Jurnal Hiperplasia
Jurnal Hiperplasia
PENDAHULUAN
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
13
(Gonadotropin Releasing Hormone). Adanya hormon ini kemudian
direspon oleh hipofisis dengan mensekresikan LH (Luteinzing
Hormone) dan FSH (Follicle Stimulating Hormone). Pengeluaran LH
dan FSH ini kemudian mempengaruhi ovarium untuk memproduksi
hormon steroid (estrogen) yang memiliki mekanisme umpan balik
terhadap kedua hormon hipofisis itu dengan regulasi pada hipotalamus.
Terhadap FSH, estrogen memberikan umpan balik negatif, tetapi
terhadap LH estrogen memberikan umpan balik positif jika kadarnya
banyak dan umpan balik negatif jika kadarnya sedikit.
14
Siklus haid normal dapat dipahami dengan membaginya kedalam tiga
bagian yakni :
Fase Folikuler. Di awali dengan regresi corpus luteum yang menyebabkan
kadar estrogen menurun membuat umpan balik positif terhadap FSH
(↓Estrogen ↑GnRH ↑FSH). Akibat kadar FSH yang meningkat, folikel mulai
berkembang dan kemudian mulai memproduksi estrogen lagi. Folikel yang
berkembang ini kemudian melindungi diri dan folikel yang lain mengalami
atresia. Pada saat ini LH juga mulai meningkat, namun perannya hanya
membantu folikel memproduksi estrogen. Semakin berkembang, folikel
semakin sensitif terhadap FSH sehingga dalam kondisi FSH yang tersupresi
oleh estrogen, folikel dapat berkembang dengan cepat. Kematangan folikel
ditandai dengan tercapainya kadar puncak dari estrogen disertai dengan umpan
balik positif terhadap LH sehingga terjadi lonjakan LH (LH-Surge) pada
pertengahan siklus yang menyebabkan terjadinya ovulasi.
Saat Ovulasi. Lonjakan LH menjadi pemicu dan kematangan folikel menjadi
syarat terjadinya ovulasi. Proses ovulasi diawali dengan pecahnya folikel
akibat perubahan degeneratif kolagen pada dinding folikel sehingga menjadi
lebih tipis.
Fase Luteal. Setelah ovulasi terjadi perubahan morfologi folikel yang
menyebabkan produksi estrogen menurun yang juga membuat kadar LH
menurun secara perlahan. Sel granulosa membesar, membentuk vakuola dan
bertumpuk pigmen kuning (lutein) disertai peningkatan vaskularisasi yang
membuat folikel menjadi korpus luteum setelah mengeluarkan sel telur saat
ovulasi. Pada korpus luteum ada 2 jenis sel granulosa yakni Luteinized
granulosa cells yang memproduksi progesteron dan Luteinized theca cells
yang memproduksi estrogen. Akibatnya pada fase ini kadar estrogen dan
progesteron meningkat. Produksi kedua hormon steroid ini (progesteron dan
estrogen) membutuhkan bantuan dari LH. Setelah 10-20 hari terjadi regresi
corpus luteum yang disertai dengan penurunan kadar hormon estrogen dan
progesteron yang menandai siklus berputar kembali ke fase folikuler.
15
B. Perubahan Histologik Pada Endometrium Dalam Siklus Haid
Pada masa reproduksi dan dalam keadaan tidak hamil, epitel mukosa pada
endometrium mengalami siklus perubahan yang berkaitan dengan aktivitas
ovarium. Perubahan ini dapat dibagi menjadi 4 fase endometrium, yakni :
1) Fase Menstruasi (Deskuamasi)
Fase ini berlangsung 3-4 hari. Pada fase ini terjadi pelepasan
endometrium dari dinding uterus yakni sel-sel epitel dan stroma yang
mengalami disintergrasi dan otolisis dengan stratum basale yang masih
utuh disertai darah dari vena dan arteri yang mengalami aglutinasi dan
hemolisi serta sekret dari uterus, serviks dan kalenjar-kalenjar vulva.
2) Fase Pasca Haid (Regenerasi)
Fase ini berlangsung ± 4 hari (hari 1-4 siklus haid). Terjadi regenerasi
epitel mengganti sel epitel endometrium yang luruh. Regenerasi ini
membuat lapisan endometrium setebal ± 0,5 mm.
