Anda di halaman 1dari 12

Nama : DYMPNA PRAMEILITA PRISASANTI

Semester : 6 (enam)

PCOS DAN SINDROM TURNER

A. RESISTENSI INSULIN DAN HOMA IR

Insulin adalah protein, yang disimpan dalam-sel beta. Insulin terdiri dari 2 rantai, α
dan β chain yang dihubungkan oleh jembatan disulfida. Gen insulin manusia terletak pada
lengan pendek kromosom 11. Maturation dari secretorygranule yang terkait dengan konversi
insulin proinsulinto. Normal dewasa secretorygranules mengandung insulin dan C-peptida di
equimolaramounts. Insulin dan C-peptida kemudian dilepaskan dari sel. C-peptida dilepaskan
dalam jumlah equimolarto insulin. Half life dalam plasma 3 -5 menit. Liver adalah organ
utama untuk metabolisme insulin (50%). Insulin memiliki efek sebagai parakrin maupun
endokrin. Sebagai parakrin, insulin dapat menghambat sekresi glucagon, sedangkan sebagai
endokrin, insulin memiliki efek pada sel otot, hati dan jaringan lemak. Adanya insulin
memudahkan glukosa darah masuk ke dalam sel sebagai sumber tenaga. Dalam
metabolismenya, ada 4 macam glucose transporters (GLUT) yang bekerja pada sel yang
berbeda-beda. Glukosa merangsang sekresi insulin dan menekan sekresi. Sub unit yang lebih
besar (alpha) MW 135.000 D berada sepenuhnya ekstrasel, dan mengikat mol insulin. The
alpha sub unit yang dihubungkan oleh hubungan disulfida dengan beta sub unit kecil MW
95.000 D (Depres, 1999).
Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang penggunaan
glukosa tubuh atau turunnya respon sel target/organ (otot, otot jantung, jaringan lemak dan
hati) terhadap konsentrasi insulin fisiologis. Mekanisme yang mendasari resistensi insulin ini
adalah defek primer sel target, autoantibodi terhadap insulin dan degradasi insulin yang
berlangsung cepat. Gangguan ini dapat terjadi pada tingkat prereseptor, reseptor, postreseptor
dan GLUT. Insulin resisten dapat ditemukan pada DM tipe 2, obesitas, gangguan toleransi
glukosa, dan pada anak yang orang tuanya menderita DM. Diantara penyebab tersebut,
obesitas adalah penyebab tersering resitensi insulin, yang diawali dengan berkurangnya
jumlah reseptor insulin dan kegagalan reseptor untuk mengaktifkan tirosin kinase. Resistensi
insulin ini tidak hanya ditemukan pada obesitas dengan diabetes maupun prediabetes, tetapi
juga ditemukan pada obesitas yang euglikemia. Resistensi insulin pada obesitas yang
euglikemia tidak berlanjut menjadi DM tipe 2 karena tidak terjadi kelainan sekresi insulin,
sehingga kadar glukosa darah tetap normal. Oleh karena itu, meskipun resistensi insulin
adalah risiko utama terjadinya intoleransi glukosa dan DM tipe 2, mayoritas individu dengan
resistensi insulin tidak berlanjut menjadi DM tipe 2 tetapi tetap memiliki risiko tinggi
terjadinya aterotrombosis/penyakit kardiovaskular walaupun tanpa disertai dislipidemia
(Depres, 1999).
Pada obesitas, terjadi kelainan jumlah dan fungsi reseptor insulin. Terjadinya
resistensi insulin tidak terlepas dari peran TNF-. Banyaknya jumlah sel lemak menyebabkan
sekresi TNF- dan leptin pada sirkulasi meningkat. TNF- mengganggu kerja insulin dengan
menghambat pemberian sinyal untuk reseptor insulin atau mengganggu aktivitas reseptor
tirosin kinase sehingga IRS tidak terfosforilasi. Fosforilasi IRS yang berkurang menyebabkan
IRS tidak akan dapat bereaksi dengan PI 3- kinase. Aktivasi PI 3-kinase yang menurun
menyebabkan vesikel pada GLUT4 tidak dapat berfusi dengan permukaan sel dan
pembentukan NO berkurang. Fusi vesikel dengan permukaan sel tidak terjadi sehingga
glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel (gambar 2) (Depres, 1999).
Mekanisme lain yang dapat menerangkan hubungan antara obesitas dengan resistensi
insulin dan disfungsi endotel adalah peningkatan produksi radikal bebas. Kelebihan asupan
makanan dan penurunan aktivitas fisik pada obesitas mengakibatkan beban glukosa dan asam
lemak bebas dalam sel meningkat. Transformasi energi yang terjadi, ternyata disertai dengan
peningkatan pembentukan radikal bebas yang melebihi antioxidant defence capacity yang
dapat menyebabkan kerusakan jaringan (oksidatif) (Ceriello, 2004; Tjokroprawiro, 2005). Sel
otot dan lemak mampu melindungi dirinya dari keadaan ini dengan menjadi resisten terhadap
kerja insulin. Resistensi ini bertujuan untuk mengurangi masuknya glukosa dan asam lemak
bebas ke dalam sel. Sel  dan endotel adalah jaringan yang tidak tergantung pada insulin.
Kelebihan glukosa dan asam lemak bebas dalam sel ini menyebabkan anjan oksidatif yang
akan merangsang terjadinya disfungsi pada sel  maupun endotel (gambar 3) (Ceriello,
2004). Endotel mempunyai peran penting dalam mempertahankan dinding pembuluh darah,
tekanan darah, aliran darah dan status redoks. Endotel juga berfungsi untuk membantu
pembentukan sirkulasi kolateral untuk mencegah perluasan infark (Hurst, 2003).

