Anda di halaman 1dari 22

MINI CLINICAL EXAMINATION

Syok Sepsis pada Peritonitis Generalisata


oleh karena Ileus Obstruktif dan Underweight

Oleh:
Dilla Alfinda Risdiana
G4A016079

Pembimbing :
dr. Shila Suryani,M.Sc., Sp.An

SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN UMUM
PURWOKERTO

2017
LEMBAR PENGESAHAN
MINI CLINICAL EXAMINATION
Syok Sepsis pada Peritonitis Generalisata
oleh karena Ileus Obstruktif dan Underweight

Disusun oleh:
Dilla Alfinda Risdiana
G4A016079

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik di bagian


Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Telah disetujui,
Pada tanggal, Juli 2017

Mengetahui,
Dokter Pembimbing

dr. Shila Suryani,M.Sc., Sp.An

1
I. PENEGAKAN DIAGNOSIS

A. IDENTITAS

1. Nama : Ny. S

2. No. CM : 02-01-45-96

3. Umur : 70 tahun

4. Alamat : Kumpret RT 01/03 Nusawungu

5. Diagnosis : Syok Sepsis pada Peritonitis Generalisata

oleh karena Ileus Obstruktif dan Underweight

B. ANAMNESIS

1. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RSMS tanggal 14 Juli 2017. Pasien dirawat di bangsal

Kenanga pada tanggal 15 Juli 2015. Anamsesis dilakukan secara

autoanamnesis dan alloanamnesis dari anak perempuan pasien. Pasien

mengeluhkan sakit perut semenjak tanggal 10 Juli 2017 dan perut membesar

tanggal 14 Juli 2017 . Keluhan tambahan pasien tidak bisa BAB selama 2

hari sebelum masuk RSMS sampai saat anamnesis belum BAB dan sesak

saat bernafas. Pasien tampak dalam mimik lesu, gelisah dan meringis

kesakitan.

2. Riwayat Penyakit Dahulu

Anamnesis mengenai riwayat dahulu dilakukan secara autoanamnesis dan

dilengkapi alloanamnesis dari anak perempuan pasien. Pasien pernah dirawat

2
di RS karena kekurangan cairan (dehidrasi) dan pernah memiliki riwayat

batu ginjal. Pasien tidak memiliki riwayat asma, diabetes mellitus, sesak

nafas, penyakit jantung, hipertensi, alergi makanan, dan alergi obat. Menurut

anak perempuannya pasien sudah pelupa (pikun) dalam mengerjakan sesuatu.

Pasien juga memiliki gangguan asam lambung yang tinggi.

3. Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga pasien tidak mempunyai riwayat penyakit yang sama, maupun

penyakit asma, diabetes mellitus, penyakit jantung, hipertensi, dan gangguan

pembekuan darah.

4. Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien sehari-hari dirumah anak perempuannya melakukan aktivitas sehari-

hari dan sudah tidak bekerja untuk mencari nafkah. Kebiasaan makan pasien

yang sedikit dan sering meminum kopi 4x/hari. Pasien jarang minum air

putih dan makan sayuran.

C. PEMERIKSAAN FISIK

Sabtu, 15 Juli 2017, pukul 13.00 WIB.

1. Keadaan umum/kesadaran/GCS

Sedang (tampak sakit dan gelisah)/compos mentis/E4V4M6

2. Antropometri

a. Berat badan sehat : 50 kg

b. Berat badan sakit : 40 kg

c. Tinggi badan : 150 cm

3
d. BMI : 17,78 kg/m2 (Underweight)

3. Suhu: 36.70C

4. Circulation

a. Tekanan darah: 80/40 mmHg, heart rate: 106 x/menit, konjungtiva

anemis (-/-); jantung: bunyi jantung cepat ireguler, S1>S2, murmur (-),

gallop (-).

b. Pemeriksaan turgor: CRT >2 detik.

c. Pemeriksaan akral: dingin pada ekstremitas superior dan inferior.

5. Airway

gurgling(-), snoring (-), buka mulut 3 jari, TMD 6 cm, Mallampati II, gigi

palsu (+), gigi tanggal (+), gigi goyang (-), massa jalan napas (-).

