5 miliar untuk mendapatkan
porsi saham 50%. Investor baru diharapkan meningkatkan kinerja Adam Air.
Ternyata, hasilnya di luar dugaan. “Bergabungnya Bhakti dengan Adam Air setahun
terakhir tidak terlalu banyak memberikan perubahan positif,  ujar Nasrullah Nawawi,
Manajer SDM & Legal Adam Air, menegaskan. Pihak pendiri tetap tidak transparan
dalam pengadaan barang. Di sisi lain, pihak Bhakti terlalu cepat memaksakan sistem
yang mereka inginkan tanpa peduli kultur pemilik lama. Bisa ditebak, kisruh di antara
kedua pemegang saham itu makin memuncak. Buntutnya, keluarga Suherman
dilaporkan Bhakti telah menggelapkan uang. Misalnya, penjualan tiket tercatat Rp
1,172 triliun, tapi duit yang masuk ke rekening perusahaan cuma Rp 1,139 triliun.
Lalu, pembelian suku cadang senilai Rp 120,8 miliar tidak bisa
dipertanggungjawabkan. Bahkan, tahun 2005 Adam Air ketahuan tidak membayar
pajak sebesar Rp 15,24 miliar.
Terlepas dari karut-marutnya manajemen Adam Air, harus diakui, maskapai itu telah
berhasil membentuk citra sebagai salah satu low cost carrier (LCC) terbaik di
Indonesia, sehingga menjadi salah satu pemain kuat di jalur penerbangan domestik.
Namun, jumlah angkutan penumpang (pax load factor) yang tinggi itu tidak diimbangi
dengan low operating cost (biaya operasional penerbangan yang rendah). Alhasil,
lebih besar pasak daripada tiangnya.
Menurut Hentje, banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik dari kasus kegagalan
bisnis Adam Air sebagai LCC. Pertama, maskapai penerbangan yang menjual
tiketnya dengan tarif murah juga mesti memperhatikan dan menjaga agar biaya
operasional penerbangannya tetap rendah (low operating cost). Sebab, cuma
maskapai penerbangan yang memiliki struktur biaya operasional paling rendah yang
bakal memenangi persaingan. Kedua, SDM yang berpengalaman, kompeten dan
profesional merupakan aset terbesar dan terpenting dalam bisnis penerbangan serta
menentukan maju-mundurnya perusahaan penerbangan. Ketiga, peran pemerintah
sebagai regulator dan pengontrol perusahaan penerbangan harus benar-benar
dijalankan secara konsisten dan tanpa pandang bulu.
Yang jelas, untuk menjadi maskapai teladan dalam industri penerbangan di
Indonesia, menurut Hentje, ada beberapa aspek yang mesti dipenuhi. Dari sudut
pandang konsumen, harus memiliki standar keamanan, keselamatan dan pelayanan
yang tinggi serta tarif yang terjangkau oleh masyarakat. Dari sisi karyawan, wajib
memiliki standar kesejahteraan dan pelayanan yang tinggi, serta komunikasi dua
arah secara sehat. Lalu, dari sudut pandang pemerintah, mesti menegakkan
peraturan yang berlaku.
Reportase: Afiff Maulana Dewanda, Darandono, Herning Banirestu, M.Husni
Mubarak, S. Ruslina, Tutut Handayani, dan Wini Angraen/Riset: Sarah Ratna Herni
BOKS 1:
Mengapa Adam Air Rontok?
- Gaya manajemen tidak profesional .
- Intervensi pemilik terlalu dominan
- Tidak transparan dalam pengelolaan keuangan
- Dikelola laiknya mengurus toko kelontong, sehingga masalah remeh-temeh
pun diurusi pemilik. Contohnya, belanja onderdil pesawat, seragam kru
hingga alat tulis kantor.
- Tiadanya goodwill pemilik.
- Manajemen lebih percaya pada anggota keluarga ketimbang
profesional/karyawan.
- Pesawat sering menggunakan suku cadang yang tidak bersertifikat.
Komitmen manajemen untuk keamanan pesawat sangat diragukan.
- Tidak mengindahkan regulasi pemerintah, keselamatan dan kenyamanan
penumpang.
