Anda di halaman 1dari 15

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

Nama Sekolah : SMP Negeri 12 Malang


Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Materi : Teks Cerpen
Kelas/Semester : IX/I
Tahun Pelajaran : 2020/2021
Alokasi Waktu : 150 menit

A. Tujuan Pembelajaran
Setelah mengikuti pembelajaran, peserta didik dapat:
1. Mengidentifikasi unsur pembangun karya sastra dalam teks cerita pendek yang dibaca
atau didengar
2. Menyimpulkan unsur-unsur pembangun karya sastra dengan bukti yang mendukung dari
cerita pendek yang dibaca atau didengar
B. Media Pembelajaran
1. Whatsapp Group
2. Google Meet
3. Google Form/That Quis
4. LKPD
C. Sumber Belajar
1. Buku Bahasa Indonesia Kelas IX
2. Teks Cerpen:
1. Cerpen Asa dan Tuannya karya Ersita N M
2. Cerpen Guru karya Putu Wijaya yang diunduh dari tautan
https://www.lokerseni.web.id/2011/08/cerpen-pendidikan-guru-karya-putu.html

Kegiatan Pembelajaran
150 menit  Menyepakati materi yang akan dipelajari, yaitu teks cerita pendek
 Guru membagikan teks cerpen berjudul Asa dan Tuannya kepada
siswa melalui grup Whatsapp dalam bentuk MS. Word
 Siswa mencermati teks cerpen yang telah dibagikan oleh guru
 Siswa mencatat ciri-ciri cerita pendek
 Siswa menulis unsur intrinsic dan ekstrinsik disertai bukti dari
cerpen yang telah dibaca
 Guru menjelaskan tentang teks cerita pendek
 Guru memberikan teks cerpen berjudul Guru karya Putu Wijaya
kepada siswa melalui grup Whatsapp dalam bentuk MS. Word
 Siswa menemukan dan membuktikan unsur intrinsic dan
ekstrinsik dari cerpen yang telah dibagikan
 Siswa menyimpulkan unsur pembangun cerpen
Refleksi dan Konfirmasi  Refleksi pencapaian siswa
 Refleksi guru untuk mengetahui ketercapaian proses
 Pembelajaran dan perbaikan
 Menyimpulkan pembelajaran tentang teks tanggapan

Penilaian
Sikap Pengetahuan Keterampilan

 Tekun dalam mengerjakan  Hasil identifikasi isi  Menyampaikan hasil


soal. informasi teks cerita pendek pengamatan tentang unsur
 Santun dalam menyampaikan (LKPD) intrinsic cerpen
ide/pendapat.
 Disiplin waktu dalam
melakukan kegiatan dan tidak
mengandalkan teman.
 Bertanggung jawab dalam
menyampaikan hasil
pekerjaan

Malang, Juli 2020


Mengetahui,
Kepala SMP Negeri 12 Malang Pengajar,

Dra. Khusnul Hamidah Ersita Noor Mahliga


NIP.196202021988032005 NIM.170211604548
LAMPIRAN

LEMBAR KERJA PESERTA DIDIK (LKPD)

Nama Siswa :
Kelas : IX

Bacalah teks cerpen yang berjudul Asa dan Tuannya!

