Anda di halaman 1dari 17

ANALISIS KASUS PENGAKUAN PENDAPATAN PT GARUDA

INDONESIA TBK

William Sutanto
134219510

MAGISTER AKUNTANSI
UNIVERSITAS SURABAYA
SURABAYA
2020
ANALISIS KASUS PENGAKUAN PENDAPATAN PT GARUDA
INDONESIA TBK

Penjelasan Kasus:
Nelson Mandela pernah berkata “Pendidikan adalah senjata paling
mematikan di dunia, karena dengan pendidikan anda dapat mengubah dunia”.
Ilmu adalah cahaya, dimana jika seseorang mencari ilmu untuk dibagikan maka
ilmunya akan menyinari dirinya, tetapi jika seseorang mencari ilmu dan tidak
dibagikan, maka dia hanya akan menambah kesombongan. Dari kalimat tersebut
kita memahami bahwa ilmu akan dapat mengubah seseorang. Pendidikan
menjadikan manusia menjadi lebih terhormat jika digunakan dan dibagikan
dengan baik. Ilmu harus membuat manusia semakin bijak dalam bertindak dan
mengambil keputusan. Sebagai seorang pemimpin, pengambilan keputusan
menjadi penentuan arah perusahaan baik di mata eksternal ataupun internal.
Penggunaan ilmu dan sudut pandang ilmu yang luas akan menjadikan
pengambilan keputusan menjadi lebih tepat. Dalam kasus ini akan diulas dan
dibahas berbagai sudut pandang teori akuntansi tentang masalah yang menerpa
perusahaan maskapai penerbangan asal Indonesia yaitu PT Garuda Indonesia Tbk
yang diharapkan dapat memberikan pengetahuan baru untuk pembaca.
PT Garuda Indonesia Tbk merupakan perusahaan maskapai penerbangan
nasional Indonesia yang mulai didirikan pada tanggal 1 Agustus 1947 sebagai
KLM Interinsulair Bediri. Maskapai ini mulai beroperasi sejak tahun 1949 sebagai
Indonesia Airways dan berganti nama menjadi Garuda Indonesia Airways pada
tanggal 28 Desember 1949. Perusahaan yang hampir berdiri selama 73 tahun ini
memiliki beberapa anak perusahaan seperti Citilink, GMF AeroAsia, Abacus
Distribution Systems Indonesia, Aero Systems Indonesia, Aerowisata, dan
AeroFood ACS dengan jumlah armada sebanyak 146. Perusahaan ini merupakan
perusahaan BUMN yang cukup besar dengan jumlah karyawan mencapai 7.878
orang. Sebagai salah satu perusahaan maskapai penerbangan plat merah terbesar,
Garuda menjaga kualitas layanan dan harga yang diberikan pada pelanggannya.
Garuda juga pernah meraih penghargaan sebagai maskapai “Berbintang 5” skala
dunia dari Skytrax dan menjadi anggota dari 8 maskapai dunia yang mendapat
penghargaan tersebut. Penghargaan sebagai “World Best Economy Class” dan
“World Best Economy Class Seat” diperoleh pada tahun 2013 dan selanjutnya
Banyak kerjasama yang pernah juga dilakukan oleh maskapai tersebut,
seperti menjadi sponsor global untuk klub sepak bola asal Inggris yaitu Liverpool
FC. Kerjasama ini merupakan salah satu yang cukup membanggakan Indonesia,
dimana Liverpool FC merupakan klub ternama dan terkenal di dunia. Selain itu
Garuda juga pernah membuat Kerjasama dengan Sriwijaya Air pada tahun 2019
yang berakhir karena terjadi konflik internal antara keduanya. Mulai
beroperasinya ground service milik Sriwijaya Air menyebabkan penundaan
hingga pembatalan penerbangan dari Sriwijaya Air yang berdampak pada
terlantarnya ribuan penumpang. Kerjasama operasional (KSO) tersebut akhirnya
dibubarkan. Banyaknya perjanjian-perjanjian kerjasama dan kebijakan yang
dilakukan seiring dengan pergantian direktur utama perusahaan.
Di balik prestasi dan banyak kerjasama yang dimiliki oleh Garuda,
terdapat beberapa kasus yang pernah menerpa maskapai ini seperti jatuhnya
pesawat dengan nomor penerbangan GA 200 yang terjadi pada tahun 2007 dan
menewaskan 22 orang tewas dan 112 lainnya terluka. Kasus ini pernah membuat
penerbangan Garuda dilarang terbang ke Eropa. Namun dengan perbaikan yang
cepat, hanya butuh waktu satu tahun untuk maskapai ini kembali menerima
sertifikasi IATA Operational Safety Audit (IOSA) yang menunjukkan bahwa
Garuda Indonesia telah memenuhi standar keselamatan penerbangan
internasional. Hal ini menunjukkan kemampuan maskapai besar ini untuk bangkit
dan menunjukkan pada publik bahwa Garuda merupakan salah satu BUMN yang
terbaik. Tidak butuh waktu lama yaitu pada tanggal 1 Juni 2010, dibuka kembali
rute penerbangan Amsterdam dengan perhentian di Dubai.
Banyak kasus yang menerpa maskapai berlambang burung garuda ini
seperti salah satu kasus yang cukup menggemparkan yaitu kasus laporan
