Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH TUTORIAL

BLOK KEGAWATDARURATAN

SKENARIO 1

“MINUM BAYGON”

OLEH : KELOMPOK 10

DOSEN TUTOR : dr. Laily Agustina

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2019
DAFTAR NAMA ANGGOTA KELOMPOK

1. Muhammad Haris Al Ghipari NIM. 1610911110026


2. Muhammad Lazuardi Khalfi NIM. 1610911110027
3. Muhammad Muzain Azhar NIM. 1610911120028
4. Ikke Nur Anindyta Wibowo NIM. 1610911320021
5. Iola Salsabila NIM. 1610911320022
6. Shania Indah Chineko NIM. 1610911320048
7. Shelsy Marippi NIM. 1610911320049
8. Nadya Dwi Kurnia NIM. 1610911220040
9. Nurhafizah Rafiani NIM. 1610911220041
10. Nurmalita Insani Haq NIM. 1610911220042
11. Gaida Akmila NIM. 1610911320019
12. Hartina Fajar Damayanti NIM. 1610911320020
13. Lidya Hartiyah NIM. I1A015033
SKENARIO

Minum Baygon
Seorang wanita berusia 25 tahun, pekerjaan penyadap karet, ditemukan oleh suaminya
dalam kondisi lemah tak berdaya di kamar tidurnya pada sore hari. Saat badannya hendak
diangkat ditemukan adanya berkas muntahan pada seprei kasurnya dan di mulut pasien terdapat
buih. Pasien kemudian dibawa ke Puskesmas dan diperiksa oleh dokter puskesmas tersebut.
Saat dokter Puskesmas memeriksa respon pasien, pasien hanya memberikan suara
merintih dan gerakan terhadap rangsangan yang diberikan, membuka mata jika berikan
rangsangan nyeri. Pasien bernafas pendek-pendek disertai dengan bunyi diakhir ekspirasi,
berkeringat dingin, nadi diraba lambat dan lemah. Dari mulut pasien, sang dokter mencium bau
obat pmbunuh serangga yang menyengat. Dokter tersebut kemudian memberikan pertolongan
pertama, kemudian anamnesis singkat dengan keluarga diketahui bahwa pasien sering didatangi
penagih hutang dan beberapa hari ini terlihat murung.

LANGKAH 1. IDENTIFIKASI DAN KLARIFIKASI ISTILAH

LANGKAH 2. DAFTAR MASALAH


1. Mengapa keluar buih dari mulut pasien?
2. Apa saja komposisi baygon yang dapat menyebabkan munculnya buih pada mulut
pasien?
3. Mengapa pasien menjadi lemah dan tidak berdaya?
4. Bagaimana interpretasi dari respon yang diberikan oleh pasien?
5. Pemeriksaan awal apa yang perlu dilakukan pada keluhan seperti di skenario?
6. Mengapa muncul keluhan napas pendek dengan bunyi ekspirasi pada pasien?
7. Bagaimana kompetensi dokter umum pada kasus seperti di skenario ini?
8. Faktor apa saja yang dapat memengaruhi kejadian seperti pada skenario?
9. Bagaimana penanganan awal kasus pada skenario?
10. Apa saja penanganan lanjutan yang dapat dilakukan pada kasus seperti di skenario?
11. Berapa lama golden period pada kasus keracunan?
12. Apa saja bentuk respon pasien yang dapat dinilai oleh dokter?
13. Apa yang akan terjadi apabila pasien tidak segera ditangani?
14. Bagaimana hubungan status usia dengan keluhan?

LANGKAH 3. ANALISIS MASALAH

1. Mengapa keluar buih dari mulut pasien?


Berikut patofisiologi yang terjadi pada kasus keracunan baygon sehingga menimbulkan
beberapa manifestasi klinis.1
Manifestasi lain yang mungkin muncul diantaranya: 11
• Kulit memerah atau bengkak
• Iritasi kulit
• Banyak mengeluarkan air liur dan air mata
• Bibir dan ujung jari membiru
• Pusing

• Sakit kepala
• Nyeri otot
• Diare

• Kram perut
• Hilang nafsu makan
• Mual dan muntah
• Sering buang air kecil
• Detak jantung melambat
• Sesak napas
• Mengi (bengek)
• Kejang