No Pertanyaan Jawaban

1 Ciri-ciri cerpen

2 Unsur intrinsic cerpen:


1. Tema
2. Tokoh dan Penokohan
3. Latar
4. Alur
5. Amanat
Asa dan Tuannya
Senja telah berlalu, digantikan gelap kesunyian yang semakin memekik malam. Wayan
menyiapkan dagangannya yang akan ia jual besok. Dengan gerobak butut dengan cat yang
mengelupas di setiap sisinya, Wayan masih berjuang di sela-sela jam sekolahnya. Ya, ia
adalah Wayan bocah kelas lima SD yang harus berjuang demi mendapatkan rupiah agar tetap
bisa menyambung hidup. Di bawah pohon beringin tua di salah satu perempatan di desanya,
ia berjualan mie ayam bersama ibunya. Ia telah menjadi yatim sejak berusia dua tahun. Entah,
ia lebih nyaman dikatakan anak yatim, padahal ayahnya hanya pergi, namun entah ke mana.
Julukan anak yatim juga memiliki keuntungan sendiri baginya karena di setiap akhir tahun ia
mendapatkan bingkisan dari lurah dan orang-orang dermawan.
Matahari sudah mengintip Wayan dari jendela. betapa kagetnya Wayan, jam di sebelah
lemarinya telah menunjukkan pukul 06.30. Ia pun segera merapikan tempat tidurnya. Pagi itu
ia tidak bisa membantu ibunya mendorong gerobak ke perempatan desa. Wayan adalah anak
yang mandiri, ia tidak pernah merepotkan ibunya bahkan untuk membangunkannya.
Ketika Wayan sedang ganti baju, tiba-tiba ada yang membuka pintu rumahnya
“Wayan, wes siang lo ini kok belum berangkat to kamu?” seorang wanita cantik yang masih
muda dengan rambut digelung tengah dan suaranya semakin mendekati pintu kamar Wayan
“iya, Bu. Sek ganti baju ini lo.” Jawab Wayan sambil memakai seragam merah putihnya
“Ibu tunggu di warung kok gak lewat-lewat kamu ini. Ternyata sek di rumah. Tau tadi tak
bangunin kamu, Le” jawab wanita itu dengan sedikit menyesal
“nggak usah, Bu. Ini wes mau selesai kok” jawab Wayan meyakinkan ibunya yang
menunggunya di balik pintu kamarnya
Wayan pun mengambil tas hitam di lemarinya dan segera berangkat. Sebelum sampai di
sekolah ia mampir di warung ibunya untuk mengambil uang dan catatan belanja. Sampainya
di sekolah ia mengikuti pelajaran seperti biasa. Wayan adalah anak yang pandai namun
kepandaiannya sangat membuat heran teman-temannya. Bagaimana bisa anak pandai hanya
mempunyai dua buku tulis saja? Padahal untuk anak kelas lima SD minimal harus
mempunyai delapan buku tulis. Karena disesuaikan dengan jumlah mata pelajaran yang
ditempuh. Banyak dari teman-teman Wayan penasaran akan hal itu. Ada juga temannya yang
berpikir bahwa Wayan menggunakan dukun. Wayan tak pernah menanggapi dan
mempermasalahkan pendapat teman-temannya. Karena menurutnya bagaimana bisa ia
membayar dukun sedangkan untuk beli sepatu saja masih dua tahun sekali. Yang lebih
mengeherankan teman-temannya, Wayan tidak pernah mendapatkan peringkat kedua di
kelasnya. Ia selalu menjadi nomor satu di antara teman-temannya. Namun guru-guru tak
pernah mempermasalahkan latar belakang Wayan. Buku LKS yang diterima Wayan dan
teman-temannya sama jenis, sampul, dan isinya. Hanya yang membedakan adalah nama
pemilik yang tertera di sampulnya. Wayan juga mendapatkan buku LKS gratis karena ada
bantuan dari sekolah bagi anak yatim maupun piatu. Banyak teman-teman Wayan yang iri
akan kepandaiannya, sehingga ingin juga mendapatkan buku gratis agar bisa menjadi pandai.
Pada kenyataannya beberapa anak di kelas Wayan yang mendapatkan LKS gratis namun tak
pernah bisa menggeser posisi Wayan dari peringkat pertama.
Tas Wayan juga tidak pernah pernah penuh akan buku-buku. Itu yang menjadi alasan
mengapa Wayan tidak terlambat meskipun bangun kesiangan. Alasan kedua karena ia
membawa catatan belanja yang harus ditukar dengan sayur dan bumbu-bumbu titipan ibunya,
jadi jika tasnya tidak dipenuhi oleh buku, ia bisa memasukkan belanjaan ibunya ke dalam tas
sekolahnya. Tak jarang, dalam buku-buku Wayan terdapat rontokan sayur dan tepung.
Sepulang sekolah, ia mampir ke salah satu warung langganan ibunya di pasar. Iapun membeli
beberapa barang belanjaan. Pemilik warung sudah sangat kenal betul dengan Wayan. Karena
setiap hari Wayan selalu mampir ke warungnya untuk memenuhi tas sekolah yang tidak
penuh dengan buku-buku itu.
“Pak Komang” kata Wayan di depan warung sambil melepaskan tas punggungnya
“oke Yan. Sini tasmu” jawab pemilik warung sambil menyodorkan tangannya ke Wayan
Seakan sudah hafal betul, Pak Komang pun mengambil kertas di dalam tas Wayan. Wayan
selalu mengosongkan tasnya yang memiliki ruang lebih besar untuk diisi belanjaan ibunya,
dan buku-buku sekolah ia pindahkan di sisi yang memiliki ruang lebih kecil namun cukup
untuk menampung buku-bukunya itu.
“Nih, tasmu dan ini notanya Le” kata Pemilik toko sambil memberikan tas dan nota pada
Wayan
“oh iya, Pak” jawab Wayan sambil menerima nota dan mengambil uang di saku kanannya.
Seperti biasa, setelah berbelanja Wayan pergi ke warung ibunya. Siang itu, warung sangatlah
ramai. Banyak orang yang sedang makan siang di sana. Wayan pun segera berlari dan segera
membantu ibunya yang tengah kuwalahan melayani orang-orang. Namun sebelum itu, ia
mengganti seragamnya dengan kaos bola yang diperoleh dari perlombaan di sekolah.
Semakin sore warung ibunya tidak begitu ramai. Wayanpun menuju lapangan sepak bola
yang tidak begitu jauh dari warung ibunya.
Di lapangan bola, Wayan selalu merasa menjadi seorang bintang pujaan banyak orang.
Tempat di mana dia merasakan bahagia selain di pangkuan ibunya adalah di lapangan bola.
Begitu besar harapannya ingin menjadi seorang pesepak bola. Setiap gol yang ia cetak, selalu
ia menciumi gambar burung Garuda di sisi kiri atas bajunya, seolah-olah ia sedang berlaga di
gelora Bung Karno. Wayan juga tidak pernah menggunakan sepatu sepak bola, karena itu
menjadikan kakinya sangat tangguh. Luka karena batu tidaklah berarti bagi Wayan, yang
penting ia bisa berebut bola dengan teman-temannya. Hari sudah semakin sore, melihat
matahari berpindah haluan Wayanpun bergegas pulang.
Sesampainya di rumah ia segera membersihkan badannya. Setelah mandi ia melihat jam yang
sudah menunjukkan pukul lima. Ia segera mengambil sarung dan peci kemudian menggelar
sajadah di kamarnya yang berukuran dua kali dua meter. Selesai solat, sambil menunggu
adzan berkumandang untuk menunaikan ibadah solat maghrib, Wayan membantu ibunya