6. Breathing

a. Inspeksi

Nafas cuping hidung (-/-), respiratory rate: 32 x/menit, pergerakan

thorax simetris, pernafasan costa, cepat dan dangkal.

b. Palpasi

Tidak terdapat deviasi trakea,vocal fremitus simetris.

c. Perkusi

Sonor pada semua lapang paru.

d. Auskultasi

Suara dasar vesikuler (+/+),wheezing (-/-), ronkhi basah halus (-/-),

ronkhi basah kasar (-/-).

4
7. Disability

Kesadaran: Compos mentis, GCS: E4V4M6

8. Status Generalis

a. Pemeriksaan kepala

Mesocephal; konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat

isokor (3mm/3mm),refleks cahaya (+/+),nafas cuping hidung (-/-).

b. Pemeriksaan thorax

Paru : suara dasar vesikuler (+/+),wheezing (-/-), ronkhi basah halus

(-/-), ronkhi basah kasar (-/-).

Jantung: S1>S2, irreguler takikardi, murmur (-), gallop (-)

c. Pemeriksaan abdomen

Inspeksi : dinding perut cembung

Auskultasi : bising usus (+) menurun

Perkusi : distensi (+), hipertimpani seluruh lapang abdomen

Palpasi : nyeri tekan (+), nyeri lepas (+), defens muskular (+)

d. Pemeriksaan ekstremitas

Akral dingin (+/+/+/+), Edem (-/-/-/-), parese (-),CRT >2 detik.

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Laboratorium

Hasil pemeriksaan laboratorium darah lengkap dan kimia klinik (14 Juli

2017, pukul 02.22 WIB):

a. Hemoglobin 13,5 g/dL

5
b. Leukosit 24710 U/L (H)

c. Hematokrit 40 %

d. Eritrosit 4,6 106/uL

e. Trombosit 229.000 /uL

f. Ureum darah 131 mg/Dl (H)

g. Kreatinin darah 1,99 mg/dL (H)

h. GDS 46 mg/dL

i. Natrium 140 mmol/L

j. Kalium 4.0 mmol/L

k. Klorida 99 mmol/L

2. Foto Colon In Loop

6
3. EKG

E. USULAN ASA
ASA IV

II. DIAGNOSIS

Syok Sepsis pada Peritonitis Generalisata oleh karena Ileus Obstruktif dan
Underweight

7
III. TATALAKSANA

A. Tatalaksana pasien
1. Pemberian oksigen dengan nasal kanul (1-6 liter/menit).
2. Pasang kateter intravena untuk terapi cairan.
BB pasien saat sehat - BB pasien saat sakit X 100%
BB pasien saat sehat
(50-40) kg X 100% = 20% ( Derajat dehidrasi tipe syok)
50 kg

Perkiraan Insensible Water Loss (IWL)


Dewasa : 10-15ml/kgBB/hari = 10 ml x 40 kg
= 400 ml/hari
= 16,67 ml/jam
a. Resusitasi Cairan
Berdasar anjuran Surviving Sepsis Campaign, cairan awal
yang direkomendasikan adalah setidaknya 30 ml/kgBB kristaloid
dalam tiga jam pertama, maka:
30 ml x 40 kg = 1200 ml/ 3 jam
Resusitasi berdasarkan derajat dehidrasi tipe syok, yaitu:
20% x 40 kg = 8 liter = 8000 ml
4000 ml/8 jam pertama  1 jam pertama diberikan 20 ml x 40 kg =
800 ml/jam
4000 ml/16 jam berikutnya
b. Cairan rumatan
Kebutuhan cairan pada orang dewasa adalah 1-2
ml/kgBB/jam atau 25-30 ml/kgBB/hari maka pada pasien ini:
1-2 ml x 40 kg = 40-80 ml/jam = 960-1920ml/hari
Atau
25-30 ml x 40 kg = 1000-1200 ml/hari

8
3. Ambil sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium (darah lengkap,
kimia klinik, kultur, analisis gas darah)
4. Pasang dower kateter untuk menilai urine output.
5. Pemberian antibiotik spektrum luas, setidaknya sampai hasil kultur
didapatkan.
6. Pemberian nutrisi makronutrien, mikronutrien dan elektrolit
diperhitungkandalam mengatasi underweight.
7. Awasi keadaan umum dan tanda-tanda vital.
8. Jika dokter pelayanan primer persiapkan rujukan untuk ke pelayanan
tersier.