• Lumpuh

• Koma

• Kematian
2. Apa saja komposisi baygon yang dapat menyebabkan munculnya buih pada
mulut pasien?
Insektisida ini bekerja dengan menghambat dan menginaktivasikan enzim
asetilkolinesterase. Enzim ini secara normal menghancurkan asetilkolin yang dilepaskan oleh
susunan saraf pusat, gangglion autonom, ujung-ujung saraf parasimpatis, dan ujung-ujung saraf
motorik. Hambatan asetilkolinesterase menyebabkan tertumpuknya sejumlah besar asetilkolin
pada tempat-tempat tersebut.2
Asetilkholin itu bersifat mengeksitasi dari neuron – neuron yang ada di post sinaps,
sedangkan asetilkolinesterasenya diinaktifkan, sehingga tidak terjadi adanya katalisis dari asam
asetil dan kholin. Terjadi akumulasi dari asetilkolin di sistem saraf tepi, sistem saraf pusatm
neomuscular junction dan sel darah merah, Akibatnya akan menimbulkan hipereksitasi secara
terus menerus dari reseptor muskarinik dan nikotinik.2
Di dalam baygon itu terkandung 2 racun utama yaitu Propoxur dan transfluthrin.
Propoxur adalah senyawa karbamat yang merupakan senyawa Seperti organofosfat tetapi efek
hambatan cholin esterase bersivat reversibel dan tidak mempunyai efek sentral karena tidak
dapat menembus blood brain barrier. Gejala klinis sama dengan keracunan organofosfat tetapi
lebih ringan dan waktunya lebih singkat. Penatalaksanaannya juga sama seperti pada keracunan
organofosfat.2
Dampak terbanyak dari kasus ini adalah pada sistem saraf pusat yang akan
mengakibatkan penurunan tingkat kesadaran dan depresi pernapasan. Fungsi kardiovaskuler
mungkin juga terganggu, sebagian karena efek toksik langsung pada miokard dan pembuluh
darah perifer, dan sebagian lagi karena depresi pusat kardiovaskular di otak. Hipotensi yang
terjadi mungkin berat dan bila berlangsung lama dapat menyebabkan kerusakan ginjal,
hipotermia terjadi bila ada depresi mekanisme pengaturan suhu tubuh. Gambaran khas syok
mungkin tidak tampak karena adanya depresi sistem saraf pusat dan hipotermia, Hipotermia
yang terjadi akan memperberat syok, asidemia, dan hipoksia.2
Mekanisme racun masuk ke dalam tubuh, akan mengikat AchE sehingg AchE menjadi
inaktif dan terjadi akumulasi asetilkolin. Pada saat enzim ini dihambat terjadi peningkatan
jumlah asetilkolin dan berikatan dengan reseptoe muskarinik dan nikotinik pada system saraf
pusat dan perifer yang menimbulkan gejala muntah, pupil miosis, kelopak mata cekung, nyeri
epigastrium dan sesak napas.3
Reseptor muscarinic ini, selain ikatannya dengan asetilkolin,yaitu suatu alkaloid yang
dikandung oleh jamur beracun tertentu. Sebaliknya, reseptor muskarinik ini menunjukkan
afinitas lemah terhadap nikotin. Dengan menggunakan studi ikatan dan penghambat tertentu,
maka telah ditemukan beberapa subklas reseptor muskarinik seperti M1, M2, M3, M4, M5.
Reseptor muskarinik dijumpai dalam ganglia system saraf tepi dan organ efektor otonom, seperti
jantung, otot polos, otak dan kelenjar eksokrin. Secara khusus walaupun kelima subtype reseptor
muskarinik terdapat dalam neuron, namun reseptor M1 ditemukan pula dalam sel parietal
lambung, dan reseptor M2 di otot jantung, M3 dalam kelenjar eksokrin dan otot polos.3
Pada M3 akan memacu peningkatan terhadap produksi Saliva sehingga penderita
mengalami air liur yang berlebihan dan berbuih
Secara umum Baygon terdiri dari 2 bahan yaitu zat aktif atau zat racun dan zat tambahan
seperti pewangi dan lain sebagainya. Zat aktif atau zat racun inilah yang ketika masuk ke dalam
tubuh baik melalui pernafasan , tertelan, ataupun kontak kulit. Kemudian racun tersebut akan
menuju ke peredaran darah dan akan menghambat kerja enzim asetilkolinesterase yang tugasnya
menghidrolisis asetilkolin menjadi asetat dan kolin. Ketika asetilkolinesterase diinhibisi, maka
proses hidrolisis tersebut tidak terjadi dan akhirnya terjadi penumpukan asetilkolin. Asetilkolin
sendiri merupakan neurotransmitter yang bekerja di ganglion simpatis dan parasimpatis.
Sehingga apabila impulsnya meningkat maka efek dari simpatis dan parasimpatisnya meningkat,
tapi pada kasus ini parasimpatisnya yang dominan . efek parasimpatis yang berlebihan itulah
yang akan menyebabkan terjadina hipersalivasi, yang ditandai dengan keuarnya buih dari mulut
pasien.8

3. Mengapa pasien menjadi lemah dan tidak berdaya?


Pada skenario ini, pasien muntah-muntah sehingga kehilangan cairan elektrolit yang
menyebabkan dehidrasi yaitu gangguan dalam keseimbangan cairan atau air dalam tubuh. karena
pengeluaran air lebih banyak dari pemasukan , menyebabkan dehidrasi dan badan menjadi
lemah.

4. Bagaimana interpretasi dari respon yang diberikan oleh pasien?


Klasifikasi berdasarkan cedera kepala:4
Cedera kepala berat : ≤8
Cedera kepala sedang : 9-12
Cedara kepala ringan : 13-15

Klasifikasi bentuk kesadaran:


1. Composmentis ( Nilai GCS : 15 – 14 )
• Kondisi seseorang sadar sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun terhadap
lingkungannya
2. Apatis ( Nilai GCS : 13 – 12 )
• Kondisi seseorang yang tampak segan dan acuh tak acuh terhadap lingkungannya
3. Delirium ( Nilai GCS : 11 – 10 )
• Kondisi seseorang mengalami kekacauan gerakan, disorientasi serta meronta-
ronta
4. Somnolen ( Nilai GCS : 9 – 7 )
• Kondisi seseorang yang mengantuk namun masih dapat sadar bila dirangsang
5. Sopor ( Nilai GCS : 6 – 5 )
• Kurang lebih sama seperti somnolen tetapi dengan rangsang nyeri
6. Semi-coma ( Nilai GCS : 4 )
• Penurunan kesadaran, tidak merespon kecuali rangsang nyeri (sedikit) refleks
kornea dan pupil masih baik
7. Coma ( Nilai GCS : 3 )
• T
idak
ada
respons
terhada
p
rangsan
gan
nyeri

(Sumber
: Institut
Ilmu
Saraf
NHS
Greater
Glasgo
w and
Clyde.
Penilaia
n
kesadara
n menurut Skala Glasgow)
5. Pemeriksaan awal apa yang perlu dilakukan pada keluhan seperti di skenario?
Pada pemeriksaan fisik penting dilakukan, antara lain:5
a. Untuk mengetahui tempat masuknya racun:
• Inhalasi
• Absorbs kulit dan mukosa
• Parenteral
• Per oral : dapat diketahui lewat bau mulut atau muntahan, terdapat luka bakar keputihan
pada mukosa mulut atau keabuan pada bibir dan dagu
b. Bau racun
• Aseton > isopropyl alcohol, aseton
• Almond > sianida
• Bawang putih > arsenic, selenium
• Telur busuk > hydrogen sulfide, 9ercaptan
c. Warna urin
• Hijau/biru > metilin biru
• Kuning merah > rifampisin, besi
• Coklat tua > fenol, kresol
d. Status keadaran, menggunakan GCS
e. Pemeriksaan status lokalis head to toe