Pengukuran resistensi insulin pada manusia berperan penting dalam ilmu pengetahuan
dasar dan dalam praktik klinis. Teknik euglycemic hyperinsulinemic clamp merupakan suatu
metode untuk memperkirakan resistensi insulin secara langsung. Teknik ini dianggap sebagai
gold standard, yang mengukur efek insulin terhadap penggunaan glukosa secara terus-
menerus in vivo. Teknik ini sulit diterapkan pada pemeriksaan skala besar karena prosedur
yang berbelit, meliputi infus insulin intravena, pengambilan sampel darah berulang selama 3
jam dan penyesuaian infus glukosa secara kontinu. (Singh and Saxena, 2010, Simental-
Mendía et al., 2008).
Marker lain untuk mengukur resistensi insulin yaitu homeostasis model assessment
insulin resistance (HOMA-IR). Indeks pengukuran resistensi insulin ini pertama kali
diperkenalkan oleh Matthews dkk pada tahun 1985, menggunakan kadar glukosa puasa dan
insulin. Kadar insulin bergantung pada efek sel β terhadap kadar glukosa, sedangkan kadar
glukosa diregulasi oleh produksi glukosa yang dimediasi insulin. Resistensi insulin
digambarkan sebagai penurunan efek supresi insulin terhadap produksi glukosa anjang
(Singh and Saxena, 2010).