keuangan terkait pengakuan pendapatan. Pada tanggal 31 Oktober 2018,
Manajemen Garuda dan PT Mahata Aero Teknologi (Mahata) mengadakan
perjanjian kerja sama yang telah diamandemen, terakhir dengan amandemen II
tanggal 26 Desember 2018, mengenai penyediaan layanan konektivitas dalam
penerbangan dan hiburan dalam pesawat dan manajemen konten. PT Mahata Aero
Teknologi akan menyediakan layanan WiFi on-board yang dapat dinikmati secara
gratis. Selain itu PT Maheta akan melakukan dan menanggung seluruh biaya
penyediaan, pelaksanaan, pemasangan, pengoperasian, perawatan dan
pembongkaran dan pemeliharaan termasuk dalam hal terdapat kerusakan,
mengganti dan/atau memperbaiki peralatan layanan konektivitas dalam
penerbangan dan hiburan dalam pesawat dan manajemen konten. Awalnya
kerjasama ini menjadi program Garuda Indonesia untuk memperoleh tambahan
pendapatan dari sisi pendapatan iklan untuk subsidi silang terhadap harga tiket
sehingga nantinya harga tiket pesawat menjadi lebih terjangkau. Banyaknya
keluhan masyarakat terkait harga tiket Garuda Indonesia membuat perusahaan
tersebut berupaya keras menjawab hal tersebut.
Garuda mengakui penghasilan dari perjanjiannya dengan Mahata sebagai
suatu penghasilan dari kompensasi atas Pemberian hak oleh Garuda ke Mahata
(Catatan Lapkeu 47 huruf e). Uang tersebut masih dalam bentuk piutang dan
dianggap tidak melanggar kaidah penyajian laporan keuangan seperti yang
dikatakan oleh Fuad Rizal selaku Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko.
Charial dan Dony selaku komisaris menolak adanya pengakuan pendapatan untuk
tahun buku 2018 dari kerjasama yang dilakukan oleh Mahata karena sebenarnya
perusahaan belum menerima uang atas transaksi tersebut. Selain itu dikonfirmasi
bahwa laporan keuangan PT Garuda Indonesia juga telah diaudit oleh auditor
independen dan mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (unqualified
opinion). Berikut adalah rincian terkait dengan pengakuan pendapatan sebesar
US$ 239.940.000 yaitu:
1. Biaya kompensasi atas hak pemasangan peralatan layanan konektivitas dalam
penerbangan untuk 50 pesawat A320, 20 pesawat A330, 73 pesawat Boeing
737-800 NG dan 10 pesawat Boeing 777 sebesar US$ 131.940.000
2. Biaya kompensasi atas hak pengelolaan layanan hiburan dalam pesawat dan
manajemen konten untuk 18 pesawat A330, 70 pesawat Boeing 737-800 NG,
1 pesawat Boeing 737-800 MAX, dan 10 pesawat Boeing 777 sebesar USD
80.000.000
3. US$ 28.000.000 merupakan bagian dari bagi hasil yang didapatkan dari PT
Sri Wijaya Air
Transaksi ini membuat laporan keuangan Garuda Indonesia mengalami
perubahan yang sangat signifikan. Faktanya pada kuartal III-2018 perusahaan
mengalami kerugian sebesar US$ 114,08 juta atau setara dengan Rp 1,66 triliun
jika dikalikan dengan kurs pada saat itu yaitu Rp 14.600. Kerugian sebesar itu
dapat ditutupi dan bahkan menjadi laba hanya dalam waktu tiga bulan yaitu
sebesar US$ 809,85 ribu atau setara dengan Rp 11,33 miliar dengan kurs Rp
14.000. Padahal jika perusahaan tidak mengakui pendapatan tersebut, kerugian
yang diderita masih sebesar US$ 244,95 juta. Catatan keuntungan tersebut
membuat Garuda Indonesia harus membayar Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) lebih besar, meskipun pada kenyataannya beban
tersebut seharusnya belum menjadi kewajiban karena pembayarannya belum
dilakukan oleh Mahata dan diakui pendapatan oleh Garuda Indonesia. Perubahan
ini jelas mengundang banyak pertanyaan, bagaimana suatu perusahaan dalam
waktu yang sangat singkat menutupi kerugian yang sangat besar dan menjadi laba.
Pada perjanjian kerjasama layanan konektivitas dalam penerbangan dan
pengelolaan layanan hiburan di pesawat terdapat dua transaksi yaitu biaya
kompensasi atas penyerahan hak pemasangan layanan konektivitas dan
pengelolaan inflight entertainment, dan adanya pembagian hasil atas alokasi slot
untuk setiap pesawat yang terhubung selama periode kontrak berlangsung. Selain
itu Garuda Indonesia mengakui pendapatan atas signing fee atau biaya pembelian
hak penggunaan hak cipta untuk melaksanakan bisnis pada perusahaan Garuda
Indonesia. Beberapa hal yang terkait perjanjian antara pihak Garuda Indonesia dan
Mahata adalah sebagai berikut:

