Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hiperplasia endometrium merupakan prekursor terjadinya kanker
endometrium yang terkait dengan stimulasi estrogen yang tidak terlawan
(unopposed estrogen) pada endometrium uterus. Stimulasi estrogen yang tidak
terlawan dari siklus anovulatory dan penggunaan dari bahan eksogen pada wanita
postmenopause menunjukkan peningkatan kasus hiperplasia endometrium dan
karsinoma endometrium. Kelainan ini biasanya muncul dengan perdarahan uterus
abnormal. Resiko terjadinya progresifitas sangat terkait dengan ada atau tidak
adanya sel atipik.
The American Cancer Society (ACS) memperkirakan ada 40.100 kasus
baru dari kanker rahim yang didiagnosis pada tahun 2003, dimana 95 % berasal
dari endometrium. Sistem klasifikasi dari hiperplasia endometrium sudah dibuat
berdasarkan kompleksitas dari kalenjar endometrium dan sel-sel atipik pada
pemeriksaan sitologi. Hiperplasia atipikal sangat terkait dengan progresifitas
menjadi karsinoma endometrium. Progresifitas dari hiperplasia endometrium,
menjadi kondisi patologis yang lebih agresif sangat terkait dengan diagnosis awal
pada endometrium.
Hiperplasia sederhana (simple hyperplasia) lebih sering mengalami regresi
jika sumber estrogen eksogen dihilangkan. Bagaimanapun, hiperplasia atipikal
seringkali berkembang menjadi adenokarsinoma kecuali diintervensi dengan
terapi medis. Terapi dengan penggantian hormon sedang dalam penelitian untuk
menentukan dosis dan tipe dari progestin untuk melawan efek stimulasi
berlebihan estrogen pada endometrium. Hiperplasia endometrium biasanya
didiagnosis dengan biopsy endometrium atau kuretase endometrium setelah
seorang wanita menemui dokter kandungan dengan perdarahan uterus abnormal.
Modalitas terapi tergantung dengan usia pasien, keinginan untuk memiliki anak,
dan keberadaan dari sel atipik pada bahan endometrium. Progestin telah sukses
digunakan pada wanita dengan hiperplasia endometrium yang memilih untuk tidak
dilakukan pembedahan.

12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Siklus Haid Normal


Haid merupakan perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai
diskuamasi (pelepasan) dari endometrium. Panjang siklus haid ialah jarak tanggal
mulainya haid yang lalu dan mulai haid berikutnya. Hari mulainya perdarahan
dinamakan hari pertama siklus. Panjang siklus mengandung kesalahan ± 1 hari
dikarenakan tidak diketahuinya jam awal terjadinya haid. Siklus haid yang normal
adalah 28 hari, namun durasi ini memiliki variasi yang sangat luas antara satu
wanita dengan wanita yang lain. Faktor utama yang mempengaruhi panjangnya
siklus ini adalah faktor usia. Semakin tua, maka durasi siklusnya semakin lama.
Dari pengamatan Hartman, panjang siklus yang biasa pada manusia adalah 25-32
hari dan kira-kira 97 % wanita yang berovulasi siklus haidnya berkisar antara 18-
42 hari. jika siklusnya kurang dari 18 hari atau lebih dari 42 hari biasanya
siklusnya tidak berovulasi (anovulatoar).
Lama haid juga bervariasi pada setiap wanita. Biasanya 3-5 hari, namun
ada yang 1-2 hari, namun ada juga yang sampai 7-8 hari. pada setiap wanita
biasanya lama haid itu tetap. Jumlah darah yang keluar rata-rata 33,2 ± 16 cc.
pada wanita yang lebih tua atau kekurangan zat besi, darah haid yang keluar
biasanya lebih banyak. Bila jumlah darah lebih dari 80 cc dianggap patologis.
Darah haid ini tidak membeku yang disebabkan oleh faktor fibrinolisin.
Usia pertama kali wanita mendapatkan haid berkisar antara 10-16 tahun
dengan rata-rata 12,5 tahun. Perbedaan ini disebabkan oleh faktor genetik,
keadaan gizi dan kesehatan umum. sebagian kecil wanita mengalami gejala seperti
merasa berat di panggul atau nyeri (dismenorea) saat haid.

A. Aspek Endokrin Dalam Siklus Haid


Proses haid pada wanita sangat terkait dengan proses ovulasi yang baru
bisa terjadi bila ada regulasi hormon yang melibatkan hypothalamic-
pituitary/hipofisis-ovarian axis serta beberapa kalenjar hormon yang lain.
Regulasi hormon ini bermula dari hipotalamus yang mensekresi GnRF

13
(Gonadotropin Releasing Hormone). Adanya hormon ini kemudian
direspon oleh hipofisis dengan mensekresikan LH (Luteinzing
Hormone) dan FSH (Follicle Stimulating Hormone). Pengeluaran LH
dan FSH ini kemudian mempengaruhi ovarium untuk memproduksi
hormon steroid (estrogen) yang memiliki mekanisme umpan balik
terhadap kedua hormon hipofisis itu dengan regulasi pada hipotalamus.
Terhadap FSH, estrogen memberikan umpan balik negatif, tetapi
terhadap LH estrogen memberikan umpan balik positif jika kadarnya
banyak dan umpan balik negatif jika kadarnya sedikit.

Gambar 3.1. Mekanisme Regulasi Hormonal Dalam Proses Haid

14
Siklus haid normal dapat dipahami dengan membaginya kedalam tiga
bagian yakni :
Fase Folikuler. Di awali dengan regresi corpus luteum yang menyebabkan
kadar estrogen menurun membuat umpan balik positif terhadap FSH
(↓Estrogen ↑GnRH ↑FSH). Akibat kadar FSH yang meningkat, folikel mulai
berkembang dan kemudian mulai memproduksi estrogen lagi. Folikel yang
berkembang ini kemudian melindungi diri dan folikel yang lain mengalami
atresia. Pada saat ini LH juga mulai meningkat, namun perannya hanya
membantu folikel memproduksi estrogen. Semakin berkembang, folikel
semakin sensitif terhadap FSH sehingga dalam kondisi FSH yang tersupresi
oleh estrogen, folikel dapat berkembang dengan cepat. Kematangan folikel
ditandai dengan tercapainya kadar puncak dari estrogen disertai dengan umpan
balik positif terhadap LH sehingga terjadi lonjakan LH (LH-Surge) pada
pertengahan siklus yang menyebabkan terjadinya ovulasi.
Saat Ovulasi. Lonjakan LH menjadi pemicu dan kematangan folikel menjadi
syarat terjadinya ovulasi. Proses ovulasi diawali dengan pecahnya folikel
akibat perubahan degeneratif kolagen pada dinding folikel sehingga menjadi
lebih tipis.
Fase Luteal. Setelah ovulasi terjadi perubahan morfologi folikel yang
menyebabkan produksi estrogen menurun yang juga membuat kadar LH
menurun secara perlahan. Sel granulosa membesar, membentuk vakuola dan
bertumpuk pigmen kuning (lutein) disertai peningkatan vaskularisasi yang
membuat folikel menjadi korpus luteum setelah mengeluarkan sel telur saat
ovulasi. Pada korpus luteum ada 2 jenis sel granulosa yakni Luteinized
granulosa cells yang memproduksi progesteron dan Luteinized theca cells
yang memproduksi estrogen. Akibatnya pada fase ini kadar estrogen dan
progesteron meningkat. Produksi kedua hormon steroid ini (progesteron dan
estrogen) membutuhkan bantuan dari LH. Setelah 10-20 hari terjadi regresi
corpus luteum yang disertai dengan penurunan kadar hormon estrogen dan
progesteron yang menandai siklus berputar kembali ke fase folikuler.