Sejumlah penelitian menunjukkan HOMA-IR memiliki korelasi tinggi dengan gold


standard pada populasi yang berbeda (Singh and Saxena, 2010, Simental-Mendía et al.,
2008). Penelitian awal menunjukkan bahwa HOMA-IR berkorelasi dengan euglycemic
hyperinsulinemic clamp (r=0,88) (Matthews et al., 1985). Penelitian yang dilakukan di
Jepang menyatakan HOMA-IR memiliki korelasi kuat dengan euglycemic hyperinsulinemic
clamp pada kelompok yang mendapatkan terapi (r=0,727) maupun pada kelompok diet
(r=0,747) (Emoto et al., 1999). Penelitian di Italia menemukan adanya korelasi kuat antara
euglycemic hyperinsulinemic clamp dengan HOMA-IR (r=0,820) (Bonora et al., 2000).
Resistensi insulin menggunakan HOMA-IR didefinisikan sebagai nilai yang lebih dari
persentil ke-75 pada subyek non diabetes berdasarkan WHO, namun nilai cut-off yang
dilaporkan dalam literatur berbeda-beda (Tabel 3). Cut-off HOMA-IR bervariasi berdasarkan
ras, usia, jenis kelamin, penyakit dan komplikasi karena kompleksitas resistensi insulin.
Sejumlah negara, termasuk Indonesia belum mempublikasikan cut-off HOMA-IR dalam
menentukan resistensi insulin (Tang et al., 2015).
Tes insulin mahal dan tidak tersedia di semua laboratorium. Guerrero- Romero dkk
pada tahun 2008 mengemukakan suatu indeks untuk mengukur resistensi insulin yaitu produk
trigliserida dan glukosa puasa atau Triglyceride and Glucose index (TyG index) (Simental-
Mendía et al., 2008, Guerrero-Romero et al., 2010).

Resistensi insulin berperan dalam regulasi kadar trigliserida plasma. Resistensi insulin
dihubungkan dengan peningkatan sumber trigliserida untuk pembentukan VLDL, yaitu aliran
fatty acid dari jaringan adiposa ke hepar, uptake remnant VLDL, IDL dan kilomikron oleh
hepar serta lipogenesis de novo. Karakteristik dislipidemia pada resistensi insulin yaitu
peningkatan produksi VLDL dan hipertrigliseridemia (Scherer et al., 2016). Kandungan
trigliserida merupakan yang menentukan resistensi insulin dan trigliserida intramioselular
menentukan resistensi insulin otot (Simental-Mendía et al., 2008, Guerrero-Romero et al.,
2010).
Evaluasi TyG index pada berbagai kelompok etnis telah dilakukan sejak indeks ini
diperkenalkan, antara lain kelompok Meksiko-Amerika dan Kaukasia, Korea, Cina, Meksiko,
Italia dan Brazil. Penelitian yang dilakukan pada kelompok etnis Meksiko yang terdiri dari
pria dan wanita tidak hamil berusia 18–65 tahun mendapatkan nilai TyG index untuk
diagnosis resistensi insulin adalah 4,65 dengan sensitivitas 84% dan spesifisitas 45%
(Simental-Mendía et al., 2008). Penelitian pada populasi Brasil yang berusia 22–81 tahun
menunjukkan TyG index memiliki korelasi sedang dengan metode gold standard (r = 0,431),
serta lebih baik dibandingkan HOMA-IR (Vasques et al., 2011). Penelitian pada populasi
Cina menunjukkan bahwa TyG index merupakan marker yang lebih baik dibandingkan rasio
lipid untuk identifikasi awal resistensi insulin (Du et al., 2014). Secara keseluruhan hasil dari
penelitian tersebut menunjukkan bahwa TyG index secara konsisten berguna untuk
identifikasi subjek dengan resistensi insulin (Guerrero-Romero et al., 2016).
Hal ini berbeda dengan hasil penelitian di Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh
Aulia pada karyawan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta mendapatkan cut-off optimum TyG
index adalah 4,76 dengan sensitivitas yang rendah, yaitu 43% dan spesifisitas yang tinggi,
yaitu 85%. Penelitian oleh Er, dkk di Taiwan membandingkan TyG index dengan kombinasi
TyG index dan IMT (TyG-BMI) serta kombinasi TyG index dan lingkar pinggang (TyG-WC)
untuk mendeteksi resistensi insulin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa TyG-BMI
berkorelasi positif dengan HOMA-IR menggunakan kurva ROC dengan AUC 0,801, yang
lebih baik dibandingkan TyG-WC (AUC 0,772) dan TyG index (AUC 0,708). Penelitian ini
menyimpulkan bahwa TyG-BMI merupakan surrogate marker yang sederhana dan berguna
untuk identifikasi awal resistensi insulin (Er et al., 2016).

