Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH

MATERNITAS II

Disusun oleh Kelompok 5 :

1. Erika Fitria NPM 18.156.01.11.077


2. Maudy Damayanti NPM 18.156.01.11.085
3. Ratu Andini Nidia Yolanda NPM 18.156.01.11.095
4. Siva Fauziah NPM 18.156.01.11.102
5. Utari Aora Lemana NPM 18.156.01.11.106

Kelas 2c Keperawatan

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


STIKes MEDISTRA INDONESIA
TA. 2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat allah swt. Atas berkat rahmatnya kami bisa
menyelesaikan makalah Keperawatan Anak. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai
salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi kita semua.

Dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis
penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu kritik dan
saran dari semua pihak sangat diharapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Akhirnya kami berharap semoga Allah swt. Memberikan imbalan yang setimpal pada mereka
yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah, aamiin
ya rabalalamin.

Bekasi, 20 Maret 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................................i

DAFTAR ISI..................................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................................1

A. Latar Belakang........................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah....................................................................................................................1

C. Tujuan Penulisan.....................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN................................................................................................................3

A. Definis Afiksia Neonatus........................................................................................................3

B. Komplikasi Pada Bayi Baru Lahir dan Faktor Resiko ...........................................................3

C. Etiologi....................................................................................................................................6

D. Klasifikasi Asfiksia Neonatrum..............................................................................................7

E. Penanganan Asfiksia................................................................................................................9

F. Analisis Faktor Resiko Kejadian Asfiksia Pada Bayi Baru Lahir.........................................10

G. Analisis Pelaksanaan Program Stabilisasi Bayi Asfiksia......................................................10

H. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Asfiksia Neonatrum .......................................11

I. Resiko Derajat Asfiksia Neonatrum Berdasarkan Jenis Persalinan........................................11

J. Hubungan Usia Gestasi dan Kejadian Asfiksia Neonatrum...................................................11

K. Hubungan Penyakit Kehamilan dengan Kejadian Asfiksia Neonatrum...............................11

L. Hubungan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dengan Kejadian Asfiksia.............................11

M. Hubungan Lama Waktu Ketuban Pecah Dini Memanjang dengan Kejadian Asfiksia .......11

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN.......................................................................................14


BAB IV PENUTUP......................................................................................................................28

3.1. Penutup................................................................................................................................28

3.2. Saran....................................................................................................................................28

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................29
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Asfiksia neonatus merupakan suatu kondisi bayi tidak dapat segera bernapas
secara spontan dan teratur setelah dilahirkan. Penyebab dari hal ini adalah terjadinya
hipoksia pada janin di dalam uterus. Hipoksia ini berhubungan dengan faktor yang timbul
saat persalinan, atau segera setelah bayi lahir, (Prawirohardjo, 2006). Asfiksia bayi baru
lahir merupakan satu diantara penyebab kematian bayi baru lahir di negara sedang
berkembang. Diperkirakan 130 juta bayi baru lahir tiap tahunnya di seluruh dunia, 4 juta
pada usia 28 hari pertama kehidupan ¾ bayi meninggal pada minggu pertama dan ¼ bayi
meninggal pada usia 24 jam pertama kehidupan (Hassan dan Alatas, 2005
Asfiksia neonatus merupakan urutan pertama penyebab kematian neonatus di
negara berkembang yaitu sebesar 21,1%, setelah itu pneumonia dan tetanus
neonatorum masing-masing sebesar 19,0% dan 14,1%. Sedangkan di rumah sakit
umum daerah Dr.R.Soeprapto Cepu, berdasarkan data dari bagian catatan medik, pada
tahun 2010 jumlah angka bayi baru lahir 1427, namun dari angka tersebut diperoleh
jumlah bayi baru lahir dengan asfiksia sedang 346 (24%) dan asfiksia berat 115 (8%),
ini menandakan bahwa asfiksia masih menjadi ancaman kematian bagi bayi baru lahir.
Sebagian besar bayi baru lahir mampu mengatasi transisi dari intrauteri ke
ekstrauteri, namun terkadang mengalami masalah yaitu terjadi asfiksia neonatorum
yang merupakan salah satu kegawatan bayi baru lahir, yang berupa depresi
pernafasan berkelanjutan sehingga menimbulkan berbagai komplikasi. Oleh karena itu
asfiksia perlu intervensi dan resusitasi segera untuk meminimalkan mortalitas dan
mordibitas (Wahyudi, 2003).
Asfiksia neonatorum merupakan kegawatdaruratan bayi baru lahir berupa gagal
nafas secara spontan dan teratur beberapa saat setelah lahir yang ditandai dengan
hipoksemia, hiperkapnia, dan asidosis. Seorang neonatus disebut asfiksia bila terdapat
nilai apgar menit kelima 0-3, adanya asidosis pada darah tali pusat (pH<7), adanya
gangguan neurologis (misal:kejang, hipotonia, atau koma), dan adanya gangguan
multiorgan misal: gangguan kardiovaskular, ganstointestinal, pulmonal dan renal
(DepKes RI, 2008). Bayi yang asfiksia berarti mengalami hipoksia yang progresif, yang
menyebabkan penimbunan CO₂ dan asidosis, bila proses ini terus berlangsung dapat
menyebabkan kerusakan otak, kematian, dan juga mempengaruhi fungsi organ vital
lainnya (Gilang dkk, 2010).
Organisasi kesehatan dunia (WHO) menyatakan bahwa setiap tahunnya kira-kira
3% (3,6 juta) dari 120 juta bayi lahir mengalami asfiksia, hampir 1 juta dari kelahiran
bayi asfiksia ini kemudian meninggal. WHO pun pada pada tahun 2003 menyebutkan
bahwa asfiksia menempati urutan ke-6 yaitu sebanyak 8% sebagai penyebab kematian
anak diseluruh dunia setelah pneumonia, malaria, sepsis neonatorum dan kelahiran
prematur. Diantara bayi yang masih bisa bertahan hidup setelah asfiksia setidaknya satu
juta diantaranya hidup dengan morbiditas jangka panjang seperti cerebral palsy, retardasi
mental, dan gangguan belajar (DepKes RI, 2008). Kejadian asfiksia neonatorum masih
menjadi masalah serius di Indonesia.Salah satu penyebab tingginya kematian bayi di
Indonesia adalah asfiksia neonatorum yaitu sebesar 33,6%. Angka kematian karena
asfiksia di Rumah Sakit Pusat Rujukan Propinsi di Indonesia sebesar 41,94%. Di
Indonesia angka kejadian asfiksia kurang lebih 40 per 1000 kelahiran hidup, secara
keseluruhan 110.000 neonatus meninggal setiap tahun karena asfiksia. Di daerah
pedesaan Indonesia angka kejadian asfiksia neonatorum sebanyak 31-56,5%. Dan
asfiksia menjadi penyebab 19% dari 5 juta kematian bayi baru lahir setiap tahun
(Setyobudi, 2009).
DepKes RI 2009 menyebutkan bahwa kehamilan yang terlalu muda (≤20 tahun)
atau terlalu tua (≥35 tahun) termasuk dalam kriteria risiko tinggi kehamilan. Usia muda
berisiko karena secara medis organ reproduksi ibu masih belum matang dan secara
mental pun masih belum siap. Pada usia tua (≥35 tahun) mempunyai predisposisi untuk
mengalami plasenta previa, rupture uteri, solutio plasenta yang dapat berakhir dengan
terjadinya asfiksia neonatorum (Depkes, 2008).

B. Rumusan masalah
C. Tujuan
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Definisi asfiksia neonatus


Asfiksia neonatus merupakan suatu kondisi bayi tidak dapat segera bernapas
secara spontan dan teratur setelah dilahirkan. Penyebab dari hal ini adalah terjadinya
hipoksia pada janin di dalam uterus. Hipoksia ini berhubungan dengan faktor yang timbul
saat persalinan, atau segera setelah bayi lahir, (Prawirohardjo, 2006). Asfiksia bayi baru
lahir merupakan satu diantara penyebab kematian bayi baru lahir di negara sedang
berkembang. Diperkirakan 130 juta bayi baru lahir tiap tahunnya di seluruh dunia, 4 juta
pada usia 28 hari pertama kehidupan ¾ bayi meninggal pada minggu pertama dan ¼ bayi
meninggal pada usia 24 jam pertama kehidupan (Hassan dan Alatas, 2005
Asfiksia neonatus merupakan urutan pertama penyebab kematian neonatus di
negara berkembang yaitu sebesar 21,1%, setelah itu pneumonia dan tetanus
neonatorum masing-masing sebesar 19,0% dan 14,1%. Sedangkan di rumah sakit
umum daerah Dr.R.Soeprapto Cepu, berdasarkan data dari bagian catatan medik, pada
tahun 2010 jumlah angka bayi baru lahir 1427, namun dari angka tersebut diperoleh
jumlah bayi baru lahir dengan asfiksia sedang 346 (24%) dan asfiksia berat 115 (8%),
ini menandakan bahwa asfiksia masih menjadi ancaman kematian bagi bayi baru lahir.
Sebagian besar bayi baru lahir mampu mengatasi transisi dari intrauteri ke
ekstrauteri,
namun terkadang mengalami masalah yaitu terjadi asfiksia neonatorum yang
merupakan salah satu kegawatan bayi baru lahir, yang berupa depresi pernafasan
berkelanjutan sehingga menimbulkan berbagai komplikasi. Oleh karena itu asfiksia
perlu intervensi dan resusitasi segera untuk meminimalkan mortalitas dan mordibitas
(Wahyudi, 2003).