untuk membuat mie. Di dapur yang hampir saja rubuh ia sesekali mengelap keringatnya
dengan lengan yang cukup berotot untuk menggiling adonan tepung.
“Bu, kalau nanti Wayan jadi pesepak bola apa boleh?” tanya Wayan kepada ibunya yang
sedang mengupas bumbu-bumbu dapur
“kamu yakin mau jadi pesepak bola? Kalau Ibu sih apapun yang kamu cita-citakan, Ibu selalu
mendukung tapi yang paling penting kamu bisa berguna buat orang lain” jawab ibu Wayan
Percakapan itupun tidak berlangsung begitu lama karena adzan maghrib telah berkumandang.
Wayan dan ibunya melaksanakan sholat maghrib. Setelah itu Wayan mengambil tas hitam di
meja kamarnya dan membawanya ke dapur. Tak lupa ia membawa meja kecil pemberian
salah seorang guru untuk menopang lengannya kala menulis. Teman-temannya yang lain
mungkin sedang belajar dengan lampu yang terang, kursi empuk dan meja belajar yang
nyaman. Namun, Wayan memiliki kebiasaan yang berbeda. Di dapur ia belajar, membaca
kembali apa yang ia catat saat di sekolah. ditemani bau bumbu-bumbu dapur, dan suara-suara
api dari luweng yang mengepulkan asap. Meskipun begitu keadaan yang begitu pilu tak
pernah mematahkan semangatnya.
Wayan sebenarnya bukan anak yang begitu pandai namun keterbatasan ekonomi
membuatnya lebih rajin belajar dari teman-temannya. 2 buku tulis yang ia punya
memaksanya untuk menghafalkan semua materi yang telah ia catat dalam buku itu. Setelah ia
hafal dan mengerti tentang materi itu, ia menghapus catatannya. Ruang kosong yang telah ia
hapus tulisannya ia gunakan untuk mencatat materi berikutnya di keeseokan hari. Tak jarang
seminggu sekali Wayan selalu memiliki penghapus baru. Karena penghapusnya cepat sekali
habis.
Hari semakin malam, Wayanpun melipat meja belajarnya dan menyiapkan peralatan sekolah
yang akan ia bawa. Setelah itu, ia membantu ibunya di dapur. Ibunya telah selesai membuat
mie, kini giliran ia yang menghaluskan bumbu-bumbu yang akan digunakan untuk membuat
bumbu ayamnnya. Wayan memang sudah akrab dengan bumbu-bumbu dapur sejak dari kecil.
Karena ibunya selalu menggendongnya sambil memasak. Setelah selesai Wayan dan ibunya
menuju kamar tidur untuk membujurkan badan mereka. Wayan tidur dengan ibunya, setiap
sebelum tidur Wayan mencium kening ibunya, mengambilkan selimut,dan memasangkan
obat nyamuk untuk ibunya. Hal itu ia lakukan karena ia merasa dirinya adalah pengganti
ayahnya. Ia ingin ibunya selalu merasa memiliki suami. Meskipun itu adalah hal yang
mustahil jika ayahnya kembali.
Adzan subuh telah berkumandang, Wayan dan ibunya segera bangkit dari tempat tidur dan
menunaikan ibadah sholat subuh. Setelah solat subuh, Wayan dan ibunya mengaji bersama.
Setelah mengaji Wayan mencium tangan ibunya.
“Bu, doakan aku hari ini mau ikut seleksi lomba sepak bola di tingkat kabupaten” kata
Wayan sambil memegang tangan ibunya
“Pasti. Ibu akan selalu mendoakan semoga kamu menjadi yang terbaik. Bisa jadi juara,
pegang piala lalu senyum ke kamera hehe” jawab ibunya sambil sedikit bercanda
“aminn Bu. Wayan akan memberikan yang terbaik” kata Wayan.
Kemudian seperti biasa Wayan menyiapkan isi gerobak yang akan dibawa ke perempatan
desa, dan ibunya memasak untuk sarapan Wayan. Setelah selesai Wayanpun mengambil
piring dan satu centong nasi tak lupa dengan tempe goreng kesukaannya. Ia makan dengan
lahap. Setelah itu Wayan mandi dan mempersiapkan diri untuk berangkat ke sekolah. Hari ini
merupakan hari yang spesial bagi Wayan karena ia bisa mengikuti seleksi untuk tingkat
kabupaten. Sebelum ia berangkat ke sekolah, ia mampir ke warung ibunya. Kali ini bukan
untuk mengambil uang dan catatan belanja, tapi untuk memohon doa agar ia bisa lolos seleksi
dan menjadi pesepak bola sesuai dengan impiannya.
Sesampainya di sekolah, ia sudah ditunggu oleh Pak Hendra guru olahraga di sekolahnya.
Wayanpun diantar ke kota untuk mengikuti seleksi. Dari sekolah Wayan hanya dua orang
yang dikirim, Wayan dan kakak kelasnya yang bernama Damar. Wayan biasa memanggilnya
Bang Damar. Sambil menunggu giliran, Wayanpun sedikit brbincang dengan Damar
“semoga kamu lolos yo Yan. Aku gak yakin soalnya ini bukan bidangku.” Kata Damar
dengan sedikit lemas
“lah kok gitu? Maksudnya bukan bidang abang itu apa? Lalu kenapa mau ikut jika tidak
niat?” tanya Wayan dengan sedikit bingung
“aku lebih suka bulu tangkis. Pak Hendra bilang kalo gak ada lagi yang mau ikut seleksi ini.
Cuman kamu saja. Kalau mau ngajak kelas 4 belum bisa karena belum cukup umurnya. Jadi
hanya kelas 5 dan 6. Dan itu kamu sama aku” kata Damar menjelaskan
“yah padahal aku pengen nanti bisa satu tim sama kamu, Mas” ujar Wayan
Di sela-sela perbincangan mereka, tiba-tiba nama Wayan dipanggil. Wayanpun menunjukkan
bakatnya. Menggiring bola, tendangan penalti, dan aksi lainnya. Setelah Wayan, Damarpun
giliran untuk menunjukkan kemampuannya bermain bola. Namun sebelum itu, tidak
disangka-sangka Damar mengatakan sesuatu pada juri
“maaf Pak, saya tidak mahir dalam memainkan bola seperti ini. Tapi kalau bapak minta saya
memainkan bulu angsa, insyaAllah saya ladeni”
Siapapun terkejut mendengar perkataan Damar. Termasuk Pak Hendra.
“lalu kenapa kamu bisa sampai di sini?” tanya salah satu juri dengan wajah yang terheran-
heran
“tidak ada wakil lagi, Pak. Hanya saya dan satu teman saya yang ada di sana. Saya harap
Bapak meloloskan teman saya” jawab Damar sambil menunjuk Wayan yang menunggunya di
tepi lapangan
Damarpun kembali ke tepi lapangan. Ia tidak menyesali apa yang telah ia perbuat. Dia merasa
dia pasti tidak akan lolos karena dia tidak mahir dalam memainkan bola, jadi untuk apa
membuang tenaga untuk hal yang dia tidak minati. Pikirnya demikian.
Seleksi telah selesai. Wayan dan peserta lainnya menuju ke pintu utama lapangan untuk
pulang. Pengumuman untuk hasil seleksi akan diumumkan besok. Sesampainya di rumah
Wayan beraktivitas seperti biasa. Mandi, membantu ibunya di dapur, dan belajar.
Hari yang ditunggu-tunggu Wayan telah tiba. Ia begitu semangat sekali saat berangkat ke
sekolah, ia tidak sabar dengan hasil seleksi yang ia ikuti. Sesampainya di sekolah Wayan
mengikuti pelajaran seperti biasa. Namun setelah istirahat wajahnya berubah murung dan
terlihat kekecewaan sedang bersarang di dalam dirinya. Ternyata, hasil seleksi