1. Perjanjian Mahata ditandatangani 31 Oktober 2018, namun hingga tahun


buku 2018 berakhir, tidak ada satu pembayaran yang telah dilakukan oleh
pihak Mahata meskipun telah terpasang satu unit alat di Citilink.
2. Dalam perjanjian Mahata tidak tercantum term of payment yang jelas bahkan
masih dinegosiasikan cara pembayarannya.
3. Tidak ada jaminan pembayaran yang tidak dapat ditarik kembali, seperti bank
garansi atau instrumen keuangan yang setara dari pihak Mahata kepada
perusahaan. Padahal, bank garansi atau instrumen keuangan yang setara
merupakan instrumen yang menunjukkan kapasitas Mahata sebagai
perusahaan yang dapat diterima oleh perbankan.
4. Mahata hanya memberikan surat pernyataan komitmen pembayaran
kompensasi sesuai dengan paragraf terakhir halaman satu dari surat Mahata
20 Maret 2019: "Skema dan ketentuan pembayaran ini tetap akan tunduk
pada ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam perjanjian. Ketentuan dan
skema pembayaran sebagaimana yang disampaikan dalam surat ini dan
perjanjian dapat berubah dengan mengacu kepada kemampuan finansial
Mahata”.

Analisis Kasus:
Analisis Penulis dari sisi PT Garuda Indonesia Tbk
Standar Akuntansi Keuangan (SAK) memberikan pedoman bagi cara
pengakuan dan saat pengakuan penghasilan bagi manajemen suatu perusahaan.
Manajemen dapat memilih struktur transaksi bisnis yang akan dilakukannya
dengan pihak lain untuk dapat memenuhi suatu Standar Akuntansi Keuangan
tertentu. SAK memungkinkan manajemen mengakui suatu penghasilan sekaligus
dalam suatu tahun ataupun tersebar selama jangka waktu perjanjian transaksi
berdasarkan kondisi-kondisi yang tercantum dalam perjanjian. Selain itu, piutang
akan bisa langsung masuk ke pos pendapatan ketika hak tagihnya sudah ada. Hak
tagih dimiliki perusahaan ketika sudah menjalankan kewajiban yang harus
dilakukan sesuai kontrak.
SAK juga mensyaratkan perusahaan mengakui penghasilannya berbasis
akrual, yaitu penghasilan dapat diakui walaupun arus kas belum diterima
sebagian/seluruhnya oleh perusahaan. Basis ini berbeda dengan basis kas yang
mengakui penghasilan perusahaan hanya apabila arus kas sudah diterima oleh
perusahaan. Dari perspektif ini, jelas menunjukkan apa yang dilakukan
manajemen Garuda Indonesia mendapat legitimasi teoretik-legal. Hal ini
memberikan ruang bagi manajemen untuk melakukan praktik manajemen laba
(earnings management) dengan cara mengakui penghasilan sekaligus dalam satu
tahun, atau mengakui penghasilan secara tersebar dalam jangka waktu perjanjian.
Pengakuan pendapatan akan mempengaruhi total laba bersih atau rugi
bersih yang akan diakui oleh perusahaan dalam tahun buku diakuinya pendapatan
tersebut. Biasanya praktik earning management dilakukan karena bonus yang
diberikan pada manajemen apabila perusahaan dapat mencapai tingkat laba
tertentu atau kebutuhan mempercantik laporan keuangan agar terlihat baik oleh
publik. Hal inilah yang dilakukan dengan mengakui pendapatan di satu tahun
yang sama sehingga kemungkinan bonus akan diterima terutama jika masa jabatan
akan berakhir. Jika manajemen membaginya ke beberapa tahun, maka hasilnya
tidak akan dinikmati secara langsung.
PSAK 72 telah menggantikan seluruh standar yang terkait dengan
pengakuan pendapatan yang ada pada saat ini yaitu PSAK 23 terkait dengan
pendapatan, PSAK 34 terkait dengan kontrak, ISAK 10 terkait dengan program
loyalitas pelanggan, ISAK 21 terkait dengan konstruksi real estat, ISAK 27 terkait
dengan pengalihan aset dari pelanggan, dan PSAK 44 terkait dengan akuntansi
aktivitas pengembangan real estate. Pada kasus ini karena keterbatasan sumber
untuk mencari PSAK 72 yang lengkap sehingga penulis hanya menggunakan
exposure draft dari PSAK 72, maka penulis menggunakan teori berdasarkan
PSAK 23 sebagai acuan. Tujuan dari PSAK 72 sendiri yaitu untuk menetapkan
prinsip yang diterapkan entitas untuk melaporkan informasi yang berguna kepada
pengguna laporan keuangan tentang sifat, jumlah, waktu, dan ketidakpastian