6. Mengapa muncul keluhan napas pendek dengan bunyi ekspirasi pada pasien?
Terjawab pada nomor 1

7. Bagaimana kompetensi dokter umum pada kasus seperti di skenario ini?


Pada kasus intoksikasi, kompetensi dokter umum adalah 3a. yaitu mampu membuat
diagnosis klinis berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan – pemeriksaan tambahan yang
diminta oleh dokter. Dokter dapat memutuskan dan memberi terapi pendahuluan, serta merujuk
ke spesialis yang relevan (bukan kasus gawat darurat).
8. Faktor apa saja yang dapat memengaruhi kejadian seperti pada skenario?
- Umur : aktivitas kolinesterasu berbeda dengan anak-anak dan orang dewasa >20tahun. Usia
<20tahun merupakan kontraindikasi bagi orang yang terpapar dengan organofosfat karena
dapat menurunkan aktivitas kolinestrase dalam darah sehingga dapat memperberat
keracunan. Seorang dengan bertambahnya usia maka kadar rata-rata enzim kolinestrase
dalam darah akan semakin rendah sehingga akan mempermudah keracunan.
- Jenis Kelamin : Aktivitas ACHE secara signifikan lebih tinggi pada pria disbandingkan
perempuan.
- Tingkat Pendidikan : Penggunaan dan cara pakai dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang
tinggi.
- Status gizi : Status gizi yang buruk → menurunkan daya tahan tubuh sehingga protein dalam
tubuh sangat terbatas, sedangkan enzim ACHE dibentuk oleh protein. Sehingga
mengakibatkan enzim kolinestrase akan terganggu. Orang yang gizi buruk yang rendah
cenderung mengakibatkan malnutrisi dan anemia yang dapat pengaruhi kadar kolinestrase
dalam darah.
Faktor utama yang menyebabkan kejadian di skenario adalah kondisi psikis pasien yang
kemungkinan stres karena hutang.
Usia Seseorang dengan bertambah usia maka kadar rata-rata kolinesterase dalam darah
akan semakin rendah sehingga akan mempermudah terjadinya keracunan pestisida.9
Jenis kelamin. Kadar kolin bebas dalam plasma darah laki-laki normal rata-rata 4,4
μg/ml. Jenis kelamin sangat mempengaruhi aktivitas enzim kolinesterase, jenis kelamin laki-laki
lebih rendah dibandingkan jenis kelamin perempuan karena pada perempuan lebih banyak
kandungan enzim kolinesterase, meskipun demikian tidak dianjurkan wanita menyemprot
dengan menggunakan pestisida, karena pada saat kehamilan kadar rata-rata kolinesterase
cenderung turun.9
ACh dibentuk pada seluruh bagian sistem saraf. ACh juga dapat dijumpai di otak
khususnya sistem saraf otonom. ACh berperan sebagai neurotransmiter pada ganglio simpatis
maupun parasimpatis. Inhibisi kolinesterase pada ganglion simpatis akan meningkatkan
rangsangan simpatis dengan manifestasi klinis midriasis, hipertensi dan takikardia. Inhibisi
kolinesterase pada ganglion parasimpatis akan menghasilkan peningkatan rangsangan saraf
parasimpatis dengan manifestasi klinis miosis, hipersalivasi dan bradikardi. Besarnya rangsangan
pada masing-masing saraf simpatis dan parasimpatis akan berpengaruh pada manifestasi klinis
yang muncul.9

9. Bagaimana penanganan awal kasus pada skenario?


Prinsip tatalaksana,6
1. Safety first, jangan lupa meminta bantuan ambulan dan tenaga medis profesional
2. Primary assessment dan secondary assessment
3. Dekontaminasi racun dari tubuh pasien
4. Lakukan manajemen spesifik sesuai dengan racun korban

Don’t:6
- Merangsang muntah apabila racun yang tertelan bersifat korosif. Untuk mengecek racun
yang bersifat korosif dapat dilihat dari mulut dan tenggorokan pasien apakah terdapat iritasi
atau luka bakar
- Breathing rescue mouth to mouth, dianjurkan untuk menggunakan pocket face mask, bag
valve atau oksigen

Langkah selanjutnya setelah survey primer (resusitasi) dan survey skunder adalah sebagai
berikut:2
1. Dekontaminasi
Merupakan terapi intervensi yang bertujuan untuk menurunkan pemaparan terhadap racun,
mengurangi absorpsi dan mencegah kerusakan. Ada beberapa dekontaminasi yang perlu
dilakukan yaitu:
a. Dekontaminasi pulmonal
Dekontaminasi pulmonal berupa tindakan menjauhkan korban dari pemaparan inhalasi
zat racun, monitor kemungkinan gawat napas dan berikan oksigen 100% dan jika perlu
beri ventilator.
b. Dekontaminasi mata
Dekontaminasi mata berupa tindakan untuk membersihkan mata dari racun yaitu dengan
memposisikan kepala pasien ditengadahkan dan miring ke posisi mata yang terburuk
kondisinya. Buka kelopak matanya perlahan dan irigasi larutan aquades atau NaCL 0,9%
perlahan sampai zat racunnya diperkirakan sudah hilang.
c. Dekontaminasi kulit (rambut dan kuku)
Tindakan dekontaminasi paling awal adalah melepaskan pakaian, arloji, sepatu dan
aksesoris lainnnya dan masukkan dalam wadah plastik yang kedap air kemudian tutup
rapat, cuci bagian kulit yang terkena dengan air mengalir dan disabun minimal 10 menit
selanjutnya keringkan dengan handuk kering dan lembut.
d. Dekontaminasi gastrointestinal
Penelanan merupakan rute pemaparan yang tersering, sehingga tindakan pemberian
bahan pengikat (karbon aktif), pengenceran atau mengeluarkan isi lambung dengan cara
induksi muntah atau aspirasi dan kumbah lambung dapat mengurangi jumlah paparan
bahan toksik.

2. Eliminasi
Tindakan eliminasi adalah tindakan untuk mempercepat pengeluaran racun yang sedang beredar
dalam darah, atau dalam saluran gastrointestinal setelah lebih dari 4 jam. Langkah-langkahnya
meliputi :
a. Emesis, merangsang penderita supaya muntah pada penderita yang sadar atau dengan
pemberian sirup ipecac 15 – 30 ml. Dapat diulang setelah 20 menit bila tidak berhasil.
b. Katarsis, (intestinal lavage), dengan pemberian laksan bila diduga racun telah sampai
diusus halus dan besar.
c. Kumbah lambung atau gastric lavage, pada penderita yang kesadarannya menurun, atau
pada penderita yang tidak kooperatif. Hasilnya paling efektif bila kumbah lambung
dikerjakan dalam 4 jam setelah keracunan.