9
IV. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sepsis
1. Pengertian
Menurut Remick (2007), sepsis menggambarkan Systemic
Inflammation Response Syndrome (SIRS) yang dikarenakan infeksi.
Kriteria SIRS sendiri adalah 2 dari 4 kriteria berikut (Remick, 2007):
a. Temperatur >38°C (100.4°F) atau <36°C (96.8°F)
b. Heart rate > 90 kali per menit
c. Respiratory rate > 20 kali per menit atau PaCO2 < 32 mm Hg
d. Sel darah putih>12000 mm³, < 4,000/mm³, atau sel imatur (band) >
10%
Dellinger et al (2013) menyatakan bahwa sepsis merupakan respon
sistemik pejamu terhadap infeksi yang bersifat merusak atau berbahaya
dan dapat berlanjut menjadi sepsis berat (severe sepsis; disfungsi organ
akut sekunder) dan syok septik (sepsis berat dan hipotensi yang tidak
membaik setelah diberi cairan).
Dalam consensus definisi sepsis dan syok septik terbaru (Sepsis-3),
sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang mengancam jiwa,
disebabkan oleh disregulasi respon pejamu terhadap infeksi. Syok septik
merupakan subbagian dari sepsis dengan disfungsi sirkulasi dan seluler
atau metabolik yang diasosiasikan dengan resiko mortalitas yang lebih
tinggi (Rhodes, et al, 2017).
2. Etiologi
Sepsis disebabkan dari kedua hal yakni didapat dari komunitas dan
infeksi dari pelayanan kesehatan. Pneumonia merupakan penyebab kasus
paling umum, diikuti oleh infeksi intraabdominal dan sistem urinarius.
Kultur darah memberikan hasil positif hanya satu dari tiga kasus tersebut,
hasil kultur kasus lainnya negatif. Staphylococcus aureus dan
Streptococcus pneumoniae merupakan gram positif. Escherichia coli,

10
Klebsiella dan Pseudomonas aeruginosa adalah gram negatif. Menurut
penelitian dari 14.000 pasien ICU di 75 negara, isolasi bakteri gram
negatif pada pasien sepsis 62% memiliki kultur positif, bakteri gram
positif 47% dan jamur 19% (Angus, D.C. & Poll, T.V.D., 2013).
Faktor resiko sepsis penting untuk diketahui karena faktor resiko
tersebut merupakan penyebab utama kelima seseorang kehilangan usia
produktif karena mortalitas prematur. Faktor resiko sepsis diantaranya
adalah (Neviere, 2017):
a. Pernah dirawat di ICU
Sekitar 50% pasien ICU dapat terkena infeksi nosokomial
sehingga meningkatkan resiko sepsis.
b. Bakterimia
Pasien dengan bakterimia seringkali mengalami konsekuensi
sistemik dari infeksi.
c. Usia tua (≥ 65 tahun)
Insidensi sepsis meningkat secara disproporsional pada pasien
lanjut usia dan usia merupakan prediktor independen mortalitas
karena sepsis.
d. Imunosupresi
Komorbiditas yang menurunkan defens pejamu (misal
neoplasma, gagal ginjal, AIDS, asplenism) dan medikasi
imunosupresan umum seringkali ada pada pasien dengan sepsis atau
syok sepsis.
e. Diabetes atau kanker
Diabetes dan beberapa jenis kanker mungkin menurunkan
sistem imun dan menyebabkan peningkatan resiko mengalami
sepsis.
3. Penegakan Diagnosis

11
Dellinger et al (2013) menyatakan bahwa kriteria diagnosis untuk
sepsis termasuk di dalamnya adalah adanya infeksi ditambah beberapa hal
berikut:
a. Variabel umum
1) Demam (>38.3oC)
2) Hipotermia (core temperature < 36oC)
3) Denyut jantung > 90 kali per menit, atau lebih dari 2 SD
diatas angka normal bergantung usia
4) Takipnea
5) Perubahan status mental
6) Edema signifikan atau positive fluid balance (> 20 mL/kg
lebih dari 24 jam)
7) Hiperglikemia (glukosa plasma > 140 mg/dL atau 7.7
mmol/L) tanpa adanya diabetes
b. Variabel Inflamatoris
1) Leukositosis (sel darah putih >12000 μL–1)
2) Leukopenia (sel darah putih < 4000 μL–1)
3) SDP normal dengan hitung jenis lebih dari 10% sel imatur
4) C-reactive protein (CRP) plasma lebih dari 2 SD diatas
normal
5) Procalcitonin plasma lebih dari 2 SD diatas nilai normal
c. Variabel hemodinamik
1) Hipotensi arterial (tekanan darah sistolik < 90 mmHg, mean
arterial pressure (MAP) < 70 mmHg, atau penurunan tekanan
darah sistolik > 40 mmHg pada orang dewasa atau kurang
dari 2 SD dibawah nilai normal sesuai usia)
d. Variable disfungsi organ
1) Hipoksemia (PaO2 / FiO2< 300)