pendapatan dan arus kas yang timbul dari kontrak pelanggan. Pendapatan sendiri
menurut PSAK 72 diartikan sebagai penghasilan yang timbul selama proses
aktivitas normal entitas.
Menurut PSAK 23, “penghasilan didefinisikan dalam Kerangka Dasar
Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan sebagai kenaikan manfaat
ekonomis selama suatu periode akuntansi dalam bentuk pemasukan atau
perubahan aset, atau penurunan liabilitas yang mengakibatkan kenaikan ekuitas
yang tidak berasal dari kontribusi penanaman modal. Penghasilan meliputi
pendapatan maupun keuntungan. Pendapatan adalah penghasilan yang timbul dari
pelaksanaan aktivitas entitas yang normal dan dikenal dengan sebutan yang
berbeda, seperti penjualan, penghasilan, jasa, bunga, deviden, royalti, dan sewa”.
Masalah dalam pendapatan sendiri adalah pada saat penentuan pengakuan
pendapatan tersebut. Pendapatan diakui ketika kemungkinan besar manfaat
ekonomik masa depan akan mengalir ke entitas dan manfaat ini dapat diukur
secara andal.
Jika dilihat dari pengertian pendapatan menurut PSAK di atas, transaksi
Garuda Indonesia dengan Mahata diakui sebagai pendapatan royalti karena
adanya signing fee atas hak yang diberikan oleh Garuda Indonesia. Jika
disesuaikan dengan pengertian pendapatan memang sangat cocok dimana terdapat
kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi modal dan pada kasus ini
diakui sebagai royalti. Yang menjadi permasalahan sesuai dengan yang berbunyi
dalam PSAK bahwa pengakuan pendapatan yang menjadi masalah. Apalagi
pengakuan pendapatan pada kasus ini sangat tidak benar, dimana belum ada
manfaat yang diterima oleh Garuda Indonesia tetapi sudah dicantumkan dalam
laporan keuangan.
PSAK 23 paragraf 28 berbunyi demikian “Jika hasil transaksi tidak dapat
diestimasi secara andal dan kemungkinan kecil biaya yang terjadi akan
dipulihkan, maka pendapatan tidak diakui dan biaya yang timbul diakui sebagai
beban. Jika tidak ada lagi kondisi semula yang mengakibatkan hasil kontrak tidak
dapat diestimasi secara andal, maka pendapatan diakui sesuai dengan paragraph
20 bukan paragraf 26”. Sedangkan paragraf 26 berbunyi “Jika hasil transaksi
terkait dengan penjualan jasa tidak dapat diestimasi secara andal, maka
pendapatan diakui hanya sebesar beban yang telah diakui dapat dipulihkan.”
Sedangkan untuk PSAK 23 paragraf 20 sendiri dinyatakan bahwa jika
hasil transaksi yang terkait dengan penjualan jasa dapat diestimasi secara andal,
maka pendapatan sehubungan dengan transaksi tersebut diakui dengan mengacu
pada tingkat penyelesaian dari transaksi pada akhir periode pelaporan. Hasil
transaksi dapat diestimasi secara andal jika seluruh kondisi berikut ini dipenuhi:
a. Jumlah pendapatan dapat diukur secara andal.
Dalam kasus garuda pendapatan dapat diketahui dari kompensasi yang
telah disepakati seperti data yang telah tersedia pada kasus diatas.
b. Kemungkinan besar manfaat ekonomi sehubungan dengan transaksi
tersebut akan mengalir ke entitas.
Kompensasi jelas akan masuk ke Garuda Indonesia, hanya masalah waktu
pengakuan pendapatan saja yang dipertimbangkan.
c. Tingkat penyelesaian dari suatu transaksi pada akhir periode pelaporan
dapat diukur secara andal.
d. Biaya yang timbul untuk transaksi dan biaya untuk menyelesaikan
transaksi tersebut dapat diukur secara andal.
Penulis mendapatkan poin penting dari paragraf diatas, di mana hal
tersebut sesuai dengan perjanjian yang dimiliki oleh Garuda Indonesia dan
Mahata yang sebenarnya seluruh biayanya dapat diukur dan manfaat ekonomi
akan mengalir ke entitas. Namun kembali lagi kesalahan yang dilakukan oleh
manajemen Garuda Indonesia adalah pengakuan yang dilimpahkan pada satu
tahun secara bersamaan yang mana belum ada nominal yang masuk ke
perusahaan. Sesuai dengan ED PSAK 72 paragraf 63 yang menyatakan entitas
mengakui pendapatan untuk royalti berbasis penjualan atau berbasis penggunaan
yang dijanjikan dalam pertukaran dengan lisensi kekayaan intelektual hanya
ketika (atau selama) peristiwa berikut terjadi kemudian:
a. Penjualan atau penggunaan selanjutnya terjadi
