Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

"MANAJEMEN KONFLIK DALAM KEPERAWATAN"

Dosen Pengampu : FITRIYANTI PATARRU, Ns,.

OLEH:

GLEINSI PUSPITASARI TOGANTI

(C1714201020)

(S1 Reguler Kelas A)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN STELLA MARIS MAKASSAR

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

TAHUN AJARAN 2019/2020


Pembahasan

1. Manajemen

Manajemen adalah suatu proses rangkaian kegiatan yang sistematis dan terencana

(Asmuji, 2014). Organisasi merupakan tempat manusia berinteraksi yang mempunyai

kemungkinan terjadinya suatu konflik. Konflik ini bisa berhubungan dengan perasaan

termasuk perasaan diabaikan, tidak dihargai, atau beban berlebihan, dan perasaan

individu yan menimbulkan suatu titik kemarahan. Konflik dapat diartikan sebagai suatu

bentuk perselisihan antara “sikap bermusuhan” atau kelompok penentang ide-ide

(Gillies, 1994 dalam Asmuji, 2014). Dahulu konflik dianggap sebagai sesuatu yang berbau

negatif sehingga cara mengelolanya pun bermula dan yang sederhana, seperti

memebiarkannya saja sampai bersifat ekstreem, yaitu berusaha menghilangkan sampai

ke “akar-akarnya” (Gillies, 1994). Sesuai dengan latar belakang dalam jurnal menyatakan

bahwa konflik telah mendapat perhatian besar dari para peneliti di beberapa dekade

karena menjadi ancaman global untuk setiap organisasi (Ibrahim, 2014).

2. Konflik

A. Definisi Konflik

Konflik adalah perselisihan internal yang dihasilkan dari perbedaan ide, nilai-nilai,

dan perasaan antara dua orang atau lebih (Marquis & Huston, 1996 dalam Hendel

dkk, 2005). Menurut Kazimoto (2013), konflik adalah adanya perselisihan yang
terjadi ketika tujuan, keinginan, dan nilai bertentangan terhadap individu atau

kelompok.

Konflik dalam suatu organisasi tidak dapat dihindari oleh setiap anggota didalamnya.

Konflik dapat terjadi suatu waktu tanpa diinginkan kehadirannya. Konflik dapat

diartikan sebagai ketidaksesuaian situasi yang terjadi ketika ada perbedaan

pendapat atau perbedaan cara pandang diantara beberapa orang didalam suatu

kelompok. Konflik dapat dibagi dalam 4 jenis konflik, yaitu jenis konflik intrapersonal

yaitu konflik yang terjadi pada individu itu sendiri, kemudian ada konflik

interpersonalyakni konflik yang terjadi anatara dua orang lebih yang diakibatkan

oleh perbedaan keyakinan, selanjutnya ada konflik intraorganisasi dan yang terakhir

adalah konflik antar kelompok yang terjadi antara dua kelompok atau lebih (Putra,

2014). Konflik dalam ruang lingkup keperawatan dapat disebabkan oleh banyak hal

mungkin disebabkan oleh beban kerja yang terlalu tinggi, didukung dengan stress

baik dalam pekerjaan perawat tersebut maupun masalah lain yang mampu

menurunkan performa seorang perawat. Maka dalam hal ini dapat dinyatakan

bahwa sebagai seorang pemimpin keperawatan harus mampu melakukan

manajemen yang baik untuk memfasilitasi tim kerjanya.

Lingkup konflik dalam keperawatan dapat terjadi di dalam diri perawat sendiri, diantara

perawat dengan perawat, perawat dengan tenaga kesehatan lain, perawat dengan klien

atau keluarga, perawat dengan organisasi keperawatan, serta organisasi perawat

dengan organisasi kesehatan lainnya. Beberapa konflik berfokus pada hubungan kerja
yang dilakukan, konflik antara tugas yang saling berhubungan, serta hubungan personal

dan sosial (Hariyati, 2014).