B. GROWTH HORMONE PADA SINDROM TURNER

Sindrom Turner terjadi pada sekitar 1 di antara 2.500 kelahiran bayi perempuan.
Kondisi ini merupakan kondisi karena kelainan kromosom dan pertama kali dijelaskan oleh
seorang berkebangsaan Amerika, Dr. Henry Turner pada tahun 1938. Sindrom Turner
umumnya ditandai dengan perawakan pendek dan indung telur yang tidak berfungsi.
Tidak berfungsinya indung telur ini akan menyebabkan tidak timbulnya perkembangan
seksual dan infertilitas. Meskipun demikian organ seksual dan reproduksi lainnya ( anja dan
vagina) normal. Diagnosis dapat dilakukan saat kelahiran, atau bahkan sebelum bayi tersebut
dilahirkan. Terkadang, terdapat beberapa karakteristik Sindrom Turner, seperti lipatan leher
berlebihan yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan ultrasonografi pada masa kehamilan.
Diagnosis ini kemudian dipastikan dengan pengambilan dan pemeriksaan cairan ketuban
melalui proses Amniosentesis, atau pengambilan bagian dari plasenta awal melalui proses
CVS (Chorionic Villous Sampling). Pengambilan sampel ini dilakukan untuk pemeriksaan
kromosom janin dalam kandungan (IDAI, 2012).
Gambaran fisik Sindrom Turner mencakup adanya lipatan tambahan pada leher
(seperti leher bersayap), bentuk kuku tidak normal, tangan dan kaki bengkak, koarktasio aorta
(penyempitan arteri utama dari jantung yang dapat ditangani melalui pembedahan) atau
kelainan lain pada jantung, termasuk pada katup-katupnya. Masalah makan dapat terjadi pada
periode awal masa kanak-kanak, dan seperti pada anak lainnya, dapat pula terjadi kesulitan
belajar atau perilaku yang mungkin membutuhkan bantuan ahli. Saat lahir dapat dijumpai
tangan dan kaki bayi dengan Sindrom Turner bengkak. Hal ini mungkin disebabkan oleh
anjan kelenjar getah bening yang tidak berkembang dengan baik di bagian tersebut. Sistem
kelenjar getah bening berperan untuk mengeluarkan cairan tubuh melalui pembuluh darah
kecil di bawah kulit. Bengkak ini dapat menghilang segera setelah lahir, tapi dapat pula
bertahan atau berulang di masa remaja. Bayi perempuan dengan Sindrom Turner dapat
memiliki lipatan kulit leher yang umumnya menghilang, tapi pada beberapa kasus terlihat
leher yang lebar dengan lipatan kulit permanen. Hal ini disebut Webbing of the Neck (leher
seperti bersayap). Kuku berukuran kecil dengan bentuk seperti sendok dapat pula ditemukan
saat kelahiran. Beberapa anak perempuan dengan Sindrom Turner dapat pula lahir dengan
kelainan jantung yang disebabkan oleh penyempitan arteri utama yang keluar dari jantung
(koarktasio aorta). Umumnya dibutuhkan operasi untuk menangani kelainan ini dan
memulihkan fungsi jantung agar normal kembali. Tuba Eustachius, yang menghubungkan
bagian belakang tenggorokan dengan telinga tengah berfungsi sebagai drainase. Pada
sebagian besar anak perempuan dengan Sindrom Turner tuba ini tidak berfungsi optimal.
Infeksi telinga tengah sering terjadi dan fungsi pendengaran dapat terganggu. Saat anak
perempuan tersebut memasuki usia menjelang sekolah, infeksi telinga berulang dapat
menjadi gangguan dan beberapa anak membutuhkan Grommets. Grommets adalah sebuah
tabung kecil yang dimasukkan ke gendang telinga untuk membuang cairan dari telinga
tengah. Uji pendengaran harus dilakukan secara rutin untuk memeriksa gangguan
pendengaran (IDAI, 2012).
Perawakan pendek merupakan gambaran klinis khas pada Sindrom Turner. Anak
perempuan dengan Sindrom Turner sering berperawakan kecil saat lahir namun sebagian
besar tumbuh normal hingga rentang usia 3-7 tahun. Di usia tersebut pertumbuhan melambat
dan perbedaan dengan teman sebaya mulai tampak jelas. Bila tidak diterapi tinggi rata-rata
perempuan dengan Sindrom Turner sekitar 147 cm, namun hal ini tergantung pada tinggi
kedua orangtuanya. Penderita dengan orangtua yang tinggi, cenderung lebih tinggi
daripada penderita dengan orangtua pendek. Penyebab dari gangguan pertumbuhan ini