Emesis, katarsis dan kumbah lambung sebaiknya hanya dilakukan bila keracunan terjadi
kurang dari 4-6 jam. pada koma derajat sedang hingga berat tindakan kumbah lambung
sebaiknya dukerjakan dengan bantuan pemasangan pipa endotrakeal berbalon,untuk mencegah
aspirasi pnemonia.
Adapun prosedurnya adalah sebagai berikut: 10
a. Pengobatan pada pasien yang sadar :
1) Kumbah lambung
2) Injeksi sulfas atropin 2 mg (8 ampul) Intra muscular
3) 30 menit kemudian berikan 0,5 mg SA (2 ampul) IM, diulang tiap 30 menit sampai terjadi
artropinisasi.
4) Setelah atropinisasi tercapai, diberikan 0,25 mg SA (1 ampul) IM tiap 4 jam selama 24 jam .
b. Pada pasien yang tidak sadar
1) Injeksi sulfus Atropin 4 mg intra vena (16 ampul)
2) 30 menit kemudian berikan SA 2 mg (8 ampul) IM, diulangi setiap 30 menit sampai klien
sadar.
3) Setelah klien sadar, berikan SA 0,5 mg (2 ampul) IM sampai tercapai atropinisasi, ditandai
dengan midriasis, fotofobia, mulut kering, takikardi, palpitasi, dan tensi terukur.
4) Setelah atropinisasi tercapai, berikan SA 0,25 mg (1 ampul) IM tiap 4 jam selama 24 jam.

10. Apa saja penanganan lanjutan yang dapat dilakukan pada kasus seperti di
skenario?

11. Berapa lama golden period pada kasus keracunan?

12. Apa saja bentuk respon pasien yang dapat dinilai oleh dokter?
Terjawab pada nomor 4

13. Apa yang akan terjadi apabila pasien tidak segera ditangani?
Dampak terbanyak dari kasus ini adalah pada sistem saraf pusat yang akan
mengakibatkan penurunan tingkat kesadaran dan depresi pernapasan. Fungsi kardiovaskular
mungkin juga terganggu, sebagian karena efek toksik langsung pada miokard dan pembuluh
darah perifer, dan sebagian lagi karena depresi pusat kardiovaskular di otak. Hipotensi yang
terjadi mungkin berat dan bila berlangsung lama dapat menyebabkan kerusakan ginjal,
hipotermia terjadi bila ada depresi mekanisme pengaturan suhu tubuh. Gambaran khas syok
mungkin tidak tampak karena adanya depresi sistem saraf pusat dan hipotermia, hipotermia
yang terjadi memperberat syok, asidemia, dan hipoksia.7
14. Bagaimana hubungan status usia dengan keluhan?
Terjawab pada nomor 8

SOAP
Identitas: Wanita berusia 25 tahun
Subjective:
- Lemah tak berdaya
- Terdapat buih dari mulut pasien
Objective:
- KU: tampak sakit berat
- GCS: 8 (2-2-4)
- Napas pendek-pendek disertai dengan bunyi diakhir respirasi
- Berkeringat dingin
- Nadi teraba lambat dan lemah
- Dari mulut pasien tercium bau obat pembunuh serangga
Assessment
- Intoksikasi insektisida organofosfat
- Overdosis obat-obatan
Planning
- Untuk pasien di skenario ini akan dilakukan primary assessment berupa stabilisasi
airway, breathing dan circulation. Kemudian dilakukan dekontaminasi serta eliminasi
racun dari tubuh pasien.
TABEL DIAGNOSIS BANDING

Intoksikasi
Overdosis obat-
Anamnesis Insektisida
obatan
organofosfat

Wanita, usia 25 tahun +/- +/-


KU : lemah tak berdaya + +
Terdapat buih dari mulut pasien + +/-
Onset : < 1 hari + +/-
GCS: 8 (2-2-4) + +
Berkeringat dingin + +
Nadi teraba lambat dan lemah + +
Dari mulut pasien tercium bau
obat pembunuh serangga yang + -
menyengat
Keadaan umum: tampak sakit
+ +
berat
Tanda vital:
- RR: 28 +
- Suhu: 36,3 + +
- HR: 42 +
- TD: 80/50 +

P(x) Fisik:
Kepala: + +/-
- Pupil (1 mm/ 1 mm) + +
- Hipersalivasi (+)
Toraks: + +/-
- Takipneu + +/-
- Wheezing
Abdomen: +/- +/-
- Dalam batas normal
Sensoris: + -
- Merespon dengan nyeri

P(x) Lab:
- Darah: normal + +
- EKG: Sinus bradikardi
+ +
LANGKAH 4. POHON MASALAH
PROBLEM TREE

Wanita berusia
25 tahun

KU: lemas tak Muntah (+)


Onset : <1 hari
berdaya Buih dari mulut (+)

DD
1. Intoksikasi insektisida
organofosfat
- KU: tampak sakit berat 2. Overdosis obat-obatan
- GCS: 8 (2-2-4)
- Napas pendek-pendek
Tanda vital:
disertai dengan bunyi
1. RR: 28x/min
diakhir respirasi
Pemeriksaan 2. Suhu: 36,3 C
- Berkeringat dingin
fisik 3. HR: 42 x/min
- Nadi teraba lambat dan
4. TD: 80/50
lemah
mmHg
- Dari mulut pasien
tercium bau obat DK
pembunuh serangga Intoksikasi insektisida
organofosfat

Definisi Prognosis

Epidemiologi Pencegahan

Etiologi Komplikasi

Faktor Talak
Risiko
Klasifikasi Diagnosis

Patofisiologi Manifestasi klinis


i
LANGKAH 5. SASARAN BELAJAR
1. Membahas Problem tree
2. Menjawab pertanyaan yang belum terjawab

LANGKAH 6. BELAJAR MANDIRI


LANGKAH 7. SINTESIS HASIL BELAJAR
INTOKSIKASI INSEKTISIDA ORGANOFOSFAT

A. Definisi

-Racun adalah suatu zat yang ketika tertelan, terhisap, diabsorpsi, menempel pada

kulit, atau dihasilkan di dalam tubuh dalam jumlah yang relatif kecil dapat

mengakibatkan cedera dari tubuh dengan adanya reaksi kimia. Racun merupakan zat

yang bekerja pada tubuh secara kimiawi dan fisiologik yang dalam dosis toksik akan

menyebabkan gangguan kesehatan atau mengakibatkan kematian.