3) Fase Intermenstruum (Proliferasi)
Pada fase ini endometrium menebal hingga ± 3,5 mm. berlangsung
selama ± 10 hari (hari ke 5-14 siklus haid).
a) Fase proliferasi dini (early proliferation phase)
Fase ini berlangsung selama ± 3 hari (hari ke 5-7). Pada fase ini
terdapat regenerasi kelenjar dari mulut kalenjar dengan epitel
permukaan yang tipis. Bentuk kalenjar khas fase proliferasi yakni
lurus, pendek dan sempit dan mengalami mitosis.
b) Fase proliferasi madya (midproliferation phase)
Fase ini berlangsung selama ± 3 hari (hari ke 8-10). Fase ini
berupakan bentuk transisi dan dapat dikenal dari epitel permukaan
yang berbentuk torak dan tinggi. Kalenjar berlekuk-lekuk dan
bervariasi. Sejumlah stroma mengalami edema. Tampak banyak
mitosis dengan inti berbentuk telanjang (nake nucleus)
c) Fase proliferasi akhir (late proliferation phase)
Fase ini berlangsung selama ± 4 hari. Fase ini dapat dikenali dari
permukaan kalenjar yang tidak rata dengan banyak mitosis. Inti
epitel kalenjar membentuk pseudostratifikasi. Stroma semakin
tumbuh aktif dan padat.
4) Fase Pra Haid (Sekresi)
Fase ini berlangsung sejak hari setelah ovulasi yakni hari ke 14 sampai
hari ke 28. Pada fase ini ketebalan endometrium masih sama, namun
yang berbeda adalah bentuk kalenjar yang berubah menjadi berlekuk-
lekuk, panjang dan mengeluarkan getah yang semakin nyata. Dalam
endometrium telah tersimpan glikogen dan kapur yang kelak
diperlukan sebagai makanan untuk telur yang dibuahi. Memang, tujuan
perubahan ini adalah untuk mempersiapkan endometrium untuk
menerima telur yang dibuahi. Fase ini terbagi menjadi dua, yakni :
a) Fase sekresi dini
Dalam fase ini endometrium lebih tipis dari sebelumnya karena
kehilangan cairan. Pada saat ini, endometrium dapat dibedakan
menjadi beberapa lapisan yakni :
Stratum basale, yakni lapisan endometrium bagian dalam
yang berbatasan dengan miometrium. Lapisan ini tidak
aktif, kecuali mitosis pada kalenjar.
Stratum spongiosum, yaitu lapisan tengah berbentuk
anyaman seperti spons. Ini disebabkan oleh banyaknya
kalenjar yang melebar, berkelok-kelok dan hanya sedikit
stroma di antaranya.
Stratum kompaktum, yaitu lapisan atas yang padat. Saluran-
saluran kalenjar sempit, lumennya berisi sekret dan
stromanya edema.
b) Fase sekresi lanjut
Endometrium pada fase ini tebalnya 5-6 mm. dalam fase ini
terdapat peningkatan dari fase sekresi dini, dengan
endometrium sangat banyak mengandung pembuluh darah
yang berkelok-kelok dan kaya akan glikogen. Fase ini sangat
ideal untuk nutrisi dan perkembangan ovum. Sitoplasma sel-sel
stroma bertambah. Sel stroma ini akan berubah menjadi sel
desidua jika terjadi pembuahan.
C. Mekanisme Haid
Hormon steroid estrogen dan progesteron mempengaruhi pertumbuhan
endometrium. Di bawah pengaruh estrogen, endometrium memasuki fase
proliferasi, sesudah ovulasi endometrium memasuki fase sekresi. Dengan
menurunnya kadar estrogen dan progesteron pada akhir siklus haid, terjadi
regresi endometrium yang kemudian diikuti oleh perdarahan yang dikenal
dengan nama haid.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya proses haid, yakni :
Faktor Enzim
2.2.4 Penatalaksanaan
1) Penatalaksanaan Farmakologi
Usia, keinginan untuk subur, keadaan medis sebelumnya, dan pilihan
pasien merupakan pertimbangan yang sangat penting.