mengumumkan bahwa ia tidak lolos seleksi. Hal itu sebenarnya tidak terlalu membuat Wayan
bersedih, namun ada hal yang membuat Wayan kecewa. Dino yang tidak ikut seleksi tiba-tiba
terpilih dan mewakili sekolah untuk lomba sepak bola tingkat kabupaten. Wayanpun juga
bertanya-tanya bagaimana bisa anak yang tidak ikut seleksi bisa lolos dengan semudah itu?
Jelas-jelas ia berangkat seleksi dengan Damar dan Pak Hendra. Perasaan tidak terima datang
dan membuat Wayan sangat kecewa. Wayan tidak bisa berbuat apa-apa karena dia hanyalah
anak yatim yang bisa hidup dari berjualan mie di perempatan desa. Sedangkan Dino adalah
anak dari kepala sekolah. Pantas saja jika Dino begitu mudah diloloskan meskipun ia tidak
ikut seleksi.
Bel pulang sekolah telah dibunyikan, Wayan segera mengambil tasnya dan berangkat menuju
pasar untuk membeli kebutuhan jualan ibunya. Sesampainya di warung Pak Komang, Wayan
menyerahkan catatan dan tasnya. Pak Komang sedikit heran, tidak biasanya Wayan bersikap
seperti itu. Namun Pak Komang sangat mengenal Wayan.
“sudah Le. Apapun yang belum kamu dapat hari ini pasti kamu akan mendapatkannya nanti
dengan ganti yang jauh lebih baik” kata Pak Komang menasehati Wayan
“Bapak tau apa?” tanya Wayan dengan wajah yang masih menunjukkan kekecewaan
“dari wajahmu Bapak tau pasti kamu telah kehilangan sesuatu, kalau tidak kamu belum
mendapatkan apa yang kamu mau” tutur Pak Komang
“Hm bener sih Pak. Sudahlah pak mana tasnya. Sudah ditunggu ibu nih” sahut Wayan sambil
meminta tasnya
Keesokan harinya Wayan berangkat sekolah masih dengan raut wajah yang sama. Masih
banyak kekecewaan yang ia pendam. Sampai di kelas ia tidak berkonsentrasi dengan materi
yang diberikan oleh gurunya. Sampai bel istirahat berbunyi, Wayan masih saja melamun di
kursinya sambil mencoret-coret bukunya. Tiba-tiba Pak Hendra datang dan duduk di depan
Wayan.
“apa kabar le?” sapa Pak Hendra dengan tersenyum
“ada apa Pak?” tanya Wayan dengan wajah kebingungan
“lo kok gak dijawab? Wes maem kamu?” tanya Pak Hendra lagi
“Hm baik pak.” Jawab Wayan dengan wajah lesu
“nanti ikut Bapak yuk?” ajak Pak Hendra seperti ingin menghibur Wayan
“kemana pak?” tanya Wayan penasaran
“udah kamu ikut aja” jawab Pak Hendra
Sepulang sekolah Wayan menunggu Pak Hendra di gerbang sekolah. Pak Hendra
menghampiri Wayan. Merekapun berangkat menuju kantor pos. Wayanpun tidak berfikir
apa-apa tentang Pak Hendra yang tiba-tiba mengajaknya menuju kantor pos. Namun setelah
Pak Wayan membuka amplop coklat yang baru saja diambil, Wayan mengerutkan dahinya.
“lah kok dibuka di sini Pak?” tanya Wayan dengan penuh rasa penasaran
“ini bukan buat Bapak kok” jawab Pak Wayan sambil mengambil kertas putih di dalam
amplop
“lah kalo bukan Bapak kok Bapak yang ngambil dan buka suratnya?” tanya Wayan masih
dipenuhi rasa curiga
“ini buat kamu, Yan” kata Pak Hendra memberikan kertas putih itu kepada Wayan
Wayanpun mengambil surat putih itu dan membacanya secara perlahan. Ternyata itu adalah
surat beasiswa dari kementerian pendidikan dan olahraga. Betapa terkejutnya Wayan bahwa
ternyata ia mendapatkan beasiswa sepak bola dari kementerian. Tetapi dia masih belum
percaya.
“Pak ini pasti bohong kan ya untuk menghibur saya karena kemaren gak lolos seleksi” kata
Wayan
“loh ini bukan hanya untuk menghibur kamu tapi juga buat masa depanm dan yang paling
penting ini bukan bohong. Coba liat stempel dan tanda tangannya” kata Pak Hendra sambil
menunjukkan tanda tangan beserta stempel yang tertera di surat itu
“beneran, Pak?” tanya Wayan masih meyakinkan dirinya
Pak Hendrapun mengangguk
“apa kata Pak Komang bener kan? Apa yang kamu belum dapat hari ini, pasti kamu akan
mendapatkannya nanti” ujar Pak Hendra
“loh Bapak kok tau Pak Komang” tanya Wayan
“lah iya dong. Lha Pak Komang dulu kan yang mengadzani Bapak pas baru lahir” jawab Pak
Hendra
Ternyata Pak Hendra adalah anak Pak Komang, pemilik warung langganan Wayan dan
ibunya. Wayanpun semakin percaya bahwa meskipun dirinya miskin tapi dia dikelilingi oleh
orang-orang baik. Karena itu dia selalu merasa percaya diri dan merasa tidak pernah kurang
dengan keadaannya. Hari semakin sore, Pak Hendra mengajak Wayan untuk pulang. Pak
Hendra mengantar Wayan. Di teras sudah ada ibu Wayan yang sedang membersihkan
gerobak mie ayam.
“Ibu aku dapat beasiswa” teriak Wayan di atas sepeda motor
Ibu Wayan membalikkan badan dan clingukan mencari sumber suara tersebut. Setelah
menyadari bahwa ternyata anaknya yang berteriak dengan membawa amplop di tangannya,
iapun tersenyum.
“lho Pak Hendra” sapa ibu Wayan
“hehe enggeh Bu” jawab pak Hendra sambil tersenyum
“Bu, aku dapat beasiswa” teriak Wayan sambil mengangkat amplop yang ada di tangannya
“Alhamdulillah. Selamat ya Le” ucap ibu Wayan sambil menahan air matanya
Wayan dan ibunya berpelukan. Ibu Wayan mempersilahkan Pak Hendra untuk masuk rumah.
Pak Hendra memberitahu ibu Wayan bahwa lusa Wayan harus pergi ke Jakarta untuk
karantina. Wayanpun mengucapkan terima kasih pada Pak Hendra karena begitu baik
padanya. Ibu Wayan mengambilkan minum untuk Pak Hendra. Namun sebenarnya masih ada
satu pertanyaan dalam benak Wayan.
“Pak, bagaimana bisa kok tiba-tiba saya dapat beasiswa?” tanya Wayan masih penasaran
“ya karena kamu punya bakat dan semangat” jawab Pak Hendra
“tapi kan Dino yang lolos kemarin” kata Wayan
“memangnya Dino ikut seleksi? Dia lolos bukan karena bakat tapi karena ayahnya adalah
pejabat. Pencapaian yang diraih Dino pasti hanya sementara, setelah perlombaan tingkat
kabupaten selesai dia tidak akan menjadi siapa-siapa, karena dia mendapatkannya dengan
tidak jujur. tapi yang kamu peroleh ini bisa mengalahkan Dino” tutur Pak Wayan
“tapi kenapa kok tiba-tiba saya lolos seleksi Pak?” Wayan masih bertanya-tanya
“ada salah satu juri yang merekam kamu kemarin.” Jawab Pak Hendra
Wayanpun berhenti memberikan pertanyaan pada Pak Hendra. Karena dari jawaban Pak
Hendra, ia sudah bisa menyimpulkan kenapa ia tiba-tiba mendapatkan beasiswa dari
kementerian pendidikan dan olahraga. Setelah berbincang cukup lama Pak Hendra pamit
untuk pulang. Namun sebelum itu ia mengingatkan Wayan untuk menyiapkan segala
keperluan yang akan dibawa untuk karantina. Dengan penuh semangat Wayan menjawab
“Ashiap, Pak!”
GURU
Cerpen Putu Wijaya