15
B. Perubahan Histologik Pada Endometrium Dalam Siklus Haid
Pada masa reproduksi dan dalam keadaan tidak hamil, epitel mukosa pada
endometrium mengalami siklus perubahan yang berkaitan dengan aktivitas
ovarium. Perubahan ini dapat dibagi menjadi 4 fase endometrium, yakni :
1) Fase Menstruasi (Deskuamasi)
Fase ini berlangsung 3-4 hari. Pada fase ini terjadi pelepasan
endometrium dari dinding uterus yakni sel-sel epitel dan stroma yang
mengalami disintergrasi dan otolisis dengan stratum basale yang masih
utuh disertai darah dari vena dan arteri yang mengalami aglutinasi dan
hemolisi serta sekret dari uterus, serviks dan kalenjar-kalenjar vulva.
2) Fase Pasca Haid (Regenerasi)
Fase ini berlangsung ± 4 hari (hari 1-4 siklus haid). Terjadi regenerasi
epitel mengganti sel epitel endometrium yang luruh. Regenerasi ini
membuat lapisan endometrium setebal ± 0,5 mm.
3) Fase Intermenstruum (Proliferasi)
Pada fase ini endometrium menebal hingga ± 3,5 mm. berlangsung
selama ± 10 hari (hari ke 5-14 siklus haid).
a) Fase proliferasi dini (early proliferation phase)
Fase ini berlangsung selama ± 3 hari (hari ke 5-7). Pada fase ini
terdapat regenerasi kelenjar dari mulut kalenjar dengan epitel
permukaan yang tipis. Bentuk kalenjar khas fase proliferasi yakni
lurus, pendek dan sempit dan mengalami mitosis.
b) Fase proliferasi madya (midproliferation phase)
Fase ini berlangsung selama ± 3 hari (hari ke 8-10). Fase ini
berupakan bentuk transisi dan dapat dikenal dari epitel permukaan
yang berbentuk torak dan tinggi. Kalenjar berlekuk-lekuk dan
bervariasi. Sejumlah stroma mengalami edema. Tampak banyak
mitosis dengan inti berbentuk telanjang (nake nucleus)
c) Fase proliferasi akhir (late proliferation phase)
Fase ini berlangsung selama ± 4 hari. Fase ini dapat dikenali dari
permukaan kalenjar yang tidak rata dengan banyak mitosis. Inti
epitel kalenjar membentuk pseudostratifikasi. Stroma semakin
tumbuh aktif dan padat.
4) Fase Pra Haid (Sekresi)
Fase ini berlangsung sejak hari setelah ovulasi yakni hari ke 14 sampai
hari ke 28. Pada fase ini ketebalan endometrium masih sama, namun
yang berbeda adalah bentuk kalenjar yang berubah menjadi berlekuk-
lekuk, panjang dan mengeluarkan getah yang semakin nyata. Dalam
endometrium telah tersimpan glikogen dan kapur yang kelak
diperlukan sebagai makanan untuk telur yang dibuahi. Memang, tujuan
perubahan ini adalah untuk mempersiapkan endometrium untuk
menerima telur yang dibuahi. Fase ini terbagi menjadi dua, yakni :
a) Fase sekresi dini
Dalam fase ini endometrium lebih tipis dari sebelumnya karena
kehilangan cairan. Pada saat ini, endometrium dapat dibedakan
menjadi beberapa lapisan yakni :
 Stratum basale, yakni lapisan endometrium bagian dalam
yang berbatasan dengan miometrium. Lapisan ini tidak
aktif, kecuali mitosis pada kalenjar.
 Stratum spongiosum, yaitu lapisan tengah berbentuk
anyaman seperti spons. Ini disebabkan oleh banyaknya
kalenjar yang melebar, berkelok-kelok dan hanya sedikit
stroma di antaranya.
 Stratum kompaktum, yaitu lapisan atas yang padat. Saluran-
saluran kalenjar sempit, lumennya berisi sekret dan
stromanya edema.
b) Fase sekresi lanjut
Endometrium pada fase ini tebalnya 5-6 mm. dalam fase ini
terdapat peningkatan dari fase sekresi dini, dengan
endometrium sangat banyak mengandung pembuluh darah
yang berkelok-kelok dan kaya akan glikogen. Fase ini sangat
ideal untuk nutrisi dan perkembangan ovum. Sitoplasma sel-sel
stroma bertambah. Sel stroma ini akan berubah menjadi sel
desidua jika terjadi pembuahan.

C. Mekanisme Haid
Hormon steroid estrogen dan progesteron mempengaruhi pertumbuhan
endometrium. Di bawah pengaruh estrogen, endometrium memasuki fase
proliferasi, sesudah ovulasi endometrium memasuki fase sekresi. Dengan
menurunnya kadar estrogen dan progesteron pada akhir siklus haid, terjadi
regresi endometrium yang kemudian diikuti oleh perdarahan yang dikenal
dengan nama haid.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya proses haid, yakni :
 Faktor Enzim

Di dalam fase proliferasi, estrogen mempengaruhi tersimpannya


enzim-enzim hidrolitik dalam endometrium serta merangsang
pembentukan glikogen dan asam-asam mukopolisakarida. Zat-zat yang
terakhir ini ikut serta dalam pembangunan endometrium, khususnya
dalam pembangunan stroma di bagian bawahnya. Pada pertengahan
fase luteal, sintesis mukopolisakarida terhenti sehingga akibatnya
pemeabilitas pembuluh darah meningkat yang sudah mulai
berkembang sejak awal fase proliferasi. Dengan demikian, lebih
banyak zat-zat makanan yang mengalir ke dalam stroma endometrium
sebagai persiapan impantasi ovum apabila terjadi pembuahan. Jika
pembuahan tidak terjadi, makan dengan menurunnya kadar
progesteron, enzim-enzim hidrolitik dilepaskan dan merusak bagian-
bagian sel yang berperan dalam sintesis protein. Karena itu, timbul
gangguan dalam metabolisme endometrium yang mengakibatkan
regresi endometrium dan perdarahan.
 Faktor Vaskular
Mulai fase proliferasi terjadi pembentukan sistem vaskularisasi dalam
lapisan fungsional endometrium. Pada pertumbuhan endometrium, ikut
tumbuh pula arteri, vena dan hubungan antar keduanya. Dengan regresi
endometrium timbul stasis dalam vena-vena dan saluran yang
menghubungkannya dengan arteri dan akhirnya terjadi nekrosis dan
perdarahan disertai dengan pembentukan hematom baik dari arteri
ataupun dari vena.
 Faktor Prostaglandin
Endometrium mengandung banyak prostaglandin E2 dan F2. Dengan
terjadinya disintegrasi endometrium, prostaglandin terlepas da n
mengakibatkan kontraksi miometrium sebagai salah satu faktor
pembatasan perdarahan pada haid.