-Keracunan atau intoksikasi menurut WHO adalah kondisi yang mengikuti

masuknya suatu zat psikoaktif yang menyebabkan gangguan kesadaran, kognisi,

persepsi, afek, perlaku, fungsi, dan repon psikofisiologis.

-Keracunan dapat diartikan sebagai masuknya suatu zat kedalam tubuh yang dapat

menyebabkan ketidaknormalan mekanisme dalam tubuh bahkan sampai dapat

menyebabkan kematian.

Ditemukannya kadar kolinesterase dalam darah dengan menggunakan pemeriksaan

spektrofotometer.

B. Epidemiologi

Pada tahun 2006 di Kabupaten Magelang telah dilaksanakan pemeriksaan aktifitas

kholinesterase pada petani berlokasi di 7 Kecamatan dengan jumlah yang diperiksa

sebanyak 550 orang menunjukan keracunan 99,8 % dengan rincian ; keracunan berat

18,2%; kearacunan sedang 72,73%; keracunan ringan 8,9% dan normal 0,18 %. 11,12).
Kecamatan Ngablak memiliki luas lahan pertanian 3252 Ha, dengan jumlah kelompok

tani sebanyak 73 kelompok yang tersebar di 16 desa. Pada umumnya mereka bercocok

tanam tanaman hortikultura seperti kobis, kentang, wortel, tomat, cabe dan sebagainya,

sedang pada musim tanam tembakau tiba mereka menanam tembakau dengan sistem

tumpang sari. Pada tahun 2006 di Kecamatan Ngablak telah dilaksanakan pemeriksaan

aktifitas kholinesterase pada petani dengan jumlah sampel yang diperiksa 50 orang

menunjukan 98 % keracunan dengan rincian keracunan berat 16 %, keracunan sedang

48%, keracunan ringan 34% dan normal 2%. Pada tahun 2008 hasil penelitian dengan

jumlah sampel yang diperiksa 68 orang menunjukkan kadar kholinesterase darah petani

sayuran di Desa Sumberejo yang mengalami keracunan sebesar 76,47% 11,12,14). Pada

bulan Desember 2008 hasil prapenelitian dengan jumlah sampel yang diperiksa 10 orang

istri petani menunjukkan kadar kholinesterase darah di Desa Sumberejo yang mengalami

keracunan sebesar 50%.

Sebagian besar terjadi di negara berkembang sebagai akibat dari paparan yang

tidak disengaja maupun disengaja. Merupakan penyebab paling sering kematian akibat

keracunan yang disengaja, menyebabkan sekitar 200.000 kematian tiap tahun di Srilanka

sekitar 10.000-20.000 pasien rawat inap karena organofosfat 10% meninggal kebanyakan

kasus yang disengaj. Kasus kematian dinegara berkembang umumnya >20%.


C. Etiologi

Penyebab keracunan tersebut adalah zat organofosfat, yang merupakan senyawa

ester asam fosfat atau asam tiofosfat. Umunya digunakan sebagai insektisida dalam

ruangan dan sifatnya sangat toksik. Pestisida orgaofosfat apabila masuk ke dalam tubuh

baik melalui pernafasan , tertelan, ataupun kontak kulit dapat menuju ke peredaran darah

dan akan menghambat kerja enzim asetilkolinesterase yang tugasnya menghidrolisis

asetilkolin menjadi asetat dan kolin. Ketika asetilkolinesterase diinhibisi, maka proses

hidrolisis tersebut tidak terjadi dan akhirnya terjadi penumpukan asetilkolin. Asetilkolin

sendiri merupakan neurotransmitter yang bekerja di ganglion simpatis dan parasimpatis.

Sehingga apabila impulsnya meningkat maka efek dari simpatis dan parasimpatisnya

meningkat, tapi pada kasus ini parasimpatisnya yang dominan . efek parasimpatis yang

berlebihan itulah yang akan menyebabkan terjadinya gejala-gejala keracunan.


1. Kandungan baygon

Etiologi dari intoksikasi insektisida golongan organofosfat diakibatkan dari

kandungan baygon itu sendiri yang terkandung 2 racun utama yaitu Propoxur dan

transfluthrin. Propoxur adalah senyawa karbamat yang merupakan senyawa seperti

organofosfat tetapi efek hambatan cholinesterase bersifat reversibel (sementara) dan tidak

mempunyai efek sentral karena tidak dapat menembus blood brain barrier.

2. Cara pemberian

Setiap racun baru akan menimbulkan efek yang maksimal pada tubuh jika cara

pemberiannya tepat. Misalnya jika racun-racun yang berbentuk gas tentu akan

memberikan efek maksimal bila masuknya ke dalam tubuh secara inhalasi. Jika racun

tersebut masuk kedalam tubuh secara ingesti tentu tidak akan menimbulkan akibat yang

sama hebatnya walaupun dosis yang masuk ke dalam tubuh sama besarnya Berdasarkan

cara pemberian, maka umumnya racun akan paling cepat bekerja pada tubuh jika masuk

secara inhalasi, kemudian secara injeksi (i.v, i.m, dan s.c), ingesti, absorbsi melalui

mukosa, dan yang paling lambat jika racun tersebut masuk ke dalam tubuh melalui kulit

yang sehat

3. Racunnya sendiri

a. Dosis

Besar-kecilnya dosis racun akan menentukan berat-ringannya akibat yang

ditimbulkan Dalam hal ini tidak boleh dilupakan akan adanya faktor toleransi, dan

intoleransi individual. Pada intoleransi, gejala keracunan akan tampak walaupun

racun yang masuk ke dalam tubuh belum mencapai level toksik. Keadaan

intoleransi tersebut dapat bersifat bawaan / kongenital atau intoleransi yang didapat
setelah seseorang menderita penyakit yang mengakibatkan gangguan pada organ

yang berfungsi melakukan detoksifikasi dan ekskresi.

b. Konsentrasi

Untuk racun-racun yang kerjanya dalam tubuh secara lokal misalnya zat-zat korosif,

konsentrasi lebih penting bila dibandingkan dengan dosis total. Keadaan tersebut

berbeda dengan racun yang bekerja secara sistemik, dimana dalam hal ini dosislah

yang berperan dalam menentukan berat-ringannya akibat yang ditimbulkan oleh

racun tersebut.

c. Bentuk dan kombinasi fisik

Racun yang berbentuk cair tentunya akan lebih cepat menimbulkan efek bila

dibandingkan dengan yang berbentuk padat. Seseorang yang menelan racun dalam

keadaan lambung kosong, tentu akan lebih cepat keracunan bila dibandingkan

dengan orang yang menelan racun dalam keadaan lambungnyaberisi makanan.