Namun saat ini konflik mampu memperkuat suatu organisasi dengan mendamaikan

pendapat yang berbeda dan menyelesaikannya secara damai. Konflik dapat dijadikan

sebagai pemersatu kelompok untuk menghindari pecah belah kelompokyang sudah

dibangun dengan baik. Konflik adalah suatu hal yang pasti terjadi dalam suatu

kelompok. Konflik yang terjadi diantara sesama perawat dapat melanggar kode etik

keperawatan. Dimana salah satu kode etik keperawatan Indonesia yakni mengatur

hubungan antar perawat agar senantiasa memelihara hubungan baik dengan sesama

perawat maupun tenaga kesehatan lainnya, dan dalam memelihara keserasian suasana

lingkungan kerja maupun dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan secara

keseluruhan (Utami, 2010). Sebagai contoh jika suatu waktu teman dinas anda tidak

masuk kerja dan tidak memberitahu anda. Anda dibiarkan bekerja sendiri tanpa ada

informasi sedikitpun tentang kehadiran teman anda. Tentunya hal seperti ini akan

menimbulkan konflik antar perawat. Oleh kerena itu diperlukan seorang pemimpin yang

mampu menyelesaikan konflik dengan baik. Seorang manajer keperawatan harus

memiliki kemampuan dan strategi dalam menyelesaikan konflik.

B. Sumber Konflik

Shetach (2012) menyatakan bahwa konflik terjadi disebabkan karena: (1) perbedaan

interpersonal pada setiap dimensi-umur, jenis kelamin, ras, pandangan, perasaan,

pendidikan, pengalaman, tingkah laku, pendapat, budaya, kebangsaan, keyakinan,


dll, (2) perbedaan kepentingan dalam hubungan antar manusia karena perbedaan

budaya, posisi, peran, status, dan tingkat hirarki. Menurut Robbins (2008), konflik

muncul karena ada kondisi yang melatarbelakanginya (antecedent conditions).

Kondisi tersebut, yang disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari

tiga ketegori, yaitu : komunikasi, struktur, dan variabel pribadi.

a) Komunikasi

Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan

kesalahpahaman antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber konflik.

Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa kesulitan semantik, pertukaran

informasi yang tidak cukup, dan gangguan dalam saluran komunikasi merupakan

penghalang terhadap komunikasi dan menjadi kondisi anteseden untuk

terciptanya konflik.

b) Struktur

Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang mencakup:

ukuran (kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota

kelompok, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota

dengan tujuan kelompok, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat

ketergantungan antara kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa ukuran

kelompok dan derajat spesialisasi merupakan variabel yang mendorong

terjadinya konflik. Makin besar kelompok, dan makin terspesialisasi kegiatannya,

maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya konflik.

c) Variabel Pribadi
Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor pribadi, yang meliputi:

sistem nilai yang dimiliki tiap-tiap individu, karakteristik kepribadian yang

menyebabkan individu memiliki keunikan (idiosyncrasies) dan berbeda dengan

individu yang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu,

misalnya, individu yang sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah orang

lain, merupakan sumber konflik yang potensial.

C. Jenis-jenis Konflik

Menurut Rigio (2003) jenis-jenis konflik yang ada antara lain konflik intrapersonal,

konflik interpersonal, konflik intra kelompok dan konflik antar kelompok.

a) Konflik Intrapersonal

Konflik intrapersonal adalah konflik yang terjadi pada individu sendiri. Keadaan

ini merupakan masalah internal untuk mengklasifikasi nilai dan keinginan dari

konflik yang terjadi. Hal ini sering dimanifestasikan sebagai akibat dari kompetisi

peran. Misalnya seorang manajer mungkin merasa konflik intrapersonal dengan

loyalitas terhadap profesi keperawatan, loyalitas terhadap pekerjaan, dan

loyalitas kepada pasien.

b) Konflik Interpersonal

Konflik interpersonal terjadi antara dua orang atau lebih, dimana nilai, tujuan,

dan keyakinan berbeda. Konflik ini sering terjadi karena seseorang secara

konstan berinteraksi dengan orang lain sehingga ditemukan perbedaan-


perbedaan. Sebagai contoh seorang manajer sering mengalami konflik dengan

teman sesame manajer, atasan, dan bawahannya.