B. Komplikasi Pada Bayi Baru Lahir dan Faktor Resiko


1. Sindrom aspirasi mekonium
Adalah terjadi jika janin menghirup mekonium yang tercampur dengan cairan
ketuban, baik ketika bayi masih berada dalam rahim atau sesaat setelah dilahirkan.
Pada bayi prematur yang memiliki sedikit ketuban, sindroma ini sangat parah.
Mekonium yang terhirup lebih kental sehingga penyumbatan udara lebih besar.
Faktor penyebab :
a. Aspirasi mekonium terjadi jika janin mengalami stress selama proses persalinan.
b. Selama persalinan berlangsung, bayi bisa saja mengalami kekurangan O2. Hal ini
dapat menyebabkan meningkatnya gerakan usus dan pengenduran otot anus,
sehingga mekonium dikeluarkan kedalam cairan ketuban yang mengelilingi bayi
didalam rahim. Cairan ketuban dan mekonium bercampur membentuk cairan
berwarna hijau dengan kekentalan yang bervariasi.

Faktor resiko :

 Kehamilan post matur


 Persalinan yang sulit
 Gawat janin
 Hipoksia intra-uterin
2. Apneu
Berhentinya pernafasan selama 20 detik atau lebih. Apnea dihubungkan dengan
adanya bradikardia, sianosis, atau perubahan tingkat kesadaran (farfogroff dan martin
1997). Penyebab apnea yang paling sering pada bayi prematur adalah defisiensi
surfaktan paru atau imaturitas mekanisme kontrol dari sistem saraf pusat.
Faktor resiko :
 Hipoksia
 Pneumonia
 Gangguan metabolisme
Penyebab : dapat disebabkan oleh stimulus faring bagian belakang oleh
kateter penghisap.
3. Pletora
Adalah suatu keadaan dimana warna kulit neonatus mengindiksikan atau
memperlihatkan kondisi kelebihan sel darah merah dalam sirkulasi. Dalam kasus
pletora ini hemaktokrit bayi >70%.
Faktor resiko :
 Ibu dengan riwayat diabetes mellitus
 Hipotiroidisme neonatus
4. Berat Badan Bayi Lahir Rendah (BBLR)
BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat kurang dari 2500 gram.
Kategori BBLR :
 Bayi berat badan lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat badan
dibawah 2500 gram pada saat lahir
 Bayi berat badan lahir sangat rendah (BBLSR) adalah bayi dengan berat
badan dibawah 1500 gram pada saat lahir
 Bayi dengan berat badan lahir ekstrem rendah (BBLER) adalah bayi dengan
berat badan dibawah 1000 gram pada saat lahir
5. Hipotermi
Hipotermi adalah suhu tubuh bayi baru lahir yang tidak normal (<36 oC) pada
pengukuran suhu melalui aksila, dimana suhu tubuh bayi baru lahir normal adalah
36,5oC-37,5oC (suhu aksila). Hipotermi merupakan suatu tanda bahaya karena dapat
menyebabkan terjadinya perubahan metabolisme tubuh yang akan berakhir dengan
kegagalan fungsi jantung, paru dan kematian (Departemen Kesehatan RI, 2007).
Tanda dan gejala hipotermi :
 Bayi tampak lesu
 Tubuh bayi teraba dingin
 Bayi menggigil
 Suhu (aksila) bayi turun dibawah 36oC
 Kulit pucat
6. Asfiksia neonatus
Asfiksia adalah keadaan bayi tidak bernafas secara spontan dan teratur segera setelah
lahir. Seringkali bayi yang sebelumnya mengalami gawat janin akan mengalami
asfiksia sesuah persalinan. Masalah ini mungkin berkaitan dengan keadaan ibu, tali
pusat, atau masalah pada bayi selama atau sesudah persalinan (Depkes RI, 2009).
 Komplikasi yang muncul pada asfiksia neonatus antara lain :
1. Hipoksia dan iskemia otak
Pada penderita asfiksia dengan gangguan fungsi jantung yang telah
berlarut sehingga terjadi renjatan neonatus, sehingga aliran darah ke otak
pun akan menurun, keadaaan ini akan menyebabkan hipoksia dan iskemik
otak.
2. Anuria atau oliguria
Disfungsi ventrikel jantung dapat pula terjadi pada penderita asfiksia,
keadaan ini dikenal istilah disfungsi miokardium pada saat terjadinya,
yang disertai dengan perubahan sirkulasi. Pada keadaan ini curah jantung
akan terganggu sehingga darah yang seharusnya dialirkan keginjal
menurun. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya pengeluaran urine
sedikit.
3. Koma
Apabila pada pasien asfiksia berat segera tidak ditangani akan
menyebabkan koma karena beberapa hal diantaranya hipoksemia dan
perdarahan pada otak.

C. Etiologi
Empat faktor ibu yang dapat mengakibatkan bayi lahir dengan asfiksia, yaitu :
1. preeklamsia/ eklamsia,
2. plasenta previa,
3. plasenta
demikian keempat faktor tersebut dapat digunakan untuk mengetahui
tingkat resiko yang terjadi pada kejadian asfiksia, yaitu faktor
preeklamsia/ eklamsi memiliki nilai OR 0,764 (95% CI 0,340-1,715) yang
berarti ibu dengan pre eklamsia/eklamsia beresiko untuk melahirkan bayi
dengan asfiksia sebesar 0,7 kali lebih besar dibandingkan dengan ibu tidak
dengan pre eklamsia/ eklamsia.Begitu pula dengan faktor plasenta previa
yang memperoleh hasil nilai OR 2,019 (95% CI 0,552-7,387) yang berarti
bahwa ibu dengan kejadian plasenta previa akan lebih beresiko untuk
melahirkan bayi dengan asfiksia dibandingkan dengan ibu yang tidak ada
komplikasi plasenta previa sebesar 2,0 kali lebih besar. Sedangkan pada
ibu postmatur memiliki tingkat resiko OR 0,673 (95% CI 0,256-1,766)
yang berarti bahwa ibu dengan postmatur memiliki resiko sebesar 0,6 kali
lebih besar untuk melahirkan bayi asfiksia dibandingkan ibu dengan usia
kehamilan aterm Penanganan pada kegawatan asfiksia neonatorum
salah satunya adalah dengan melakukan resusitasi jantung paru. Namun
sampai saat ini evaluasi dari tindakan resusitasi jantung paru hanya
sebatas observasi keadaan umum bayi diantaranya pola nafas dan warna
kulit bayi. Hal ini mempengaruhi dalam pengukuran dan
pendokumentasian kondisi bayi sehingga jauh dari skala obyektifitas,
selain itu pengaruh dalam tindakan resusitasi jantung paru juga
kurang terukur secara obyektif.
Menurut Sari, (2010) penilaian terbebasnya bayi dari kondisi
asfiksia adalah dengan menggunakan apgar score, yang juga
menunjukkan keberhasilan tindakan resusitasi yaitu dengan adanya
perubahan dari lima sistem penilaian dalam apgar score yang meliputi
fungsi pernafasan, jantung, warna kulit, reflek terhadap rangsang dan
tonus otot. Berdasarkan substansi yang telah diuraikan di atas perlu
dilakukan penelitian tentang pengaruh resusitasi jantung dan paru
terhadap nilai apgar score pada bayi baru lahir asfiksia neonatorum.
Nilai apgar score menunjukan kondisi bayi segera setelah lahir dan juga
menunjukan kondisi adaptasi bayi baru lahir. Masing-masing dari lima
tanda diberi nilai 0,1 atau 2, kelima nilai tersebut kemudian ditambah
inilah yang disebut ilia apgar score (sari,2010).