2.2 Perdarahan Uterus Abnormal


2.2.1 Definisi
Peradarahan uterus abnormal merupakan masalah yang sering ditemui dan
penatalaksaannya juga bisa sangat kompleks. Dokter seringkali tidak dapat
mengidentifikasi penyebab dari peradarah abnormal dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Perdarahan uterus abnormal adalah perubahan pada
frekuensi menstruasi, durasi dari pengeluaran atau jumlah kehilangan darah
(Vilos, Lefebvre, Graves, & NS, 2001). Di dalamnya termasuk perdarahan
uterus disfungsional dan perdarahan akibat penyebab struktural seperti polip,
fibroid, hiperplasia endometrium dan komplikasi akibat kehamilan (Ara &
Roohi, 2011).
2.2.2 Klasifikasi (PALM-COEIN)
Terdapat sembilan kategori dari perdarahan uterus abnormal (FIGO, 2011)
yakni polip (polyp), adenomiosis (adenomyosis), leiomioma (leiomyoma),
keganasan dan hiperplasia (malignancy and hyperplasia), koagulopati
(coagulopathy), disfungsi dari ovarium (ovulatory disfunction), endometrium
(endometrial), iatrogenik (iatrogenic) dan tidak terklasifikasikan (not yet
classified). Secara umum, komponen dari grup PALM merupakan kelainan
struktural yang dapat diukur secara visual dengan teknik pencitraan dan/atau
histopatologi, sedangkan grup COEIN terkait dengan entitas (non struktural)
yang tidak bisa ditentukan dengan teknik pencitraan atau histopatologi.
Penggunaan istilah PUD (perdarahan uterus disfungsional) yang
digunakan sebagai diagnosis jika tidak ada penyebab lokal atau sistemik, tidak
termasuk dalam klasifikasi ini dan seharusnya sudah ditinggalkan sejak
klasifikasi ini dibuat. Perempuan yang cocok dengan diagnosis ini secara
umum memiliki 1 atau kombinasi dari koagulopati, gangguan ovulasi atai
gangguan endometrium primer.
1) Polip/Polyp
2) Adenomiosis/Adenomyosis
3) Leiomioma/Leiomyoma
4) Keganasan dan Hiperplasia/Malignancy and Hyperplasi
5) Koagulopati/Coagulopathy
6) Gangguan Ovulasi/Ovulatory Disfunction
7) Endometrium/Endometrial
8) Iatrogenik/Iatrogenic
9) Tidak terklasifikasikan/Not yet Classified
2.2.3 Diagnosis
Analisis yang akurat dari sampel endometrium dan lokasi dari lesi intra
uterus merupakan tujuan untuk manjemen terapi yang efektif dan hasil yang
lebih baik. Teknik diagnostik yang tersedia untuk mengevaluasi perdarahaan
uterus abnormal adalah biopsi endometrium, ultrasonografi (USG),
histeroskopi, dan dilatasi kuretase (Ara & Roohi, 2011).
Biopsi endometrium menyediakan sampel yang adekuat untuk
mendiagnosis masalah pada endometrium pada lebih dari 90% kasus, tetapi
gagal untuk mendeteksi polip dan leiomioma. Pemeriksaan USG transvaginal
sangat baik untuk memeriksa kelainan patologis intrauterin. Histeroskopi
merupakan alat yang sangat akurat untuk mendiagnosis polip, fibroma
submukosa dan hiperplasia endometrium tetapi mungkin gagal dalam
mendiagnosis endometritis. Dilatasi kuretase memberikan sampel yang lebih
luar dari ruang uterus dan memiliki sensitivitas yang lebij tinggi daripada
biopsi endometrium terutama pada lesi in situ yang lebih kecil. Pemeriksaan
ini sering dilakukan saat biopsi endometrium tidak adekuat, stenosis pada
serviks atau perdarahan uterus disfungsional yang gagal pada pengobatan (Ara
& Roohi, 2011).
Pada pemeriksaan morfologi dengan histopatologi pada 161 pasien dengan
perdarahan uterus abnormal didapatkan hasil yakni (Ara & Roohi, 2011):
Jenis Lesi Jumlah pasien Persentase Usia
Hiperplasia Endometrium 35 21,74 %
Komplikasi Kehamilan 26 16,15 %
Hiperplasia Adenomatus 24 14,91 %
Secretory Endometrium 20 12,42 %
Cystic Glandular Hiperplasia 15 9,31 %
Endometritis 10 6,21 %
Atrofi Endometrium 7 4,34 %
Polip Endometrium dan Servikal 7 4,34 %
Hiperplasia Atipikal 6 3,72 %
Fibroma Submukosa 6 3,72 %
Karsinoma Endometrium 3 1,86 %
Karsinoma Serviks 2 1,24 %
Total 161 100 %