Anak saya bercita-cita menjadi guru. Tentu saja saya dan istri saya jadi shok. Kami berdua tahu,
macam apa masa depan seorang guru. Karena itu, sebelum terlalu jauh, kami cepat-cepat ngajak dia
ngomong.

"Kami dengar selentingan, kamu mau jadi guru, Taksu? Betul?!"


Taksu mengangguk.
"Betul Pak."
Kami kaget.
"Gila, masak kamu mau jadi g-u-r-u?"
"Ya."

Saya dan istri saya pandang-pandangan. Itu malapetaka. Kami sama sekali tidak percaya apa yang
kami dengar. Apalagi ketika kami tatap tajam-tajam, mata Taksu nampak tenang tak bersalah. Ia pasti
sama sekali tidak menyadari apa yang barusan diucapkannya. Jelas ia tidak mengetahui
permasalahannya.

Kami bertambah khawatir, karena Taksu tidak takut bahwa kami tidak setuju. Istri saya menarik nafas
dalam-dalam karena kecewa, lalu begitu saja pergi. Saya mulai bicara blak-blakan.

"Taksu, dengar baik-baik. Bapak hanya bicara satu kali saja. Setelah itu terserah kamu! Menjadi guru
itu bukan cita-cita. Itu spanduk di jalan kumuh di desa. Kita hidup di kota. Dan ini era milenium
ketiga yang diwarnai oleh globalisasi, alias persaingan bebas. Di masa sekarang ini tidak ada orang
yang mau jadi guru. Semua guru itu dilnya jadi guru karena terpaksa, karena mereka gagal meraih
yang lain. Mereka jadi guru asal tidak nganggur saja. Ngerti? Setiap kali kalau ada kesempatan,
mereka akan loncat ngambil yang lebih menguntungkan. Ngapain jadi guru, mau mati berdiri? Kamu
kan bukan orang yang gagal, kenapa kamu jadi putus asa begitu?!"

"Tapi saya mau jadi guru."

"Kenapa? Apa nggak ada pekerjaan lain? Kamu tahu, hidup guru itu seperti apa? Guru itu hanya
sepeda tua. Ditawar-tawarkan sebagai besi rongsokan pun tidak ada yang mau beli. Hidupnya kejepit.
Tugas seabrek-abrek, tetapi duit nol besar. Lihat mana ada guru yang naik Jaguar. Rumahnya saja
rata-rata kontrakan dalam gang kumuh. Di desa juga guru hidupnya bukan dari mengajar tapi dari
tani. Karena profesi guru itu gersang, boro-boro sebagai cita-cita, buat ongkos jalan saja kurang. Cita-
cita itu harus tinggi, Taksu. Masak jadi guru? Itu cita-cita sepele banget, itu namanya menghina orang
tua. Masak kamu tidak tahu? Mana ada guru yang punya rumah bertingkat. Tidak ada guru yang
punya deposito dollar. Guru itu tidak punya masa depan. Dunianya suram. Kita tidur, dia masih saja
utak-atik menyiapkan bahan pelajaran atau memeriksa PR. Kenapa kamu bodoh sekali mau masuk
neraka, padahal kamu masih muda, otak kamu encer, dan biaya untuk sekolah sudah kami siapkan.
Coba pikir lagi dengan tenang dengan otak dingin!"

"Sudah saya pikir masak-masak."


Saya terkejut.
"Pikirkan sekali lagi! Bapak kasi waktu satu bulan!"
Taksu menggeleng.
"Dikasih waktu satu tahun pun hasilnya sama, Pak. Saya ingin jadi guru."
"Tidak! Kamu pikir saja dulu satu bulan lagi!"

Kami tinggalkan Taksu dengan hati panas. Istri saya ngomel sepanjang perjalanan. Yang dijadikan
bulan-bulanan, saya. Menurut dia, sayalah yang sudah salah didik, sehingga Taksu jadi cupet
pikirannya.