12
2) Oligouria akut (output urin < 0.5 mL/kg/jam selama
setidaknya 2 jam meskipun sudah diberi resusitasi cairan yang
adekuat)
3) Peningkatan kreatinin > 0.5 mg/dL atau 44.2 μmol/L
4) Abnormalitas koagulasi (INR/PT> 1.5 atau APTT > 60 detik)
5) Ileus (BU (-))
6) Trombositopenia (hitung platelet <100000 μL-1)
7) Hyperbilirubinemia (bilirubin total plasma > 4 mg/dL atau 70
μ mol/L)
e. Variabel perfusi jaringan
1) Hiperlaktatemia (> 1 mmol/L)
2) Peningkatan capillary refill time

Adapun kriteria sepsis berat (hipoperfusi jaringan atau disfungsi


organ yang diinduksi sepsis) adalah sebagai berikut (Dellinger et al,
2013):
a. Hipotensi (sepsis induced hypotension)
b. Peningkatan kadar laktat diatas normal
c. Keluaran urin < 0.5 mL/kg/jam selama lebih dari 2 jam walaupun
sudah diberi resusitasi cairan
d. Acute lung injury dengan PaO2 / FiO2< 250 tanpa adanya
pneumonia sebagai sumber sepsis
e. Acute lung injury dengan PaO2 / FiO2< 200 dengan adanya
pneumonia sebagai sumber sepsis
f. Kreatinin > 2.0 mg/dL
g. Bilirubin > 2 mg/dL
h. Koagulopati (INR/PT > 1.5)
Singer et al (2016) dalam The Third International Consensus
Definition for Sepsis and Septic Shock (Sepsis-3) menyatakan bahwa
sepsis merupakan disfungsi organ yang mengancam jiwa dan disebabkan

13
oleh disregulasi respon pejamu terhadap infeksi. Disfungsi organ disini
dapat diidentifikasi dengan adanya peningkatan akut terhadap skor SOFA
2 poin atau lebih sebagai konsekuensi dari infeksi. Skor SOFA dasar
(baseline) dianggap nol pada pasien yang tidak memiliki disfungsi organ
sebelumnya. Penilaian skor SOFA dapat terlihat sebagai mana dalam tabe
berikut:

Tabel 4.1. Skor Sequential (sepsis related) Organ Failure Assessment (SOFA)
Sistem Skor
0 1 2 3 4
Respirasi
PaO2/FiO2, ≥400 (53.3) <400 (53.3) <300 (40) <200 (26.7) <100 (13.3)
mmHg (kPa) dengan dengan
respiratory respiratory
support support
Koagulasi ≥150 <150 <100 <50 <50
Platelet, x 103/μL
Hepar
Bilirubin, mg/dL <1.2 (20) 1.2 - 1.9 2.0 - 5.9 6.0 – 11.9 (102 >12.0 (204)
(μmol/L) (20 - 32) (33 – 101) – 204)
Cardiovaskular MAP ≥ 70 MAP < 70 Dopamin <5 Dopamin 5.2 – Dopamin > 15
mmHg atau dobutamin 15 atau atau
ephineprine/no efineprine/nore
rephinephrine phinephrine >
≤ 0.1 0.1
SSP
GCS 15 13-14 10-12 6-9 <6
Renal
Kreatinin (mg/dL) <1.2 1.2 – 1.9 2.0 – 3.4 3.5 – 4.9 >5
Urine output
(mL/d) <500 <200

Pasien yang dicurigai infeksi dan kemungkinan harus dirawat lebih


lama di ICU atau meninggal di rumah sakit bisa diidentifikasi dengan
quick SOFA (qSOFA). Hal yang dinilai dalam qSOFA adalah laju
pernafasan ≥ 22 kali per menit, perubahan status mental, dan tekanan
darah sistolik ≤ 100 mmHg. Pasien syok sepsis memiliki ciri seperti pada
sepsis ditambah hipotensi yang memerlukan vasopressor untuk
mempertahankan MAP ≥ 65 mmHg dan kadar laktat dalam serumnya > 2