D. Klasifikasi asfiksia neonatorum


menurut Manuaba (2012) asfiksia berat dengan nilai 0 sampai 3, asfiksia sedang dengan
nilai 4-6 dan asfiksia ringan dengan nilai 7-10.
Cunningham (2012), bahwa asfiksia yang mungkin timbul dalam masa kehamilan dapat
dibatasi atau dicegah dengan melakukan pengawasan antenatal yang adekuat dan melakukan
koreksi sedini mungkin terhadap setiap kelainan yang terjadi. Gangguan yang timbul pada akhir
kehamilan atau persalinan hampir selalu disertai anoksia/hipoksia janin dan berakhir dengan
asfiksia neontus. Keadaan ini diharapkan mendapat perhatian utama agar bayi dapat
melangsungkan hidup dengan sempurna tanpa gejala sisa. Dari hasil penilaian tersebut dapat
diketahui apakah bayi normal (vigorous baby = nilai APGAR 7-10), asfiksia ringan (nilai
APGAR 4-6), asfiksia berat (nilai APGAR 0-3). Berdasarkan hasil penilaian APGAR skor
diperoleh nilai rata-rata 6,39, yang artinya neonatus rata-rata mengalami asifiksia sedang.
Wiknjosastro (2012) menjelaskan asfiksia terjadi karena gangguan pertukaran gas serta
transport O2 dari ibu kejanin sehingga terdapat gangguan dalam persediaan O2 dan dalam
menghilangkan CO2. Gangguan ini dapat berlangsung secara menahun akibat kondisi atau
kelainan pada ibu selama kehamilan, atau secara mendadak karena hal-hal yang diderita ibu
dalam persalinan. Sehingga saat persalinan O2 tidak cukup dalam darah disebut hipoksia dan
CO2 tertimbun dalam darah disebut hiperapnea. Akibatnya dapat menyebabkan asidosis tipe
respiratorik atau campuran dengan asidosis metabolik karena mengalami metabolisme yang
anaerob serta juga dapat terjadi hipoglikemia
Dilakukan pemantauan nilai apgar pada menit ke-1 dan menit ke-5, bila nilai
apgar 5 menit masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5 menit sampai skor
mencapai 7. Nilai apgar berguna untuk menilai keberhasilan resusitasi bayi baru lahir dan
menentukan prognosis, bukan untuk memulai resusitasi karena resusitasi dimulai 30 detik
setelah lahir bila bayi tidak menangis. (bukan 1 menit seperti penilaian skor apgar).
Asfiksia neonatorum di klasifikasikan :
1. Asfiksia Ringan ( vigorus baby)
Skor APGAR 7-10, bayi dianggap sehat dan tidak memerlukan tindakan istimewa.
2. Asfiksia sedang ( mild moderate asphyksia)
Skor APGAR 4-6, pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi jantung lebih dari
100/menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, reflek iritabilitas tidak ada.
3. Asfiksia Berat
Skor APGAR 0-3, pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung kurang dari
100 x permenit, tonus otot buruk, sianosis berat, dan kadang-kadang pucat, reflek
iritabilitas tidak ada. Pada asphyksia dengan henti jantung yaitu bunyi jantung fetus
menghilang tidak lebih dari 10 menit sebelum lahir lengkap atau bunyi jantung
menghilang post partum, pemeriksaan fisik sama pada asphyksia berat.
E. Penanganan Asfiksia
Menurut Suradi (2008), menyatakan bahwa bayi dapat mengalami kesulitan sebelum
lahir, selama persalinan atau setelah lahir. Kesulitan yang terjadi dalam kandungan, baik sebelum
atau selama persalinan biasanya akan menimbulkan gangguan pada aliran darah di plasenta atau
tali pusat. Tanda klinis awal dapat berupa deselerasi frekuensi jantung janin. Masalah yang
dihadapi setelah persalinan lebih banyak berkaitan dengan jalan nafas dan paru-paru, misalnya
sulit menyingkirkan cairan atau benda asing seperti mekonium dari alveolus, sehingga akan
menghambat udara masuk ke dalam paru-paru yang mengakibatkan hipoksia.
Penanganan pada asfiksia secara umum yaitu bersihkan jalan nafas dengan cara
penghisapan lendir, rangsang reflek pernafasan dengan cara memukul kedua telapak kaki
menekan tanda achiles dan mempertahankan suhu tubuh.
Tindakan khusus atau penanganan khusus pada asfiksia berat yaitu berikan oksigen (O2)
dengan tekanan positif dan intermiten melalui pipa endotrakel, dapat dilakukan dengan tiupan
udara yang telah diperkaya dengan O2. Bila pernafasan spontan tidak timbul lakukan message
jantung dengan ibu jari yang menekan pertengahan sternum selama 80-100 kali per menit.
Resusitasi harus secara aktif dan pemberian oksigen harus terkendali (Proverawati & Ismawati,
2010).

F. Analisis Faktor Risiko Kejadian Asfiksia Pada Bayi Baru Lahir


Ada banyak faktor yang mempengaruhi tingkat Angka Kematian Bayi.
 Menurut WHO (2012) asfiksia lahir menempati penyebab kematian bayi ke 3 di
dunia dalam periode awal kehidupan. Data dari Riset Kesehatan Dasar
(RisKesDas, 2007) menyebutkan bahwa penyebab tersering kematian neonatus
(0- 28 hari) adalah gangguan pernafasan sebesar 37%, bayi lahir prematur
sebesar 34%, dan sepsis 12%,
 sedangkan dalam profil kesehatan Indonesia dijelaskan bahwa penyebab
kematian bayi yang terbanyak adalah disebabkan karena pertumbuhan janin yang
lambat, kekurangan gizi pada janin, kelahiran prematur dan Berat Badan Lahir
Rendah (BBLR)
 sedangkan penyebab lainnya yang cukup banyak terjadi adalah kejadian
kurangnya oksigen dalam rahim (hipoksia intrauterus) dan kegagalan nafas
secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir
(asfiksia lahir) (Dinas Kesehatan SulSel, 2012).
G. Analisis Pelaksanaan Program Stabilisasi Bayi Asfiksia
Kematian bayi merupakan hal yang dapat dicegah. Salah satu upaya yang dapat
dilakukan dalam percepatan penurunan AKB adalah melalui peningkatan cakupan persalinan oleh
tenaga kesehatan yang kompeten dan penanganan kegawatdaruratan neonatal sesuai standar dan
tepat waktu. Penurunan AKB akibat asfiksia membutuhkan pertolongan persalinan tenaga
kesehatan yang memiliki kemampuan dan keterampilan dalam menangani bayi asfiksia dengan
tepat di tingkat pelayanan kesehatan dasar, selama proses rujukan serta saat bayi tiba di sarana
rujukan .
Program stabilisasi adalah program pendidikan neonatal pertama yang fokus secara
eksklusif pada perawatan stabilisasi pasca-resuscitation/pre-transport bayi baru lahir yang sakit.
Program ini merupakan sebuah perangkat yang bersifat seragam, sederhana, suatu proses asuhan
yang sesuai standar dengan menggunakan pendekatan kerjasama tim yang komprehensif sehingga
dapat meningkatkan stabilisasi bayi baru lahir secara menyeluruh, meningkatkan prevalensi
keselamatan bayi. Parameter penilaian stabilisasi adalah: gula darah, suhu, pernapasan, tekanan
darah, pemeriksaan laboratorium serta dukungan emosional pada orang tua dan keluarga klien.
Program stabilisasi ini di desain untuk meningkatkan informasi tentang stabilisasi
neonatal pada ibu / bayi di semua tingkat pelayanan kesehatan mulai dari Puskesmas, unit
pelayanan kesehatan bayi ke ruang emergensi dan lebih kompleks sampai di tingkat rumah sakit
dengan fasilitas yang memadai. Program stabilisasi bertujuan memastikan kondisi bayi dalam
keadaan baik selama proses rujukan guna mencegah meningkatnya angka kematian, kesakitan
dan timbulnya jejas (sequele) akibat asfiksia bayi baru lahir.
Temparatrue Merupakan usaha untuk mempertahankan suhu normal bayi dan mencegah
hypotermia. Pada bayi dengan hypotermia akan terjadi vasokonstriksi pembuluh darah dan terjadi
ketidakcukupan sirkulasi di jaringan tubuh. Selain itu kondisi hypotermia dapat meningkatkan
metabolisme dalam rangka meningkatkan kalori tubuh, kondisi ini akan meningkatkan kebutuhan
tubuh akan oksigen sehingga antara suhu, gula darah dan oksigen memiliki hubungan yang erat.

H. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Asfiksia Neonatorum


1. Hubungan Paritas dengan Asfiksia Neonatorum
Menurut teori indeks kehamilan risiko tinggi adalah paritas karena persalinan yang terlalu
sering menyebabkan kemampuan uterus berkontraksi pada saat persalinan berkurang oleh
karena kurangnya elastis dari otot-otot uterus sehingga pendarahan akan lebih banyak terjadi
jika dibandingkan persalinan sebelumnya. Akibatnya cadangan zat besi akan banyak terpakai
sehingga sel-sel darah merah yang fungsinya membawa makanan dan oksigen ke seluruh
tubuh berkurang yang mengakibatkan hipoksia intrauteri dan berlanjut menjadi asfiksia
neonatorum.
2. Hubungan Jarak Kehamilan dengan Asfiksia Neonatorum
Menurut teori, ibu yang jarak kehamilannya < 2 tahun sistem reproduksi dan sistem
peredaran darah belum siap sehingga mempengaruhi transport makanan, oksigen dan zat-zat
yang lain ke janin yang dapat menyebabkan hipoksia intra dan berlanjut menjadi asfiksia
neonatorum. Hasil uji statistik dengan menggunakan analisis Chi-Square bahwa nilai p =
0,808 berdasarkan tingkat kemaknaan p > 0,05. Hasil uji statistik tersebut menyatakan bahwa
tidak ada hubungan yang bermakna antara jarak kehamilan dengan kejadian asfiksia
neonatorum.
Berdasarkan hasil uji statistik tersebut dapat disimpulkan bahwa jarak kehamilan yang
kurang dari 2 tahun tidak serta-merta memiliki risiko tinggi terjadinya asfiksia. Hal ini sesuai
hasil penelitian kami di Rumah Sakit Fatima Parepare, dimana dari 71 orang ibu bersalin
terbanyak pada ibu yang memiliki jarak kehamilan < 2 tahun sebanyak 44 orang (62,0%),
tetapi hasil uji statistik tidak menunjukkan hubungan yang bermakna karena nilai p > 0,05.
3. Hubungan Partus Lama dengan Asfiksia Neonatorum
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Nika pada 2010 di RSUD Cibitung
Bekasi8 , dimana data terbanyak pada ibu yang tidak mengalami partus lama yaitu sebanyak
19 orang (57, 4%) dari 32 orang ibu bersalin dengan bayi asfiksia. Sebab semakin lama
persalinan semakin tinggi morbilitas janin dan sering terjadi asfiksia akibat partus lama.
Sekali pun tidak terdapat kerusakan yang nyata, bayi pada partus lama memerlukan
perawatan yang khusus. Bahaya partus lama lebih besar lagi apabila kepala bayi macet di
perineum untuk waktu yang lama dan tengkorak kepala janin terus terbentur pada panggul
ibu. Partus lama kala II, bradikardia janin kadang terjadi ketika ibu menahan nafas dalam
waktu lama, dan usaha mengejan ibu dapat meningkatkan tekanan terhadap kepala janin.
Efek pada janin mengakibatkan oksigen dalam darah turun dan aliran darah ke plasenta
menurun sehingga oksigen yang tersedia untuk janin menurun, akibatnya dapat menimbulkan
hipoksia janin. Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukan bahwa bayi dengan asfiksia
terjadi pada ibu bersalin yang mengalami partus lama.
I. Risiko Derajat Asfiksia Neonatorum Berdasarkan Jenis Persalinan
1. Kejadian Asfiksia Neonatorum
asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas yang terjadi secara spontan dan
teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh
hipoksia janin dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang
timbul dalam kehamilan, persalinan, atau segera setelah bayi lahir. Akibat-akibat
asfiksia akan bertambah buruk apabila penanganan bayi tidak dilakukan secara
sempurna. Tindakan yang akan dikerjakan pada bayi bertujuan mempertahankan
kelangsungan hidupnya dan membatasi gejala-gejala lanjut yang mungkin timbul
(Manuaba, 2007).
Dari teori ini dapat kita ketahui bahwa asfiksia neonatorum disebabkan oleh
hipoksia janin dalam uterus yang salah satunya disebabkan oleh faktor persalinan.
Berdasarkan hasil penelitian asfiksia neonatorum yang disebabkan oleh persalinan
sebanyak 99 responden dengan klasifikasi asfiksia sedang sampai berat. Hal ini
membuktikan bahwa jenis persalinan sangat memperngaruhi pada keadaan bayi baru
lahir.
2. Kejadian Ibu Bersalin Secara Spontan, Sectio Caesarea
Menurut Manuaba (2009) persalinan buatan adalah persalinan yang dibantu
dengan tenaga dari luar, misalnya ekstraksi dengan forsep, ekstraksi vakum atau
melalui dinding perut dengan operasi sectio caesaria. Menurut Oxorm & Forte
(2010), ada beberapa faktor indikasi untuk dilakukan tindakan sectio caesarea yaitu
plasenta previa, panggul sempit, rupture uteri mengancam, KPD, distosia serviks,
riwayat sc, gawat janin dan malpresentasi janin.
Penyebab bayi lahir dengan asfiksia dari persalinan spontan adalah komplikasi
pada ibu bersalin yang terlambat atau terlewat dideteksi seperti plasenta previa,
panggul sempit, rupture uteri mengancam, KPD, distosia serviks, riwayat sc, gawat
janin dan malpresentasi janin (Aziz Alimul, 2008)
Faktor penyebab dari persalinan secara sectio caesarea yang menyebabkan bayi
asfiksia neonatorum adalah persalinan sectio caesarea yang disertai dengan
komplikasi, jika dengan memilih sectio caesarea elektif yang terjadwal jelas
memungkinkan calon orang tua memilih hari sesuai dengan keinginan mereka tanpa
melupakan kesehatan bayi. Pemeriksaan yang lebih teliti diharapkan mengurangi
kemungkinan buruk yang dapat menimpa ibu dan bayi saat persalinan berlangsung.
Pada induksi persalinan yang menyebabkan bayi lahir dengan asfiksia adalah
hipertonik pada uterus yang menyebabkan kurangnya suplai oksigen ke janin
mengakibatkan fetal distress dan bayi lahir dengan asfiksia.
3. Besarnya Risiko Asfiksia Neonatorum Berdasarkan Jenis Persalinan
Sesuai dengan teori Rustam Mochtar (2011) bahwa persalinan dengan tindakan
kemungkinan terjadinya trauma pada bayi semakin tinggi. Pada persalinan spontan
terdapat mekanisme serta tahapan persalinan yang meliputi kala I, kala II, kala III,
dan kala IV dengan batas waktu maksimal 18 jam, selebihnya harus ditolong dengan
persalinan buatan agar tidak terjadi gawat janin yang dapat berlanjut pada asfiksia
neonatorum. Penyebab terjadinya asfiksia karena adanya persalinan dengan tindakan,
dimana digunakan alat dan adanya penggunaan obat bius dalam operasi.
Salah satu faktor penyebab terjadinya asfiksia adalah perdarahan intracranial
yang menyebabkan terganggunya proses sirkulasi oksigen ke otak. (Prawirohardjo,
2009). Seringkali komplikasi pada ibu bersalin tidak begitu diperhatikan dalam
memberikan induksi persalinan yang menyebabkan terjadi gawat janin karena
gangguan sirkulasi retroplasenta pada tetania uteri atau solusio plasenta, yang
menyebabkan partus presipitatus, trauma pada janin, trauma pada jalan lahir dan
asfiksia.

J. Hubungan Usia Gestasi dan Kejadian Asfiksia Neonatorum


Jumlah kematian anak di Indonesia yang diakibatkan oleh infeksi dan penyakit yang
lainnya telah mengalami penurunan, hal ini diakibatkan oleh semakin meningkatnya tingkat
pendidikan ibu, kebersihan lingkungan dan rumah tanggta, tingkat pendapatan, dan akses
terhadap layanan kesehatan. Kematian bayi baru lahir saat ini merupakan hambatan utama dalam
menurunkan kematian anak lebih lanjut. (Unicef Indonesia, 2012)
Salah satu penyebab kesakitan dan kematian pada bayi baru lahir adalah kejadian BBLR.
Masalah pada bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) terutama pada prematur dapat terjadi
karena imaturitas pada sistem organ bayi tersebut. BBLR mempunyai kecenderungan untuk
mengalami gangguan pada sistem pernafasan (Kemenkes RI, 2014). Asfiksia neonatorum
merupakan kegagalan nafas secara spontan dan teratur saat bayi baru lahir (Tando, N. 2016).
Asfiksia memberikan dampak pada bayi karena asfiksia dapat mengakibatkan hipoksia yang
progesif, penumpukan CO2 dan asidosis. Jika kondisi ini terjadi sangat lama dapat
mengakibatkan kerusakan otak atau kematian (Prawiroharjo, 2012).
Penyebab asfiksia neonatorum salah satunya adalah faktor janin yaitu prematuritas,
IUGR, gemelli, tali pusat menumbung, dan kelainan kongenital. Selain faktor janin, penyebab
lainnya dari kejadian asfiksia adalah paritas yang tinggi yang dapat menyebabkanterjadinya
penyulit kehamilan dan persalinan, kondisi ini mengakibatkan terganggunya transport oksigen
dari ibu ke janin yang akan menyebabkan asfiksia yang dapat dinilai dari APGAR Score pada
menit pertama setelah lahir (Manuba, 2010). Makin rendah masa gestasi dan makin kecil berat
bayi baru lahir maka makin tinggi morbiditas dan mortalitasnya sehingga makin tinggi
kemungkinan terjadinya asfiksia dan sindroma gangguan pernafasan (Prawirohardjo, 2012)