c) Konflik Intra kelompok

Konflik ini terjadi ketika seseorang didalam kelompok melakukan kerja berbeda

dari tujuan, dengan contoh seorang perawat tidak mendokumentasikan rencana

tindakan perawatan pasien sehingga akan mempengaruhi kinerja perawat

lainnya dalam satu tim untuk mencapai tujuan perawatan di ruangan tersebut.

d) Konflik Antar Kelompok

Konflik ini dapat timbul ketika masing-masing kelompok bekerja untuk mencapai

tujuan kelompoknya. Sumber konflik jenis ini adalah hambatan dalam mencapai

kekuasaan dan otoritas (kualitas jasa layanan), keterbatasan prasarana.

3. Manajemen Konflik

A. Definisi Manajemen Konflik

Manajeman konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para pelaku atau pihak

ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke arah penyelesaian yang

konstruktif atau destruktif (Ross, 1993). Manajemen konflik adalah bagian dari

tanggungjawab seorang kepada tim yangsudah mempercayakan kemampuannya.

Menurut Simamora (2019) sebuah manajamen diperlukan sebagai upaya untuk

meningkatkan kegiatan dalam keperawatan lebih efektif dan efisien. Sebagai

seorang pemimpin keperawatan harus mampu memberikan contoh danarahan

kepada setiap tim yang adalah pelayanan kesehatan. Dari beberapa hasil penelitian
diatas dinyatakan bahwa setiap terjadinya konflik sangat mempengaruhi sikap caring

perawat terhadap pasien. Adanya konflik juga sering mengakibatkan pergesekkan

antara individu dalam setiap tim sehingga kerjasama didalam tim menjadi

terganggu. Seorang pemimpin juga harus mampu memberikan arahan dan

bimbingan kepada anggota tim untuk dapat terbuka atas setiap konflik yang terjadi.

Konflik yang terjadi karena beban kerja dimana terjadi suatu tuntutan yang berada

diluar kemampuan perawat sehingga membuat seorang perawat menjadi pemicu

stress. Perawat akan merasa terbebani dan tidak mampu melakukan pekerjaannya

dengan maksimal. Beban kerja yang terjadi akan memberikan efek kelelahan pada

perawat. dapat menurunkan motivasi kerja dan menurunnya moral seorang perawat

(Suryani & Yanuk 2009). Dewasa ini setiap rumah sakit dituntut harus mampu

memberikan pelayanan terbaik. Tanpa semua orang tahu bahwa banyak masalah

yang sedang dihadapi oleh professional kesehatan.

Dari setiap masalah – masalah yang ada dapat menjadi kritik dan motivasi kepada

setiap pemimpin keperawatan untuk dapat selalu melakukan upgrade skill untuk

melampui maslah – masalah yang terjadi. Dalam setiap tim seorang pemimpin harus

mampu mengenali kemampuan setiap anggota tim. Seorang pemimpin tidak boleh

memaksakan keinginannya untuk memberikan tugas yang diluar kemampuan

anggota tim. Hal ini dapat diketahui dengan saling dengar pendapat dengan setiap

anggota dimana mereka bisa saling bertukar pikiran tentang kemampuan yang

mereka miliki. Sehingga sebagai anggota tim pemberi asuhan keperawatan dapat

menunjukkan performa yang maksimal dalam pelayanan. Banyak hal yang mampu
dilakukan oleh seorang pemimpin dalam mengatasi konflik yang terjadi dalam

timnya. Konflik bisa diatasi dengan dilakukannya sistem evaluasi dan keterbukaan

tanpa saling menghakimi antara anggota tim. Pemimpin dalam hal ini harus berada

dalam posisi sebagai pendengar yang baik. Yang sejatinya harus tertanam dalam

setiap jiwa pemimpin. Seorang pemimpin harus mampu memberi contoh kepada

anggota tim untuk sebisanya menghindari konflik. Jika ditemukan adanya konflik

antara perawat dalam anggota tim maka diperlukan pemecahan solusi tanpa

mengorbankan salah satu pihak. Hal ini bisa disebut sebagai win – win solution yang

dapat memberikan kenyamanan antar kedua belah pihak.