14
mmol/L (18 mg/dL) meskipun telah diberikan resusitasi yang adekuat
(Singer et al, 2016).
B. Peritonitis Generalisata
Peritonitis generalisata adalah inflasi dari peritoneum (lapisan serosa yang
menutupi rongga abdomen dan organ-organ abdomen di dalamnya). Suatu
bentuk penyakit akut dan merupakan kasus bedah darurat terjadi secara lokal,
difusa atau generalisata. Penyebabnya melalui proses infeksi akibat perforasi
usus, maupun non infeksi akibat keluarnya asam lambung karena perforasi
gaster (Skipworth, R.J.E. & Fearon, K.C.H., 2008).
C. Ileus Obstruksi
Ileus Obstruksi atau disebut juga ileus mekanik adalah keadaan diamana
isi lumen saluran cerna tidak bisa disalurkan ke distal atau anus karena adanya
sumbatan mekanik yang disebabkan kelainan dalam lumen usus, dinding usus,
atau luar usus yang menekan ataupun kelainan vaskularisasi pada suatu segmen
usus yang menyebabkan nekrose segmen usus tersebut.
D. Terapi Cairan
Total cairan tubuh adalah 60% dari berat badan dan terdiri dari cairan
intrasel 40% dan cairan ekstrasel 20% (cairan interstitial 15% dan intravaskuler
5%). Sekitar 8% dari berat badan merupakan volume darah yang berasal dari
penjumlahan cairan intravaskuler 5% dengan eritrosit 3% dari berat badan.
Kompartemen cairan tubuh dipengaruhi oleh tekanan onkotik dan tekanan
hidrostatik. Tekanan hidrostatik ini akan yang akan mendorong cairan
intravaskuler keluar melalui kapiler menuju interstitial. Sebaliknya tekanan
onkotik akan menarik cairan dari interstitial ke intravaskuler. Berdasarkan
tujuan terapi, cairan intravena dibagi menjadi tiga macam, antara lain sebagai
berikut (Soenarjo dan Jatmiko, 2013):
1. Cairan rumatan (maintenance) yaitu cairan yang bersifat hipotonis,
contohnya adalah Dextrose 5%, Dextrose 5% dalam NS 0,25, Dextrose
5% dalam NS 0,5

15
2. Cairan pengganti (replacement) yaitu cairan yang bersifan isotonis,
contohnya yaitu Ringer Laktat, NaCl 0,9%, dan koloid
3. Cairan khusus yaitu cairan yang bersifat hipertonis, contohnya NaCl 3%,
mannitol 20% dan sodium bikarbonat
Prinsip utama terapi cairan adalah menjaga keseimbangan masukan dan
keluaran cairan, serta mengantisipasi kemungkinan kehilangan cairan yang
terus berlangsung. Dalam praktik klinis, penggunaan cairan intravena dapat
bertujuan untuk resusitasi, rumatan, maupun penggantian dan redistribusi
cairan. Resusitasi dibutuhkan apabila pasien kehilangan cairan yang cukup
untuk memicu kompensasi tubuh. Resusitasi ditujukan untuk mengembalikan
perfusi ke jaringan perifer. Beberapa indikator untuk memulai resusitasi adalah
(Gaol, Tanto, dan Pryambodho, 2014):
1. Tekanan darah sistolik <90 mmHg dan/atau MAP <60 mmHg
2. CRT >2 detik dan akral dingin
3. Denyut nadi >100 kali/menit
4. Napas > 20 kali/menit
Cairan rumatan intravena diberikan untuk menyediakan kebutuhan cairan
dan elektrolit yang tidak dapat dipenuhi melalui rute oral maupun enteral.
Kebutuhan cairan rumatan adalah 25-30 ml/kgBB/hari, kebutuhan K, Na, dan
Cl kurang lebih 1 mmol/kgBB/hari, dan kebutuhan glukosa 50-100 g/hari untuk
mencegah ketosis. Sementara itu, penggantian cairan diperlukan apabila ada
defisit air dan/atau eletrolit atau kehilangan cairan ke luar tubuh yang sedang
berlangsung. Kehilangan biasanya berasal dari traktus gastrointestinal atau
urinarius, namun pasien luka bakar dan demam juga dapat mengalami kondisi
seperti ini (Gaol, Tanto, dan Pryambodho, 2014).
E. Resusitasi Cairan pada Sepsis
Sepsis menyebabkan vasodilatasi masif dan meningkatkan permeabilitas
membran yang memicu terjadinya defisit cairan intravaskular. Jenis cairan yang
digunakan untuk sepsis masih sering menjadi perdebatan. Karena belum adanya
penelitian yang menunjukkan keuntungan yang jelas dengan pemberian