b. Kewajiban pelaksanaan di mana beberapa atau seluruh royalti berbasis
penjualan atau penggunaan dialokasikan telah diselesaikan (atau
diselesaikan sebagian)
Dalam hal ini memang sebagian kewajiban telah dilakukan oleh Garuda dengan
mengizinkan pemasangan pada pesawat, namun kompensasi akan hal itu belum
diterima oleh maskapai penerbangan tersebut sehingga tidak dapat diakui sebagai
pendapatan perusahaan.
PSAK 23 paragraf 29 berisi tentang pendapatan yang timbul dari
penggunaan aset entitas oleh pihak lain yang menghasilkan bunga, royalti, dan
dividen diakui dengan dasar yang dijelaskan di paragraf 30, jika:
a. Kemungkinan besar manfaat ekonomik sehubungan dengan transaksi
tersebut akan mengalir ke entitas lain
b. Jumlah pendapatan dapat diukur secara andal
Pada paragraf 30 diakui dengan dasar sebagai berikut:
a. Bunga diakui menggunakan metode suku bunga efektif sebagaimana yang
dijelaskan di PSAK 55; Instrumen keuangan: Pengakuan dan Pengukuran
paragraf 09 dan PA05-PA08
b. Royalti diakui dengan dasar akrual sesuai dengan substansi perjanjian
yang relevan
c. Dividen diakui jika hak pemegang saham untuk menerima pembayaran
ditetapkan
Dari isi PSAK 23 maka dapat dikategorikan tiga jenis pengakuan
pendapatan yaitu penjualan barang, penjualan jasa dan pendapatan atas bunga,
royalti dan dividen dimana seluruhnya menyatakan kriteria pengakuan pendapatan
yaitu Pendapatan dapat diukur secara handal, adanya manfaat ekonomis yang akan
mengalir kepada entitas dan adanya transfer of risk. Penjualan atas hak ini
tergantung oleh periode kontrak dan bersifat tetap dimana telah menjadi
kewajiban pada saat kontrak ditandatangani. Garuda Indonesia tidak akan
memiliki sisa kewajiban setelah penyerahan hak pemasangan alat tersebut
dilakukan.
Berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK), pengakuan dan
pengukuran pendapatan yang berasal dari imbalan yang diterima dibayarkan untuk
penggunaan aset Garuda oleh Mahata harus mengikuti ketentuan yang diatur oleh
PSAK 23 yaitu klasifikasi pendapatan sebagai royalti. Dalam hal ini, komisaris
Garuda Indonesia yaitu Chairal Tanjung dan Dony Oksaria sebagai perwakilan
dari PT Trans Airways dan Finegold Resources Ltd selaku pemilik dan pemegang
28,08% saham mengakui pendapatan tersebut sebagai royalti sesuai dengan PSAK
23. Keberatan tersebut dinyatakan pada pihak manajemen 2 April 2019 melalui
surat dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST). Keberatan kedua
komisaris tersebut terkait dengan tahun pengakuan penghasilan tersebut yang
mana belum diterima uang atas penghasilan tersebut. Namun sebenarnya kedua
pemegang saham tersebut tidak mempermasalahkan pengakuan pendapatan
sebagai royalti sesuai dengan PSAK 23 paragraf 30.
Sedangkan sesuai dengan paragraf 29 sendiri yang menegaskan royalti
diakui dengan dasar sesuai dengan substansi perjanjian yang relevan. Dalam
lampiran PSAK 23 paragraf 20, dielaborasi dalam ilustrasi makna dari PSAK 23
paragraf 28 tersebut bahwa royalti akan diterima atau tidak diterima bergantung
kepada kejadian suatu peristiwa masa depan. Dalam hal ini, pendapatan hanya
diakui jika terdapat kemungkinan besar bahwa royalti akan diterima. Menurut ED
PSAK 72 paragraf 52 dinyatakan bahwa lisensi menetapkan hal pelanggan
terhadap kekayaan intelektual entitas, Lisensi kekayaan intelektual mencakup,
tetapi tidak terbatas pada, lisensi atas hal berikut:
A. Perangkat lunak dan teknologi
B. Film, musik, dan bentuk media dan hiburan lain
C. Waralaba
D. Paten, merk dagang, dan hak cipta
Pada kasus Garuda Indonesia sebenarnya pendapatan tersebut dapat diakui
sebagai royalti karena terkait dengan pemberian kompensasi pada Garuda
Indonesia yang seolah-olah digunakan “merk” nya sebagai penunjang dari produk
Mahata sendiri. Selain itu pendapatan akan diterima bergantung pada Mahata akan
melakukan kontrak yang telah dibuat atau tidak. Perjanjian yang ada pun sudah
cukup jelas yang menjelaskan nilai dari kontrak yang dilakukan oleh kedua
perusahaan tersebut.