"Kau yang terlalu memanjakan dia, makanya dia seenak perutnya saja sekarang. Masak mau jadi
guru. Itu kan bunuh diri!"
Saya diam saja. Istri saya memang aneh. Apa saja yang tidak disukainya, semua dianggapnya hasil
perbuatan saya. Nasib suami memang rata-rata begitu. Di luar bisa galak melebihi macan, berhadapan
dengan istri, hancur.

Bukan hanya satu bulan, tetapi dua bulan kemudian, kami berdua datang lagi mengunjungi Taksu di
tempat kosnya. Sekali ini kami tidak muncul dengan tangan kosong. Istri saya membawa krupuk kulit
ikan kegemaran Taksu. Saya sendiri membawa sebuah lap top baru yang paling canggih, sebagai
kejutan.

Taksu senang sekali. Tapi kami sendiri kembali sangat terpukul. Ketika kami tanyakan bagaimana
hasil perenungannya selama dua bulan, Taksu memberi jawaban yang sama.

"Saya sudah bilang saya ingin jadi guru, kok ditanya lagi, Pak," katanya sama sekali tanpa rasa
berdosa.

Sekarang saya naik darah. Istri saya jangan dikata lagi. Langsung kencang mukanya. Ia tak bisa lagi
mengekang marahnya. Taksu disemprotnya habis.

"Taksu! Kamu mau jadi guru pasti karena kamu terpengaruh oleh puji-pujian orang-orang pada guru
itu ya?!" damprat istri saya. "Mentang-mentang mereka bilang, guru pahlawan, guru itu berbakti
kepada nusa dan bangsa. Ahh! Itu bohong semua! Itu bahasa pemerintah! Apa kamu pikir betul guru
itu yang sudah menyebabkan orang jadi pinter? Apa kamu tidak baca di koran, banyak guru-guru
yang brengsek dan bejat sekarang? Ah?"

Taksu tidak menjawab.

"Negara sengaja memuji-muji guru setinggi langit tetapi lihat sendiri, negara tidak pernah memberi
gaji yang setimpal, karena mereka yakin, banyak orang seperti kamu, sudah puas karena dipuji.
Mereka tahu kelemahan orang-orang seperti kamu, Taksu. Dipuji sedikit saja sudah mau banting
tulang, kerja rodi tidak peduli tidak dibayar. Kamu tertipu Taksu! Puji-pujian itu dibuat supaya orang-
orang yang lemah hati seperti kamu, masih tetap mau jadi guru. Padahal anak-anak pejabat itu sendiri
berlomba-lomba dikirim keluar negeri biar sekolah setinggi langit, supaya nanti bisa mewarisi jabatan
bapaknya! Masak begitu saja kamu tidak nyahok?"

Taksu tetap tidak menjawab.

"Kamu kan bukan jenis orang yang suka dipuji kan? Kamu sendiri bilang apa gunanya puji-pujian,
yang penting adalah sesuatu yang konkret. Yang konkret itu adalah duit, Taksu. Jangan kamu takut
dituduh materialistis. Siapa bilang meterialistik itu jelek. Itu kan kata mereka yang tidak punya duit.
Karena tidak mampu cari duit mereka lalu memaki-maki duit. Mana mungkin kamu bisa hidup tanpa
duit? Yang bener saja. Kita hidup perlu materi. Guru itu pekerjaan yang anti pada materi, buat apa
kamu menghabiskan hidup kamu untuk sesuatu yang tidak berguna? Paham?"

Taksu mengangguk.

"Paham. Tapi apa salahnya jadi guru?"

Istri saya melotot tak percaya apa yang didengarnya. Akhirnya dia menyembur.

"Lap top-nya bawa pulang saja dulu, Pak. Biar Taksu mikir lagi! Kasih dia waktu tiga bulan, supaya
bisa lebih mendalam dalam memutuskan sesuatu. Ingat, ini soal hidup matimu sendiri, Taksu!"

Sebenarnya saya mau ikut bicara, tapi istri saya menarik saya pergi. Saya tidak mungkin membantah.
Di jalan istri saya berbisik.

"Sudah waktunya membuat shock therapy pada Taksu, sebelum ia kejeblos terlalu dalam. Ia memang
memerlukan perhatian. Karena itu dia berusaha melakukan sesuatu yang menyebabkan kita terpaksa
memperhatikannya. Dasar anak zaman sekarang, akal bulus! Yang dia kepingin bukan lap top tapi
mobil! Bapak harus kerja keras beliin dia mobil, supaya mau mengikuti apa nasehat kita!"

Saya tidak setuju, saya punya pendapat lain. Tapi apa artinya bantahan seorang suami. Kalau adik istri
saya atau kakaknya, atau bapak-ibunya yang membantah, mungkin akan diturutinya. Tapi kalau dari
saya, jangan harap. Apa saja yang saya usulkan mesti dicurigainya ada pamrih kepentingan keluarga
saya. Istri memang selalu mengukur suami, dari perasaannya sendiri.

Tiga bulan kami tidak mengunjungi Taksu. Tapi Taksu juga tidak menghubungi kami. Saya jadi
cemas. Ternyata anak memang tidak merindukan orang tua, orang tua yang selalu minta diperhatikan
anak.

Akhirnya, tanpa diketahui oleh istri saya, saya datang lagi. Sekali ini saya datang dengan kunci mobil.
Saya tarik deposito saya di bank dan mengambil kredit sebuah mobil. Mungkin Taksu ingin punya
mobil mewah, tapi saya hanya kuat beli murah. Tapi sejelek-jeleknya kan mobil, dengan bonus janji,
kalau memang dia mau mengubah cita-citanya, jangankan mobil mewah, segalanya akan saya
serahkan, nanti.

"Bagaimana Taksu," kata saya sambil menunjukkan kunci mobil itu. "Ini hadiah untuk kamu. Tetapi
kamu juga harus memberi hadiah buat Bapak."

Taksu melihat kunci itu dengan dingin.


"Hadiah apa, Pak?"
Saya tersenyum.
"Tiga bulan Bapak rasa sudah cukup lama buat kamu untuk memutuskan. Jadi, singkat kata saja, mau
jadi apa kamu sebenarnya?"
Taksu memandang saya.
"Jadi guru. Kan sudah saya bilang berkali-kali?"
Kunci mobil yang sudah ada di tangannya saya rebut kembali.