K. Hubungan Penyakit Kehamilan Dengan Kejadian Asfiksia Neonatorum


hubungan antara penyakit kehamilan dengan kejadian asfiksia neonatorum. Artinya baik
penyakit anemia, hipertensi, preeklamsi ringan, preeklamsi berat, maupun eklamsi dapat
menyebabkan terjadinya asfiksia. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa, bayi dengan
ibu anemia yang mengalami asfiksia sebanyak 26 (72,2%), bayi dengan ibu hipertensi mengalami
asfiksia sebanyak 1 (0,5%), bayi dengan ibu preeklamsi ringan yang mengalami asfiksia
sebanyak 62 (30,5%), bayi dengan ibu preeklamsi berat yang mengalami asfiksia sebanyak 93
(45,8%), dan bayi yang mengalami asfiksia dengan ibu eklamsi sebanyak 15 (7,4%). Hal ini
menunjukkan kejadian asfiksia neonatorum dapat terjadi pada bayi dari ibu yang mengalami
penyakit anemia, hipertensi, preeklamsi ringan dan berat, maupun eklamsi.
Penelitian yang dilakukan Ambarwati (2006) menunjukkan bahwa preeklamsi ringan
dapat menyebabkan komplikasi asfiksia pada bayi yang dilahirkan. Dan hasil penelitian yang
dilakukan Raras (2010) bahwa preeklamsi berat dapat mengakibatkan komplikasi pada neonatal
lahir dengan apgar di bawah delapan yang artinya terjadi asfiksia ringan sampai berat pada
neonatal, dan kematian janin. Preeklampsi dan eklampsi dapat mengakibatkan keterlambatan
pertumbuhan janin dalam kandungan atau intra uterine growth restriction (IUGR) dan kelahiran
mati. Dikarenakan preeklampsi dan eklampsi pada ibu menyebabkan perkapuran didaerah
plasenta, sedangkan bayi memperoleh makanan dan oksigen dari plasenta, sehingga suplai
makanan dan oksigen yang masuk ke janin berkurang (Reeder et al., 2007).
Menurut Wiknjosastro (2006) penyakit hipertensi yang diderita ibu akan mempengaruhi
janin karena meningkatnya tekanan darah yang disebabkan oleh meningkatnya hambatan
pembuluh darah perifer sehingga mengakibatkan sirkulasi uteri plasenta kurang baik, keadaan ini
menimbulkan gangguan lebih berat terhadap insufiensi plasenta dan berpengaruh pada gangguan
pertumbuhan janin, gangguan pernafasan. Vasokonstriksi pembuluh darah mengakibatkan
kurangnya suplai darah ke plasenta sehingga terjadi hipoksia janin.
L. Hubungan Bayi Berat Lahir Rendah (Bblr) Dengan Kejadian Asfiksia
Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi yang lahir dengan berat badan lahir kurang
dari 2.500 gram tanpa memandang masa kehamilan. Dahulu neonatus dengan berat badan lahir
kurang dari 2.500 gram atau sama dengan 2.500 gram disebut prematur (Proverawati & Ismawati,
2010). Pada bayi BBLR banyak sekali resiko terjadi permasalahan pada sistem tubuh oleh karena
kondisi tubuh yang tidak stabil. Kematian perinatal pada bayi BBLR adalah 8 kali lebih besar dari
bayi normal. Prognosis akan lebih buruk bila berat badan semakin rendah, kematian sering
disebabkan karena komplikasi neonatal seperti asfiksia, aspirasi, pneumonia, pendarahan intra
kranial, hipoglikemia.
Asfiksia neonatorum merupakan kegawatdaruratan bayi baru lahir berupa depresi
pernafasan yang berlanjut sehingga menimbulkan berbagai komplikasi. Disamping itu asfiksia
neonatorum atau asfiksia perinatal merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas yang penting.
Asfiksia paling sering terjadi pada priode segera setelah lahir dan menimbulkan sebuah
kebutuhan resusitasi dan intervensi segera untuk meminimalkan mortalitas dan morbiditas
(Maryunani & Nurhayati, 2009). Penyebab utama kematian bayi baru lahir atau neonatal di dunia
antara lain bayi lahir prematur 29%, sepsis dan pneumonia 25% dan 23% merupakan bayi lahir
dengan asfiksia dan trauma. Asfiksia lahir menempati penyebab kematian bayi ke 3 di dunia
dalam periode awal kehidupan (Rupiyanti, 2014).
1. Bayi Berat Lahir Rendah
Penyebab terbanyak terjadinya BBLR adalah kelahiran prematur. BBLR dapat
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu yang pertama karena faktor ibu seperti
penyakit pendarahan ante partum, hipertensi, preeklampsia berat, eklampsia, infeksi
selama kehamilan, diabetes mellitus, HIV/AIDS, malaria. Kemudian usia ibu juga
bisa menjadi penyebab BBLR yaitu usia < 16 tahun, > 35 tahun, multigravida yang
jarak kelahirannya dekat, golongan sosial ekonomi rendah dan perkawinan yang tidak
syah seperti pernikahan antar saudara. Sebab lain seperti ibu yang merokok, ibu
peminum alkohol dan ibu pecandu obat narkotika. Kemudian faktor yang kedua yaitu
faktor janin antara lain hidramnion, kehamilan ganda dan kelainan kromosom.
Sedangkan yang terakhir yaitu faktor lingkungan seperti radiasi dan zat-zat racun
(Pantiawati, 2010).
Bayi berat lahir rendah (BBLR) menimbulkan berbagai masalah kesehatan,
diantaranya adalah kesulitan bernafas, asfiksia, aspirasi dan pneumonia. Masalah
kesehatan tersebut disebabkan karena defisiensi surfaktan paru, koordinasi yang
belum sempurna antara refleks batuk, refleks menghisap dan refleks menelan. Selain
itu otot pembantu respirasi yang masih lemah dan pernafasan yang periodic serta
apnea. Hal ini diperburuk pada bayi prematur (lahir sebelum usia gestasi mencapai 37
minggu) dan prognosis akan menjadi lebih buruk bila berat badan semakin rendah
(Proverawati & Ismawati, 2010).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nugroho pada tahun 2013 bahwa
bayi yang mengalami asfiksia dengan kategori sedang sebanyak 83,2% dan bayi yang
mengalami asfiksia dengan kategori berat sebanyak 11,2%. Asfiksia menyebabkan
bayi terlihat lemah, mengalami penurunan denyut jantung secara cepat, tubuh
menjadi biru atau pucat dan refleks-refleks melemah sampai menghilang (Gerungan,
2014).
2. Kejadian Asfiksia
Penyebab asfiksia pada bayi ditentukan oleh beberapa faktor yaitu:
a. faktor ibu seperti penyakit jantung dan tekanan darah ibu yang rendah.
b. faktor plasenta seperti plasenta tipis, plasenta kecil, plasenta tidak
menempel, solusio plasenta, dan pendarahan plasenta.
c. faktor fetus seperti tali pusat melilit, kompresi tali pusat antara janin dan
jalan lahir.
d. faktor neonatus seperti penggunaan obat anestesi atau analgetik yang
berlebihan, trauma saat persalinan dan bisa juga karena organ pernafasan
janin yang belum sempurna.
e. faktor persalinan seperti pertus lama dan partus macet (Proverawati &
Ismawati, 2010).
Setiap janin akan mengalami hipoksia relatif pada saat segera setelah lahir dan
bayi akan berusaha beradaptasi sehingga bayi mulai bernafas dan menangis. Asfiksia
merupakan kelanjutan dari hipoksia ibu dan janin intrauterine yang disebabkan oleh
banyak factor (Muslihatun, 2010).
Hipoksia janin yang menyebabkan asfiksia neonatorum terjadi karena gangguan
pertukaran gas serta transport oksigen dari ibu ke janin sehingga terjadi gangguan
dalam sistem persediaan oksigen dan dalam menghilangkan CO2. Gangguan ini
dapat berlangsung secara menahun akibat kondisi atau kelainan pada ibu selama
kehamilan atau secara mendadak karena hal-hal yang diderita ibu selama persalinan
(Azizah, 2013).
3. Hubungan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dengan Kejadian Asfiksia
Dari hasil analisis penelitian didapatkan nilai ρ (Rho) sebesar 0,440 yang artinya
tingkat keeratan hubungannya dikatakan berada dalam kategori sedang. Hal ini
berarti semakin rendah berat bayi saat lahir maka semakin tinggi bayi mangalami
asfiksia neonatorum. Hal ini juga sesuai dengan pendapat dari Proverawati dan
Ismawati (2010) yang menyatakan bahwa bayi berat badan lahir rendah (BBLR)
memiliki banyak resiko mengalami masalah pada sistem tubuh karena kondisi tubuh
yang tidak stabil. Kematian perinatal pada bayi BBLR adalah 8 kali lebih besar dari
pada bayi dengan berat badan normal. Prognosis bayi dengan BBLR keadaannya
akan lebih buruk apabila berat badan semakin rendah.
Sedangkan untuk nilai p value yang didapatkan dari hasil analisis penelitian yang
menggunakan uji rank spearman sebesar 0,015 yang artinya p value < α (0,05)
sehingga dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima. Jika Ho ditolak dan
Ha diterima maka ada hubungan bayi berat lahir rendah (BBLR) dengan kejadian
asfiksia.
BBLR dengan nilai APGAR serta nilai p value yaitu 0,035. Hal yang sama juga
terdapat dalam penelitian yang di lakukan oleh Saputro pada tahun 2015 dengan
judul hubungan antara berat lahir rendah (BBLR) dengan asfiksia neonatorum yang
menyatakan bahwa ada hubungan antara BBLR dengan asfiksia neonatorum serta
nilai p value yaitu 0,000.
Hasil penelitian ini mendukung teori Proverawati dan Ismawati (2010) yaitu pada
berat badan lahir rendah dapat mengalami resiko jangka pendek, di antaranya adalah
asfiksia. Bayi dengan berat badan rendah baik yang kurang, cukup atau lebih bulan
dapat mengalami gangguan pada proses adaptasi pernafasan waktu lahir sehingga
dapat mengalami asfiksia neonatorum.