2.2.4 Penatalaksanaan
1) Penatalaksanaan Farmakologi
Usia, keinginan untuk subur, keadaan medis sebelumnya, dan pilihan
pasien merupakan pertimbangan yang sangat penting.
 Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS)
Prostaglandin endometrium meningkat pada wanita yang mengalami
perdarahan menstruasi yang berat. Obat anti inflamasi non steroid
menghambat siklo-oksigenase dan menurunkan kadar prostaglandin di
endometrium. Pada penelitian didapatkan bahwa terjadi penurunan
kehilangan daran 20-50 % dengan penggunaan obat ini. Obat ini juga
mengobati dismenorrhea pada lebih dari 70% pasien. terapi diberikan
pada awal menstruasi dan dilanjutkan hingga 5 hari atau sampai
menstruasi berhenti.
 Agen Antifibrinolitik
Asam traneksamat, merupakan derivat sintetik dari asam amino
(lysine) yang bekerja dengan menghambat plasminogen secara
reversibel. Obat ini tidak memiliki efek pada parameter koagulasi
darah dan dismenorrhea. Sepertiga wanitaa yang menggunakan obat ini
mengalami efek samping berupa keram pada kaki dan mual. Asam
traneksamat 1 gram setiap 6 jam pada 4 hari siklus awal menurunkan
kehilangan darah hingga 40 %.
 Danazol
Merupakan steroid sintetis dengan sifat androgenik yang ringan,
menghambat steroidogenesis pada ovarium dan memiliki efek yang
besar pada jaringan endometrium, menghentikan perdarahan hingga
80%. Pada penggunaan terapi ini (100-200 mg perhari), 20% pasien
mengalami amenorrhea dan 70 % mengalami oligomenorrhea. Hampir
50 % pasien dilaporkan tidak mengalami efek samping, dan 20 %
mengalami efek samping minor. Keluhan yang sering disampaikan
adalah peningkatan berat badan pada 60 % pasien. rekomendasi
dengan terapi ini adalah 100-200 mg per hari selama 3 bulan.
 Progestin
Pada penelitian Randomized Controlled Trial menunjukkan bahwa
progestin tidak efektif dalam mengontrol perdarahan dibandingkan
dengan asam traneksamat ataupun OAINS. Progestin mungkin bisa
sangat berguna pada wanita dengan siklus yang ireguler dan pada
siklus anovulatoar yang diberikan untuk 12-14 hari setiap bulan.
Medroxyprogesteron asetat digunakan untuk kontrasepsi yang
menyebabkan amenorrhea pada 80 % pasien meskipun sekitar 50 %
pasien mengalami perdarahan ireguler.
 Pil Kombinasi
Penurunan kehilangan darah pada saat menstruasi dengan penggunaan
pil kombinasi mungkin merupakan akibat atrofi endometrium.
Penggunaan obat ini dapat menurunkan kehilangaan darah hingga
43%. Keuntungan tambahan dari penggunaan pil kombinasi adalah
dapat sekaligus menjadi alat kontrasepsi dan menurunkan angka
dismenorrhea.
 Progestin Intrauterine System
Progesterone pada IUD dilaporkan dapat menurunkan perdarahan pada
menstruasi. Yang paling baru adalah Levonorgestrel Intra Uterine
System (LNG-IUS) merupakan IUD dengan bentuk T yang
melepaskan levonorgestrel dalam jumlah yang stabil (20 µ g/24
jam). Pada penelitian yang lain didapatkan bahwan pengggunaan
LNG-IUS dengan melepaska 14 µ g/24 jam merupakan metode yang
efektif untuk mensupresi endometrium pada wanita dengan hiperplasia
atipikal ataupun non atipikal.
 GnRH Agonist
GnRH agonist menginduksi kondisi hipoestrogenik yang reversibel.
Efektif untuk menurunkan kehilangan darah menstruasi pada wanita
perimenopause, tetapi terbatas dengan efek sampingnya yakni rasa
panas dan penurunan densitas tulang.
2) Penatalaksanaan Bedah
 Dilatasi dan Kuretase (DC)
Pada penelitian yang mengukur jumlah darah menstruasi sebelum dan
setelah dilakukan DC didapatkan bahwa terjadi penurunan jumlah
perdarahan. DC memiliki peran diagnosis saat hasil biopsi
endometrium tidak meyakinkan dan gejala masih ada atau dicurigai
adanya kelainan yang mendasari.
 Penghancuran Endometrium/Endometrial Destruction
Pengancuran endometrium dapat dilakukan dengan beberapa teknik
pembedahan. Histeroskopi ablasi endometrium dengan fotokoagulasi,
rollerball, elektrokoagulasi atau loop resection dan hasil jangka
panjangnya telah di tinjau oleh Martyn. Metode ini telah ditinjau
secara klinis selama 20 tahun. Dari penelitian didaptkan hasil yang
memuaskan pada 85 % kasus, 10 % pasien dilakukan histerektomi dan
10 % pasien dilakukan ablasi ulang.
 Histerektomi
Metode ini merupakan solusi permanen untuk terapu menorrhagia dan
perdarahan uterus abnormal dan ini terkait dengan angka kepuasan
pasien dengan terapi ini. untuk wanita yang cukup memiliki anak dan
sudah mencoba terapi konservatif dengan hasil yang tidak
memuaskan, histerektomi merupakan pilihan yang terbaik.

2.3 Hiperplasia Endometrium


Hiperplasia endometrium merupakan prekursor terjadinya kanker
endometrium yang terkait dengan stimulasi estrogen yang tidak terlawan pada
endometrium uterus. Stimulasi estrogen yang tidak terlawan dari siklus
anovulatory dan penggunaan dari bahan eksogen pada wanita post-
menopause menunjukkan peningkatan kasus hiperplasia endometrium dan
karsinoma endometrium. Kelainan ini biasanya muncul dengan perdarahan
uterus abnormal. Resiko terjadinya progresifitas sangat terkait dengan ada atau
tidak adanya sel atipik. The American Cancer Society (ACS) memperkirakan
ada 40.100 kasus baru dari kanker rahim yang didiagnosis pada tahun 2003,
dimana 95 % berasal dari endometrium. Sistem klasifikasi dari hiperplasia
endometrium sudah dibuat berdasarkan kompleksitas dari kalenjar
endometrium dan sel-sel atipik pada pemeriksaan sitologi. Hiperplasia atipikal
sangat terkait dengan progresifitas menjadi karsinoma endometrium.
Progesifitas dari hiperplasia endometriu, menjadi kondisi patologis yang
lebih agresif sangat terkait dengan diagnosis awal pada endometrium.
Hiperplasia sederhana (simple hyperplasia) lebih sering mengalami regresi
jika sumber estrogen eksogen dihilangkan. Bagaimanapun, hiperplasia atipikal
seringkali berkembang menjadu adenojkarsinoma kecuali diintervensi dengan
terapi medis.
Terapi dengan penggantian hormon sedang dalam penelitian untuk
menentukan dosis dan tipe dari progestin untuk melawan efek stimulasi
berlebihan estrogen pada endometrium.
Hiperplasia endometrium biasanya didiagnosis dengan biopsi
endometrium atau kuretase endometrium setelah seorang wanita menemui
dokter kandungan dengan perdarahan uterus abnormal. Modalitas terapi
tergantung dengan usia pasien, keinginan untuk memiliki anak, dan
keberadaan dari sel atipik pada bahan endometrium. Progestin telah sukses
digunakan pada wanita dengan hiperplasia endometrium yang memilih untuk
tidak dilakukan pembedahan.

2.3.1 Definisi
Hiperplasia endometrium didefiniskan sebagai proliferasi dari kalenjar
endometrium dengan bentuk dan ukuran yang ireguler dengan peningkatan
pada rasio kalenjar/stroma. Hiperplasia endometrium lebih jauh
diklasifikasikan menjadi hiperplasia sederhana dan kompleks berdasarkan
kompleksitas dan kerumunan dari struktur kalenjar.