- Pengadaan barang tidak dilakukan dengan tender terbuka, tapi dengan
penunjukan oleh pemilik.
BOKS 2:
Adam Adhitya Suherman:
Berharap Adam Air Tetap Beroperasi
Ketidakpuasan karyawan terhadap manajemen Adam Air berbuntut demo lagi.
Jumat, 9 Mei 2008, ratusan karyawan mendatangi rumah pendiri dan pemilik
maskapai ini di kawasan Slipi, Jakarta Barat. Sore harinya, mereka melanjutkan
demo di depan kantor Pemerintah Kota Jak-Bar. Hari-hari kelabu memang harus
dilalui keluarga Suherman pascarontoknya Adam Air yang dibangun empat tahun
silam setelah mitra mereka, Bhakti Investama (perusahaan yang dimiliki Harry
Tanoesoedibjo), menyatakan mundur dari Adam Air. Banyak suara miring
dialamatkan ke keluarga ini terkait karut-marutnya Adam Air, termasuk dugaan
melakukan penggelapan pendapatan. Banyak hal yang harus dikonfirmasikan
kepada mereka. Dan, Jumat siang itu juga, wartawan SWA berhasil mewawancarai
Adam Adhitya Suherman, CEO Adam Air. Berikut petikannya:
//Benarkah penyebab kegagalan terbesar Adam Air adalah faktor internal,
sementara faktor eksternal adalah pemicu yang mempercepat kegagalan tersebut?//
Saya akui betul, penyebab kegagalan Adam Air adalah faktor internal, yakni Direktur
Keuangan (Gustiono) tidak bisa me-manage cash flow dengan baik dan tidak ada
komitmen dari pihak Bhakti.
//Benarkah peran Sandra Ang sangat dominan dalam manajemen Adam Air?//
Sebelum Bhakti bergabung sebagai pemegang saham, saya akui peran Ibu (Sandra
Ang) sebagai pendiri Adam Air, yang mempunyai visi yang jelas dan masukan yang
bagus untuk manajemen. Hasilnya, terbukti Adam Air yang semula hanya
mengoperasikan dua pesawat berkembang menjadi 23 pesawat (sebelum Bhakti
masuk). Saya rasa peran Ibu telah membawa keberhasilan. Namun, saat Bhakti
masuk, justru peran Ibu boleh dikata dilucuti atas permintaan Harry Tanoesoedibjo,
sehingga dia tidak aktif lagi di Adam Air. Ternyata, Adam Air malah berhenti
beroperasi. Sebagai dirut, saya banyak berkonsultasi dengan Ibu, tapi saya tidak
melihat hubungan antara ibu dan anak, melainkan hubungan antara komisaris dan
direksi.
//Kabarnya, hasil penjualan tiket tidak disetor ke rekening, tapi langsung dikirim ke
Pluit (rumah Sandra)?//
Itu tidak mungkin terjadi, karena penjualan langsung disetor ke rekening Adam Air.
Apa mungkin travel agent langsung mau bawa uang itu ke Pluit? Dana rekening itu
tidak bisa dikeluarkan tanpa persetujuan direktur keuangan. Hasil penjualan
langsung disetorkan ke Ibu hampir dipastikan tidak mungkin terjadi.
//Bagaimana dengan selisih penjulan tiket? Penjualan tercatat Rp 1,172 triliun, tapi
yang masuk ke rekening perusahaan hanya Rp 1,139 triliun?
Itu kan versinya Bhakti. Menurut saya, kalau ada perbedaan seperti itu, yang tahu
datanya adalah direktur keuangan. Kalau ada perbedaan, seharusnya di-cross
check, travel agent mana yang belum menyetor uangnya dan itu seharusnya
menjadi tanggung jawab direktur keuangan untuk melakukan penagihan.
//Di kargo, berdasarkan catatan, yang diangkut 15.333 ton (Agustus-Februari) dan
mengacu tarif termurah nilainya sekitar Rp 64 miliar, tapi yang disetorkan kok Rp 20
miliar?//
Itu pun sama, hanya berdasarkan asumsi mereka (Bhakti). Saya pikir asumsi
mereka tidak melihat kondisi di lapangan yang sebenarnya.