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS)
Prostaglandin endometrium meningkat pada wanita yang mengalami
perdarahan menstruasi yang berat. Obat anti inflamasi non steroid
menghambat siklo-oksigenase dan menurunkan kadar prostaglandin di
endometrium. Pada penelitian didapatkan bahwa terjadi penurunan
kehilangan daran 20-50 % dengan penggunaan obat ini. Obat ini juga
mengobati dismenorrhea pada lebih dari 70% pasien. terapi diberikan
pada awal menstruasi dan dilanjutkan hingga 5 hari atau sampai
menstruasi berhenti.
Agen Antifibrinolitik
Asam traneksamat, merupakan derivat sintetik dari asam amino
(lysine) yang bekerja dengan menghambat plasminogen secara
reversibel. Obat ini tidak memiliki efek pada parameter koagulasi
darah dan dismenorrhea. Sepertiga wanitaa yang menggunakan obat ini
mengalami efek samping berupa keram pada kaki dan mual. Asam
traneksamat 1 gram setiap 6 jam pada 4 hari siklus awal menurunkan
kehilangan darah hingga 40 %.
Danazol
Merupakan steroid sintetis dengan sifat androgenik yang ringan,
menghambat steroidogenesis pada ovarium dan memiliki efek yang
besar pada jaringan endometrium, menghentikan perdarahan hingga
80%. Pada penggunaan terapi ini (100-200 mg perhari), 20% pasien
mengalami amenorrhea dan 70 % mengalami oligomenorrhea. Hampir
50 % pasien dilaporkan tidak mengalami efek samping, dan 20 %
mengalami efek samping minor. Keluhan yang sering disampaikan
adalah peningkatan berat badan pada 60 % pasien. rekomendasi
dengan terapi ini adalah 100-200 mg per hari selama 3 bulan.
Progestin
Pada penelitian Randomized Controlled Trial menunjukkan bahwa
progestin tidak efektif dalam mengontrol perdarahan dibandingkan
dengan asam traneksamat ataupun OAINS. Progestin mungkin bisa
sangat berguna pada wanita dengan siklus yang ireguler dan pada
siklus anovulatoar yang diberikan untuk 12-14 hari setiap bulan.
Medroxyprogesteron asetat digunakan untuk kontrasepsi yang
menyebabkan amenorrhea pada 80 % pasien meskipun sekitar 50 %
pasien mengalami perdarahan ireguler.
Pil Kombinasi
Penurunan kehilangan darah pada saat menstruasi dengan penggunaan
pil kombinasi mungkin merupakan akibat atrofi endometrium.
Penggunaan obat ini dapat menurunkan kehilangaan darah hingga
43%. Keuntungan tambahan dari penggunaan pil kombinasi adalah
dapat sekaligus menjadi alat kontrasepsi dan menurunkan angka
dismenorrhea.
Progestin Intrauterine System
Progesterone pada IUD dilaporkan dapat menurunkan perdarahan pada
menstruasi. Yang paling baru adalah Levonorgestrel Intra Uterine
System (LNG-IUS) merupakan IUD dengan bentuk T yang
melepaskan levonorgestrel dalam jumlah yang stabil (20 µ g/24
jam). Pada penelitian yang lain didapatkan bahwan pengggunaan
LNG-IUS dengan melepaska 14 µ g/24 jam merupakan metode yang
efektif untuk mensupresi endometrium pada wanita dengan hiperplasia
atipikal ataupun non atipikal.
GnRH Agonist
GnRH agonist menginduksi kondisi hipoestrogenik yang reversibel.
Efektif untuk menurunkan kehilangan darah menstruasi pada wanita
perimenopause, tetapi terbatas dengan efek sampingnya yakni rasa
panas dan penurunan densitas tulang.
2) Penatalaksanaan Bedah
Dilatasi dan Kuretase (DC)
Pada penelitian yang mengukur jumlah darah menstruasi sebelum dan
setelah dilakukan DC didapatkan bahwa terjadi penurunan jumlah
perdarahan. DC memiliki peran diagnosis saat hasil biopsi
endometrium tidak meyakinkan dan gejala masih ada atau dicurigai
adanya kelainan yang mendasari.
Penghancuran Endometrium/Endometrial Destruction
Pengancuran endometrium dapat dilakukan dengan beberapa teknik
pembedahan. Histeroskopi ablasi endometrium dengan fotokoagulasi,
rollerball, elektrokoagulasi atau loop resection dan hasil jangka
panjangnya telah di tinjau oleh Martyn. Metode ini telah ditinjau
secara klinis selama 20 tahun. Dari penelitian didaptkan hasil yang
memuaskan pada 85 % kasus, 10 % pasien dilakukan histerektomi dan
10 % pasien dilakukan ablasi ulang.