disebabkan oleh antara lain, yaitu antara lain gangguan pertumbuhan saat kandungan, tidak
adanya pacu tumbuh saat pubertas pada anak yang tidak diterapi, serta kemungkinan
abnormalitas tulang. Anak dengan Sindrom Turner umumnya memiliki kadar anjang
pertumbuhan yang normal (IDAI, 2012).
Selain perawakan pendek, gambaran khas utama lainnya dari Sindrom Turner ialah
kegagalan indung telur untuk berfungsi optimal, sehingga terjadi kegagalan perkembangan
seksual pada anak perempuan tersebut. Secara normal, indung telur memiliki dua fungsi,
yaitu tempat menyimpan sel telur dan menghasilkan estrogen. Estrogen adalah salah satu
hormon yang dibutuhkan untuk memunculkan tanda kewanitaan pada masa pubertas dan
menjaga tanda tersebut seumur hidup. Hormon ini juga dibutuhkan untuk membangun dan
mempertahankan kekuatan tulang, serta menghasilkan profil normal kadar kolesterol dan
lemak lain dalam darah. Pada perempuan dengan Sindrom Turner, jumlah sel telur di indung
telur secara bertahap berkurang selama masa kanak-kanak dan indung telur berhenti bekerja
optimal sebelum mencapai usia normal pubertas. Tanpa terapi estrogen pengganti, pubertas
tidak akan timbul atau timbul dengan berkembangnya sedikit payudara namun kemudian
terhenti. Pada usia yang pantas untuk memulai masa pubertas, pemberian estrogen akan
menginduksi perkembangan payudara. Selanjutnya dengan terapi kombinasi estrogen,
menstruasi teratur akan terjadi. Pada 30-40% perempuan dengan Sindrom Turner mengalami
pubertas secara spontan. Empat persen mengalami menars (awal menstruasi) dan 1% subur
secara spontan. Walaupun perempuan tersebut mengalami menstruasi secara spontan, indung
telur mereka cenderung akan berhenti berfungsi saat memasuki masa dewasa awal. Infertilitas
merupakan masalah umum pada wanita dengan Sindrom Turner akibat tidak berfungsinya
indung telur (IDAI, 2012).
Sejak pertengahan 1980an, Hormon Pertumbuhan, Estrogen, dan Oxandrolon telah
diberikan pada anak perempuan dengan Sindrom Turner untuk meningkatkan pertumbuhan.
Oxandrolon tidak sering digunakan pada beberapa tahun terakhir dan kini tidak lagi
digunakan pada sebagian besar perempuan. Para spesialis akan mendiskusikan kebutuhan
individual anak dan upaya penanganan terbaik. Terapi pertumbuhan akan dilanjutkan hingga
tinggi akhir yang memadai telah tercapai atau ujung lempeng pertumbuhan dari tulang
panjang sudah menutup, yang berarti tinggi maksimum sudah dicapai (IDAI, 2012).
Hormon pertumbuhan merupakan terapi utama untuk anak perempuan dengan
Sindrom Turner. Hormon ini diperlukan untuk meningkatkan laju pertumbuhan dan tinggi
akhir. Meski kadar hormon pertumbuhan mereka normal, dosis tambahan hormon
pertumbuhan dibutuhkan untuk meningkatkan laju pertumbuhan dan tinggi akhir. Meski
diketahui bahwa terapi hormon pertumbuhan dapat meningkatkan tinggi akhir hingga sekitar
7 cm, tinggi akhir tidak mungkin diprediksi secara akurat untuk masing-masing anak.
Hormon pertumbuhan diberikan setiap hari dengan cara disuntikkan ke bawah kulit
(subkutan). Keterangan mengenai bagaimana memberikan suntikan dan jenis alat suntikan
yang tersedia dapat diperoleh dari dokter spesialis atau perawat yang menangani. Hormon
pertumbuhan telah digunakan sebagai agen pemicu pertumbuhan sejak akhir 1950an.
Hormon pertumbuhan awalnya diambil dari manusia, namun kemudian ditemukan bahwa
terdapat kemungkinan adanya kontaminasi partikel virus yang dapat ditransmisikan kepada
penerima terapi. Masalah ini diatasi dengan penggunaan hormon pertumbuhan biosintesis
terbaru yang dibuat dengan teknologi gen. Lebih dari 50 tahun pengalaman dengan terapi
hormon pertumbuhan tidak menunjukkan adanya efek samping serius, namun demikian
semua hal yang dikhawatirkan perlu didiskusikan terlebih dahulu dengan dokter yang
menangani. Oxandrolon diberikan dengan dosis 0,1 mg/kgBB/hari sampai tinggi mencapai
150 cm, sedangkan Somatotropin diberikan 30 IU/m2/minggu (IDAI, 2012).
DAFTAR PUSTAKA