D. Klasifikasi

Menurut WHO mengklasifikasikan pestisida toksisitas dalam bentuk formulasi padat

dan cair, ada 4 kelas

1. Kelas IA : amat sangat berbahaya

2. Kelas IB : Amat Berbahaya

3. Kelas II : Cukup berbahaya

4. Kelas III : Agak Berbahaya

- Menurut waktu terjadinya keracunan

a. Keracunan akut
Bentuk keracunan yang terjadi jika gejala keracunan timbul dalam waktu kurang dari

24 jam sesudah masuknya zat racun ke dalam tubuh dan paparan terjadi sangat

mendadak dan berat.

Contoh: menelan sianinda dalam dosis toksik

Keracunan akut biasanya disebabkan oleh suatu dosis tunggal racun berupa cairan, padat

atau gas yang mudah diserap dan berkemampuan untuk merusak satu atau lebih proses

fisiologis yang vital.

b. Keracunan sub-akut

Keracunan sub-akut timbul akibat paparan yang sering dan berulang selama beberapa jam

atau hari. Gejala keracunan ini biasanya sama dengan keracunan akut, dan bahan toksik

yang serupa biasanya dapat menimbulkan kedua macam keracunan itu.

c. Keracunan kronik

Keracunan kronik terjadi akibat paparan yang berulang selama jangka waktu yang lama,

terhadap suatu bahan toksik yang memiliki kecenderungan untuk berakumulasi didalam

tubuh.

Sebagian besar kasus keracunan kronik adalah akibat:

-Kontaminasi kulit yang kontinu atau berulang-ulang

-Inhalasi udara yang terkontaminasi

-Makan makanan yang mengandung suatu bahan toksik dalam jumlah kecil yang

persisten menekan fungsi beberapa organ tertentu pada tingkatan aktivitas subnormal

untuk jangka waktu yang lama.


- Tingkat toksisitas berdasarkan gejala :

E. Faktor Risiko

Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya keracunan adalah hal-hal yang

mempengaruhi tingkat atau kadar kolinesterase di dalam tubuh seseorang.

1. Usia, semakin tua usia seseorang semakin rendah kadar asetilkolinesterasenya

sehingga akan lebih berisiko terkena keracunan.

2. Kondisi gizi, seseorang yang kondisi gizi nya buruk maka protein dalam tubuhnya

terbatas, sehingga pembentukan asetilkolinnya juga terganggu.

3. Jenis kelamin, kadar kolinesterase pada perempuan kebih tinggi dibanding laki-laki,

tetapi saat hamil menjadi sama.

4. Tingkat pengetahuan &amp; Pendidikan, rendahnya tingkat pendidikan dan

ketidaktahuan masyarakat mengenai penggunaan dan bahaya pestisida akan

meningkatkan kejadian keracunan.

5. Kebiasaan, Jika terbiasa kontak dengan racun dalam jumlah kecil mungkin dapat

terjadi toleransi terhadap racun yang sama dalam jumlah relatif besar tanpa menimbulkan

gejala keracunan.
6. Dosis racun , Jumlah racun sangat berkaitan erat dengan efek yang ditimbulkannya.

Pada umumnya dosis racun yang besar akan menyebabkan kematian lebih cepat. Dosis

pemakaian pestisida yang banyak akan semakin mempercepat terjadinya keracunan pada

pengguna pestisida. Untuk dosis penyemprotan di lapangan, khususnya pestisida

golongan organofosfat dosis yang dianjurkan adalah 0,5 – 1,5 kg/Ha.

7. Jangka waktu atau lamanya terpapar, Paparan yang berlangsung erus-menerus lebih

berbahaya daripada paparanyang terputus-putus pada waktu yang sama. Jadi pemaparan

yang telah lewat perlu diperhatikan bila terjadi risiko pemaparan baru. Karena itu

penyemprot yang terpapar berulangkali dan berlangsung lama dapat menimbulkan

keracunan kronik.

Faktor yang mempercepat terjadinya keracunan

1. Kuantitasracun, semakin banyak racun yang masuk ke dalam tubuh semakin parah

keracunan yang ditimbulkan.

2. Bentuk racun, semakin mendekati gas semakin beracun dan semakin mendekati ke

arah konsistensi padat semakin kurang beracun.

3. Cara masuknya racun, paling cepat melalui inhalasi, kemudian intravena, dan apabila

lewat kontak kulit, pada kulit yang terbuka lebih cepat dibanding kulit yang utuh.

4. Kondisi tubuh, yang meliputi usia, reaksi hiersensitivitas, kebiasaa, dan status

kesehatan.
F. Manifestasi Klinis

a. Akut (menit hingga 24 jam) :

Efek reseptok nikotinik: Lemas, fasikulasi, kram, paralisis

Efek muskarinik: Salivasi, lakrimasi, urination, emesis, bradikardia, hipotensi, miosis dan

bronkopasme

b. Delayed (24 jam – 2 minggu) :

Efek reseptor nikotinik: Intermediate syndrome

Efek reseptor muskarinik: Gejala kolinergik seperti brakikardia, miosis, salvias

Reseptor Sistem saraf pusat: Koma, manifestasi ekstrapirimidal

c. (lebih dari 2 minggu) : Proses neuropati perifer

d. Overstimulasi muskarinik gejalanya brakikardi, bronchochorhea, bronkospasme,

diare, hipotensi, lakrimasi, miosis, hipersalivasi, urinasi, vomit.

e. Overstimulasi nikotinik gejalannya pada saraf perifer agitasi, midriasis, berkeringat

dan takikardi

f. Overstimulasi nikotinik dineuromuscular junction yaitu fasikulasi, kelemahan otot

paralise.