Histerektomi
Metode ini merupakan solusi permanen untuk terapu menorrhagia dan
perdarahan uterus abnormal dan ini terkait dengan angka kepuasan
pasien dengan terapi ini. untuk wanita yang cukup memiliki anak dan
sudah mencoba terapi konservatif dengan hasil yang tidak
memuaskan, histerektomi merupakan pilihan yang terbaik.
2.3.1 Definisi
Hiperplasia endometrium didefiniskan sebagai proliferasi dari kalenjar
endometrium dengan bentuk dan ukuran yang ireguler dengan peningkatan
pada rasio kalenjar/stroma. Hiperplasia endometrium lebih jauh
diklasifikasikan menjadi hiperplasia sederhana dan kompleks berdasarkan
kompleksitas dan kerumunan dari struktur kalenjar.
2.3.2 Patogenesis
Siklus menstruasi normal ditandai dengan meningkatnya ekspresi dari
onkogen bcl-2 sepanjang fase proliferasi. Bcl-2 merupakan onkogen yang
terletak pada kromosom 18 yang pertama kali dikenali pada limfoma folikuler,
tetapi telah dilaporkan juga terdapat padaa neoplasma lainnya.
Apoptosis seluler secara parsial dihambat oleh ekspresi gen bcl-2 yang
menyebabkan sel bertahan lebih lama. Ekspresi dari gen bcl-2 tampaknya
sebagian diregulasi oleh faktor hormonal dan ekspresinya menurun dengan
signifikan pada fase sekresi siklus menstruasi.
Kemunduran ekspresi dari gen bcl-2 berkorelasi dengan gambaran sel
apoptosis pada endometrium yang dilihat dengan mikroskop elektron selama
fase sekresi siklus menstruasi. Identifikasi dari gen bcl-2 pada proliferasi
normal endometrium sedang dalam penelitian tentang bagaimana perannya
dalam terjadinya hiperplasia endometrium. Ekpresi gen bcl-2 meningkat pada
hiperplasia endometrium tetapi terbatas hanya pada tipe simpleks. Secara
mengejutkan, ekspresi gen ini justru menurun pada hiperplasia atipikal dan
karsinoma endometrium.
Peran dari gen Fas/FasL juga telah diteliti akhit-akhir ini tentang kaitannya
denga pembentukan hiperplasia endometrium. Fas merupakan anggota dari
keluarga tumor necrosis factor (TNF)/Nerve Growth Factor (NGF) yang
berikatan dengan FasL (Fas Ligand) dan menginisisasi apoptosis. Ekpresi gen
Fas dan FasL meningkat pada sampel endometrium setelah terapi progesteron.
Interaksi antara ekspresi Fas dan bcl-2 dapat memberikan kontribusi
pembentukan dari hiperplasia endometrium. Ekspresi gen bcl-2 menurun saat
terdapat progesteron intrauterin sedangkan ekspresi gen Fas justru meningkat.
Studi diatas telah memberikan tambahan wawasan tentang perubahan
molekuler yang kemudian berkembang secara klinis menjadi hiperplasia
endometrium. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengklarifikasi peran
bcl 2 dan Fas/FasL pada patogenesis molekular terbentuknya hiperplasia
endometrium dan karsinoma endometrium.
2.3.6 Diagnosis
Perdarahan uterus abnormal merupakan gejala yang paling sering
dikeluhkan oleh wanita dengan hiperplasia endometrium. Wanita dengan
perdarahan postmenopause, 15% persen ditemukan hiperplasia endometrium
dan 10% ditemukan karsinoma endometrium. Penemuan penebalan dinding
uterus secara tidak sengaja dengan USG harus diperiksa lebih lanjut untuk
mendiagnosis hiperplasia endometrium. Pada sebuah penelitian dengan 460
wanita usia ≤ 40 tahun dengan perdarahan uterus abnormal, didapatkan hanya
6 wanita (1,3%) yang mengalami hiperplasia endometrium. Tidak ada kasus
hipeplasia atipikal yang ditemukan pada kelompok wanita ini. walaupun
begitu, wanita dibawah usia 40 tahun yang memiliki faktor predisposisi seperti
obesitas dan PCOS harus dievaluasi secara menyeluruh, biasanya dengan USG
dan terkadang dengan biopsi endometrium. Pada penelitian 36 wanita dengan
PCOS, ketebalan endometrium kurang dari 7 mm dan interval antar
menstruasi kurang dari 3 bulan hanya terkait dengan proliferasi endometrium
dan tidak ditemukan adanya hiperplasia endometrium.