M. Hubungan Lama Waktu Ketuban Pecah Dini Memanjang Dengan Kejadian Asfiksia
Neonatorum
Salah satu faktor risiko terjadinya asfiksia neonatorum dari ibu adalah terjadinya ketuban
pecah dini (KPD). KPD merupakan sumber persalinan prematuritas, infeksi dalam rahim terhadap
ibu maupun janin yang cukup besar dan potensiil. KPD memanjang adalah pecahnya selaput
ketuban sebelum terjadi proses persalinan yang dapat terjadi dua belas jam atau lebih setelah
pecah ketuban pada usia kehamilan cukup waktu atau kurang waktu. Apabila persalinan tertunda
sampai 24 jam dan tidak segera ditangani berisiko menyebabkan mordibitas dan mortalitas
(Depkes RI, 2015).

1. Usia ibu
Berdasarkan hasil penelitan pada usia ibu, diketahui 81,8% berusia antara 20-35
tahun. Kehamilan di usia muda atau remaja (di bawah usia 20 tahun) akan
mengakibatkan rasa takut terhadap kehamilan dan persalinan, hal ini dikarenakan
pada usia tersebut ibu mungkin belum siap untuk mempunyai anak dan alatalat
reproduksi ibu belum siap untuk hamil. Begitu juga kehamilan di usia tua (di atas 35
tahun) akan menimbulkan kecemasan terhadap kehamilan dan persalinan serta alat-
alat reproduksi ibu terlalu tua untuk hamil (Prawirohardjo, 2012).
usia responden sebagian besar antara 20-35 tahun, menurut pendapat peneliti
kejadian asfiksia neonatorum dapat terjadi pada usia ibu risiko tinggi maupun usia
risiko rendah dalam kehamilan dan persalinan. Meskipun responden dengan usia
diatas 35 tahun akan meningkatkan risiko kehamilan maupun persalinan.
2. Usia gestasi
Berdasarkan hasil penelitian usia gestasi paling banyak pada preterm sebesar
78,8%. Persalinan prematur adalah persalinan yang berlangsung pada usia kehamilan
20 - 37 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir. Persalinan prematur
merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas neonatal, yaitu 60-
80% di seluruh dunia (Oroh, 2015).
Usia kehamilan preterm adalah 28-36 minggu ((<37 minggu) pada trimester
ketiga selaput ketuban mudah pecah, melemahnya kekuatan selaput ketuban ada
hubungannya dengan pembesaran uterus,kontraksi rahim dan gerakan janin. Hal ini
dikarenakan pecahnya selaput ketuban berkaitan dengan perubahan proses biokimia
yang terjadi dalam kolagen matriks ekstraseluler amnion, korion, dan apotosis
membrane janin.
Membran dan desidua bereaksi terhadap stimuli seperti infeksi dan peranan
selaput ketuban dengan memproduksi mediator seperti prostaglandin, sitokinin, dan
protein hormone yang merangsang aktivitas matrixsdegradingenzyme. Penelitian
Legawati (2018) menjelaskan usia kehamilan prematur meningkatkan kejadian KPD
10,8 kali lebih tinggi dibandingkan kehamilan aterm.
3. Cara persalinan
persalinan responden antara spontan dan SC hampir sama, masing-masing 48,5%
dan 51,5%. Persalinan spontan dengan ketuban pecah dini adalah proses pengeluaran
hasil konsepsi (janin dan plasenta) yang sudah cukup bulan melalui jalan lahir
(pervaginam) dan dengan kekuatan ibu sendiri disertai ketuban pecah dini yaitu
pecahnya ketuban sebelum munculnya tanda-tanda persalinan (Johariyah, 2012).
Persalinan buatan memiliki komplikasi dan efek terhadap ibu dan janin,
komplikasi yang akan terjadi pada bayinya yaitu akan mengalami takipneu,
perdarahan intracranial, komplikasi tersebut akan sangat mempengaruhi sirkulasi
oksigen yang dialirkan pada bayi sehingga bayi akan mengalami kekurangan oksigen
(Guyton dan Hall, 2013).
Hasil penelitian Herianto (2013) menyebutkan cara persalinan spontan sebesar
46,7% sementara persalinan dengan tindakan sebesar 53,3% dalam penelitian faktor
faktor yang memengaruhi terjadinya asphyxia neonatorum di Rumah Sakit Umum St.
Elisabeth Medan.
4. Hubungan lama waktu KPD memanjang dengan kejadian asfiksia neonatorum
Lama KPD memanjang mengakibatkan kegawatdarutan pada janin. Ketuban
pecah dini merupakan salah satu faktor penyebab asfiksia neonatorum dan infeksi.
KPD mempengaruhi asfiksia karena terjadinya oligohidramnion yang menekan tali
pusat sehingga tali pusat mengalami penyempitan dan aliran darah yang membawa
oksigen ibu ke bayi terhambat sehingga menimbulkan asfiksia neonatorum atau
hipoksia (Lowdermilk., 2014). Manuaba (2012) berpendapat KPD yang terjadi lebih
dari 12 jam sebelum waktunya melahirkan, KPD bisa menyebabkan terjadinya
hipoksia dan asfiksia akibat oligohidramnion, yaitu suatu keadaan dimana air ketuban
kurang dari normal, yaitu kurang dari 300 cc. Oligohidramnion juga menyebabkan
terhentinya perkembangan paru-paru (paru-paru hipoplastik), sehingga pada saat
lahir, paru-paru tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Dengan pecahnya ketuban,
terjadi oligohidramnion yang menekan tali pusat hingga terjadi asfiksia atau hipoksia.
Nilai APGAR skor yang buruk yaitu dibawah 3 pada menit ke 10, 15, dan 30,
akan menyebabkan anak tersebut mengalami kerusakan syaraf dalam waktu yang
panjang serta yang paling parah bisa menyebabkan kerusakan pada otaknya (Oxorn,
2010). Penelitian Lestariningsih (2016) menyebutkan ada hubungan signifikan antara
ketuban pecah dini dengan kejadian asfiksia neonatorum
Majeed (2019), menjelaskan faktor kurangnya layanan kesehatan, rendahnya
status gizi ibu hamil merupakan faktor risiko terjadinya asfiksia neonaturum,
Menurut peneliti bahwa ibu yang mengalami lama KPD memanjang akan
berpengaruh pada kesehatan janin. Lama KPD memanjang pada responden yang
lebih dari 12 jam mengakibatkan semakin berkurangnya cairan ketuban. Kondisi ini
mengakibatkan gangguan pada tali pusat, menghambat perturakan oksigen antara ibu
dan janin, sehingga menimbulkan asfiksia.
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

KASUS PEMICU

Seorang ibu prepartum dating ke RS Medistra Indonesia bersama suami nya. Pengkajian
diambil pada tanggal 23 november 2019, pukul 10.00 WIB, ruangan / kelas: mawar/1, no kamar:
01. Didapatkan hasil pengkajian data identitas diantaranya, nama ibu: Ny. A dan bayi: An. B,
usia ibu: 29thn dan usia bayi: 0tahun 1 hari, jenis kelamin bayi: laki-laki, diagnosis medis:
aspiksia.