//Adam Air dituding tidak transparan dan melakukan penggelapan?//
Saya melihat, karena mereka telah menaruh orang di jajaran direksi, yaitu Gustiono
sebagai direktur keuangan dan wapresdir. Saya pikir ini posisi yang sangat kunci.
Sebab, yang namanya bisnis ujung-ujungnya uang, dan pengelolaan uang yang
mereka lakukan justru saya lihat tidak transparan. Misalnya, saya minta kinerja
keuangan dilaporkan secara terbuka baik kepada dirut maupun direksi yang lain.
Dalam RUPS, permintaan itu juga sudah disampaikan. Namun, hingga kini laporan
keuangannya belum pernah diberikan. Ini justru yang menjadi pertanyaan, apakah
sebetulnya memang ada dana-dana yang diselewengkan pihak Bhakti. Sebab, saya
pernah menemukan bukti bahwa dana dari Adam Air sekitar Rp 5 miliar masuk ke
PT Bhakti Finance. Ini sebetulnya yang patut saya curigai karena adanya
ketidakterbukaan dari direktur keuangan.
//Terkait dengan standar keselamatan penerbangan yang dilanggar Adam Air,
misalnya penggunaan ban vulkanisir dan suku cadang yang tidak bersertifikat,
bagaimana?//
Begini saja, ambil patokan, kenapa pesawat Adam Air bisa bertambah menjadi 23
pesawat? Artinya, Adam Air mendapat kepercayaan dari pihak asing yang
menyewakan pesawat. Karena sebelum memberikan pesawat itu, tentu pemiliknya
akan mengaudit keuangan ataupun maintenance.
//Kabarnya Bhakti setuju menyuntik dana asalkan manajemen dirombak dan
memasukkan profesional yang direkrut bersama?
Saya lihat ini merupakan pelanggaran terhadap perjanjian awal. Bila Bhakti minta
perombakan, yang harus diperjelas adalah Adam Air telah berhasil sebelum Bhakti
masuk. Pertanyaannya, mengapa manajemen harus dirombak? Apakah ini upaya
Bhakti yang ingin mengambil alih perusahaan tanpa harus membayar kepada
pemegang saham yang satunya? Selain itu, saya juga mendengar Bhakti akan
menyiapkan Eagle Air. Saya rasa untuk masalah ini, hal itu tidak etis sama sekali.
Karena, mereka melakukan investasi di Adam Air, tapi juga mendirikan maskapai
penerbangan baru tanpa melibatkan pemegang saham keluarga Suherman. Dugaan
yang muncul, apakah ini merupakan floating rencana Bhakti bahwa Adam Air dipakai
sebagai proses pembelajaran untuk dimasukan ke dalam maskapai mereka yang
100% sahamnya dimiliki Bhakti nanti.
//Bagaimana dengan rencana kelahiran King & Queen, sudah sejauh mana
persiapannya?//
Sebenarnya ini bukan keinginan pihak keluarga Suherman, tapi dari salah satu
investor. Maklum, banyak karyawan yang meminta keluarga Suherman tetap terjun
di bidang penerbangan. Untuk merealisasi keinginan mereka, saya berpikir, bila
Adam Air nasibnya tidak jelas, saya akan mendirikan perusahaan penerbangan
baru.
//Keluarga Suherman ingin tetap menghidupkan Adam Air ataukah mewujudkan King
& Queen?//
Tentunya, Adam Air sudah lebih mapan dan dibangun dengan susah payah, serta
ada ikatan batin dengan karyawan. Terus terang, saya sedih bila harus kehilangan
Adam Air. Namun, saya berharap Adam Air tetap beroperasi. Masalahnya, saham
kami dan Bhakti 50:50. Tentunya, bila tidak direstui pemegang saham lainnya,
keinginan tersebut akan sia-sia.
//Pelajaran apa yang bisa dipetik dari kegagalan Adam Air?//
Saya harus banyak belajar. Bagaimanapun, semua ada prosesnya. Pelajaran yang
bisa dipetik: saya tidak boleh menyesali apa yang sudah terjadi. Selain itu, dalam
memilih partner harus lebih berhati-hati lagi.
Darandono/Eva Martha Rahayu

Anda mungkin juga menyukai