G. Patofisiologi

Asetilkolin normal nya akan berikatan dengan enzim asetilkolinesterase (AchE)

untuk menghidrolisis asetilkolin menjadi 2 fragmen yaitu asam asetat dan kolin, tetapi

karena masuknya zat aktif pada racun (propksur) maka akan menyebabkan ikatan itu di

inhibisi, dan terjadi ikatan antara propoksur dengan AchE → Menagkibatkan asetilkolin
tidak dapat di hidrolisis menjadi 2 fragmen, sehingga terjadi penumpukan asetilkolin→

penumpukan asetilkolin ini akan mempengaruhi sinaps-sinaps kolinergik → toksisitas.

Karena, carbamat (baygon) termasuk dalam racun dengan toksisitas kepada

manusia rendah, tetapi kepada hewan tinggi maka gejala yang ditimbulkan tidak separah

jenis insektisida organofosfat. Dan ikatan yang terjadi pada carbamat ini bersifat

reversible, sedangkan pada organofosfat bersifat irreversible.

Selain itu, penghambatan kerja enzim ini terjadi karena carbamat melakukan

fosforilasi enzim tersebut dalam bentuk komponen yang stabil → sehingga terjadi

potensiasi aktivasi parasimpaik post-ganglionik → yang mengakibatkan gejala

muskarinik maupun nikotinik

Asetilkolin (ACh) merupakan sebuah senyawa yang terdiri atas asetic acid dan

kolin. Senyawa asetilkolin dapat diubah menjadi dua struktur tersebut dengan bantuan

enzin asetilkolin esterase (AChE) melalui active site aminoacid serin hidroksil. Pada

kasus intoksikasi organofosfat (OP), OP mengaktivasi AChE dengan cara berfosforilasi

dengan serine hydroxyl group yang berlokasi di active site AChE. Ketika ache tidak

dapat teraktivasi oleh ACh, ACh akan terakumulasi dan menyebbkan overstimulasi

reseptor mukskarinik dan nikotinik. Sehingga muncul manifestasi yang disebutkan

sebelumnya. Intoksikasi OP sendiri awalnya bersifar reversible, saat situasi ini terjadi,

pemberian pralidoxim dapat membantu dengan cara pengikatan senyawa pralidoxim

dengan organoforfat. Namun, bila tidak segera ditangani, keadaan reversible dapat

berubah menjadi irreversebel. Hal ini dapat terjadi akubat sebuah proses yang dinamakan

aging. Keadaan pada aging menyebabkan pralidoxin tidak bias berikatan dengan

komponen OP, sehingga bersifat irreversible.


(senyawa organofosfat yang berfosforilasi dengan asetilkolinesterasi di active site serine
hydroxyl group)

(kondisi reversible dan irreversibel)

(Pralidoksim berikatan dengan OP pada case reversibel)


H. Diagnosis

- Anamnesis : dilakukan anamnesis secara autoanamnesis atau


aloanamnesis. Menggali dengan cermat penyebab dengan melihat bukti
bukti yang diperoleh ditempat kejadian.
- Pemeriksaan fisik :
1. Menemukan dugaan tempat masuknya racun (inhalasi, per oral,
absorpsi kulit dan mukosa, atau paenteral)
2. Melihat gejala klinis yg muncul, keadaan umum, dan tanda vital
(seperti pada gambar dibawah)

- Pemeriksaan Penunjang :
1. Analisis toksikologi, dilakukan sedini mungkin. Sampel yang
digunakan adalah 50 ml urin, 10 ml serum, bahan muntahan, dan feces.
2. Pemeriksaan radiologi, perlu dilakukan terutama bila curiga adanya
aspirasi zat racun melalui inhalasi atau dugaan adanya perforasi lambung
3. Pemeriksaan gas darah
4. Pemeriksaan fungsi hati, ginjal, dan sedimen urin
5. Pemeriksaan kadar gula darah sewaktu
6. Pemeriksaaan EKG, apabila kasus keracunan diikuri dengan terjadinya
gangguan irama jantung

I. Tatalaksana

-Stabilisasi

Penatalaksanaan keracunan pada waktu pertama kali berupa tindakan resusitasi

kardiopulmoner yang dilakukan dengan cepat dan tepat berupa:

. Pembebasan jalan napas.

. Perbaikan fungsi pernapasan. (ventilasi dan

oksigenasi).

. Perbaikan sistem sirkulasi darah.

-Dekontaminasi

Dekontaminasi merupakan terapi intervensi yang bertujuan untuk menurunkan

pemaparan terhadap racun, mengurangi absorpsi dan mencegah kerusakan. Petugas,

sebelum memberikan pertolongan harus menggunakan pelindung berupa sarung tangan,

masker dan apron. Tindakan dekontaminasi tergantung pada lokasi tubuh yang terkena

racun yaitu:
a. Dekontaminasi pulmonal. Dekontaminasi pumonal berupa tindakan menjauhkan

korban dari pemaparan inhalasi zat racun, monitor kemungkinan gawat napas dan

berikan oksigen lembab 100% dan jika perlu beri ventilator.

b. Dekontaminasi mata. Dekontaminasi mata berupa tindakan untuk membersihkan

mata dari racun yaitu posisi kepala pasien ditengadahkan dan miring ke sisi mata

yang terkena atau terburuk kondisinya. Buka kelopak matanya perlahan dan irigasi

larutan aquades atauNaCl 0,9o2 perlahan sampai zat racnffiya diperkirakan sudah

hilang (hindari bekas larutan pencucian mengenai wajah atau mata lainnya)

selanjutnya tutup mata dengan kassa steril segera konsul dokter mata.

c. Dekontaminasi kulit (rambut dan kuku). Tindakan dekontaminasi paling awal adalah

melepaskan pakaian, arloji, sepatu dan aksesori lainnya dan masukkan dalam wadah

plastik yang kedap air dan tutup rapat, cuci (scrubbing) bagian kulit yang terkena

dengan air mengalir dan disabun minimal 10 menit selanjutnya keringkan dengan

handuk kering dan lembut.

d. Dekontaminasi gastrointestinal. Penelanan merupakan rute pemaparan yang tersering,

sehingga tindakan pemberian bahan pengikat (karbon aktif), pengenceran atau

mengeluarkan isi lambung dengan cara induksi muntah atau aspirasi dan kumbah

lambung dapat mengurangi jumlah paparan bahan toksik.