2.3.2 Patogenesis
Siklus menstruasi normal ditandai dengan meningkatnya ekspresi dari
onkogen bcl-2 sepanjang fase proliferasi. Bcl-2 merupakan onkogen yang
terletak pada kromosom 18 yang pertama kali dikenali pada limfoma folikuler,
tetapi telah dilaporkan juga terdapat padaa neoplasma lainnya.
Apoptosis seluler secara parsial dihambat oleh ekspresi gen bcl-2 yang
menyebabkan sel bertahan lebih lama. Ekspresi dari gen bcl-2 tampaknya
sebagian diregulasi oleh faktor hormonal dan ekspresinya menurun dengan
signifikan pada fase sekresi siklus menstruasi.
Kemunduran ekspresi dari gen bcl-2 berkorelasi dengan gambaran sel
apoptosis pada endometrium yang dilihat dengan mikroskop elektron selama
fase sekresi siklus menstruasi. Identifikasi dari gen bcl-2 pada proliferasi
normal endometrium sedang dalam penelitian tentang bagaimana perannya
dalam terjadinya hiperplasia endometrium. Ekpresi gen bcl-2 meningkat pada
hiperplasia endometrium tetapi terbatas hanya pada tipe simpleks. Secara
mengejutkan, ekspresi gen ini justru menurun pada hiperplasia atipikal dan
karsinoma endometrium.
Peran dari gen Fas/FasL juga telah diteliti akhit-akhir ini tentang kaitannya
denga pembentukan hiperplasia endometrium. Fas merupakan anggota dari
keluarga tumor necrosis factor (TNF)/Nerve Growth Factor (NGF) yang
berikatan dengan FasL (Fas Ligand) dan menginisisasi apoptosis. Ekpresi gen
Fas dan FasL meningkat pada sampel endometrium setelah terapi progesteron.
Interaksi antara ekspresi Fas dan bcl-2 dapat memberikan kontribusi
pembentukan dari hiperplasia endometrium. Ekspresi gen bcl-2 menurun saat
terdapat progesteron intrauterin sedangkan ekspresi gen Fas justru meningkat.
Studi diatas telah memberikan tambahan wawasan tentang perubahan
molekuler yang kemudian berkembang secara klinis menjadi hiperplasia
endometrium. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengklarifikasi peran
bcl 2 dan Fas/FasL pada patogenesis molekular terbentuknya hiperplasia
endometrium dan karsinoma endometrium.

2.3.3 Faktor Resiko


 Sekitar usia menopause
 Didahului dengan terlambat haid atau amenorea
 Obesitas
 Penderita Diabetes melitus
 Pengguna estrogen dalam jangka panjang tanpa disertai pemberian
progestin pada kasus menopause
 PCOS – polycystic ovarian syndrome
 Penderita tumor ovarium dari jenis granulosa theca cell tumor
2.3.4 Klasifikasi
Hiperplasia endometrium terbagi menjadi 3 jenis berdasarkan morfologi pada
pemeriksaan patologi anatomi, yakni :
 Sederhana/simple. Terdapat proliferasi jinak dari kalenjar
endometrium yang berbentuk ireguler dan juga berdilatasi, tetapi tidak
menggambarkan adanya tumpukan sel yang saling tumpang tindih atau
sel yang atipik
 Kompleks/complex. Terdapat proliferasi dari kalenjar endometrium
dengan tepi yang ireguler, arsitektur yang kompleks dan sel yang
tumpang tindih tetapi tidak terdapat sel yang atipik.
 Atipikal. Terdapat derajat yang berbeda dari nukleus yang atipik dan
kehilangan polaritassnya,
2.3.5 Manifestasi Klinis
Perdarahan uterus abnormal merupakan gejaka yang paling sering muncul
pada hiperplasia endometrium. Efek estrogen yang tidak terlawan dari
penggunaan eksogen atau siklus anovulatori menghasilkan hiperplasia
endometrium dengan perdarahan yang banyak. Pasien yang lebih muda pada
usia produktif biasanya muncul hiperplasia endometrium sekunder akibat
Polycystic Ovarian Syndrome (POCS). POCS menghasilkan stimulasi
estrogen yaang tidak terlawan secara sekunder ke siklus anovulatori. Pada
pasien yang lebih muda dapat juga terdapat peningkatan estrogen secara
sekunder dari konversi perifer dari androstenedione pada jaringan adiposa
(pasien yang obesitas) atau tumor ovarium yang mensekresikan estrogen (pada
granulosa cell tumors dan ovarian thecomas). Konversi perifer dari androgen
menjadi estrogen pada tumor yang mensekresikan androgen pada cotex
adrenalis merupakan etiologi yang jarang dari hiperplasia endometrium.
Pada pasien menopause dengan hiperplasia endometrium hampir selalu
datang dengan perdarahan pervaginam. Meskipun karsinoma harus
dipertimbangkan pada usia ini, atropi endometrium merupakan penyebab yang
sering dari perdarahan pada wanita menopause. Dalam penelitian dengan 226
wanita dengan perdarahan post menopause, 7 % ditemukan dengan karsinoma,
56 % dengan atrofi dan 15 % dengan beberapa bentuk hiperplasia. Hiperplasia
dan karsinoma secara khusus memiliki gejala perdarahan pervaginam yang
berat sedangkan pasien dengan atrofi biasanya hanya muncul bercak-bercaak
perdarahan.
Pap Smear yang spesifik menemukan peningkatan kemungkinan deteksi
kelainan pada endometrium. Resiko dari karsinoma endometrium pada wanita
post menopause dengan perdarahan uterus abnormal meningkat 3-4 lipat saat
Pap Smear menunjukkan histiosit yang mengaandung sel inflamasi akut yang
difagosit atau sel endometrium yang normal. Biarpun begitu, penemuan yang
tidak sengaja dari histiosit pada wanita postmenopause tanpa gejala tidak
memiliki kaitan dengan peningkatan resiko hiperplasia endometrium ataupun
karsinoma endometrium.
Usia memiliki efek yang signifikan untuk menindaklaanjuti kelainan pada
AGC pap smear. Pada studi retrospektif pada 281 wanita dengan AGC pap
smear, 90 wanita (32%) memiliki kelainan signifikan yang membutuhkan
intervensi. Pada pasien dengan usia < 50 tahun, hanya 7 pasien (5%) memiliki
lesi non skuamosam sedangkan 19 pasien (15%) yang berusia > 50 tahun
memiliki lesi non skuamosa. Pasien diatas 50 tahun dengan AGC pap smear
memiliki kemungkinan 13 kali lipat menderita kanker rahim dibandingkan
wanita yang berusia kurang dari 50 tahun.