"Mobil ini tidak pantas dipakai seorang guru. Kunci ini boleh kamu ambil sekarang juga, kalau kamu
berjanji bahwa kamu tidak akan mau jadi guru, sebab itu memalukan orang tua kamu. Kamu ini
investasi untuk masa depan kami, Taksu, mengerti? Kamu kami sekolahkan supaya kamu meraih
gelar, punya jabatan, dihormati orang, supaya kami juga ikut terhormat. Supaya kamu berguna kepada
bangsa dan punya duit untuk merawat kami orang tuamu kalau kami sudah jompo nanti. Bercita-
citalah yang bener. Mbok mau jadi presiden begitu! Masak guru! Gila! Kalau kamu jadi guru, paling
banter setelah menikah kamu akan kembali menempel di rumah orang tuamu dan menyusu sehingga
semua warisan habis ludes. Itu namanya kerdil pikiran. Tidak! Aku tidak mau anakku terpuruk seperti
itu!"

Lalu saya letakkan kembali kunci itu di depan hidungnya. Taksu berpikir. Kemudian saya bersorak
gegap gembira di dalam hati, karena ia memungut kunci itu lagi.

"Terima kasih, Pak. Bapak sudah memperhatikan saya. Dengan sesungguh-sungguhnya, saya hormat
atas perhatian Bapak."

Sembari berkata itu, Taksu menarik tangan saya, lalu di atas telapak tangan saya ditaruhnya kembali
kunci mobil itu.

"Saya ingin jadi guru. Maaf."

Kalau tidak menahan diri, pasti waktu itu juga Taksu saya tampar. Kebandelannya itu amat
menjengkelkan. Pesawat penerimanya sudah rusak. Untunglah iman saya cukup baik. Saya tekan
perasaan saya. Kunci kontak itu saya genggam dan masukkan ke kantung celana.

"Baik. Kalau memang begitu, uang sekolah dan uang makan kamu mulai bulan depan kami stop.
Kamu hidup saja sendirian. Supaya kamu bisa merasakan sendiri langsung bagaimana penderitaan
hidup ini. Tidak semudah yang kamu baca dalam teori dan slogan. Mudah-mudahan penderitaan itu
akan membimbing kamu ke jalan yang benar. Tiga bulan lagi Bapak akan datang. Waktu itu
pikiranmu sudah pasti akan berubah! Bangkit memang baru terjadi sesudah sempat hancur! Tapi tak
apa."

Tanpa banyak basa-basi lagi, saya pergi. Saya benar-benar naik pitam. Saya kira Taksu pasti sudah
dicocok hidungnya oleh seseorang. Tidak ada orang yang bisa melakukan itu, kecuali Mina, pacarnya.
Anak guru itulah yang saya anggap sudah kurang ajar menjerumuskan anak saya supaya terkiblat
pikirannya untuk menjadi guru. Sialan!

Tepat tiga bulan kemudian saya datang lagi. Sekali ini saya membawa kunci mobil mewah. Tapi
terlebih dulu saya mengajukan pertanyaan yang sama.

"Coba jawab untuk yang terakhir kalinya, mau jadi apa kamu sebenarnya?"

"Mau jadi guru."

Saya tak mampu melanjutkan. Tinju saya melayang ke atas meja. Gelas di atas meja meloncat. Kopi
yang ada di dalamnya muncrat ke muka saya.

"Tetapi kenapa? Kenapa? Apa informasi kami tidak cukup buat membuka mata dan pikiran kamu
yang sudah dicekoki oleh perempuan anak guru kere itu? Kenapa kamu mau jadi guru, Taksu?!!!"

"Karena saya ingin jadi guru."


"Tidak! Kamu tidak boleh jadi guru!"
"Saya mau jadi guru."
"Aku bunuh kau, kalau kau masih saja tetap mau jadi guru."
Taksu menatap saya.
"Apa?"
"Kalau kamu tetap saja mau jadi guru, aku bunuh kau sekarang juga!!" teriak saya kalap.
Taksu balas memandang saya tajam.
"Baak tidak akan bisa membunuh saya."

"Tidak? Kenapa tidak?"

"Sebab guru tidak bisa dibunuh. Jasadnya mungkin saja bisa busuk lalu lenyap. Tapi apa yang
diajarkannya tetap tertinggal abadi. Bahkan bertumbuh, berkembang dan memberi inspirasi kepada
generasi di masa yanag akan datang. Guru tidak bisa mati, Pak."

Saya tercengang.

"O… jadi narkoba itu yang sudah menyebabkan kamu mau jadi guru?"

"Ya! Itu sebabnya saya ingin jadi guru, sebab saya tidak mau mati."

Saya bengong. Saya belum pernah dijawab tegas oleh anak saya. Saya jadi gugup.

"Bangsat!" kata saya kelepasan. "Siapa yang sudah mengotori pikiran kamu dengan semboyan
keblinger itu? Siapa yang sudah mengindoktrinasi kamu, Taksu?"

Taksu memandang kepada saya tajam.

"Siapa Taksu?!"
Taksu menunjuk.
"Bapak sendiri, kan?"
Saya terkejut.

"Itu kan 28 tahun yang lalu! Sekarang sudah lain Taksu! Kamu jangan ngacau! Kamu tidak bisa hidup
dengan nasehat yang Bapak berikan 30 tahun yang lalu! Waktu itu kamu malas. Kamu tidak mau
sekolah, kamu hanya mau main-main, kamu bahkan bandel dan kurang ajar pada guru-guru kamu
yang datang ke sekolah naik ojek. Kamu tidak sadar meskipun sepatunya butut dan mukanya layu
kurang gizi, tapi itulah orang-orang yang akan menyelamatkan hidup kamu. Itulah gudang ilmu yang
harus kamu tempel sampai kamu siap. Sebelum kamu siap, kamu harus menghormati mereka, sebab
dengan menghormati mereka, baru ilmu itu bisa melekat. Tanpa ada ilmu kamu tidak akan bisa
bersaing di zaman global ini. Tahu?"

Satu jam saya memberi Taksu kuliah. Saya tel****ngi semua persepsinya tentang hidup. Dengan
tidak malu-malu lagi, saya seret nama pacarnya si Mina yang mentang-mentang cantik itu, mau
menyeret anak saya ke masa depan yang gelap.