B. Gaya Penyelesaian Konflik

Terdapat 2 hal yang memegang peranan penting dalam keberhasilan penyelesaian

konflik, yaitu menentukan besarnya konflik dan gaya penanganan konflik (Rahim,

2002). Yang dimaksud dengan besarnya konflik terkait dengan jumlah individu yang

terlibat, apakah konflik mengarah pada intrapersonal, interpersonal, intra kelompok,

atau antar kelompok. Kreitner dan Kinicki (2005) mengungkapkan lima gaya

penanganan konflik (Five Conflict Handling Styles). Model ini ditujukan untuk

menangani konflik disfungsional dalam organisasi. Menggambarkan sisi pemecahan

masalah yang berorientasi pada orang lain (concern for others) dan pemecahan

masalah yang berorientasi pada diri sendiri (concern for self). Kombinasi dari kedua

variabel ini menghasilkan lima gaya penanganan masalah yang berbeda, yaitu:

integrating, obliging, dominating, avoiding, dan compromising.


a) Integrating (Problem Solving)

Proses integrasi berkaitan dengan mekanisme pemecahan masalah (problem

solving), seperti dalam menentukan diagnosis dan intervensi yang tepat dalam

suatu masalah. Dalam gaya ini pihak-pihak yang berkepentingan secara bersama-

sama mengidentifikasikan masalah yang dihadapi, bertukar informasi, kemudian

mencari, mempertimbangkan dan memilih solusi alternatif pemecahan masalah.

Gaya ini cocok untuk memecahkan isu-isu kompleks yang disebabkan oleh salah

paham (misunderstanding), tetapi tidak sesuai untuk memecahkan masalah yang

terjadi karena sistem nilai yang berbeda. Kelemahan utamanya adalah

memerlukan waktu yang lama dalam penyelesaian masalah (Rahim, 2002).

Langkah-langkah untuk mencapai solusi ini antara lain adalah mulai dengan

berdiskusi, dengan waktu dan tempat yang kondusif, menghargai perbedaan

individu, bersikap empati dengan semua pihak, menggunakan komunikasi asertif

dengan mamaparkan isu dan fakta dengan jelas, membedakan sudut pandang,

meyakinkan bahwa tiap individu dapat menyampaikan idenya masing-masing,

membuat kerangka isu utama berdasarkan prinsip yang umum, menjadi

pendengar yang baik. Setuju terhadap solusi yang menyeimbangkan kekuatan

dan memuaskan semua pihak sehingga dicapai “win-win solution”.

b) Obliging (Smoothing)

Seseorang yang bergaya obliging lebih memusatkan perhatian pada upaya untuk

memuaskan pihak lain daripada diri sendiri. Gaya ini sering pula disebut

smothing (melicinkan), karena berupaya mengurangi perbedaan-perbedaan dan


menekankan pada persamaan atau kebersamaan di antara pihak-pihak yang

terlibat. Kekuatan strategi ini terletak pada upaya untuk mendorong terjadinya

kerjasama. Kelemahannya, penyelesaian bersifat sementara dan tidak

menyentuh masalah pokok yang ingin dipecahkan.

c) Dominating (Forcing)

Orientasi pada diri sendiri yang tinggi, dan rendahnya kepedulian terhadap

kepentingan orang lain, mendorong seseorang untuk menggunakan taktik “saya

menang, kamu kalah”. Gaya ini sering disebut memaksa (forcing) karena

menggunakan legalitas formal dalam menyelesaikan masalah. Gaya ini cocok

digunakan jika cara-cara yang tidak populer hendak diterapkan dalam

penyelesaian masalah, masalah yang dipecahkan tidak terlalu penting, dan harus

mengambil keputusan dalam waktu yang cepat. Namun, teknik ini tidak tepat

untuk menangani masalah yang menghendaki adanya partisipasi dari mereka

yang terlibat dan juga tidak tepat untuk konflik yang bersifat kompleks .