Perjalanan Klinis Hiperplasia Endometrium


Pada penelitian retrospektif, Kurman menjelaskan perjalanan alami dari
hiperplasia endometrium. Pada penelitian ini, 170 wanita dengan hiperplasia
endometrium yang diikuti selama 1 tahun tanpa histerektomi. Hanya 2 pasien
(2%) yang didiagnosis hiperplasia tanpa sel atipia yang menajdi
koriokarsinoma. Pada kedua pasien tersebut, diagnosis awalnya adalah
hiperplasia tanpa sel atipik yang kemudian berkembang menjadi hiperplasia
atipikal sebelum didiagnosis karsinoma endometrium. Walaupun begitu, pada
pasien dengan diagnosis hiperplasia (simpleks dan kompleks), 11 berkembang
menjadi karsinoma endometrium (23%) dan 29 % pasien dengan hiperplasia
kompleks dengan sel atipik berkembang menjadi karsinoma endometrium.
Hiperplasia tanpa sel atipia cenderung mengalami regresi secara spontan,
sedangkan hiperplasia atipikal lebih sering berkembang menjadi karsinoma
endometrium. Karsinoma endometrium yang muncul bersamaan dengan
hiperplasia berkaitan dengan agresifitas penyakit yang rendah. Pada sebuah
penelitian dengan 214 wanita dengan karsinoma endometrium, 43% pasien
didiagnosa dengan hiperplasia endometrium juga. Pad kelompok wanita ini,
sel karsinoma mengalami diferensiasi yang lebih baik. Resiko rekurensi dan
angka bertahan hidup (5-year survival) juga lebih rendah pada wanita dengan
karsinoma endometrium beserta hiperplasia bila dibandingkan dengan wanita
yang hanya didapatkan karsinoma endometrium (rekurensi 4% vs 17%, 5-year
survival 96% vs 85%).
Hubungan yang erat antara kanker dengan hiperplasia atipikal
menunjukkan saat diagnosis hiperplasia atipikal ditegakkan, dokter harus
memperhatikan adanya karsinoma endometrium di saat yang sama dalam
uterus. Bila pada pemeriksaan biopsi endometrium atau spesimen kuret
didiagnosis sebagai hiperplasia atipikal , resiko di saat yang sama juga
terdapat karsinoma endometrium adalah 17%-25%. Walaupun begitu, dalam 2
penelitian terbaru, menyimpulkan kemungkinan adanya karsinoma
endometrium pada sampel hiperplasia endometrium sangat tinggi dan
jumlahnya bermakna. Pada penelitian analisis retrospektif pada 44 wanita
dengan rencana histerektomi dalam waktu 10 minggu dengan sampel
endometrium menunjukkana adanya hiperplasia, 19 pasien menunjukkan
adanya karsinoma endometrium. 17 pasien mengalami invasi pada
miometrium dan 7 pasien dengan invasi dalam (FIGO stadium IC atau lebih
tinggi)

2.3.6 Diagnosis
Perdarahan uterus abnormal merupakan gejala yang paling sering
dikeluhkan oleh wanita dengan hiperplasia endometrium. Wanita dengan
perdarahan postmenopause, 15% persen ditemukan hiperplasia endometrium
dan 10% ditemukan karsinoma endometrium. Penemuan penebalan dinding
uterus secara tidak sengaja dengan USG harus diperiksa lebih lanjut untuk
mendiagnosis hiperplasia endometrium. Pada sebuah penelitian dengan 460
wanita usia ≤ 40 tahun dengan perdarahan uterus abnormal, didapatkan hanya
6 wanita (1,3%) yang mengalami hiperplasia endometrium. Tidak ada kasus
hipeplasia atipikal yang ditemukan pada kelompok wanita ini. walaupun
begitu, wanita dibawah usia 40 tahun yang memiliki faktor predisposisi seperti
obesitas dan PCOS harus dievaluasi secara menyeluruh, biasanya dengan USG
dan terkadang dengan biopsi endometrium. Pada penelitian 36 wanita dengan
PCOS, ketebalan endometrium kurang dari 7 mm dan interval antar
menstruasi kurang dari 3 bulan hanya terkait dengan proliferasi endometrium
dan tidak ditemukan adanya hiperplasia endometrium.
Banyak modalitas diagnostik yang telah diteliti untuk mendiagnosis secara
optimal penyebab terjadinya perdarahan uterus abnormal dan untuk
mengidentifikasi apakah pada pasien tersebut memiliki resiko untuk terjadinya
hiperplasia atau karsinoma endometrium.

1. Ultrasonografi (USG)
USG menggunakan gelombang suara untuk mendapatkan
gambaran dari lapisan rahim. Hal ini membantu untuk menentukan
ketebalan rahim. USG transvaginal merupakan prosedur diagnosis yang
non invasif dan relatif murah untuk mendeteksi kelainan pada
endometrium. Walaupun begitu, pada wanita postmenopause, efikasi alat
ini sebagai pendeteksi hiperplasia endometrium ataupun karsinoma tidak
diketahui. Pada percobaan PEPI (Postmenopausal Estrogen/Progestin
Intervensions), dengan batas ketebalan endometrium 5 mm didaptkan
positive predictive value (PPV), negative predictive value (NPV),
sensitifitas, dan spesifisitas untuk hiperplasia endometrium atau karsinoma
adalah 9%, 99%, 90%, 48%.
USG dapat digunakan sebagai panduan untuk menentukan jika
wanita mengalami perdarahan post menopause (PMB) membutuhkan tes
diagnostik yang lebih spesifik lagi (seperti pipelle EMB atau kuret) untuk
menentukan adanya hiperplasia atau karsinoma endometrium. Pada 339
wanita dengan PMB, tidak ada wanita dengan ketebalan endometrium ≤ 4
mm yang berkembang menjadi karsinoma endometrium selama 10 tahun.

2. Pipelle Endometrial Biopsy


Pengambilan sampel endometrium dengan pipelle merupakan cara yang
efektif dan relatif tidak mahal untuk mengambil jaringan untuk diagnosis
histologi pada wanita dengan perdarahan uterus abnormal. Pada penelitian
prospektif, acak untuk membandingkan antara pipelle (n = 149) dan kuret
(n = 126) pada wanita dengan perdarahan uterus abnormal, sampel
jaringan yang kurang hanya 12,8% dan 9,5%. Perbedaan ini tidak
signifikan (P<0,05). Pada kedua kelompok pasien, memiliki kesamaan
diagnosis dengan diagnosis histerektomi sebesar 96%. Studi sebelumnya
menjelaskan wanita dengan banyak penyebab perdarahan uterus abnormal,
bagaimanapun sangat penting untuk dilakukan pemeriksaan pipelle EMB
untuk membuat diagnosis yang benar. Pada penelitian meta analisis pada
7914 pasien, pipelle memiliki sensitifitas 99% untuk mendeteksi kanker
endometrium pada wanita post menopause, tetapi pada wanita dengan
hiperplasia endometrium, sensitivitas menurun hingga 75%.