16
albumin, peningkatan harga albumin, dan isu keamanan penggunaan HES,
kristaloid masih menjadi cairan pilihan untuk pasien sepsis (Avila et al, 2016).
Dellinger et al (2013) dalam Surviving Sepsis Campaign 2012
merekomendasikan resusitasi pada hipoperfusi jaringan yang diinduksi sepsis
(hipotensi yang menetap setelah diberi initial fluid challengeatau kandungan
laktat darah lebih dari 4 mmol/L).
Rhodeset al (2017) dalam Surviving Sepsis Campaign 2016 menyatakan
bahwa sepsis dan syok sepsis merupakan kegawatdaruratan medis dan
merekomendasikan pula resusitasi cairan pada hipoperfusi yang diinduksi
sepsis dimulai secepatnya dengan setidaknya 30 mL/kg kristaloid IV dan
setelahnya tambahan cairan diberikan berdasar penilaian berulang status
hemodinamika pasien. Penggunaan albumin sebagai tambahan kristaloid pada
resusitasi awal dan penggantian volume pada pasien sepsis dan syok sepsis
ketika pasien membutuhkan kristaloid dalam jumlah banyak karena mengurangi
90 days mortality rate pasien sepsis dan syok sepsis. Sementara HES
merupakan koloid sehingga terdapat safety concern untuk penggunaan pada
pasien sepsis dan syok sepsis dan tidak direkomendasikan untuk penggantian
volume pasien sepsis dan syok septik.
Marik dan Bellomo (2015) menyatakan bahwa resusitasi cairan agresif
untuk mencapai CVP > 8 mmHg telah dianggap sebagai standard of care pada
penanganan pasien dengan sepsis berat dan syok septik. Namun, penelitian
baru-baru ini menunjukkan bahwa pendekatan tersebut tidak memperbaiki
outcome pasien dengan sepsis berat dan syok septik. Utamanya, sepsis bukanlah
keadaan deplesi atau kekurangan volume (cairan) dan penelitian baru
menunjukan kebanyakan pasien syok septik kurang responsive terhadap cairan.
Resusitasi awal cairan perlu dibatasi dan dipandu dengan penilaian terhadap
repons pasien terhadap cairan.
F. Antibiotik dan Medikasi Vasoaktif
Antibiotik IV perlu diberikan sesegera mungkin (sebaiknya dalam satu
jam pertama) setelah diketahui adanya sepsis atau syok sepsis karena

17
penundaan tiap jamnya meningkatkan resiko morbiditas dan mortalitas.
Antibiotik empiris spektrum luas dengan satu atau lebih antibiotik disarankan
untuk mengcover semua patogen yang mungkin (termasuk virus dan jamur),
ketika patogen dan sesnitivitas obat telah diketahui pilihan terapi dapat
dipersempit. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan regimen
antibiotik pada tiap pusat kesehatan dan tiap pasien adalah (Rhodes et al, 2017):
1. Lokasi anatomis terjadinya infeksi
2. Patogen yang sering atau prevalen dalam komunitas, rumah sakit, atau
bangsal rumah sakit
3. Pola resistensi pada patogen prevalen tersebut
4. Adanya defek imun spesifik seperti neutropenia, splenectomy, infeksi
HIV yang tidak terkontrol, defek fungsi atau produksi kongenital atau
didapat pada immunoglobulin, komplemen, atau leukosit
5. Usia dan komorbiditas pasien, termasuk penyakit dan disfungsi organ
kronik (misal diabetes dan gagal ginjal), serta adanya alat invasive yang
menurunkan pertahanan tubuh terhadap infeksi
Berikut merupakan pilihan antibiotik untuk sepsis berdasar awal
infeksinya:

Tabel 4.2. Antibiotik Pilihan untuk Sepsis (The Sanford Guide to Microbial
Therapy (2006) dalam Lawrence (2007))
Community acquired Cephalosporin generasi ketiga ditambah azitromisin
pneumonia atau fluoroquinolone
Health care acquired Carbapenem dengan atau tanpa fluoroquinolone atau
pneumonia cefepime atau piperacillin/tazobactam dengan atau
tanpa fluoroquinolone
Abdomen Carbapenem atau ampicillin ditambah
metronidazole dan gentamicin atau fluoroquinolone
Traktus urinarius Piperacillin / tazobactam atau ticarcillin /
clavulanate atau carbapenem atau ampicillin dan
gentamicin atau fluoroquinolone