-Eliminasi

Tindakan eliminasi adalah tindakan untuk mempercepat pengeluaran racun yang sedang

beredar dalam darah, atau dalam saluran gastrointestinal setelah lebih dari 4 jam.

Apabila masih dalam saluran cerna dapat digunakan pemberian arang aktif yang

diberikan berulang dengan dosis 30-50 gram (0,5 - 1 gram / kg BB) setiap 4jam per oraV
enteral. Tindakan ini bermanfaat pada keracunan obat seperti karbamazepin, chlordecone,

qloinin, dapson, digoksin, nadolol, fenobarbital, fenilbutazone, fenitoin, salisilat, teofilin,

phenoxyacetate herbisida. Tindakan eliminasi yang lain perlu dikonsulkan pada dokter

spesialis penyakit dalam karena tindakan spesialistik berupa cara eliminasi racun yaitu:

1). Diuresis paksa (forced diuresis); 2). Alkalinisasi urin, 3). Asidifikasi urin; 4).

Hemodialisis/peritoneal dialisis. AntiDotum Pada kebanyakan kasus keracunan sangat

sedikit jenis racun yang ada obat antidotumnya dan sediaan obat antidot yang tersedia

secara komersial sangat sedikit jumlahnya.

J. Komplikasi

Kejang, koma, henti jantung, henti nafas, syok dan kematian akibat keracunan biasanya

diakibatkan oleh kegagalan pernapasan karena kelemahan otot pernapasan, serta depresi

pada jaringan pernapasan sentral.

K. Pencegahan

• Sebelum menggunakannya bacalah label yang ada dikemasan. Jangan rusak label

karena didalamnya terdapat informasi mengenai cara menggunakannya, penyimpanan,

bahayanya dan pertolongan pertamanya jika terjadi keracunan serta informasi lainnya.

• Pestisida hendaklah disimpan dengan aman ( ditempat yang tidak terjangkau oleh anak-

anak seperti dilemari yang terkunci atau tempat yang agak tinggi) sebelum dan setelah

digunakan.

• Jangan menyimpan dekat dengan bahan-bahan makanan dan minuman.


• Simpan dalam wadah aslinya dan jangan pindahkan ke dalam wadahlain terutam ke

dalam wadah bekas makanan/minuman.

• Jangan sekali-kali menggunakan bekas wadah pestisida untuk tempatmakan atau

minuman sekalipun untuk hewan peliharaan.

L. Prognosis

Tingkat mortalitas akibat keracunan organofosfat sebesar 3-25%. Hal ini

dipengaruhi oleh tipe dari zat yang digunakan, kadar zat yang tertelan, kesehatan dari

pasien, lamanya pasien ditemukan dan dirujuk, inadekuat penatalaksanaan airway.

Prognosis dari kasus ini pada umumnya baik, bila pengobatan dilakukan secepat

mungkin, namun akan berdampak fatal hingga pada kematian jika terjadi kesalahan

dalam pengobatan. Beberapa kesalahan pengobatan yang sering terjadi, berupa :

1. Resusitasi kurang baik dikerjakan.

2. Eliminasi racun kurang baik.

3. Dosis atropin kurang adekuat, atau terlalu cepat dihentikan.


DAFTAR PUSTAKA

1. Professor Vale Allister. Organosphorus Insecticide Poisoning. Clinical Evidence.2015.


2. Sumber : Wirasuta, M.A.G. (2006). Buku Ajar : Toksikologi Umum. [Online]. Tersedia :
Buku-Ajar-Toksikologi-Umum. http://farmasi.unud.ac.id/ind/wp-content/uploads/Buku-
Ajar-Toksikologi-Umum.pdf (17 April 2015).
3. Lotti, Marcello. Clinical toxicology of anticholinesterase agents in humans. In:
Krieger, Robets (Eds). Haye’s handbook of pesticide toxicology. 3 rd Ed. USA: Elsevier.
2012;1542-1551.
4. Muñoz-Quezada MT, Lucero BA, Iglesias VP, Muñoz MP, Cornejo CA, Achu E, etal.
Chronic exposure to organophosphate (OP) pesticides and neuropsychological
functioning in farm workers: a review. Int J Occup Environ Health. 2016;1-12.
5. Tim Dosen Farmakologi. Petunjuk praktikum farmakologi kedokteran angkatan 2016.
Bagian farmakologi program studi pendidikan dokter FK UNLAM; Banjarmasin; 2019.
6. Setyoahadi, B. Dkk. 2012. EIMED PAPDI Kegawatdaruratan Penyakit Dalam
(Emergency in Internal Medicine). Volume I. Jakarta: Internal Publishing.
7. Agustian H, Wardoyo HA, Victe CD, Tamara J, Budiman C, Elizabeth J. Keracunan
Organofosfat. Fakultas Kedokteran Universitas Taramunagara. 2018.
8. Departemen Kesehatan R I, Pusat Data Kesehatan, dalam http://bankdata.depkes.
go.id/Profil/Indo 1997/Annex/liic620htm. pada 13 Mei 2007.
9. WHO, 1986, Organophosphorus Insectisides:A General Introduction Environmental
Health Criteria, 63,WHO Geneva Rahayu C.M., 1982, "Efek Pestisida Organofosfat
Terhadap Penurunan Aktivitas Koline-sterase", Thesis
FKM-UI, Jakarta.
10. Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Fauci AS, Longo DL, Loscalzo J. Harrison’s
principles of internal medicine. 19th ed. United States: McGraw-Hill Education; 2015. p.
258.
11. Gowda, B K J et al. oral toxicology. India: JFDS. 2014.)
12. Djoko W, Katu S. Ilmu Penyakit Dalam FKUI: Keracunan insektisida. Jakarta: FKUI.
13. Prijanto B, Teguh. Analisis faktor risiko keracunan pestisida organofosfat pada keluarga
petani hortikultura di Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang [tesis]. Semarang:
Universitas Diponegoro; 2009.
14. Abadi, Nur. 2008. Buku Panduan Pelatihan BC &amp; TLS (Basic Cardiac &amp;
Trauma Life Support). Jakarta : EMS 119.

Anda mungkin juga menyukai