Kekuatan utama gaya ini terletak pada minimalnya waktu yang dibutuhkan untuk

menyelesaikan konflik. Kelemahannya, sering menimbulkan kejengkelan atau

rasa berat hati untuk menerima keputusan oleh mereka yang terlibat.

d) Avoiding

Teknik menghindar (avoiding) cocok digunakan untuk menyelesaikan masalah

yang sederhana, atau jika biaya yang harus dikeluarkan untuk konfrontasi jauh

lebih besar daripada keuntungan yang akan diperoleh. Gaya ini tidak cocok untuk

menyelesaikan masalah-malasah yang sulit atau “buruk”. Teknik ini kurang tepat
pada konflik yang menyangkut isu-isu penting, dan adanya tuntutan tanggung

jawab untuk menyelesaikan masalah secara tuntas (Rahim, 2002). Kekuatan dari

strategi penghindaran adalah jika kita menghadapi situasi yang membingungkan

atau mendua (ambiguous situations). Sedangkan kelemahannya, penyelesaian

masalah hanya bersifat sementara dan tidak menyelesaikan pokok masalah.

e) Compromising

Gaya ini menempatkan seseorang pada posisi moderat, yang secara seimbang

memadukan antara kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain. Ini

merupakan pendekatan saling memberi dan menerima (give and take approach)

dari pihak-pihak yang terlibat. Kompromi cocok digunakan untuk menangani

masalah yang melibatkan pihak-pihak yang memiliki tujuan berbeda tetapi

memiliki kekuatan yang sama. Kekuatan utama dari kompromi adalah pada

prosesnya yang demokratis dan tidak ada pihak yang merasa dikalahkan. Tetapi

penyelesaian konflik kadang bersifat sementara dan mencegah munculnya

kreativitas dalam penyelesaian masalah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan

oleh Hendel (2005), gaya ini merupakan gaya yang paling banyak dipilih oleh

perawat dalam menyelesaikan konflik yang terjadi.

C. Proses Manajemen Konflik

Proses manajemen konflik meliputi proses dari diagnosis, intervensi, dan evaluasi

(feedback). Penentuan diagnosis merupakan dasar dari keberhasilan suatu


intervensi. Dalam proses diagnosis yang perlu dilakukan adalah pengumpulan data-

data antara lain identifikasi batasan konflik, besarnya konflik, sumber konflik,

kemudian mengkaji sumber daya yang ada apakah menjadi penghalang atau dapat

dioptimalkan untuk membantu penyelesaian konflik (Huber, 2010). Setelah proses

identifikasi (measurement), selanjutnya dilakukan proses analisis terhadap data-data

yang telah dikumpulkan, hal ini bertujuan untuk menentukan strategi resolusi konflik

yang akan diambil disesuaikan berdasarkan besarnya konflik dan gaya manajemen

konflik yang akan dipakai (integrating, obliging, dominating, avoiding, dan

compromising). Proses selanjutnya adalah intervensi. Terdapat bermacam-macam

strategi intervensi konflik, antara lain negosiasi, fasilitasi, konsiliasi, mediasi,

arbitrasi, litigasi, dan force. Intervensi ditentukan berdasarkan dua hal, yaitu proses

dan struktural. Proses yang dimaksud adalah intervensi yang dilaksanakan harus

mampu memperbaiki keadaan dalam suatu organisasi, seperti misalnya intervensi

mampu memfasilitasi keterlibatan aktif dari individu yang berkonflik, dan juga

penggunaan gaya penyelesaian konflik diharapkan bersifat sealami mungkin dengan

tujuan meningkatkan proses belajar dan pemahaman individu atau organisasi dalam

menyelesaikan konflik saat ini ataupun yang akan datang (Shetach, 2012).

Proses ini juga diharapkan dapat merubah pola kepemimpinan seseorang dan

budaya dalam menyelesaikan konflik. Dengan demikian organisasi atau individu akan

memperoleh keterampilan baru dalam penanganan konflik. Selain itu, intervensi

juga diharapkan dapat memperbaiki struktur organisasi, seperti dalam hal

mekanisme integrasi dan diferensiasi, hirarki, prosedur, reward system, dan lain
sebagainya. Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan suatu

organisasi untuk menyelesaikan konflik berdasarkan berbagai sudut pandang

individu yang terlibat di dalamnya menuju ke arah konstruktif (Rahim, 2002).