18
Kateter Vancomycin
Tidak diketahui Carbapenem ditambah vancomycin atau
cephalosporin generasi ketiga atau keempat,
piperacillin/tazobactam, atau ticarcillin/clavulanate
ditambah gentamisin

Vasopressor perlu diberikan bila MAP < 65 mmHg dan tidak membaik
bahkan setelah diberi resusitasi. Norephinephrine perlu dipilih sebagai
vasopressor pilihan utama karena efek vasokonstiriktifnya dapat meningkatkan
MAP dengan sedikit perubahan pada denyut jantung dan lebih sedikit
peningkatan pada stroke volume dibanding dopamine. Penambahan vasopressin
sampai 0.03 U/min atau epinephrine untuk meningkatkan MAP sampai target
tercapai atau untuk menurunkan dosis norephinephrine. Penggunaan
dobutamine disarankan pada pasien dengan hiporefusi persisten walaupun sudah
diberikan cairan dan agen vasopressor (Rhodes et al, 2017).Norepinephrine
meningkatkan preload, resistensi vaskuler sistemik, dan cardiac output sehingga
penggunaannya pada pasien dengan hipotensi persisten direkomendasikan pada
masa awal syok septik. Penilaian echocardiographic dini juga
direkomendasikan untuk memandu manajemen hemodinamika lebih jauh
(Marik dan Bellomo, 2015).

19
DAFTAR PUSTAKA

Angus, D.C. & Poll, T.V.D., 2013. Severe Sepsis and Septic Shock. New England
Journal of Medicine. 369, pp. 840-851.
Avila, A. A., E. C. Kinberg, N. K. Sherwin, dan R. D. Taylor. 2016. The Use of
Fluids in Sepsis. Cureus 2016 Mar; 8(3): e528.
Dellinger, R. P., M. M. Levy, A. Rhodes, D. Annane, H. Gerlach, S. M. Opal, J. E.
Sevransky, C. L. Sprung, et al. 2013.Surviving Sepsis Campaign:
International Guidelines for Management of Severe Sepsisand Septic Shock:
2012. Critical Care Medicine: Feb 2013; Volume 41 Number 2.
Gaol H.L., C. Tanto, dan Pryambodho. 2014. Terapi Cairan dalam Kapita Selekta
Kedokteran Edisi IV. Jakarta: Media Aesculapius FKUI.
Lawrence, Isaacs. 2007. The Right Antibiotic Choice for Sepsis. Emergency
Medicine News:May 2007 - Volume 29 - Issue 5 - p 14.
Marik, P. dan R. Bellomo. 2015. A Rational Approach to Fluid Therapy in Sepsis.
British Journal of Anaesthesia 2015; 1–11.
Neviere, M. 2017. Sepsis syndromes in adults: Epidemiology, definitions, clinical
presentation, diagnosis, and prognosis. UpToDate April, 2017.
Remick, D. G. 2007. Pathophysiology of Sepsis. Am J Pathol. 2007 May; 170(5):
1435–1444. doi:  10.2353/ajpath.2007.060872.
Rhodes, A., L. E. Evans, W. Alhazzani, M. Levy, M. Antonelli, R. Ferrer, A. Kumar,
J. E. Sevransky, et al. 2017. Surviving Sepsis Campaign: International
Guidelines for Management of Sepsis and Septic Shock: 2016. Critical Care
Medicine: March 2017; Volume 45 Issue 3 p 486–552.
Singer M., C. S. Deutschman, C. W. Seymour, M. Shankar-Hari, D. Annane, M.
Bauer, R. Bellomo, G. R. Bernard,et al. The Third International Consensus
Definitions for Sepsis and Septic Shock (Sepsis-3). JAMA. 2016;315(8):801-
810.
Skipworth, R.J.E. & Fearon, K.C.H., 2008. Acute Abdominal: peritonitis. Surgery
Journal.

20
Soenarjo dan H. D. Jatmiko. 2013. Anestesiologi Edisi Kedua. Semarang: Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran UNDIP.

21

Anda mungkin juga menyukai