Banyak modalitas diagnostik yang telah diteliti untuk mendiagnosis secara
optimal penyebab terjadinya perdarahan uterus abnormal dan untuk
mengidentifikasi apakah pada pasien tersebut memiliki resiko untuk terjadinya
hiperplasia atau karsinoma endometrium.
1. Ultrasonografi (USG)
USG menggunakan gelombang suara untuk mendapatkan
gambaran dari lapisan rahim. Hal ini membantu untuk menentukan
ketebalan rahim. USG transvaginal merupakan prosedur diagnosis yang
non invasif dan relatif murah untuk mendeteksi kelainan pada
endometrium. Walaupun begitu, pada wanita postmenopause, efikasi alat
ini sebagai pendeteksi hiperplasia endometrium ataupun karsinoma tidak
diketahui. Pada percobaan PEPI (Postmenopausal Estrogen/Progestin
Intervensions), dengan batas ketebalan endometrium 5 mm didaptkan
positive predictive value (PPV), negative predictive value (NPV),
sensitifitas, dan spesifisitas untuk hiperplasia endometrium atau karsinoma
adalah 9%, 99%, 90%, 48%.
USG dapat digunakan sebagai panduan untuk menentukan jika
wanita mengalami perdarahan post menopause (PMB) membutuhkan tes
diagnostik yang lebih spesifik lagi (seperti pipelle EMB atau kuret) untuk
menentukan adanya hiperplasia atau karsinoma endometrium. Pada 339
wanita dengan PMB, tidak ada wanita dengan ketebalan endometrium ≤ 4
mm yang berkembang menjadi karsinoma endometrium selama 10 tahun.
4. Sonohisterografi
Sonohisterografi merupakan pendekatan yang relatif baru untuk
mendiagnosis penyebab dari perdarahan uterus abnormal. Keuntungan dari
sonohisterografi yang melebihi dari USG transvaginal adalah
kemampuannya yang lebih baik untuk mengevaluasi kelainan intrauterin
seperti polip dan mioma submukosa. Walaupun begitu, sonohisterografi
sendiri memiliki nilai terbatas untuk mendiagnosis hiperplasia dan
karsinoma endometrium. EMB dengan pipelle merupakan pembuktian
yang efektif untuk mendiagnosis hiperplasia dan karsinoma namun
memiliki sensitifitas yang rendah untuk mendiagnosa lesi yang jinak di
dalam uterus. Beberapa penelitian telah mengkombinasikan transvaginal,
sonohisterografi dan EMB dengan pipelle untuk mengidentifikasi
penyeban dari perdarahan uterus abnormal dan secara spesifik perdarahan
post menopause. Bila dibandingkan dengan DC-histeroskopi sebagai
standar utama, transvaginal, sonohisterografi, dan EMB dengan pipelle
memiliki sensitivitas lebih dari 94%.
Wanita dengan perdarahan post menopause harus menjalani
pemeriksaan fisik yang menyebluruh untuk menentukan sumber
perdarahan. Jika pemeriksaan fisik tidak dapat menjelaskan penyebab
perdarahan, USG transvaginal dapat digunakan sebagai panduan untuk
pemeriksaan lebih lanjut. Wanita post menopause dengan penebalan
dinding uterus (>5mm) atau wanita dengan perdarahan persisten yang
tidak bisa dijelaskan membutuhkan biopsi endometrium. Diagnosis
hiperplasia atau karsinoma endometrium pada pemeriksaan biopsi
enometrium harus dievaluasi dengan DC untuk memperoleh spesimen
yang lebih luas.
USG
Observasi Pipelle
EMB
Perarahan
Rekuren Hiperplasia Lain-lain (Proliferasi
endometrium, atropi,
kanker)
DC dengan
Histeroskopi
2.3.8 Progresifitas
Seperti diketahui bahwa hiperplasia endometrium berpotensi berubah
menjadi progresif ke arah karsinoma endometrium. Namun selain menjadi
progresif, hiperplasia endometrium juga dapat mengalami regresi dan juga
dapat persisten.