"Tidak betul cinta itu buta!" bentak saya kalap. "Kalau cinta bener buta apa gunanya ada bikini,"
lanjut saya mengutip iklan yang saya sering papas di jalan. "Kalau kamu menjadi buta, itu namanya
bukan cinta tetapi racun. Kamu sudah terkecoh, Taksu. Meskipun keluarga pacarmu itu guru, tidak
berarti kamu harus mengidolakan guru sebagai profesi kamu. Buat apa? Justru kamu harus
menyelamatkan keluarga guru itu dengan tidak perlu menjadi guru, sebab mereka tidak perlu hidup
hancur berantakan gara-gara bangga menjadi guru. Apa artinya kebanggaan kalau hidup di dalam
kenyataan lebih menghargai dasi, mobil, duit, dan pangkat? Punya duit, pangkat dan harta benda itu
bukan dosa, mengapa harus dilihat sebagai dosa. Sebab itu semuanya hanya alat untuk bisa hidup
lebih beradab. Kita bukan menyembahnya, tidak pernah ada ajaran yang menyuruh kamu menyembah
materi. Kita hanya memanfaatkan materi itu untuk menambah hidup kita lebih manusiawi. Apa
manusia tidak boleh berbahagia? Apa kalau menderita sebagai guru, baru manusia itu menjadi
beradab? Itu salah kaprah! Ganti kepala kamu Taksu, sekarang juga! Ini!"

Saya gebrakkan kunci mobil BMW itu di depan matanya dengan sangat marah.
"Ini satu milyar tahu?!"
Sebelum dia sempat menjawab atau mengambil, kunci itu saya ambil kembali sambil siap-siap hendak
pergi.

"Pulang sekarang dan minta maaf kepada ibu kamu, sebab kamu baru saja menghina kami!
Tinggalkan perempuan itu. Nanti kalau kamu sudah sukses kamu akan dapat 7 kali perempuan yang
lebih cantik dari si Mina dengan sangat gampang! Tidak perlu sampai menukar nalar kamu!"

Tanpa menunggu jawaban, lalu saya pulang. Saya ceritakan pada istri saya apa yang sudah saya
lakukan. Saya kira saya akan dapat pujian. Tetapi ternyata istri saya bengong. Ia tak percaya dengan
apa yang saya ceritakan. Dan ketika kesadarannya turun kembali, matanya melotot dan saya dibentak
habis-habisan.

"Bapak terlalu! Jangan perlakukan anakmu seperti itu!" teriak istri saya kalap.

Saya bingung.

"Ayo kembali! Serahkan kunci mobil itu pada Taksu! Kalau memang mau ngasih anak mobil, kasih
saja jangan pakai syarat segala, itu namanya dagang! Masak sama anak dagang. Dasar mata duitan!"

Saya tambah bingung.


"Ayo cepet, nanti anak kamu kabur!"

Saya masih ingin membantah. Tapi mendengar kata kabur, hati saya rontok. Taksu itu anak satu-
satunya. Sebelas tahun kami menunggunya dengan cemas. Kami berobat ke sana-kemari, sampai
berkali-kali melakukan enseminasi buatan dan akhirnya sempat dua kali mengikuti program bayi
tabung. Semuanya gagal. Waktu kami pasrah tetapi tidak menyerah, akhirnya istri saya mengandung
dan lahirlah Taksu. Anak yang sangat mahal, bagaimana mungkin saya akan biarkan dia kabur?

"Ayo cepat!" teriak sitri saya kalap.

Dengan panik saya kembali menjumpai Taksu. Tetapi sudah terlambat. Anak itu seperti sudah tahu
saja, bahwa ibunya akan menyuruh saya kembali. Rumah kost itu sudah kosong. Dia pergi membawa
semua barang-barangnya, yang tinggal hanya secarik kertas kecil dan pesan kecil:
"Maaf, tolong relakan saya menjadi seorang guru."

Tangan saya gemetar memegang kertas yang disobek dari buku hariannya itu. Kertas yang nilainya
mungkin hanya seperak itu, jauh lebih berarti dari kunci BMW yang harganya semilyar dan sudah
mengosongkan deposito saya. Saya duduk di dalam kamar itu, mencium bau Taksu yang masih
ketinggalan. Pikiran saya kacau. Apakah sudah takdir dari anak dan orang tua itu bentrok? Mau tak
mau saya kembali memaki-maki Mina yang sudah menyesatkan pikiran Taksu. Kembali saya
memaki-maki guru yang sudah dikultusindividukan sebagai pekerjaan yang mulia, padahal dalam
kenyataannya banyak sekali guru yang brengsek.

Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Saya seperti dipagut aliran listrik. Tetapi ketika menoleh, itu bukan
Taksu tetapi istri saya yang menyusul karena merasa cemas. Waktu ia mengetahui apa yang terjadi,
dia langsung marah dan kemudian menangis. Akhirnya saya lagi yang menjadi sasaran. Untuk
pertama kalinya saya berontak. Kalau tidak, istri saya akan seterusnya menjadikan saya bal-balan.
Saya jawab semua tuduhan istri saya. Dia tercengang sebab untuk pertama kalinya saya membantah.
Akhirnya di bekas kamar anak kami itu, kami bertengkar keras. Tetapi itu sepuluh tahun yang lalu.
Sekarang saya sudah tua. Waktu telah memproses segalanya begitu rupa, sehingga semuanya di luar
dugaan. Sekarang Taksu sudah menggantikan hidup saya memikul beban keluarga. Ia menjadi salah
seorang pengusaha besar yang mengimpor barang-barang mewah dan mengekspor barang-barang
kerajinan serta ikan segar ke berbagai wilayah mancanegara.

"Ia seorang guru bagi sekitar 10.000 orang pegawainya. Guru juga bagi anak-anak muda lain yang
menjadi adik generasinya. Bahkan guru bagi bangsa dan negara, karena jasa-jasanya menularkan etos
kerja," ucap promotor ketika Taksu mendapat gelar doktor honoris causa dari sebuah pergurauan
tinggi bergengsi.

Anda mungkin juga menyukai