Du, T., Yuan, G., Zhang, M., Zhou, X., Sun, X. & Yu, X. 2014. Clinical Usefulness of Lipid
Ratios, Visceral Adiposity Indicators, and The Triglycerides and Glucose Index as Risk
Markers of Insulin Resistance. Cardiovascular Diabetology, 13, 1-10.

Er, L.-K., Wu, S., Chou, H.-H., Hsu, L.-A., Teng, M.-S., Sun, Y.-C. & Ko, Y.-L. 2016.
Triglyceride Glucose-Body Mass index Is A Simple and Clinically Useful Surrogate Marker
for Insulin Resistance in Nondiabetic Individuals. Plos One, 11, E0149731.

Guerrero-Romero, F., Simental-Mendía, L. E., Gonzalez-Ortiz, M., Martínez-Abundis, E.,


Ramos-Zavala, M. G., Hernandez-Gonzalez, S. O., Jacques-Camarena, O. & Rodríguez-
Moran, M. 2010. The Product of Triglycerides and Glucose, A Simple Measure of Insulin
Sensitivity. Comparison with the Euglycemic-Hyperinsulinemic Clamp. J Clin Endocrinol
Metab, 95, 3347-3351.

Guerrero-Romero, F., Villalobos-Molina, R., Jimenez-Flores, J. R., Simental-Mendia, L. E.,


Mendez-Cruz, R., Murguia-Romero, M. & Rodriguez-Moran, M. 2016. Fasting Triglycerides
and Glucose Index as a Diagnostic Test for Insulin Resistance in Young Adults. Archives of
Medical Research, 47, 382-387.

IDAI, 2012. Hormon dan Aku : Sindrom Turner. Merck Serono Symposia Australia

Simental-Mendía, L. E., Rodríguez-Morán, M. & Guerrero-Romero, F. 2008. The Product of


Fasting Glucose and Triglycerides as Surrogate for Identifying Insulin Resistance in
Apparently Healthy Subjects. Metab Syndr Relat Disord, 6, 299-304.

Singh, B. & Saxena, A. 2010. Surrogate Markers of Insulin Resistance: A Review. World J
Diabetes, 1, 36-47.

Tang, Q., Li, X., Song, P. & Xu, L. 2015. Optimal Cut-Off Values for the Homeostasis
Model Assessment Of Insulin Resistance (HOMA-IR) and Pre-Diabetes Screening:
Developments in Research and Prospects for the Future. Drug Discoveries & Therapeutics, 9,
380- 385.

Anda mungkin juga menyukai