EMIRSYAH SATAR,
DIREKTUR GARUDA INDONESIA
KONDISI GARUDA INDONESIA
thn 2005
Di 2005 secara legally bangkrut. Merah semua.
Hampir 12 tahun cuma tiga tahun untung. Kami
secara legally bangkrut. Brand Garuda saat itu tidak
ada nilainya,” kata Emir.
Total utang Garuda mencapai US$845 juta dengan
posisi cash flow yang negatif, utang Garuda tidak
boleh default, sebab itu bakal berdampak negatif
terhadap utang luar negeri Indonesia
Dari sisi operasional, tingkat load factor Garuda
juga terbilang rendah, hanya berkisar 60%, dengan
kinerja on time performance (OTP) masih di
bawahstandar: 85%.
Masalah berada pada sektor : keselamatan,
pelayanan, keuangan, kondisi armada yang tua
Penumpang sulit mendapt tiket
Larangan melintasi Eropa
Investor menilai bahwa nilai saham Garuda
hanya US$1 dolar saat itu.
Kegiatan operasionalnya terancam. Dana kas
Garuda hanya tinggal US$ 20 juta. Padahal,
biaya operasional Garuda per bulan mencapai
US$ 60 juta.
2013, Kelas Ekonomi Terbaik
2018, First Class 5*
GMF
Citilink
Maskapai pelat merah ini juga terus
mengedepankan keunikan yang sulit ditiru
oleh maskapai internasional lainnya. “Yang
membedakan brand Garuda adalah Indonesia
itu sendiri. Gak mungkin maskapai lain
mengatakan mereka Indonesia banget.
Keramahtamahan, diversity, food, hospitality
dan ornamennya, menginspirasi semua iklan
Garuda,” katanya.
Robby Djohan Dirut Garuda): Saya sendiri
waktu itu merasa sulit meyakinkan Emir
untuk bergabung. Pasalnya, saya tahu,
Garuda tidak bisa membayar mahal buat
Emir. Saat itu saja, mungkin Garuda hanya
bisa menggaji dia sekitar Rp 80 jutaan,
sementara gaji dia di Hong Kong bisa
mencapai Rp 500 jutaan per bulan.
Saat itu kondisi Garuda sangat mengenaskan.
Armada kami pada tahun 2006 hanya sekitar
49 pesawat saja, dengan revenue hanya
sekitar US$1 miliar. Tapi kemudian, hingga
2013 kami memiliki 140 pesawat dengan
revenue sekitar US$3,7 miliar atau naik empat
kali lipat.
Keberhasilan itu ditunjang dari dua aspek.
Pertama layanan dan kedua SDM.
Emir mengatakan salah satu cara
P
Saat masuk di Garuda, Emirsyah harus menangani
perusahaan yang di ambang kebangkrutan. Kerugiannya
mencapai Rp 5 triliun.
Bukan itu saja, pria yang akrab disapa Emir itu juga melihat
suasana kerja di Garuda saat itu suram, tidak ada semangat
di antara para karyawan. Ditambah lagi arus kas Garuda
negatif, utangnya menggunung, hingga operasi perusahaan
tidak efektif dan efisien.