Analisis Penulis dari sisi Otoritas Jasa keuangan (OJK)


Berbeda dengan keberatan yang diajukan oleh kedua komisaris Garuda
Indonesia terkait pengakuan pendapatan yang dibukukan tahun 2018, Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) sendiri melihat hal yang berbeda dengan kedua komisaris
Garuda Indonesia tersebut. OJK justru mengakui transaksi tersebut sebagai
pendapatan sewa yang sangat berbeda dengan PSAK 23 tentang pengakuan
pendapatan sebagai royalti. OJK/Kemenkeu sendiri memberikan perintah tertulis
kepada Garuda Indonesia untuk memperbaiki dan melakukan penyajian kembali
laporan keuangan tahun 2018 dalam jangka waktu paling lambat 14 hari setelah
ditetapkannya surat sanksi atas pelanggaran Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UU PM), Peraturan Bapepam dan LK Nomor
VIII.G.7 tentang Penyajian dan Pengungkapan Laporan Keuangan Emiten dan
Perusahaan Publik, Interpretasi Standar Akuntansi keuangan (ISAK) 8 tentang
Penentuan Suatu Perjanjian Mengandung Sewa, dan Pernyataan Standar
Akuntansi keuangan (PSAK) 30 tentang Sewa.

Menurut KBBI sewa adalah pemakaian sesuatu dengan membayar uang,


uang yang dibayarkan karena memakai atau meminjam sesuatu yang boleh
dipakai setelah dibayar dengan uang. Menurut PSAK 30 sewa adalah suatu
perjanjian yang mana pihak yang menyewa memberikan kepada penyewa hak
untuk menggunakan suatu aset salaam periode waktu yang disepakati. Sebagai
imbalannya, penyewa akan melakukan pembayaran atau serangkaian pembayaran
kepada pemberi sewa. Sedangkan Leasing ialah setiap kegiatan pembiayaan
perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh
suatu perusahaan untuk suatu jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran-
pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih (opsi) bagi perusahaan
tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau
memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati
bersama. Leasing sendiri dibagi menjadi dua yaitu finance laease dan operating
lease, dimana perbedaanya terletak pada adanya hak opsi di akhir masa sewa.

Ketentuan baru menggunakan PSAK 73 yang menggantikan PSAK 30


tentang sewa, ISAK 8 tentang penentuan apakah suatu perjanjian mengandung
suatu sewa, ISAK 23 tentang sewa operasi insentif, ISAK 24 tentang evaluasi
substansi beberapa transaksi yang melibatkan suatu bentuk legal sewa, dan ISAK
25 tentang hak atas tanah. DE PSAK 73 mulai berlaku efektif sejak tanggal 1
Januari 2020 yang didahului oleh PSAK 72 mengenai pengakuan pendapatan dari
kontrak. Menurut ED PSAK 73, sewa diklasifikasikan berbeda di pembukuan
penyewa sebagai berikut:

a. Sewa Aset Pendasar Bernilai Rendah. Sewa di mana asetnya bernilai


rendah tanpa memperhatikan masa sewa nya.
b. Sewa Jangka Pendek. Sewa yang, pada tanggal permulaan memiliki masa
sewa 12 bulan atau kurang. Sewa yang mengandung opsi beli bukan
merupakan sewa jangka pendek.
c. Sewa pembiayaan Sama seperti definisi pada pembukuan pesewa.