Ny. A mengatakan bahwa sebelum melahirkan dirinya tidak pernah melakukan


pemeriksan kehamilan dan anamneses didapatkan hasil bahwa Ny. A memiliki riwayat anemia.
Selama kehamilan, pemberian obat zat besi tidak bereaksi baik.

Pada tanggal 23 november 2019 pukul 09.30 WIB, Ny. A melahirkan anak pertamanya
yaitu An. B dengan kondisi fisik yaitu TTV: respirasi (beradipneu) : 25x/menit denyut jantung
menurun (nadi): 90x/menit, : Suhu: 36,5◦C, Didapatkan hasil pemeriksaan penunjang (H2TL):
Hb: 12gr dan Ht 43%. Ny. A mengatakan bahwa bayinya mengalami susah bernafas Ny. A juga
mengatakan dirinya dan suaminya merasa cemas. selain itu didapatkan hasil pemeriksaan fisik
lain yaitu bayi tampak sianosis, bayi tampak pucat, gerakan ekstremitas dan refleks sedikit serta
bayi tampak lemas.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA AN. B DENGAN ASfIKSIA

A. Data demografi
1. Biodata pasien
Nama :An. B
Tempat/ tanggal lahir : bandung 23 Januari 2020
Jenis kelamin : laki-laki
Agama : islam
Tanggal masuk : 23 Januari 2020
Tanggal keluar : 23 Januari 2020
Diagnose medis : Aspiksia

2. Identitas orang tua


a. Biodata ayah
Nama : Tn. C
Usia : 30 tahun
Pekerjaan : wiraswasta
Alamat : bandung
b. Biodata ibu
Nama :Ny. A
Usia : 29 tahun
Pekerjaan : ibu rumah tangga
Alamat : bandung
B. Keluhan utama
Ibu pasien mengatakan bahwa anaknya mengalami sesak. Dengan kondisi fisik yaitu
TTV: respirasi (beradipneu) : 25x/menit denyut jantung menurun (nadi):
90x/menit, : Suhu: 36,5◦C.
C. Riwayat Kesehatan masa lalu:
1. Prenatal care
a.  Pemeriksaan kehamilan : 3 kali
b. Keluhan selama hamil :
sering pusing, cepat lelah, mata berkunang-kunang, dan malaise    
c. Kenaikan BB selama hamil: 5 Kg
2. Natal
a. Tempat melahirkan : Rumah Sakit Umum Provinsi Sultra    
b. Jenis persalinan : Normal
c. Penolong persalinan : Bidan                       
d. Kesulitan lahir normal : ibu kesulitan mengedan karena ibu cepat lelah
3. Post natal
a. Kondisi bayi : BB lahir    2.400 gram, PB: 40 cm
b. Bayi mengalami nafas lambat, denyut jantung bayi menurun
c. Bayi tidak mengalami kemerahan dan nampak pucat
d. Gerakan reflex sedikit dan tonus otot bayi menurun

D. Riwayat Imunisasi

No Jenis Immunisasi Waktu Pemberian Reaksi Setelah Pemberian

1. BCG - -

2. DPT (I,II,III) - -

3. Polio (I,II,III,IV) - -

4. Campak - -

5. Hepatitis - -

6. Lain-lain - -
E. Riwayat Tumbuh Kembang
a. Berat Badan Lahir      : 2400 g
b. Tinggi Badan              : 40 cm
c. Lingkar kepala            : 30 cm
d. Lingkar dada              :  28 cm
e. Lingkar lengan atas     : 12 cm
f. Lingkar perut              :  50 cm

F. Riwayat Nutrisi
a.   Pemberian ASI
 Pertama kali disusui          : belum pernah
 Cara pemberian                 :-                    
 Lama pemberian                : -
b.      Pemberian susu formula
 Alasan pemberian              : -
 Jumlah pemberian             : -
 Cara memberikan              : -        
c. Pemberian makanan tambahan       
 Pertama kali diberikan usia           :  -
 Jenis: Bubur susu:                         :  -

G. Reaksi hospitalisasi
a. Pemahaman keluarga tentang sakit dan rawat inap
 Orang tua mengatakan merasa cemas dan kawatir mengenai keadaan
bayinya
 Orang tua selalu menanyakan apakah sakit bayinya dapat sembuh
 Orang tua berharap agar anaknya cepat sembuh
H. Pemeriksaan fisik
a.  Keadaan Umum Klien :  
klien nampak bradipneu, denyut jantung menurun, tampak sianosis, gerakan
ekstremitas dan reflexs sedikit.
b.     Tanda-tanda vital
 Suhu                   : 36,5o C
 Nadi                   : 90 x/ mnt
 Respirasi             : 25 x/m
c.      Antropometri
 Tinggi badan                   :  40 cm
 Berat badan                    :  2400 g
 Lingkar lengan atas       :   12 cm
 Lingkar kepala                :   30 cm
 Lingkar dada                   :   28 cm
 Lingkar perut                  :   50 cm
d. Penilaian Afgar Scor
Nilai afgar scor rendah

Tanda 0 1 2 Keterangan Scor


Frekwensi jantung √ <100 1
Usaha bernafas √ lambat 1
Tonus otot √ Ekstremitas fleksi 1
sedikit
Reflexs √ Gerakan sedikit 1
Warna kulit √ Seluruh tubuh biru 0
atau pucat

Jadi jumlah afgar scor pada bayi tersebut yaitu dengan skala 4 dimana bayi mengalami asfiksia
sedang.

e.   Sistem Pernapasan
 Hidung: Simetris kiri – kanan
 Leher:  Tidak ada pembesaran kelenjar, tidak ada tomor
 Dada  :
 Bentuk dada: tidak simetris
 Gerakan dada: dada dan abdomen tidak bergerak secara
bersamaan,
 Ekspansi dada berkurang
 Suara  napas melemah
f.      Sistem Cardio Vaskuler
 Capillary  Refilling Time:   >2   detik
 Denyut jantung : 90x/m
g. System Syaraf
 Bayi mengalami penurunan kesadaran
h. System Muskulo Skeletal
 Terjadi penurunan tonus otot bayi
 Gerakan ekstremitas fleksi pada bayi sedikit
 Bayi nampak lemas dan lemah
i. System Integumen
 Bayi mengalami sianosis pada kulit dan kuku
 CRT: > 3 detik
 bayi nampak pucat
j.     System Endokrin
 Kelenjar Thyroid : Tidak tampak pembesaran kelenjar tiroid
k. System Perkemihan
 Tidak ada edema
 Tidak ada bendungan  kandung kemih
l. System Reproduksi
 Penis  : Bersih
 Tidak ada kelainan pada area genetalia            
m. Pemeriksaan Penunjang
 Hb: 12g
 Ht: 43%.
1. DATA FOKUS

Nama Pasien : An. B Diagnosa Medis : Aspikisia


No. RM : 01 Dokter : Dr. Sinta
Usia : 0 tahun 1 hari Nama Perawat : Tim Mawar
Jenis Kelamin : Laki Laki Ruangan : Mawar

Data subyektif Data obyektif


1. Ibu pasien mengatakan bayinya susah 1. Bayi tampak lemah
bernafas 2. Bayi tampak sianosis
2. Ibu pasien mengatakan bayinya lemah 3. Hasil pemeriksaan TTV :
3. Ibu pasien mengatakan saat  RR (beradipneu) : 25x/menit
mengandung bayi, dirinya memiliki  N : 90x/menit
riwayat penyakit anemia  Suhu: 36,5◦C
4. Ibu pasien mengatakan saat 4. Gerakan ekstremitas tampak lambat
mengandung bayi dirinya diberikan 5. Refleks bayi lambat
obat yang mengandung zat besi namun 6. Bayi menangis saat baru lahir
tidak bereaksin dengan baik 7. Gerakan dada dan abdomen tidak
bergerak secara bersamaan saat
bernafas
8. Bayi tampak sesak

2. ANALISA DATA

Nama Pasien : An. B Diagnosa Medis : Aspikisia


No. RM : 01 Dokter : Dr. Sinta
Usia : 0 tahun 1 hari Nama Perawat : Tim Mawar
Jenis Kelamin : Laki Laki Ruangan : Mawar