Manajemen konflik yang konstruktif bisa diidentifikasi dari adanya proses kreativitas

di dalamnya, penyelesaian masalah dilakukan secara bersama-sama, dimana konflik

dianggap sebagai suatu masalah yang penyelesaian konflik (Huber, 2010). Setelah

proses identifikasi (measurement), selanjutnya dilakukan proses analisis terhadap

data-data yang telah dikumpulkan, hal ini bertujuan untuk menentukan strategi

resolusi konflik yang akan diambil disesuaikan berdasarkan besarnya konflik dan

gaya manajemen konflik yang akan dipakai (integrating, obliging, dominating,

avoiding, dan compromising). Proses selanjutnya adalah intervensi. Terdapat

bermacam-macam strategi intervensi konflik, antara lain negosiasi, fasilitasi,

konsiliasi, mediasi, arbitrasi, litigasi, dan force. Intervensi ditentukan berdasarkan

dua hal, yaitu proses dan struktural. Proses yang dimaksud adalah intervensi yang

dilaksanakan harus mampu memperbaiki keadaan dalam suatu organisasi, seperti

misalnya intervensi mampu memfasilitasi keterlibatan aktif dari individu yang

berkonflik, dan juga penggunaan gaya penyelesaian konflik diharapkan bersifat

sealami mungkin dengan tujuan meningkatkan proses belajar dan pemahaman

individu atau organisasi dalam menyelesaikan konflik saat ini ataupun yang akan

datang (Shetach, 2012). Proses ini juga diharapkan dapat merubah pola

kepemimpinan seseorang dan budaya dalam menyelesaikan konflik. Dengan


demikian organisasi atau individu akan memperoleh keterampilan baru dalam

penanganan konflik.

Selain itu, intervensi juga diharapkan dapat memperbaiki struktur organisasi, seperti

dalam hal mekanisme integrasi dan diferensiasi, hirarki, prosedur, reward system,

dan lain sebagainya. Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan

suatu organisasi untuk menyelesaikan konflik berdasarkan berbagai sudut pandang

individu yang terlibat di dalamnya menuju ke arah konstruktif (Rahim, 2002).

Manajemen konflik yang konstruktif bisa diidentifikasi dari adanya proses kreativitas

di dalamnya, penyelesaian masalah dilakukan secara bersama-sama, dimana konflik

dianggap sebagai suatu masalah yang berkualitas terhadap perkembangan individu

atau suatu organisasi yang harus ditemukan pemecahan masalahnya (Hendel, 2005).

Setelah intervensi, dilaksanakan suatu evaluasi terhadap setiap tindakan yang

dilakukan, sekaligus hal ini sebagai feedback proses diagnosing pada konflik yang

sudah ada ataupun konflik yang baru.

D. Outcome Resolusi Konflik

Menurut Huber (2010) outcome conflict adalah hasil dari proses manajemen konflik

antara lain:

a) Win-lose

Salah satu pihak mendominasi dan pihak yang lain terabaikan. Yang menduduki

porsi lebih besar mendapatkan kemenangan dan sebaliknya yang lebih sedikit

mengalami kekalahan.
b) Lose-lose

Semua pihak yang bertentangan mengalami kerugian. Teknik penyuapan,

memperjualbelikan, menggunakan pihak ketiga untuk mengancam dapat

memuncullkan hasil resolusi ini.