3. Histeroskopi dan/atau Dilatasi dan Kuretase


Histeriskopi secara umum telah disepakati sebagai “gold standard” untuk
mengevaluasi kavitas uterus. Polip endometrium dan mioma submukosa
dapat dideteksi dengan histeroskopi dengan sensitivitas 92% dan 82%.
Walaupun begitu, histeroskopi sendiri untuk mendeteksi hiperplasia dan
atau karsinoma endometrium meghasilkan angka false-positive yang tinggi
dan membutuhkan penggunaan dilatasi dan kuret untuk diagnosis.
Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas 98%, spesifisitas 95%, PPV 96%
dan NPV 98% bila dibandingkan dengan diagnosis hasil pemeriksaan
jaringaan setelah histerektomi.

4. Sonohisterografi
Sonohisterografi merupakan pendekatan yang relatif baru untuk
mendiagnosis penyebab dari perdarahan uterus abnormal. Keuntungan dari
sonohisterografi yang melebihi dari USG transvaginal adalah
kemampuannya yang lebih baik untuk mengevaluasi kelainan intrauterin
seperti polip dan mioma submukosa. Walaupun begitu, sonohisterografi
sendiri memiliki nilai terbatas untuk mendiagnosis hiperplasia dan
karsinoma endometrium. EMB dengan pipelle merupakan pembuktian
yang efektif untuk mendiagnosis hiperplasia dan karsinoma namun
memiliki sensitifitas yang rendah untuk mendiagnosa lesi yang jinak di
dalam uterus. Beberapa penelitian telah mengkombinasikan transvaginal,
sonohisterografi dan EMB dengan pipelle untuk mengidentifikasi
penyeban dari perdarahan uterus abnormal dan secara spesifik perdarahan
post menopause. Bila dibandingkan dengan DC-histeroskopi sebagai
standar utama, transvaginal, sonohisterografi, dan EMB dengan pipelle
memiliki sensitivitas lebih dari 94%.
Wanita dengan perdarahan post menopause harus menjalani
pemeriksaan fisik yang menyebluruh untuk menentukan sumber
perdarahan. Jika pemeriksaan fisik tidak dapat menjelaskan penyebab
perdarahan, USG transvaginal dapat digunakan sebagai panduan untuk
pemeriksaan lebih lanjut. Wanita post menopause dengan penebalan
dinding uterus (>5mm) atau wanita dengan perdarahan persisten yang
tidak bisa dijelaskan membutuhkan biopsi endometrium. Diagnosis
hiperplasia atau karsinoma endometrium pada pemeriksaan biopsi
enometrium harus dievaluasi dengan DC untuk memperoleh spesimen
yang lebih luas.

USG

< 5mm > 5 mm

Observasi Pipelle
EMB

Perarahan
Rekuren Hiperplasia Lain-lain (Proliferasi
endometrium, atropi,
kanker)

DC dengan
Histeroskopi

Gambar. Algoritma Pemeriksaan Penunjang Kelainan Dinding Uterus


2.3.7 Penatalaksanaan
Pada sebagian besar kasus , terapi hiperplasia endometrium atipik
dilakukan dengan memberikan hormon progesteron. Dengan pemberian
progesteron, endometrium dapat luruh dan mencegah pertumbuhan kembali.
Kadang kadang disertai dengan perdarahan per vaginam. Besarnya dosis dan
lamanya pemberian progesteron ditentukan secara individual. Setelah terapi ,
dilakukan biopsi ulang untuk melihat efek terapi. Umumnya jenis progesteron
yang diberikan adalah Medroxyprogetseron acetate (MPA) 5 – 10 mg per hari
selama 10 hari setiap bulannya dan diberikana selama 3 bulan berturut turut.
Pada pasien hiperplasia komplek harus dilakukan evaluasi dengan D & C
fraksional dan terapi diberikan dengan progestin setiap hari selama 3 – 6
bulan. Pada pasien hiperplasia komplek dan atipik sebaiknya dilakukan
histerektomi kecuali bila pasien masih menghendaki anak. Pada pasien dengan
tumor penghasil estrogen harus dilakukan ekstirpasi.

2.3.8 Progresifitas
Seperti diketahui bahwa hiperplasia endometrium berpotensi berubah
menjadi progresif ke arah karsinoma endometrium. Namun selain menjadi
progresif, hiperplasia endometrium juga dapat mengalami regresi dan juga
dapat persisten.

Tipe Jumlah Sampel % Regresi % Persisten % Progressif


Sederhana 93 80 % 19 % 1%
Sederhana 13 69 % 23 % 8%
dengan Atipia
Kompleks 29 80 % 17 % 3%
Kompleks 35 57 % 14 % 29 %
dengan Atipia
Semua lesi 48 58 % 19 % 23 %
dengan Atipia
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas
Nama :
Usia :
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Pendidikan :
Alamat :
MRS :

3.2 Anamnesis
Anamnesis (Autoanamnesis dilakukan pada tanggal April 2018)
20080. Keluhan Utama
Perdarahan seperti darah haid tidak berhenti sejak 1 bulan sebelum masuk rumah
sakit

20081. Riwayat Perjalanan Penyakit


Perdarahan keluar dari kemaluan sejak 1 bulan yang lalu. Keluhan disertai
rasa lemas, nyeri kepala, dan rasa mulas. Perdarahan yang terjadi sebanyak 8
pembalut setiap harinya dan menetap selama 1 bulan tersebut. Darah yang keluar
berwarna merah kehitaman seperti darah haid, terkadang terdapat darah yang
menggumpal. Keluhan awalnya tidak dirasakan mengganggu tetapi karena terlalu
lama akhirnya pasien merasa lemas dan tidak nyaman.
Selain itu pasien merasa satu minggu belakangan ini menjadi sering nyeri
kepala yang dirasakan seperti kepalanya terasa enteng. Keluhan tersebut terutama
saat pasien selesai beraktivitas. Pasien belum berobat kemana pun untuk
penanganan lebih lanjut, hanya membeli obat anti sakit di warung.
Pasien mengaku siklus haidnya memang tidak lancar. Haid sebelumnya 2
bulan yang lalu. Pasien mengaku tidak ingat tanggal persis haidnya, namun
biasanya haid dialami diatas tanggal 15. 5 bulan yang lalu pasien tidak mengalami
haid sama sekali.
Pasien menyangkal adanya riwayat trauma sebelumnya. Pasien mengaku
belum pernah mengonsumsi obat untuk keluhan utamanya.
37
20082. Riwayat Menstruasi
Usia Menarche : 15 tahun
Teratur/ tidak teratur : Tidak teratur
Siklus Haid : Tidak teratur
Lama Haid : 7-10 hari
Nyeri haid : Kadang-kadang
Banyaknya : 4 kali ganti pembalut perhari

20083. Riwayat Pernikahan


Lama Menikah : 24 tahun
Usia saat menikah : 22 tahun

20084. Riwayat Kontrasepsi


- Menggunakan pil KB (lupa nama obatnya) setelah hamil anak ke 1 sampai anak
ke 4.
- Setelah anak ke 4 besar, mengganti pil KB dengan KB suntik per 3 bulan. Dan
berhenti memakai KB suntik sejak perdarahan.