Dalam ED PSAK 73 diatur juga apakah suatu kontrak mengandung sewa atau
tidak dengan memenuhi beberapa syarat gabungan yaitu sebagai berikut:

1. Terdapat Aset identifikasi


2. Pelanggan memiliki hak untuk mendapatkan secara substansial seluruh
manfaat ekonomik dari penggunaan aset sepanjang periode penggunaan
3. Pelanggan atau tidak ada pihak yang memiliki hak untuk mengarahkan
bagaimana dan untuk tujuan apa aset tersebut digunakan sepanjang periode
penggunaan.
4. Pelanggan memiliki dan tidak memiliki hak untuk mengoperasikan aset
tersebut sepanjang periode penggunaan dan pemasok tidak memiliki hak
untuk mengubah konstruksi operasi.
5. Pelanggan mendesain aset dengan sebelumnya menetapkan bagaimana dan
untuk tujuan apa aset tersebut akan digunakan sepanjang periode
penggunaan.

Jika dilihat dari syarat diatas, pada kasus Garuda Indonesia, aset yang
digunakan dapat diidentifikasi yaitu pesawat milik Garuda Indonesia yang
digunakan untuk pemasangan alat konektivitas milik Mahata. Dalam hal ini pun
Mahata mendapatkan manfaat ekonomis dari penggunaan aset tersebut dan
Mahata memiliki kewenangan untuk mendesain aset serta untuk tujuan apa aset
tersebut digunakan. Jika dilihat dari syarat diatas kontrak tersebut sudah dapat
dikategorikan sebagai sewa, dimana Mahata berhak untuk melakukan pembayaran
pada Garuda Indonesia. Dari sisi OJK kita tahu bahwa memang Garuda Indonesia
salah dalam mengakui pendapatan tersebut sebagai royalti dan lebih parahnya lagi
diakui di 1 tahun yang sama yang mana seharusnya diakui secara garis lurus setiap
tahun selama masa kontrak. Hal ini jelas melanggar kaidah terkait pengakuan
pendapatan. Dalam kondisi nominal uang belum diterima dan kontrak yang
kurang jelas terkait jangka waktu pembayaran membuat perjanjian tersebut
banyak dipertanyakan.

Dalam mengakui pendapatan terdapat dua metode yaitu percentage of


completion dan Cost recovery method. Percentage of completion adalah metode
yang mengakui pendapatan dan gross profit berdasarkan tingkat penyelesaian,
sedangkan Cost recovery method adalah metode yang mengakui gross profit di
akhir masa kontrak selesai. Untuk metode Cost recovery method tidak
diperbolehkan oleh PSAK karena pada kenyataannya selama masa kontrak dan
tingkat penyelesaian meningkat akan akan keuntungan yang perusahaan
dapatkan. Pengakuan pendapatan Menurut Kieso (2011) terdapat lima langkah
yaitu sebagai berikut:
1. Identifikasi kontrak dengan pelanggan
2. Mengidentifikasi kewajiban pelaksanaan yang terdapat dalam kontrak,
3. Menentukan harga transaksi,
4. Mengalokasikan harga transaksi ke kewajiban pelaksanaan dalam kontrak
5. Mengakui pendapatan ketika entitas melakukan kewajiban pelaksanaan
dalam kontrak.
Kontrak dengan pelanggan berupa perjanjian antara Garuda Indonesia dan
Mahata yang mana setiap pihak memiliki kewajiban yaitu Garuda Indonesia harus
bersedia menyediakan pesawat untuk dipasang dengan alat konektivitas.
Sedangkan PT Mahata harus melakukan pemasangan hingga perawatan alata-alat
yang ada serta membayar sejumlah kompensasi. Harga transaksi telah disepakati
seperti pada perjanjian yang telah tertulis sebelumnya, alokasi harga transaski ke
kewajiban dalam kontrak juga telah dilakukan. Pengakuan pendapatan pun juga
telah dilakukan meskipun cara yang digunakan tidak sesuai dengan kaidah atau
PSAK. Kelima langkah pengakuan pendapatan telah dilakukan dan hal tersebut
telah dicatat pula dalam PSAK 30 tentang sewa dan ED PSAK 73.