3.1 Identitas
Nama :
Usia :
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Pendidikan :
Alamat :
MRS :
3.2 Anamnesis
Anamnesis (Autoanamnesis dilakukan pada tanggal April 2018)
20080. Keluhan Utama
Perdarahan seperti darah haid tidak berhenti sejak 1 bulan sebelum masuk rumah
sakit
37
Penyakit Jantung (-)
Penyakit Ginjal (-)
Status Ginekologi
a. Pemeriksaan Luar
Abdomen
- TFU : Tidak teraba
- Distensi : (-)
- Ballotement : (+)
- Nyeri tekan : (-)
- Tanda cairan bebas : (-)
Vagina
Tidak dilakukan
37
3.6 Tatalaksana
- Tirah baring
- Observasi perdarahan dan tanda vital
- IVFD ASERING + ketorolac 1 ampul gtt XX/menit
- Ketoprofen supos
- Injeksi Omeprazole 2x1 gr
- Injeksi Ceftriaxone 2x1 gr
- Antasida 3x1
- 20.30 WIB PRC
- 23.30 WIB Ganti NaCl kocor
- 23.40 WIB Ganti Asering
- 00.30 WIB PRC
- 02.00 WIB Infus 2 jalur RL gtt XX/menit + Ondansentron 4 mg + Asam
Traneksamat 1 ampul
3.7 Follow Up
15 April 217
Pukul 20.00
S : Mual dan muntah
O : KU : Tampak sakit sedang, compos mentis
VS : TD 90/70 mmHg, HR 80x/m, RR 20x/m, T 370C
A : G1P0A0 hamil 9-10 minggu dengan Hiperemesis Gravidarum
P :
- Tirah baring
- IVFD ASERING:DS:RL 1:1:1 gtt 25x/menit
- Injeksi Ondansentron 3x4 mg
- Injeksi Ranitidin 3x1
- Injeksi Cefotaxime 2x1 gr
- Mediamer 2x1 tablet per oral
- Obimin 1x1 gr
- Rencana USG
16 April 217
Pukul 07.00
S :-
37
O : KU : Compos mentis
VS : TD 100/70 mmHg, HR 87x/m, RR 22x/m, T 370C
A : G1P0A0 hamil 9-10 minggu dengan Hiperemesis Gravidarum
P :
- Tirah baring
- IVFD ASERING:DS:RL 1:1:1 gtt 25x/menit
- Injeksi Ondansentron 3x4 mg
- Injeksi Ranitidin 3x1
- Injeksi Cefotaxime 2x1 gr
- Mediamer 2x1 tablet per oral
- Obimin 1x1 gr
16 April 217
Pukul 12.00
S :-
O : KU : Compos mentis
VS : TD 110/70 mmHg, HR 85x/m, RR 22x/m, T 370C
A : G1P0A0 hamil 9-10 minggu dengan Hiperemesis Gravidarum
P :
- IVFD aff
- Ondansetron 1x8 mg tablet oral
- Ranitidin 3x30 mg tablet oral
- Mediamer 2x1 tablet per oral
- Obimin 1x1 gr
- Rencana pulang hari ini
37
DAFTAR PUSTAKA
Elly, J. W., Kennedy, C. M., Clark, E. C., & Bowdler, N. C. (2006). Abnormal
Uterine Bleeding: A Management Algortihm. JABFM , 590-602.
Munro, M. G., Critchley, H. O., Broder, M. S., & Fraser, I. S. (2011). FIGO
Classification System (PALM-COEIN) for Causes of Abnormal Uterine Bleeding
in Non Gravid Women of Reproductive Age. International Journal of Gynecology
and Obstetrics , 3-12.
Vilos, G. A., Lefebvre, G., Graves, G. R., & NS, H. (2001). Guideline For The
Management Of Abnormal Uterine Bleeding. Journal Of Obstetrics and
Gynecologics Canada , 1-6.
Wildemeersch, D., & Dhont, M. (2003). Treatment of Non Atypical and Atypical
Endometrial Hyperplasia With a Levonorgestrel-Releasing Intra Uterine System .
37
American Journal of Obstretics and Gynecologics , 1-4.
37