20085. Riwayat Ante Natal Care (ANC)


 -

20086. Riwayat Kehamilan dan Persalinan


Anak Tahun Umur Jenis Persalinan Jenis Berat Keadaan
Partus Hamil Kelamin Badan Anak
Lahir Sekarang
1 Hamil Saat ini

20087. Riwayat Penyakit Dahulu


Asma (-)
Alergi obat dan makanan (-)
Kejang-kejang saat hamil (-)
Penyakit Hipertensi (-)
Penyakit Diabetes Melitus (-)

37
Penyakit Jantung (-)
Penyakit Ginjal (-)

20088. Riwayat Penyakit Keluarga


Asma (-)
Alergi obat dan makanan (-)
Kejang-kejang saat hamil (-)
Penyakit Hipertensi (-)
Penyakit Diabetes Melitus (-)
Penyakit Jantung (-)
Penyakit Ginjal (-)
Riwayat Penyakit dengan keluhan yang sama dengan keluarga (-)

3.3 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan Fisik
1. Status Umum
Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tinggi Badan : 155 cm
Berat Badan : 70 kg
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Nadi : 105 x/menit
Pernapasan : 26 x/menit
Suhu : 36,7C

Pemeriksaan Fisik Khusus


a. Mata: Konjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema periorbital
(-/-), Konjungtiva pucat(-/-)
b. Leher: Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening, tidak ada pembesaran
kelenjar tiroid
c. THT: Mukosa bibir kering (+), mukosa bibir sianosis (-), pembesaran tonsil (-),
faring hiperemis (-)
d. Thorax: Jantung dan paru dalam batas normal
e. Abdomen
Inspeksi : striae gravidarum (+), caput medusa (-), skar operasi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
37
Perkusi : timpani pada bawah prosessus xiphoideus, redup pada
uterus
Palpasi : hepar dan lien dalam batas normal
f. Genitalia : Keluar air-air (-), keluar lendir darah (-)
g. Ekstremitas : akral hangat (-), edema pada kedua tungkai (-)

Status Ginekologi
a. Pemeriksaan Luar
 Abdomen
- TFU : Tidak teraba
- Distensi : (-)
- Ballotement : (+)
- Nyeri tekan : (-)
- Tanda cairan bebas : (-)
 Vagina
Tidak dilakukan

3.4 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Lab :
Tabel 1. Hasil pemeriksaan Laboratorium ( April 2018)
Pemeriksaan Hematologi Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 7,5 g/dl 12 – 14 g/dl
Leukosit 17.000 / uI 5.000 – 10.000 /uI
Hitung Jenis
- Basofil 1–2%
- Eosinophil
0–1%
- Neutofil batang
- Neutrofil segmen 0,0 3–5%
- Limfosit
84,2 54 – 62 %
- Monosit
25 – 33 %
3–7%
Golongan Darah A/B/O/AB
Rhesus Factor + -/+
Clooting time 7’ < 15 menit
Bleeding time 2’ 1-6 menit

3.5 Diagnosis Kerja


Perdarahan uterus abnormal ec hiperplasia endometrium

37
3.6 Tatalaksana
- Tirah baring
- Observasi perdarahan dan tanda vital
- IVFD ASERING + ketorolac 1 ampul gtt XX/menit
- Ketoprofen supos
- Injeksi Omeprazole 2x1 gr
- Injeksi Ceftriaxone 2x1 gr
- Antasida 3x1
- 20.30 WIB  PRC
- 23.30 WIB  Ganti NaCl kocor
- 23.40 WIB  Ganti Asering
- 00.30 WIB  PRC
- 02.00 WIB  Infus 2 jalur  RL gtt XX/menit + Ondansentron 4 mg + Asam
Traneksamat 1 ampul
3.7 Follow Up
15 April 217
Pukul 20.00
S : Mual dan muntah
O : KU : Tampak sakit sedang, compos mentis
VS : TD 90/70 mmHg, HR 80x/m, RR 20x/m, T 370C
A : G1P0A0 hamil 9-10 minggu dengan Hiperemesis Gravidarum
P :
- Tirah baring
- IVFD ASERING:DS:RL 1:1:1 gtt 25x/menit
- Injeksi Ondansentron 3x4 mg
- Injeksi Ranitidin 3x1
- Injeksi Cefotaxime 2x1 gr
- Mediamer 2x1 tablet per oral
- Obimin 1x1 gr
- Rencana USG

16 April 217
Pukul 07.00
S :-
37
O : KU : Compos mentis
VS : TD 100/70 mmHg, HR 87x/m, RR 22x/m, T 370C
A : G1P0A0 hamil 9-10 minggu dengan Hiperemesis Gravidarum
P :
- Tirah baring
- IVFD ASERING:DS:RL 1:1:1 gtt 25x/menit
- Injeksi Ondansentron 3x4 mg
- Injeksi Ranitidin 3x1
- Injeksi Cefotaxime 2x1 gr
- Mediamer 2x1 tablet per oral
- Obimin 1x1 gr

16 April 217
Pukul 12.00
S :-
O : KU : Compos mentis
VS : TD 110/70 mmHg, HR 85x/m, RR 22x/m, T 370C
A : G1P0A0 hamil 9-10 minggu dengan Hiperemesis Gravidarum
P :
- IVFD aff
- Ondansetron 1x8 mg tablet oral
- Ranitidin 3x30 mg tablet oral
- Mediamer 2x1 tablet per oral
- Obimin 1x1 gr
- Rencana pulang hari ini

37
DAFTAR PUSTAKA

Ara, S., & Roohi, M. (2011). Abnormal Uterine Bleeding; Histipathological


Diagnosis by Conventional Dilatation and Curretage. The Professional Medical
Journal , 587-591.

Elly, J. W., Kennedy, C. M., Clark, E. C., & Bowdler, N. C. (2006). Abnormal
Uterine Bleeding: A Management Algortihm. JABFM , 590-602.

Montgomery, B. E., Daum, G. S., & Dunton, C. J. (2004). Endometrial


Hyperplasia: A Review. Obstetrical and Gynecological Survey , 368-378.

Munro, M. G., Critchley, H. O., Broder, M. S., & Fraser, I. S. (2011). FIGO
Classification System (PALM-COEIN) for Causes of Abnormal Uterine Bleeding
in Non Gravid Women of Reproductive Age. International Journal of Gynecology
and Obstetrics , 3-12.

Vilos, G. A., Lefebvre, G., Graves, G. R., & NS, H. (2001). Guideline For The
Management Of Abnormal Uterine Bleeding. Journal Of Obstetrics and
Gynecologics Canada , 1-6.

Wildemeersch, D., & Dhont, M. (2003). Treatment of Non Atypical and Atypical
Endometrial Hyperplasia With a Levonorgestrel-Releasing Intra Uterine System .
37
American Journal of Obstretics and Gynecologics , 1-4.

37

Anda mungkin juga menyukai