Pengakuan pendapatan sebenarnya dapat dilakukan sesuai dengan nilai


wajar imbalan yang diterima atau dapat diterima hanya jika kemungkinan besar
manfaat ekonomi akan mengalir ke dalam perusahaan. Selain itu diakui juga
ketika kenaikan manfaat ekonomik masa depan yang berkaitan dengan kenaikan
aset atau penurunan kewajiban telah terjadi dan dapat diukur dengan andal. Pada
kasus ini bahkan masih diakui sebagai piutang yang justru dengan terburu-buru
diakui menjadi pendapatan. Terkait dengan pendapatan, sebenarnya ada beberapa
hal yang dapat dilakukan untuk mengukur tingkat penyelesaian:

a. Survei pekerjaan yang telah dilaksanakan


Dalam hal ini Garuda Indonesia harusnya melihat seberapa banyak unit
yang telah terpasang dan siap digunakan pada pesawat.
b. Persentase jasa yang dilakukan hingga tanggal tertentu
Hingga tanggal tertentu, Garuda Indonesia harus sudah tahu berapa banyak
alat yang dipasang dan maintenance yang dilakukan untuk menjaga alat
tersebut tetap dapat digunakan dengan baik.
c. Proporsi biaya yang timbul hingga tanggal tertentu dibandingkan dengan
total estimasi total biaya transaksi tersebut
Dalam kasus ini, tidak ada biaya yang dikeluarkan oleh Garuda Indonesia
karena Mahata justru memberikan kompensasi yang seharusnya diakui
sebagai sewa menurut PSAK 73.

Menurut hasil analisis yang dilakukan penulis dalam kasus ini kesalahan
utama yang menjadikan laporan keuangan Garuda Indonesia tahun 2018 menjadi
bermasalah adalah terkait dengan pengakuan pendapatan yang dilakukan
sekaligus dalam 1 tahun yaitu 2018. Pengakuan yang jelas tidak boleh dilakukan
karena belum adanya uang yang masuk ke perusahaan, namun dicatat sebagai
pendapatan. Hal ini merupakan salah satu bentuk dari earning management yang
sebenarnya tidak boleh dilakukan. Tujuan lainnya ialah untuk mempercantik
laporan keuangan dengan cara yang melanggar peraturan. Akuntan Publik (AP)
yang melakukan audit dan memberikan opini pun dinyatakan bersalah karena
tidak mampu menemukan kesalahan yang material seperti ini. Nilai yang sangat
besar dan signifikan sekali pengaruhnya pada laporan laba rugi. Dari kondisi awal
yang rugi sangat besar dan tiba-tiba mengalami keuntungan.
Kesalahan lain yaitu terkait pengakuan pendapatan yang menurut Garuda
Indonesia dan Akuntan Publik yang berwenang pendapatan dari perjanjian
tersebut dianggap sebagai royalti sesuai dengan PSAK 23. Namun jika dilihat
kesesuaiannya dengan PSAK, pada kenyataannya memang pendapatan tersebut
lebih terkait dengan kontrak yaitu dengan PSAK 30 atau sekarang menggunakan
ED PSAK 73. Pendapatan atas perjanjian Garuda Indonesia dan Mahata memiliki
kontrak yang jelas dan sesuai dengan ED PSAK 73 dibandingkan dengan royalti
menurut PSAK 23 atau ED PSAK 72. Analisis yang dilakukan oleh OJK jelas
tidak memiliki conflict of interest sehingga hasil pemeriksaan yang dilakukan
lebih benar. Karena hal itu OJK selaku Lembaga yang independen dan pemerintah
memberikan sanksi pada manajemen Garuda Indonesia dan AP yang terkait.
DAFTAR REFERENSI
 Kieso, Donald, Jerry J, Weygandt and Teery D. Warfield, 2011. Intermediate
Accounting. Edisi 12 by: Erlangga
 Dewan Standar Akuntansi Keuangan. (2011). PSAK No. 30: Sewa. Jakarta: IAI
 Dewan Standar Akuntansi Keuangan. (2015). PSAK No. 23: Pendapatan. Jakarta: IAI
 Dewan Standar Akuntansi Keuangan. (2018) Draf Eksposur PSAK No. 72:
Pendapatan Dari Kontrak Dengan Pelanggan. Jakarta: IAI
 Dewan Standar Akuntansi Keuangan. (2018). Draf Eksposur PSAK No. 73: Sewa.
Jakarta: IAI
 https://id.wikipedia.org/wiki/Garuda_Indonesia
 https://market.bisnis.com/read/20190628/192/938939/ini-sanksi-yang-diberikan-
ojk-kepada-garuda-indonesia-giaa
 https://nasional.kontan.co.id/news/garuda-geger-ini-5-kasus-mencengangkan-di-
maskapai-ini
 https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/ojk-jatuhkan-sanksi-pada-emiten-
direksi-dan-komisioner-pt-garuda-indonesia/

Anda mungkin juga menyukai