c) Win-win

Resolusi ini dicapai saat semua pihak menyetujui dan mendapatkan manfaat dari

penyelesaian konflik

4. Pengaruh Kepemimpinan dalam Manajemen Konflik

Pemimpin yang dikatakan mampu menerapkan manejemen konflik (a conflict-

competent leader) adalah pemimpin yang mampu memahami dinamika terjadinya suatu

konflik. Diversitas atau keragaman pihak yang terlibat dalam suatu konflik juga perlu

diidentifikasi karena merupakan sumber potensial terjadinya konflik, antara lain budaya,

gender, posisi (jabatan), dan umur (Ayoko and Hartel, 2006). Menurut Ayoko (2007)

keragaman budaya yang tidak mendapatkan perhatian dari pemimpin akan

menimbulkan dampak destruktif pada suatu organisasi, seperti terhambatnya

komunikasi dan koordinasi. Pemimpin juga harus mampu memahami reaksi yang

ditimbulkan dari suatu konflik, mendorong respon konstruktif, dan membangun suatu

organisasi yang mampu menangani konflik secara efektif (a conflict-competent

organization) (Runde and Flanagan, 2007). Manajemen konflik yang konstruktif bisa

diidentifikasi dari adanya proses kreativitas di dalamnya, penyelesaian masalah


dilakukan secara bersama-sama, dimana konflik dianggap sebagai suatu masalah yang

berkualitas terhadap perkembangan individu atau suatu organisasi yang harus

ditemukan pemecahan masalahnya (Hendel, 2005). Menurut Ayoko dan Hartel (2006)

untuk meningkatkan respon konstruktif, seorang pemimpin juga harus mampu

memanajemen timbulnya konflik emosional karena akan menghambat terbentuknya

persatuan dan perkembangan organisasi.

Gaya kepemimpinan sangat mempengaruhi pengambilan strategi penyelesaian masalah

atau konflik, seperti misalnya gaya kepemimpinan demokratis cenderung memilih

strategi integrating (problem solving), obliging, dan compromising yang lebih

menekankan pada kepentingan bersama, gaya kepemimpinan autokratis cenderung

memilih dominating (forcing), sedangkan gaya kepemimpinan Laissez faire cenderung

memilih strategi avoiding (Rahim, 2002). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh

Brewer (2002) dalam jurnal The International Journal of Conflict Management, gender

juga memegang peranan penting dalam pemilihan strategi penyelesaian konflik, dimana

berdasarkan kuisioner yang dibagikan, feminine group cenderung memilih strategi

avoiding, masculine group memilih dominating, dan androgynous group (transgender)

cenderung memilih strategi integrating. Dalam penelitian tersebut tidak ditemukan

kelompok gender tertentu yang khusus memilih strategi compromising dan obliging.

Selain itu pemilihan strategi penyelesaian konflik juga dipengaruhi oleh suasana saat

berkomunikasi. Bila suasana komunikasi terjalin baik, strategi yang bisadigunakan

adalah obliging, integrating, dan compromising. Sebaliknya, bila suasana komunikasi

bersifat defensive, dominating dan avoiding menjadi pilihan (Hassan, B. et al, 2011).
Pengaruh kepemimpinan dalam pemecahan masalah konflik juga bisa dilihat dalam

model “CAPI” yang dirumuskan oleh Shetach (2012). Dengan menerapkan CAPI

(Coaleshing Authority, Power, and Influence) model’s dalam manajemen kelompok,

diharapkan pemimpin mampu menggunakan kekuatan, otoritas, dan pengaruhnya

dalam memutuskan strategi penyelesaian konflik yang tepat.


Daftar Pustaka

Mulyadi, dkk. (2013). Analisis Peran Kepemimpinan terhadap Motivasi Kerja Pegawai

pada Departemen Fasilitas Umum dan Penataan Lingkungan Perum Peruri. Jurnal

Managemen. 10 (3), 1305-1318. Diakses pada tanggal 4 Juli 2020.

Kadek C.U, 2016. Manajemen Konflik. Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana. Jurnal Manajemen. Diakses pada tanggal 4 Juli 2020.

Daniyati, Marya dan Hajjul Kamil. (2016). Manajemen konflik dengan kepuasan kerja

perawat pelaksana di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Diakses pada tanggal 4 Juli

2020.

Julianto, Mito. (2016). Peran dan Fungsi Manajemen Keperawatan dalam Manajemen

Konflik. Jurnal RS Fatmawati. Diakses pada tanggal 4 Juli 2020.

Anda mungkin juga menyukai