No. Data Fokus Problem Etiologi


1. DS : Pola nafas tidak Hambatan upaya
1. Ibu pasien mengatakan bayi nya susah efekrif nafas
bernafas
2. Ibu pasien mengatakan bayinya lemah
DO :
1. Bayi tampak lemah
2. TTV :
 RR : 25x/menit
 N : 90x/menit
3. Gerakan dada dan abdomen tidak
bergerak secara bersamaan saat
bernafas
4. Bayi tampak sesak
2. DS : Gangguan Ketidakseimbangan
1. Ibu pasien mengatakan bayi nya susah pertukaran gas ventilasi - perfusi
bernafas
DO :
2. Bayi tampak sianosis
3. Capillary  Refilling Time:   >2   detik
4. Hasil pemeriksaan TTV :
 N : 90x/m
3. DS : Deficit nutrisi Nutrisi kurang dari
1. Ibu pasien mengatakan bayi lemah kebutuhan
2. Ibu pasien mengatakan dirinya
memiliki riwayat anemia saat
mengandung bayi
DO :
1. Bayi tampak pucat
2. Hasil pemeriksaan fisik :
a. Berat Badan Lahir     : 2400 g
b. Tinggi Badan              : 40 cm
c. Lingkar kepala           : 30 cm
d. Lingkar dada              :  28 cm
e. Lingkar lengan atas   : 12 cm
f. Lingkar perut              :  50 cm
3. DIAGNOSE KEPERAWATAN

Nama Pasien : An. B Diagnosa Medis : Aspikisia


No. RM : 01 Dokter : Dr. Sinta
Usia : 0 tahun 1 hari Nama Perawat : Tim Mawar
Jenis Kelamin : Laki Laki Ruangan : Mawar

No Diagnose keperawatan
1. Gangguan pola nafas tidak efektif b.d Hambatan
upaya nafas
2. Gangguan pertukaran gas b.d Ketidakseimbangan
ventilasi - perfusi
3. Deficit nutrisi b.d nutrisi kurang dari kebutuhan

4. INTERVENSI

Nama Pasien : An. B Diagnosa Medis : Aspikisia


No. RM : 01 Dokter : Dr. Sinta
Usia : 0 tahun 1 hari Nama Perawat : Tim Mawar
Jenis Kelamin : Laki Laki Ruangan : Mawar

No Dx. Kep Tujuan dan KH Intervensi Rasional Ttd

1. Gangguan Setelah dilakukan 2. Kaji frekuensi 1. Kecepatan biasanya


pola nafas tindakan kedalaman meningkat apabila
tidak efektif keperawatan 2x24 pernafasan dan terjadi peningkatan
b.d jam diharapkan ekspansi dada kerja nafas
Hambatan pasien menunjukan 3. Catat upaya 2. Penggunaan otot
upaya nafas keefektifan pola pernafasan, bantu nafas sebagai
nafas dibuktikan termasuk akibat dari
dengan kriteria gangguan otot peningkatan kerja
hasil : batu pernafasan nafas
1. Menunjuka 4. Auskultasi 3. Bunyi nafas
n jalan bunyi nafas dan menurun ada bila
nafas yang catat adanya jalan obstruksi
paten (klien bunyi nafas adanya bunyi nafas
tidak seperti ronchi, mengi
merasa mengkrekles menandakan
tercekik, 5. Tinggikan adanya kegagalan
irama nafas, kepala bayi dan pernafasan
frekuensi bantu 4. untuk
pernafasan mengubah memunginkan
dalam posisi enspansi paru
rentang 6. Berikan memudahkan
normal, oksigen pernafasan
tidak ada tambahan 5. memaksimalkan
suara nafas bernafas
abnormal) menurunkan kerja

2. Gangguan Setelah dilakukan 3. Kaji frekuensi 1. Sebagai indicator


pertukaran tindakan kedalaman adanya gangguan
gas b.d keperawatan 2x24 pernafasan dan dalam sistem
Ketidaksei jam diharapkan tanda-tanda pernafasan
mbangan pasien menunjukan sianosis setiap 2. Berguna dalam
ventilasi - keefektifan pola 2 jam evaluasi derajat
perfusi nafas dibuktikan 4. Dorong distress pernafasan
dengan KH: pengeluaran dan atau kronisnya
1. Mendemons sputum, proses penyakit.
trasikan pengisapan Sianosis mungkin
peningkatan (suction)bila feriver (terlihat
pentilasi diindikasikan pada kuku) atau
dan 5. Lakukan sentral (terlihat
oksigenasi palpasi vocal sekitar bibir dan
yang premitus telinga). Keabu-
adekuat 6. Observasi abuan dan sianosis
2. Memelihara tingkat sentral
kebersihan kesadaran, mengindikasikan
paru-paru selidiki adanya beratnya
dan bebas perubahan hipoksemia
dari tanda- 7. Kolaborasi 3. Kental, tebal, dan
tanda dengan tim banyaknya sumber
distress medis utama gangguan
pernafasan pemberian O2 pertukaran gas pada
sesuai dengan jalan nafas kecil,
indikasi pengisapan
dibutuhkan bila
batuk tidak efektif
4. Penutunan getaran
vibrasi diduga ada
pengumpulan
cairan atau udara
terjebak
5. Gelisah dan
ansietas adalah
manifestasi umum
pada hipoksia,
GDA memburuk
disertai bingung
atau somnolen
menunjukan
disfungsi serebral
yang berhubungan
dengan hipoksemia
3. Deficit Setelah dilakukan 4. Kaji 1. Menentukan
nutrisi b.d tindakan maturitas metode pemberian
nutrisi keperawatan 2x24 reflex makan yang tepat
kurang dari jam diharapkan berkenaan untuk bayi
kebutuhan pasien menunjukan dengan 2. Pemberian makan
pertambahan pemberian pertama bayi stabil
nutrisi dengan KH: makan memiliki peristaltic
1. Terpenu misalnya dapat dimulai 6-12
hinya menghisap, jam setelah
kebutuh menelan kelahiran. Bila
an dan batuk distress pernafasan
nutrisi 5. Auskultasi ada cairan
pasie adanya parenteral
2. Bertamb bising usus, diindikasikan dan
ahnya kaji status cairan peroral harus
berat fisik dan ditunda
badan status 3. Menidentifikasi
pasien pernafasan adanya resiko
3. Memper 6. Kaji berat derajat dan resiko
tahanka badan terhadap pola
n nutrisi dengan pertumbuhan. Bayi
yang menimbang SGA dengan
baik berat badan kelebihan cairan
setiap hari, ekstrasel
kemudian kemungkinan
dokumentas kehilangan 15% BB
ikan pada lahir. Bayi SGA
grafik mungkin telah
pertumbuha mengalami
n bayi penurunan berat
7. Panatu badan dalam uterus
masukan atau mengalami
dan penurunan
pengeluaran simpanan
. Hitung lemak/glikogen
konsmsi
kalori dan
elektrolit
setiap hari
8. Kaji tingkat
hidrasi,
perhatikan
pontanel,
turgor kulit,
berat, jenis
urine,
kondisi
membrane
mukosa,
pruktuasi
berat badan

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Asfiksia neonatus adalah keadaan bayi yang tidak dapat bernafas spontan dan
teratur, sehingga dapat meurunkan O2 dan makin meningkatkan CO2 yang menimbulkan
akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut.
Asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan bayi baru lahir  yang mengalami gagal
bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir, sehingga bayi tidak dapat
memasukkan oksigen dan tidak dapat mengeluarkan zat asam arang dari
tubuhnya. umumnya akan mengalami asfiksia pada saat dilahirkan. Masalah ini erat
hubungannya dengan gangguan kesehatan ibu hamil, kelainan tali pusat, atau masalah
yang mempengaruhi kesejahteraan bayi selama atau sesudah persalinan. asfiksia
neonatorum terjadi karena gangguan pertukaran gas serta transport O2 dari ibu ke janin
sehingga terdapat gangguan dalam persediaan O2 dan dalam menghilangkan CO2.
Prognosis bayi diprediksi melalui pemulihan motorik dan kemampuan mengisap. Bila
satu minggu sesudah kelahiran bayi masih lemas atau spastik, tidak responsif dan tidak
dapat mengisap, mungkin mengalami cedera otak berat dan mempunyai prognosis buruk.
Prognosis tidak begitu buruk untuk bayi-bayi yang mengalami pemulihan fungsi motorik
dan mulai mengisap. Keadaan ini harus dibahas dengan orangtua selama bayi di rumah
sakit.

B. Saran
Penting bagi seorang perawat melakukan penanganan secara cepat dan tepat
dengan emmperhatikan tanda-tanda kegawatan asfiksia sehingga diharapkan perawat
mampu secara profesional mencegah dampak dari asfiksia.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai